Gambar pemindahan jenazah dari helikopter ke ambulance di Bandara Halim Perdana Kusuma. (Foto: tribunnews.com) |
“NGERI aku, Kang, lihat gambar di
televisi,” Mas Bendo berkata setelah menyaksikan proses evakuasi korban kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 yang menabrak tebing gunung Salak.
“Ngeri kenapa, nDo?”
“Lha itu, kantong-kantong jenazah
dibawa lari terbirit-birit, dari heli satu ke heli lain untuk
diterbangkan lagi ke RS Polri untuk diotopsi,” tarikan nafas Mas
Bendo sungguh bisa dipahami ia sedang teramat sedih. “Memang, tidak
ada sanak saudaraku ikut menjadi korban. Tetapi, cara menggotongnya
itu, sungguh membuat hatiku teriris. Perihnya melengkapi rasa pertama
ketika dalam berita disebutkan jenazah-jenazah itu sudah sebagai
jasad yang tak utuh...”
“Terus maumu bagaimana?”
“Bisa kan jenazah-jenazah itu ditandu
dengan lebih 'sopan', sehingga pihak keluarga yang sedang menyaksikan
di layar kaca tidak semakin berkaca-kaca...”
Tidak ingin menganggu kesedihan dan
empati mas Bendo, beberapa saat Kang Karib membiarkan sahabatnya itu
dalam diamnya. Dan ketika dilihat saatnya sudah tepat, Kang Karib
baru berkata. Begini: “Atau, janganlah kita nyalakan televisi.”
“Tidak bisa begitu, Kang. Televisi
menjadi media bagi siapa pun yang ingin memperoleh kabar dan
mengikuti perkembangan demi perkembangan proses evakuasi.”
“Kalu begitu, jelas sudah, justru
cara televisi memampang gambarlah yang perlu kau protes. Bukan cara
para petugas yang harus bergerak cepat dalam mengevakuasi jasad para
korban.”
Begitulah, seringkali, demi sebuah
gambaran 'nyata' sebuah peristiwa, media (khususnya televisi)
berlomba menyajikan gambar yang membuat hati pemirsa miris. Nyata
memang, jasad yang tak utuh, cara menangani evakuasi yang sedemikian,
dan sebagainya. Itu bisa dipahami sebagai semua harus dilakukan
dengan cepat. Agar yang hancur (maaf) itu tidak semakin hancur.
Tetapi, tentu, tidak seharusnya semua diliput sedemikian detailnya.
“Aku masih ingat, nDo,” kata Kang
Karib. “Dulu, di Aceh, ribuan jenazah bergelimpangan. Di nyaruis
semua tempat sejangkauan si tsunami. Dan itu bisa kita lihat secara
'telanjang' di televisi. Itu sudah sekian tahun yang lalu. Nyatanya,
sampai saat ini, masih saja stasiun televisi membuat tayangan yang
sama; memampang korban Sukhoi dengan sesukhoi sesuka hati. Maka, aku
bisa mengerti kengerianmu itu, nDo...”
Anang dan Ashanty (Foto: Tribunnews.com) |
Raut wajah Mas Bendo terlihat keruh.
Demi membeningkannya lagi, Kang Karib menawarkan ini; “Kalau
begitu, lihatlah berita bahagia di televisi. Misalnya, pernikahan
Anang dan Ashanty.”
“Aku terlanjur ngeri pada semua
gambar di televisi, Kang,” Mas Bendo berkata seperti seekor ikan
lapar menyambar umpan.
“Kenapa?”
“Tidak sedikit gemerlap prosesi
pernikahan artis hanya berumur pendek, Kang....” ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar