Minggu, 13 Mei 2012

Televisi Bikin Ngeri

Gambar pemindahan jenazah dari helikopter ke ambulance di
Bandara Halim Perdana Kusuma.
(Foto: tribunnews.com)
“NGERI aku, Kang, lihat gambar di televisi,” Mas Bendo berkata setelah menyaksikan proses evakuasi korban kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 yang menabrak tebing gunung Salak.

“Ngeri kenapa, nDo?”

“Lha itu, kantong-kantong jenazah dibawa lari terbirit-birit, dari heli satu ke heli lain untuk diterbangkan lagi ke RS Polri untuk diotopsi,” tarikan nafas Mas Bendo sungguh bisa dipahami ia sedang teramat sedih. “Memang, tidak ada sanak saudaraku ikut menjadi korban. Tetapi, cara menggotongnya itu, sungguh membuat hatiku teriris. Perihnya melengkapi rasa pertama ketika dalam berita disebutkan jenazah-jenazah itu sudah sebagai jasad yang tak utuh...”

“Terus maumu bagaimana?”

“Bisa kan jenazah-jenazah itu ditandu dengan lebih 'sopan', sehingga pihak keluarga yang sedang menyaksikan di layar kaca tidak semakin berkaca-kaca...”



Tidak ingin menganggu kesedihan dan empati mas Bendo, beberapa saat Kang Karib membiarkan sahabatnya itu dalam diamnya. Dan ketika dilihat saatnya sudah tepat, Kang Karib baru berkata. Begini: “Atau, janganlah kita nyalakan televisi.”

“Tidak bisa begitu, Kang. Televisi menjadi media bagi siapa pun yang ingin memperoleh kabar dan mengikuti perkembangan demi perkembangan proses evakuasi.”

“Kalu begitu, jelas sudah, justru cara televisi memampang gambarlah yang perlu kau protes. Bukan cara para petugas yang harus bergerak cepat dalam mengevakuasi jasad para korban.”

Begitulah, seringkali, demi sebuah gambaran 'nyata' sebuah peristiwa, media (khususnya televisi) berlomba menyajikan gambar yang membuat hati pemirsa miris. Nyata memang, jasad yang tak utuh, cara menangani evakuasi yang sedemikian, dan sebagainya. Itu bisa dipahami sebagai semua harus dilakukan dengan cepat. Agar yang hancur (maaf) itu tidak semakin hancur. Tetapi, tentu, tidak seharusnya semua diliput sedemikian detailnya.

“Aku masih ingat, nDo,” kata Kang Karib. “Dulu, di Aceh, ribuan jenazah bergelimpangan. Di nyaruis semua tempat sejangkauan si tsunami. Dan itu bisa kita lihat secara 'telanjang' di televisi. Itu sudah sekian tahun yang lalu. Nyatanya, sampai saat ini, masih saja stasiun televisi membuat tayangan yang sama; memampang korban Sukhoi dengan sesukhoi sesuka hati. Maka, aku bisa mengerti kengerianmu itu, nDo...”

Anang dan Ashanty
(Foto: Tribunnews.com)
Raut wajah Mas Bendo terlihat keruh. Demi membeningkannya lagi, Kang Karib menawarkan ini; “Kalau begitu, lihatlah berita bahagia di televisi. Misalnya, pernikahan Anang dan Ashanty.”


“Aku terlanjur ngeri pada semua gambar di televisi, Kang,” Mas Bendo berkata seperti seekor ikan lapar menyambar umpan.

“Kenapa?”

“Tidak sedikit gemerlap prosesi pernikahan artis hanya berumur pendek, Kang....” ******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar