Selasa, 31 Januari 2012

Mantel Bikin Sebel


MUSIM hujan begini, satu benda yang wajib ada di bawah jok bagi pengendara motor adalah mantel. Ia menjadi begitu vital bila tak ingin saling ndusel  berteduh dibawah pohon. Bukan apa-apa, dimusim hujan yang sering berbonus angin kencang begini, berteduh dibawah pohon adalah sudah dalam rangka bertaruh nyawa!

Mantel, seperti sampeyan tahu, ada beberapa jenis. Ada yang model kelelawar. Model inipun masih terbagi menjadi dua; single dan two in one. Tetapi, sekalipun ia begitu praktis dan mudah dikenakan, karena tinggal mak-krukep tubuh langsung tertutup brukut, namun ia sesekali membahayakan juga. Ini terjadi bila ujung mantel yang layaknya sayap kelelawar itu tidak ditindih pantat secara rapat. Ia bisa mengepak-ngepak dan, bila apes, bisa-bisa masuk ke roda sepeda. Hal ini, tentu bisa mengakibatkan celaka.

Model kedua, tipe yang layaknya setelan baju dan celana. Ini lebih praktis, tentu saja. Sekalipun durasi waktu yang dibutuhkan untuk mengenakannya lebih lama. Model ini, saya kira, hanya tersedia satu jenis saja. Ia tidak ada yang model two in one, misalnya.

Saya pernah mempunyai kedua model ini. Tetapi yang sekarang saya pakai adalah yang model celana.


PAGI tadi hujan turun tepat saat akan berangkat kerja. Saya langsung mengenakan mantel. Setelah sandal jepit dengan baik hati mau menggantikan peran sepatu yang saya amankan dalam tas kresek, saya langsung berangkat. Lepas dari Rungkut saya nawaitu  untuk tidak agak ngebut. Dan sepanjang jalan kenangan hujan menari dalam tempo menengah. Deras tidak, setipis gerimis pun tidak. Pokoknya, sedang-sedang saja, seperti judul lagu dangdutnya Vetty Vera.

Empat puluh lima menit berselang, saya sampai ketempat tujuan. Di tempat parkir, saya tanggalkan mantel. Pertama atasan, baru kemudian bawahan. Tetapi, lhadalah, kok ada terasa basah disekitar bagian penting wilayah daerah khusus 'ibu kota' tubuh saya. Saya raba, memang basah ini. Aneh. Pakai mantel kok masih tembus juga. Jadi sebel, kan? Tetapi ketika saya perhatikan si mantel bawahan, ini dia biangnya. Lha wong  celana mantel saya ini memang sudah sobek tepat dibagian selangkangan.*****

Sabtu, 28 Januari 2012

Dukun Edan dan Maling tak Tahu Diri


INI cerita lama. Tentang maling. Baiklah saya mulai saja. Begini; suatu hari. Malam itu sekitar jam dua. Saya yang tidur dirumah teman, dimalam sedini itu bermaksud pulang untuk makan sahur. Ya, ingat saya. Saat itu memang lagi bulan puasa. Sesampainya disebuah gang, saya menoleh keselatan; saya lihat ada tiga orang berjalan agak tergesa. Karena langkah itu tak bersuara, saya kira mereka bertelanjang kaki saja. Sarung yang dililitkan kebadan dan kepala hanya menyisakan celah kecil dibagian mata, mengingatkan akan pengalaman masa kecil ketika main ninja-ninjaan di musholla.


“Mau kemana?” tanya salah seorang dari mereka. Detik itu praktis saya dilingkari mereka. Dengan bonus dua mata saya disorot lampu senter yang sengaja hanya bersinar kuning seperti baterainya hampir habis. 


“Mau sahur," jawab saya.

Seorang yang menginterogasi saya itu memamerkan yang sedang dipegangnya. Dari bentuk dan kilapnya saya tahu, itu sebilah celurit. Tetapi sorot lampu senter itu membuat mata saya akhirnya blolo'en juga. Saat itulah sang interogator pamit dan meninggalkan pesan, “sudah, kalau mau sahur ya sahur sana. Dan jangan bilang siapa-siapa kalau kamu ketemu kami."

Lalu mak-krosak, plas. Seperti setan mereka menghilang ditelan rimbun tanaman kunyit.. Meninggalkan saya dengan mata yang berkunang-kunang, hanya terbayang warna merah kekuningan. Pencuri memang tak tahu diri, bulan puasa begitu masih saja beroperasi.

*****

Masih tentang maling. Dan, seperti biasa, tentu saya lupa kapan pastinya peristiwa ini terjadi, (yang jelas sudah lama, lama sekali. Ada kalau duapuluh lima tahun lalu), sepulang saya dari jamaah sholat maghrib di mushollanya pak Gudel (jangan tertawa, memang begitu ia dipanggil. Sekalipun nama yang sebenarnya adalah Sudirman. Satu lagi, beliau pula yang menyematkan nama wadanan untuk saya; Bendo. Hanya gara-gara ketika tengah malam saya dan beberapa teman luru buah bendo yang rasanya bila disangrai segurih kacang). Eh, sampai mana tadi? Ohya, sepulang dari jamaah sholat di musholla tetangga itu, saya mendapati rumah Woko dikerubuti banyak orang.

“Tivinya dicolong orang,” seseorang menjawab ketika saya tanya.

Saya lihat si Woko memamerkan wajah panik. Bukan opamer sih, memang panik bertulan. Sebuah tivi empat belas inchi adalah harta yang terbilang lumayan berharga ketika itu. Karena hanya sedikit orang kampung kami yang memiliki. Hanya orang-orang tertentu saja. Sementara orang lain, termasuk saya ini, hanya nunut saja menontonnya.

Orang menyisir sekitar pekarangan Woko. Asumsinya, si tivi itu masihlah belum dibawa jauh. Pasti masih disembunyikan disela-sela tanaman kunyit yang berdaun setinggi lutut. Ini bisa dipahami, saya kira. Karena ini masih sore sekali. Maghrib masih baru saja. Kemungkinan kronologisnya begini; si maling pura-pura bertamu, tetapi ketika uluk salam tidak ada yang menjawab, masuklah ia keruang tamu. Dan tivi itu lalu diembat.

Mencari disekitar rumah tak juga ketemu, beberapa orang berinisiatif meminta petunjuk ke 'orang pintar.' Dan kalau utusan yang sudah menemui orang pintar itu pulangnya disambut semua orang yang segera ingin tahu, tentu saja saya maklum. Tetapi tentu kemakluman saya menjadi batal ketika simbah dukun, menurut utusan itu, bilang, “Barangnya masih belum jauh. Pencurinya juga belum jauh. Malah barusan pencurinya ikut pura-pura mencari. Ciri pencurinya pakai sarung dan kopiah.'

Dukun edan! Karena, satu-satunya orang yang disebut bersarung dan berkopiah itu hanya saya sendiri.*****



Minggu, 22 Januari 2012

Yu Wage

SIDAL, begitu nama dusun tempat Yu Wage tinggal. Terpencil. Dan untuk menghirup dunia luar, kalau musim hujan begini, orang dusun ini harus menyeberangi sungai yang bisa-bisa sedalam dada. Padahal kalau lagi kemarau, batu-batu dasar sungai itu seperti berebut menampakkan diri. Dangkal saja. Sampai-sampai daun kluwih yang jatuh dan hanyut ke sungai itu, masih menyempatkan diri mampir, memeluk batu-batu itu. Sejenak. Untuk kemudian meneruskan laku  menuju ujung sungai sana. Jauh. Sejauh burung-burung terbang dipagi hari, untuk kemudian kembali ketika angin telah mengingatkan mereka agar segera pulang di sore hari.

Galih, anak lelaki Yu Wage, untuk berangkat dan pulang sekolah selalu melewati sungai itu. Agak memutar ke sisi timur dusun, dimana disitu ada batu besar berjajar agak saling berdekatan. Disitulah bapak-bapak membangun semacam jembatan. Tetapi jangan bayangkan ia adalah jembatan besar dan bagus. Ia adalah satu-dua batang bambu yang ditata di pundak-pundak batu itu. Saling terhubung. Sampai disisi sana, di bibir dusun Silu. Ya, di dusun Silulah tempat sekolah Galih. Sebagai hanya penjual rujak, Yu Wage ingin Galih bernasib tidak sepedas rujak. Ia harus berhasil. Harus bisa sekolah tinggi di kota.

Sabtu, 21 Januari 2012

Kursi Empuk

KETIKA pagi-pagi kang Karib bertamu kerumahnya, dengan grapyak semanak mas Bendo menyambutnya,"Wah, njanur gunung sampeyan ini, kang. Ayo, pinarak, pinarak..."

Begitu masuk, kang Karib tolah-toleh tidak menemukan meja kursi. "Rumah kok gak ada kursinya. Lha aku kamu suruh pinarak dimana, nDo?"

"Tenang, kang. Tenang. Aku tidak seperti para wakilku yang DPR itu. Karena, sekalipun aku tak punya kursi mahal yang terasa empuk bila disentuh, tetapi aku mempunyai hati empuk yang mudah tersentuh..."

Catatan Lama

INI masih tentang catatan lama saya. Buku tulisan tangan yang sedang saya baca lagi ini, berkali-kali berhasil membuat saya tersipu sendiri. Malu, senang, heran berbaur menjadi satu. Atau memang begitu rasanya membaca catatan harian masa lalu.

Tentu saya tidak akan menulis ulang semua tulisan saya itu disini. Saya belum cukup punya keberanian untuk itu. Beberapa saja yang hendak saya tampilkan disini. Dua diantaranya, yang akan sampeyan  baca ini. Silakan.


Kado Ultah


saat-saat
hitam-putih
dibungkus sekotak waktu
                                                                  Jember, 13 April 1994




Hujan Pertama


malam ini
kuceritakan lagi kepada waktu
hujan pertama
telah basahi relung dahaga
basuh wajah berdebu dedaunan


ada rindu
bergelayut manja dipundak hari
kala hujan disuatu senja 
sekian masa lalu


hujan
berdenting
jatuh digenting
mengantar lagu indah
dari negeri yang jauh


kini,
engkau datang lagi, hujan
berdenting lagi
tetapi adakah kau ingat
lagu yang kau bawa dulu
nyanyikanlah sekali lagi
untukku
                                 Jember, 30 Oktober 1995









Jumat, 20 Januari 2012

Luar Jawa


DALAM memulai pembicaraan dengan orang yang baru saya kenal, biasanya, agar akrab, lebih dulu saya bertanya darimana asalnya. Karena dengan begitu, beberapa kali saya alami, dia ternyata bertetangga kampung dengan saya. Paling tidak masih sekabupaten. Ini yang bulan lalu saya alami ketika saban hari belanja material bangunan untuk renovasi rumah. Salah satu pelayan toko bangunan itu kemudian saya ketahui berasal dari Sukoreno, sebuah desa yang lokasinya bertetangga dengan kampung almarhum ayah kandung saya.

Dengan tahu ia berasal darimana, saya kemudian bisa mengubernya lebih dalam lagi. Misalnya, ketika si lawan bicara mengaku berasal dari Banyuwangi, ia saya giring untuk lebih menyempit lagi; Songgon, Genteng, Tegaldlimo, Glenmore atau Kalipait. Atau kalau dia bilang beasal dari Trenggalek, begini cara saya memperkecil cakupannya,”Trengalek mana? Karangan, Panggul. Ndurenan?” Atau (lagi) ia bilang berasal dari Jawa Tengah, “Jawa Tengah mana? Blora, Cepu, Purwodadi, Grobogan?”

Begitulah. Ketika asalnya sudah lebih sempit lagi, masih saja saya persempit menuju sasaran. Kalaulah lawan bicara saya berasal dari Bojonegoro dan telah bisa saya persempit menjadi Baureno, misalnya, uberan saya kemudian mengarah lebih spesifik lagi. “Baureno mananya SMP? Apanya masjid, sebelah mananya alun-alun, atau dari kantor polsek kearah mana?”

***

Sekitar jam sembilan tadi pagi, didepan lift P4 (lift khusus, yang ukurannya lebih besar) saya dapati dua orang pekerja dari sub-cont  yang sedang menunggu untuk turun. Dengan trolley didekatnya, saya kira, mereka hendak mengambil material kerja di basement. Dan karena P4 ini hanya satu-satunya yang boleh untuk mengangkut barang-barang berat dan besar, (sementara di lantai 6 sedang ada aktifitas mengangkut banyak sekali dus barang salah seorang penghuni yang akan check out) dua bapak itu mungkin telah beberapa menit menunggu.

“Aslinya mana, pak?” saya mengeluarkan jurus pengakraban diri, sambil ikut sama-sama menanti lift.

“Saya aslinya dari luar Jawa, pak,” salah seorang dari mereka menjawab. ”tetapi sudah lama tinggal di Jawa," lanjutnya.

Mendengar logatnya saya percaya. Aksennya sudah sangat Jawa sekali.

“Luar Jawa-nya mana?” ini jurus lanjutan saya. “Palembang, Bengkulu, Balikpapan, Samarinda, Makassar?”

“Saya asli Sampang, pak.”

Saya tahu, bapak itu tidak sedang bercanda. Saya saja yang kurang menyadari, bahwa Madura pun adalah sudah termasuk 'luwar' Jawa.*****

Cara Pinter Menebak Karakter


KEMARIN saya temukan, barusan saya baca lagi buku catatan itu. Bukan buku baru. Buku tulisan tangan itu, saya bikin sekitar pertengahan tahun 80an. Berisi macam-macam. Dan, saya beritahusampeyan, tahun itu saya telah memunculkan tokoh mas Bendo. Tetapi belum bersama kang Karib. Ia masih pegang sebagai pemeran utama ‘berduet’ dengan yang namanya Sudrun sebagai figurannya. (Kapan-kapanlah saya ceritakan tentang ini.)

Sekarang saya sedang melototi satu lembar isi buku itu. Dan yang ini bukan murni tulisan saya. Tetapi sebuah artikel yang saya ambil dari majalah Intan (entahlah, apakah sekarang majalah ini masih beredar atau tidak, saya tidak tahu) Terus terang saya lupa mencatat itu edisi nomor berapa. Tetapi, dalam salinan itu (bukan hasil foto copy, tetapi saya salin dalam tulisan tangan), tertera bulan Mei tahun 1986. (Eh, siapa yang belum lahir tahun itu? Wah, ketahuan saya ini sudah manula dong....hahaha)

Maaf, ini bukan artikel serius. Tetapi, barangkali, bisa membuat sampeyan  tersenyum ketika karaktersampeyan  bisa dengan gampang ditebak hanya melalui tanggal, bulan dan tahun kelahiran. Caranya cukup mudah. Sampeyan  hanya perlu menjumlah tanggal, bulan dan tahun kelahiran itu menjadi satu angka saja.

Misalnya sampeyan  lahir 25 Agustus 1985, cara menjumlahkannya adalah: 2+5+8+1+9+8+5=38. Dari total angka 38 ini dijadikan 3+8=11, dan dari angka 11 ini juga dijadikan 1+1=2. Jadi karakter orang yang lahir pada tanggal 25-8-1985 adalah sesuai dengan nomor urut 2 dibawah ini.

Gampang, kan?

Dan inilah urutan karakter itu.
  1. Si  dia ini orangnya kreatif, sering berhasil menduduki tempat penting dalam organisasi, tetapi agak suka memerintah. Selain bersifat sederhana, ia termasuk sosok yang suka menyendiri. Jeleknya, ia suka meremehkan pendapat orang lain. Walau begitu, ia adalah orang yang tegas.
  2.   Romantik, suka mengalah, rajin dan setia. Tipe pekerja dan tidak suka menonjolkan diri. Penuh inisiatif dan bertanggung jawab. Satu hal lagi, ia suka musik! (waduh, kok bagus semua ya?...)
  3. Menonjolkan diri, suka mengatur, tetapi ia praktis dan optimis. Minusnya, si dia ini kurang disiplin, sehingga banyak rencananya yang gagal. Melamun adalah hobby-nya. Ia sosok yang kurang greget karena lebih percaya kepada nasib. (Oiiii! Bangun, jangan melamun melulu...)
  4.  Kolot, berbusana kurang menarik dan secara prinsip sukar berubah  (cenderung keras kepala), tetapi ramah. Dalam bercinta, ia selalu membanggakan pasangannya sendiri.  (Ya iyalah, masak membanggakan pasangan sebelah.)
  5.  Lincah, genit (ih, kalau cowok mungkin kemayu ya? Hehe...), banyak humor, nurut pada nasihat orang lain, bercita-cita maju, tetapi (ada tetapinya lho..)ia termasuk petualang dalam cinta. (Duh, yang terakhir itu amit-amit deh!)
  6. Sabar, namun jika sudah marah sukar diredakan. Dalam bertingkah lagu baik dan sopan. Hanya saja kadang ia bertindak boros. (Nah lo! Cari duit itu susah tauuuu!)
  7.  Suka menyendiri dan perasa, inginnya lari dari kenyataan dan benci pada keibutan. Menurut orang sih dia ini dingin, padahal ia punya daya pikiran dan khayalan yang kuat. (Wih, andai ah, ah, ah aku jadi orang kaya. Hehe.. jadi ingat lagunya Oppie Andaresta)
  8. Egoistis, ambisius. Walau begitu ia pribadi yang rajin dan tekun. Satu lagi; tidak mudah putus asa. Ia mempunya prinsip, sebuah kegagalan sebagai tantangan yang perlu ditaklukkan.(Setuju. Maju terus pantang mundur. Merdekaaaa!)
  9. Tenang, berjiwa seni, pandai memanfaatkan peluang, tidak suka berbincang-bincang. Mudah menyadari dan memperbaiki kesalahan sendiri. Suka warna cerah dan  bergairah. Tetapi, ia termasuk orang yang gampang terpengaruh lingkungan.

Nah, dari sembilan karakter itu, manakah yang sesuai dengan sampeyan?
Salam.*****

Kamis, 19 Januari 2012

Musik dan Tanggung Jawab

MUSIK memang untuk bersenang-senang. Tetapi tetap saja ia harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan kepada masyarakat.

Rhoma Irama, Raja Dangdut.

Rabu, 18 Januari 2012

Tips Menyiasati Tip


SEJAK hari Senin kemarin (16 Januari 2012) saya dapati ada memo tertempel di lift. Isinya; anjuran kepada semua penghuni untuk tidak memberikan tip berupa apapun kepada kami. Alasannya jelas, agar semua berjalan secara profesional. Agar kami tidak pilih-pilh sasaran ketika ditugaskan. (Ditugaskan kok pilih-pilih? Misalnya, akan disegerakan bila sasarannya adalah tenant yang berkategori 'basah'. --sering memberi tip ketika pekerjaan selesai-- Istilahnya, memberikan layanan plus bagi yang suka ngasih fulus.)

Tentu ini ajakan yang bagus. Tetapi, kemarin (17 Januari), sehari setelah anjuran itu diedarkan, toh saya masih mendapatkan tip berupa sejumlah uang dari tenant yang asal India. Kesimpulan saya, si tenant belum membaca anjuran itu, atau sudah membaca tetapi menganggap tip adalah sebuah tanda terima kasih saja. Tak lebih dari itu.

Tentu saja saya sedang tidak akan memposisikan diri untuk mengutak-atik anjuran yang secara resmi di edarkan dan ditanda tangani pihak management ini. Tetapi, hanya akan mengingat-ingat tentang tip yang pernah saya terima.



Suatu hari, saya berdua dengan seorang teman mengerjakan MSSR dengan tujuan unit #2607. Ketika itu penghninya juga India. Namanya Raj Kapoor. Karena kecantikanya, saya curiga ia masih ada hubungan saudara dengan bintang film Bollywood; Kareena Kapoor. 

Selesai semua pekerjaan yang ia minta, ia dengan sangat sopan memberi kami tip. Ia memberikan sendiri kami satu-satu. Nominal yang kami terima masing-masing; 1.500 rupiah!

Sjamsul Arief, teman saya menahan tawa begitu keluar dari unitnya,” Kak, dia belum tahu nilai rupiah,” katanya.

Senyum saya sebagai pengiya perkataannya.


Lain hari, juga masih bersama Sjamsul Arief, saya nggethu menyelesaikan pekerjaan yang terasa nanggung. Maksudnya, tak ingin kami melanjutkannya setelah istirahat makan siang, maka sekalian saja kami selesaikan saat itu juga.
Jam sudah menunjuk angka dua belas siang. Tetapi kami lakukan pekerjaan dengan riang. Bukan mengharap tip dari tenant yang grapyak semanak mau mengajak kami ngobrol. Tetapi, keramahannya itu membuat kami merasa diorangkan. Tidak memandang kami sebelah mata sekalipun kami adalah pegawai rendahan sementara beliau adalah seorang bos sebuah perusahaan

“Harga seporsi makan diwarung bawah itu berapa, mas?” tanya beliau, seorang bapak, sambil menunjuk kebawah dari balcony  apartement-nya dilantai atas.

“Murah, pak. Lima ribu sudah sak  minumnya,” jujur saya menjawab.

Jam setengah satu siang, selesai sudah pekerjaan kami. Saat saya mengemasi alat-alat kerja, bapak itu mengeluarkan dompet dan menyodorkan sepuluh ribu rupiah untuk kami berdua,” Untuk makan siang, mas,” katanya.

(Pinter juga, mau ngasih tip, tanya dulu harga seporsi makan. Hehehe...)*****

Minggu, 15 Januari 2012

Cita-cita


EDWIN, anak sulung saya, sudah kelas enam sekarang. Kelas lima kemarin saya pindah dia dari sekolah dikampung ke Surabaya. Syukurlah, ia bisa mengikuti pelajaran dan tidak ketinggalan dengan teman-temannya yang sedari kelas satu sudah dikota.

Padahal, dulu dia tidak mau disekolahkan. Dimasukkan TK, maksudnya. Dan, lebih asyik melototi televisi.

“Adik sekolah ya,” bujuk ibunya.

Pipi Edwin yang sudah tembem makin tembem saja. Saya pahami itu sebagai bahasa tubuh; tandanya ia tidak mau.

“Adik, itu mas Reza dan mas Bayu juga sudah sekolah,” istri saya tak patah semangat mencari jalan membujuk, sambil menyebut dua teman sepermainannya. “Malu, kan, kalau adik sendiri yang tidak sekolah. Ibu tanya sekarang, kalau sudah besar adik ingin jadi apa?”

Power Rangers!” semangat sekali si Edwin menjawab.

Mata istri saya berbinar. Senang. Ada jalan untuk mengeluarkan bujukan baru. Begini katanya, “Wah hebat dong. Tapi adik tahu nggak, untuk bisa menjadi Power Rangers, adik juga harus sekolah dulu. Sekolah ya, sayang?”

Gak  mau!”

Lho, katanya mau jadi Power Rangers?

Gak jadi.”

Lho?!”

Gak Power Rangers-Power Rangersan, gak sekolah-sekolahan.”

Mendengar itu, neneknya  --mertua saya-- (sudah almarhumah sekarang) yang ganti ambil peranan. Bukan lewat bujukan. Tetapi mendatangi pak haji Said. Minta suwuk. Dan, kuasa Allah, lantaran air suwuk yang diminumkan, si Edwin akhirnya mau sekolah.


SEKARANG, delapan tahun setelah kejadian itu, setiap kali saya tanya apakah masih ingin menjadi Power Rangers, ia hanya tertawa. Tetapi, melihat ia yang senang nonton bola, saya duga, bukan tidak mungkin ia ingin menjadi pemain bola.

Begitulah, sebuah cita-cita bisa muncul atau terinspirasi oleh sesuatu yang sering dilihat.
Zulfi, keponakan saya yang tinggal di sebuah pelosok desa dilereng gunung Gumitir (perbatasan Jember-Banyuwangi), misalnya. Ketika saya tanya besok kalau besar ingin menjadi apa, dengan semangat ia menjawab,”Menjadi sopir 'grandhong'!”.

Ya, karena saban hari melihat 'mobil/truk' hasil modifikasi bermesin diesel yang mengangkut rumput atau hasil panen kopi melintas didepan rumahnya, ia mungkin berpikir, betapa gagahnya menjadi sopirnya!

Kalau saya, sih, saat SD dulu, ketika semua murid diminta satu persatu maju kedepan untuk menyebutkan cita-citanya, selalu saja dengan lantang saya bilang, "Ingin menjadi orang yang beguna bagi nusa dan bangsa".

Entahlah, apakah itu sudah terwujud atau belum sekarang.*****

Jati Diri

APAPUN yang ada di belakang kita dan apapun yang ada di hadapan kita hanyalah urusan yang sepele dibanding dengan apa yang ada di dalam diri kita.

Ralph Waldo Emerson, penyair AS.

Rabu, 11 Januari 2012

K T P

KARENA ngebet ingin menjadi penulis, pertama kali bikin KTP, saya jawab 'penulis' ketika ditanya apa pekerjaan saya.
Maka, selama hayat masih di kandung si KTP, jadilah cantuman kata 'penulis' itu sebagi 'profesi' saya.
Apesnya, ketika masa berlakunya habis dan saya mesti ngurus lagi, si petugas mengenali saya sebagai pengangguran. Tetapi dengan baik hati ia menuliskan 'wiraswasta' sebagai pekerjaan saya.

Kamis kemarin, saya mengurus surat pindah untuk menjadi warga kota, dari sebelumnya yang masih ber-KTP desa. Karena mendapat bujukan teman, (agar tidak ribet, katanya) saya mengurusnya lewat 'orang dalam'. Segala formulir terpenuhi lewat jalur kilat, dan semua data diisikan olehnya.
Ketika 'orang dalam' itu datang kerumah membawa blanko-blanko yang harus saya tanda tangani, saya lihat dalam kolom pekerjaan, saya ditulisnya sebagai 'penjual sembako'.

Hidup ini memang indah, kawan...

Selasa, 10 Januari 2012

Jajan Ketinggalan Zaman


DUA hari yang lalu (8 Januari) tempat parkir motor Plasa Marina  terlihat penuh. Saya kira, ini dikarenakan hari Minggu, masih terhitung tanggal muda pula. Menjadikan banyak orang  punya waktu dan dana untuk belanja handphone dan sejenisnya. Begitulah, plasa yang dulunya bernama Sinar Fontana  ini dan sempat terbakar habis  (ketika itu gerai McD baru buka seminggu disitu), kini makin mengukuhkan diri sebagai tempat berbelanja barang IT, khususnya HP. Di Surabaya , kalau saya tidak salah, HiTech Mall  masih menduduki peringkat pertama untuk tempat sejenis. Disusul WTC  baru kemudian Plasa Marina  ini.

Saya lihat, mereka yang akan masuk plasa telah pula menenteng HP. Perkiraan saya, mereka akan tukar tambah ke barang yang lebih baru, dengan segala fiturnya yang menggoda. Tetapi saya kesini tidak dalam rangka itu. Saya masih terlalu cinta dengan N1100 yang sekarang masih setia menemani kemana pun saya pergi.

Masih ditempat itu, tepatnya disudut pintu tempat parkir yang berada diseberang apartemen Puncak Marina, dibawah rimbun bambu hias, saya dapati seorang bapak dengan dagangannya. Sebuah jajajan tradisional, yang sepertinya,  sungguh telah ketinggalan zaman.

Memandangnya, menjadikan saya melemparkan ingatan kemasa lalu. Ketika kemanapun ayah saya pergi, pulangnya, selalu saja sebungkus bipang cap Jangkar  sebagai oleh-olehnya. Sekalipun begitu, sebagai anak-anak, bukan main riangnya saya. Kini, anak-anak saya, saban hari diiming-imingi aneka jajan produk industri  yang berseliweran di iklan televisi. Dengan kemasan yang menarik, dengan harga yang 500 perak sebungkus pun ada. Lengkap. Termasuk, tentu saja ada MSG sebagai penggurihnya.

Bandingkan, coba, dengan jajanan yang dijajakan bapak tua didepan saya ini.

“Harganya lima ribu rupiah dua bungkus,” begitu pak Sagi (55 tahun) ketika saya tanya.

Saya hitung, sebungkusnya berisi delapan keping tipis sejenis kripik yang dibikin dari parutan ketela ini. Tipis saya. Tak lebih dari satu milimeter.

Mahal, tentu saja, bila dibanding Biskuat, Oreo, Gerry Chocolatos  dan semacamnya. Lagian, soal kemasan dan rasa si jajan kuno itu pun kalah telak.

Tetapi, samiler (begitu nama dagangan bapak tua itu saya kenal) masih sering saya lihat dijajakan orang dikota ini. Dan, setiap kali mereka saya tanya asalnya, selalu saja jawabannya sama,”Saya dari Blora.”

Bapak Sagi tersenyum,”Kami memang sekampung,”terangnya sambil menghitung uang kembalian yang akan diberikan kepada seorang pembeli. “Musim hujan begini rada sepi, mas.”

Lebih lanjut ia berkata, dagangan ini tidak dibuatnya sendiri. Tetapi dari membeli keseorang juragan dikampungnya.

“Ambil dagangan dulu lalu dibayar belakangan. Begitu?” tanya saya.

“Tidak, mas. Beli kontan. Lalu, kita yang muter menjajakan. Habis ndak habis ya ditanggung sendiri,” kata pak Sagi yang mengaku mempunyai tiga orang anak (perempuan semua) dan cucu satu yang juga perempuan.

“Sekali berangkat bapak bawa dagangan seberapa?” saya bertanya.

“Ya ndak  mesti, mas. Tergantung berapa kita punya duit untuk kulakan,” jawab pak Sagi yang mengaku rata-rata seminggu sekali pulang untuk kulakan.

Pak Sagi sedang menata dagangannya.

Ketika saya desak untuk menyebut berapa  nominal harga barang dagangan yang dibawanya kekota, lagi-lagi dengan tersenyum pak Sagi menghindar.”Saya ndak  menghitung, mas. Karena kalau dihitung-hitung, malah jadi males kerja. Soalnya dari kulakan dan hasilnya ndak mbejaji. Ya, asal dapat dikit-dikit untuk makan,” kata pak Sagi yang kalau malam tidur di masjid Mapolsek Wonocolo ini.

Tetapi ketika ia bercerita telah melakoni pekerjaan ini lebih dari sepuluh tahun, tentu ada pendapatan  darinya yang bisa menjadi sandaran. Sekalipun, pak Sagi bilang, ia melakukan itu disela kegiatan rutinnya sebagai petani. Sekarang ini dikampungnya, desa Bogowanti kecamatan Ngawen, Blora (Jateng)  sudah selesai musim ‘tandur’.  Sambil menunggu musim panen, ia dan beberapa orang sekampungnya, ke kota untuk berjualan.

Seperti bumi, hidup juga berputar. Dalam putaran itu, dengan utun  pak Sagi dkk berusaha menyusupkan agar samiler  lebih familier ke lidah orang kota masa kini.

Ada, kadang, hal-hal kecil yang bisa memantik setitik motivasi  didapat bukan dari para motivator yang tampil di televisi. Dan sekarang, setelah pertemuan sore itu, saya sedang mencari-cari; adakah yang bisa saya petik  dari pak Sagi.

Salam.*****

Senin, 09 Januari 2012

Onde-onde


JAM berapapun saya transit di terminal Probolinggo, bak pao yang dijual orang bertopi itu tetaplah hangat. Pagi, siang atau tengah malam. Serupa klepon di bundaran Gempol. Tak tahu saya cara penghangatannya.

Tidak demikian dengan si onde-onde. Bukan hangatnya, tetapi besar bulatannya yang sekepalan tangan. Namun ia adalah kue penipu; besar tapi kopong. Seribu pula harganya. Didekat gapura perumahan Gresik Kota Baru arah ke Manyar, ia punya saingan sesama onde-onde. Perlawanan ala David dan Goliath. Onde-onde besar dilawan onde-onde mini. Seribu sebutir dilawan dua ratus rupiah sebiji.

Yang kecil tetapi tidak menipu lebih saya suka. Sebagai camilan, beli lima ribu sudah dapat seplastik. Keunggulannya lagi, ia bisa diperibahasakan menjadi; sekali kunyah, dua-tiga butir terlampaui....
 *****

Minggu, 08 Januari 2012

Puisi untuk Bidadari






























saat-saat kutulis bagian tengah buku ini











diujung kakinya
saat-saat tidak bisa menyelesaikan buku ini...
karena ia memberiku tidur panjang yang cantik
mati indah...
tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang
sehingga buku ini tidak pernah selesai



     BEGITU sebaris puisi yang tertera di back drop kecil di bawah tenda kerucut mungil di sudut kanan depan rumah dr Ananto Sidohutomo. Back drop  itu kental dengan warna merah. Dengan tulisan besar yang lebih menonjol sebagai tajuk dari gelaran gawe ini; Puisi untuk Bidadari.
     Saya duduk manis di deretan kursi kedua di antara sekian banyak sahabat Lan Fang –begitu mereka menyebut diri—yang tidak satu pun mengenal saya. Tak apalah. Toh saya telah ‘kenal’ mereka. Pertama tentu saja shohibul bait, yang sore tadi juga menyampaikan semacam prakata panitia. Juga, tentu saja, mbak Wina Bojonegoro, yang tampil kenes sebagai MC.

     Ya, saya bukanlah siapa-siapa. Tetapi, paling tidak, saya hadir ke sini karena sebuah nama; Lan Fang. Kenalkah saya dengan perempuan hebat kelahiran Banjarmasin 3 Maret 1970 itu? Tidak. Dan, ternyata, yang senasib dengan saya tidak sedikit. Tetapi, walau tidak  mengenal secara fisik orangnya, bukan berarti saya –atau kami--  tidak mengenal karyanya, tulisan-tulisannya, buku-bukunya.

(Foto hasil jepretan salah seorang Sahabat Lan Fang)
     POTRET perempuan cantik berbusana adat Thionghoa itu melirik dengan tatapan mata indah. Sepertinya lirikan itu tepat ke arah duduk saya. Saya GR sejenak. Sejenak saja. Karena jenak berikutnya saya tahu mata indah dalam potret Lan Fang itu -- yang entah difoto kapan --  sedang menatap siapa saja. Misalnya ibu Konjen Amerika Serikat, Kristen F. Bauer, yang duduk di teras depan rumah markas Bidadari  ini.  Atau pak Dukut Imam Widodo dan pak Akhudiat yang ada di belakang ibu Konjen.
     Sementara di depan panggung, sederet dengan saya, ada perwakilan dari penerbit Gramedia Pustaka Utama di kanan saya. Dan di kiri, sekitar enam kursi dari saya, ada begawan sastra; bapak Suparto Brata.
     Belum genap dua Minggu cece Lan Fang berpulang. Ada sudah membuncah kerinduan akan sosok yang meninggal tepat saat hari Natal ini.








rindu kami padamu, Lan Fang





rindu pohon randu




dihinggapi burung  perindu





     Begitu Akhuiat mengungkapkan lewat puisi.

     Sementara, “Lan Fang ini aneh. Dia hapal betul semua tokoh dalam novel-novel saya. Padahal saya sendiri saja sudah lupa,” demikian kata Dukut Imam Widodo (penulis buku-buku tentang Suroboyo. Diantaranya berjudul Surabaya Tempo Doeloe dan Monggo Dipun Badog!).
     Seharian ini, cuaca Surabaya sangat mesra. Panas tidak, mendung gelap pun tidak. Membuat makin sore, makin gayeng  saja acara mengalir. Semengalir orang-orang yang hadir. Sampai-sampai, untuk tempat duduk para sahabat Lan Fang yang terus datang, persis  pada jam 16.19 WIB, digelar tikar dan karpet hijau tepat semeter dari panggung. Sungguh, ini acara sederhana dengan ruh yang tidak sederhana. Sehingga hidangan mi pangsit kelas jalanan pun menjadi menu yang terasa luar biasa mak nyus-nya.
Lan Fang gayeng di Komunitas Pecinta Sastra (Kopi Sareng) pondok pesantren Tebuireng, Jombang. (Foto: akun FB Lan Fang)
     Saya amati satu per satu wajah yang hadir. Dan, sepertinya, saya gagal mendapati sebiji saja yang berbalut sedih. Semua senang. Semua gembira. Ini dia; mengenang seorang sahabat yang berpulang tetapi tidak berduka blas.
     Tentu saja saya keliru. Karena, bisa jadi, kesedihan itu telah berlalu. Kini yang terjadi adalah, sekalipun di sana Lan Fang tidak menjadi bidadari, ia telah berteman para bidadari. Dalam titik ini, sebuah akhir hayat telah menjadi sebentuk  'kematian yang melahirkan'. Kebersamaan, rasa saling empati, dan cinta kasih.
     Dengan begitu, apakah Lan Fang yang keturunan Thionghoa, Budha, mengajar (sastra) di pesantren, dan juga berteman dengan siapa saja ( dari tukang tambal ban, biksu, ulama, pendeta, sampai politikus, dll) sedang dalam perjalanan menuju sorga?
     Bukan tidak mungkin. Dalam baris terakhir puisinya yang berjudul  Janji Puisi, Lan Fang bilang;
    







ternyata,
sorga itu dekat dan sederhana


     Salam.****


Dari kiri, Lan Fang, Yahya Cholil Staquf dan KH Mustofa Bisri. (Foto saya ambil dari akun FB mendiang Lan Fang)
Mendiang Lan Fang bersama sahabatnya, M. Faizi, pengasuh pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep yang juga 'merangkap jabatan' sebagai sastrawan. (Gambar diabadikan oleh Ovie A. Win.)



Sabtu, 07 Januari 2012

Cinta dan Kemiskinan

TUBUH memerlukan pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Akal memerlukan buku-buku, karya seni utk diapresiasi, observasi, dan pergaulan intelektual. Jiwa memerlukan ketenteraman dan cinta. Untuk hidup secara lengkap tubuh, 
akal, dan jiwa, orang harus memiliki cinta. Dan cinta adalah 
hal yg paling musykil diwujudkan oleh kemiskinan.


(dari The Science of Getting Rich, Wattles)

Jumat, 06 Januari 2012

Senin, 02 Januari 2012

B r a n d i n g


LAZIM ditemui, para pedagang asongan yang ikut berjejalan diantara penumpang didalam bis yang menunggu jam keberangkatan, berteriak, “Aqua, Aqua, Aqua...” Padahal, di terminal Probolinggo itu, merek Alamo yang sedang mereka tawarkan.

Dan saya, tak mempermasalahkan. Jadilah, air mineral itu untuk mendorong kunyahan krupuk rambak yang susah melewati tenggorokan. Maka saya guyurkan Aqua cap Alamo demi memperlancar jalan krupuk dari kulit sapi itu menuju lambung saya.

Tentu istilah merek itu tak berhenti sampai disini. Beberapa tahun lalu, almarhumah mertua saya mewanti-wanti saya agar saya jangan salah beli. “Pokoknya aku mau Sanyo yang merek National..”

Tentu sampeyan tahu maksudnya. Sanyo telah menjadi kata lain dari pompa air. Seperti halnya Gillet untuk pisau cukur, Dop untuk bola lampu, Odol untuk pasta gigi, Paralon untuk pipa PVC, Flexi untuk sembarang CDMA dan lain sebagainya.

Dulu, masa kecil saya, orang sekampung selalu menyebut Honda untuk apapun merek sepeda motor. Makanya ada istilah Honda Suzuki, Honda Yamaha atau Honda Vespa!

Kemarin, karena sambungan atap asbes rumah saya yang menempel pada dinding rumah tetangga ada retakan yang menyebabkan air merembes masuk, saya menuju toko bangunan untuk membeli water proofing.

“Beli Aquaproof, om,” saya berkata.

“Yang merek apa?” tanya pemilik 'galangan' yang biasa saya panggil om itu.

Ini dia. Aquaproof sudah merek, masih saja ditanya merek lain?

Lalu, jadilah ia menawari saya beberapa pilihan; “Tinggal pilih, ada Aquaproof merek Water Block, No Drop, Multi Guard dan lain-lain. Sampeyan mau pilih yang mana?”*****