Tampilkan postingan dengan label Bank. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bank. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 November 2011

Hari Baik dalam Klenik #2


AKHIRNYA, dengan didahului ber-basmalah, saya hubungi juga call centre di 63399. Setelah terlebih dulu mengirim SMS ke seorang teman penjual pulsa agar saya dikirimi pulsa senilai 10 ribu rupiah. Kepada mas call centre itu saya ceritakan kronologisnya. Tentu, sebelumnya, saya ditanya tentang aneka data yang memang standard. Misal, tanggal lahir sampai nama ibu kandung. Agar yakin memang sayalah orangnya. Setelah dia yakin tentang keaslian identitas saya sesuai yang ada di data base, saya disuruh menunggu untuk proses selanjutnya. Menunggu, dalam kondisi itu sunguh tidak hanya membosankan. Tetapi juga memutuskan. Pulsa 10 ribu rupiah saya putus asa dalam penantian. Telepon dengan call centre putus.

Kenapa, mas?” tanya seorang kenalan yang rupanya juga akan menarik tunai di ATM di sebelah milik Permata.

Maka saya ceritakan semua gundah-gulana saya.

Iya, ATM ini memang trouble. Kemarin juga ada yang uangnya tidak keluar,” paparnya.

Langgeng, begitu nama kenalan yang sekian belas tahun lalu setuan rumah ketika kost di Rungkut Kidul, menyarankan saya ke kantor cabangnya saja. Dia juga menunjukkan alamatnya.

Selebihnya, sudah menjadi kebiasaan saya, ketika mengalami peristiwa menyangkut suatu pelayanan sebuah institusi, selalu juga saya kabarkan ke dua stasiun radio yang nomor teleponnya sudah tersimpan di ponsel 1100 tua saya ini. Pertama, Suara Surabaya. Kedua El Shinta. Dan, seperti biasa pula, El Shinta-lah yang melakukan panggilan balik untuk menanyai saya tentang kejadian yang saya alami secara lebih runut.

Karena masih pagi sekali, saya pulang saja dengan rencana jam delapan nanti ke kantor bank-nya. Jam tujuh, ketika saya di rumah, El Shinta telepon lagi. Mengabari kalau redaksi sudah menghubungi pihak PermataBank. Dan jam delapan nanti saya diarahkan untuk menemui seseorang di kantor cabang Jemursari. Sungguh saya tidak menyana El Shinta telah bergerak cepat untuk membantu saya.

Di Suara Surabaya, saya ingat memang pernah melakukan registrasi untuk data saya, tepi di El Shinta, tak pernah sekalipun saya melakukannya. Dan, tetapi pihak redaksinya ketika menelepon saya selalu menyebut dengan benar nama saya. Kecurigaan saya satu; ada kru el Shinta yang dulu kerja di Suara Surabaya ikutan membawa data saya!

Jam yang telah saya tentukan saya ke kantor Permata. Dilayani costumer service. Namanya Keni. Intinya pihak Permata meminta maaf atas ketiknyamanan saya. Selebihnya, mbak Keni ini beberapa kali minta ijin meninggalkan saya untuk masuk ke ruang atasannya. Saya curiga, ada sesuatu dengan data saya. Dan benarlah adanya, "Maaf, bapak tadi sudah menghubungi PermataTel?" tanyanya kemudian.

Tentu saya iyakan. Ketika ia membaca hasil print data saya, juga saya iyakan. Bahwa saya pada jam 05.47 WIB tanggal 10 November 2011 telah menghubungi 63339 tetapi hubungan telepon terputus.

"HP saya low batt," saya berbohong. Karena, yang benar pulsa saya habis. (Astaghfirullah hal adhiim, kenapa untuk hal yang tak perlu ini saya mesti berbohong? Sungguh itu saya sadari sebagai ibarat seorang pemain bola yang melakukan sliding keras jauh didepan daerah berbahaya sendiri. Sebuah tindakan yang tak perlu yang sangat merugikan, karena bisa-bisa kena kartu kuning.)

"Begini, pak. Karena bapak sudah menghubungi call centre, penanganan klaim transaksi bapak yang gagal tidak bisa kami ambil alih. Itu sudah menjadi kewenangan pusat."

Menyadari saya agak kurang ngeh dengan penjelasannya, mbak Keni melanjutkan. Begini;" Sesuai data yang ada pada kami, komplain bapak sudah ditangani. Dengan nomor komplain SNSGTOQ00009. Dengan    waktu penyelesaian tiga hari kerja. Berarti tanggal 15 November bapak sudah bisa cek di ATM. Tetapi kalau masih belum masuk, bapak bisa hubungi 63339 lagi."

Saya sedikit tenang, walau dalam hati belum plong.


Senin sore, sepulang saya dari kerja, saya mampir ke ATM. Dengan rasa dag dig dug saya ingin mengecek, uang saya sudah balik apa belum. Dan.... oh, kok masih belum. Saya coba sekali lagi, sama. Saldo uang saya masih belum bertambah 1,5 juta!


Dalam perjalanan pulang kerumah, saya menyusun langkah. Komplain lagi ke 63339 atau 'lapor' ke radio El Shinta dulu. Tetapi, beberapa saat setibanya dirumah, hal pertama yang saya lakukan adalah sholat maghrib dulu. Saya rasa, Allah lebih penting dilapori pertama kali.

Hasilnya? Sungguh luar biasa. Beberapa saat setelah salam, saya dapat petunjuk; hari ini masih Senin. Masih tanggal 14! Belum tangal 15. Tanggal yang dijanjikan sebagai waktu penyelesaian komplain saya.

Masih ada waktu. Ya, ada waktu untuk was-was. Kalau mesin ATM itu memang trouble tentu uang saya masih bisa kembali. Tetapi kalau anjungan tunai mandiri itu sengaja di'akali' oleh orang nakal dengan cara sedemikian rupa, tentu duit saya wassalam.


Maka, seperti mengulang adegan sebuah sinema, Selasa sore, masih juga sepulang kerja, saya melakukan yang saya lakukan Senin sore. Persis. Tetapi hasilnya saya sangat berharap tidak persis.

Dan, setelah memasukkan PIN, lalu cek saldo, lalu.... alhamdulillah yah. Duit saya sudah balik 'pulang'.

Rabu, 16 November 2011

Hari Baik dalam 'Klenik' (1)


UNTUK banyak urusan, masih saja ada yang percaya pada klenik. Ada saya jumpai, seorang pengusaha sukses, berwawasan modern, tetapi ketika menggelar acara ditempat terbuka, ia masih kurang PD bila tidak menggunakan pawang hujan. Itu dianut orang kota yang notabene pola pikirnya sangat maju. Apalagi bagi bapak saya didesa sana. Maka, klenik never die...

Untuk urusan memotong pohon bambu sebagai bahan bangunan rumah saja, orang didesa saya harus memilih hari baik. Karena, menurut mereka, bila memotong bambu disembarang hari tanpa perhitungan yang matang, sungguh bambu itu akan cepat rusak. Agak sukar diterima akal, tetapi begitulah kepercayaannya.

Saya, sekalipun tak pinter-pinter amat, tetapi sekaligus tidak ndeso-ndeso amat, sangatlah tidak mengerti perhitumgan Pon-Kliwon dan hari-hari baik lainnya. Tetapi, ketika menikah dulu, saya juga dicarikan hari baik. Alhamdulillah, sampai sekarang, rumah tangga saya tak pernah diliput dan digossipkan di infotainment. Hehehe, lha memang bukan selebritas!

Ketika Edwin minta kamar sendiri sementara rumah saya selama ini masih 'setengah badan' (baca: cuma mampu membangun bagian belakang saja), maka --karena si kamar masih 'tidur'-- saya harus membangunkan dulu. Konsepnya minimalis sekali. Sesuai kapasitas dompet saya yang memang selalu minimalis.

“Tanya mbah Kung dulu. Hari baik untuk bangun kamar itu kapan,” istri saya ber-klenik-ria.

Ketika mudik lebaran kemarin, mbah Kung memberi ancer-ancer. Bulan apa saja, yang penting kalau ketemu Kamis Pahing, Jumat Pon, Sabtu Wage dan Minggu Kliwon itu baik semua.

Baiklah. Ternyata hari-hari itu di bulan Syawal tukangnya masih menggarap tempat lain. Sementara di bulan Sela, pak tukang pantangan memulai membangun rumah. Maka, pilihan disepakati pada bulan Besar. Kamis Pahingnya bertepatan dengan tanggal 10 Nopember. Bertepatan dengan hari Pahlawan. Wah, benar-benar hari baik ini.

“Hari baik itu kalau pas punya uang. Sekalipun Kamis Pahing atau Minggu Kliwon tetapi kalau tidak ada duit, ya tidak bagus memulai bangun rumah,” celetuk kakak saya ketika itu.

Ya, uang.
Untuk keperluan belanja material dihari pertama pembangunan kamar Edwin, pagi-pagi sekali saya ambil sejumlah uang di ATM bank Permata di JS Plasa (dulu Sinar Jemursari). Saya berencana menarik tiga juta rupiah. Dan karena mesin ATM hanya membatasi 1,5 juta dalam sekali pengambilan, saya bagi menjadi dua kloter. Kloter pertama sukses mendarat dengan selamat ditangan saya. Giliran 1,5 juta kedua, setelah bunyi laiknya uang akan muncul dan tangan saya siap didarati kloter kedua, tiba-tiba mulut ATM tertutup rapat. Malah menjulurkan struk transaksi yang sudah kepotong. Nah lho!

Ini dia. Saya agak panik. Uang satu setengah juta, men...
Sementara untuk menghubungi call centre yang menempel dimesin ATM, saya juga ragu. Jangan-jangan itu hasil tempelan tangan nakal seperti sering (dulu) diberitakan televisi. Tetapi, ya harus ada yang saya hubungi saat itu juga. Karena untuk ke kantor bank bersangkutan di jam setengah enam pagi begitu, mana ada yang buka!

Padahal ini hari pilihan. Tetapi kenapa justru saya mengalami hal tidak baik malah dihari baik?

(bersambung)

Selasa, 08 November 2011

Saya Pernah Menjadi WNA


SETTING catatan harian saya kali ini masih se-TKP dengan tulisan sebelumnya. Yaitu sebuah bank swasta nasional yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat kerja saya. Kesitulah saya menuju setiap kali setor tunai. Biasanya saya lakukan disaat istirahat siang.

Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Tiga ratus ribu (atau sering kurang dari itu) sebulan atau kadang tiga bulan sekali, akhirnya lumayan. Untuk menyiasati agar tidak sedikit-sedikit saya ambil, sejak awal memang saya tidak meminta kartu ATM. Dulu saya membuka rekening sebenarnya di Rungkut, dekat tempat tinggal saya. Tetapi karena letak kantor cabang pembantu itu lebih dekat dengan kantor saya, kesitulah saya lebih sering bertransaksi.

Setahun lebih sekian bulan kemudian, buku tabungan saya penuh. Sekalipun tidak penuh uang, tetapi telah tiba saatnya ganti buku. Setelah tanya teman, ternyata untuk mengganti buku baru, saya tidak perlu ke kantor dimana saya buka rekening dulu. Di capem manapun bisa.

“Mau ganti buku,” jawab saya ketika seorang satpam membukakan saya pintu kaca.

Dengan sopan dia menunjuk ke sebuah tempat di sudut kiri depan. Lebih depan ketimbang deretan tiga orang teller. Pada papan dimejanya tertera; Customer Service.

“Selamat siang, pak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa berhias senyum itu menerpa saya.

Setelah saya duduk manis didepan si customer service yang teramat manis itu, saya utarakan maksud saya. Ia meminta buku lama saya yang penuh sesak oleh catatan transaksi potongan pajak dan bunga yang tak seberapa, dibanding setoran yang tak tentu munculnya.

Setelah menerima buku tabungan, ia mencocokkan dengan data base  di komputer. Beberapa saat kemudian, ia memandang saya sambil mengernyitkan dahi. Oh, rupanya ia lupa-lupa ingat wajah saya. Sering orang menyangka saya ini artis yang sering nongol disinetron. Hehehe...

“Bapak WNA?!”

Saya tak siap mendapat pertanyaan itu.
Dan setahu saya, Lamongan, domisili saya sesuai KTP, belum memisahkan diri dari Indonesia. Juga, kalau data itu sampai menyangkut kota kelahiran saya; Jember-pun masih dalam wadah NKRI.

“Tetapi didata kami, bapak WNA,” si costumer service menyangkal keterangan saya.

Lhadalah. Makanya saya sering heran, setiap setor tunai yang tak seberapa itu, selalu saja saya dimintai biaya administrasi secara tunai. Tidak besar sih. Cuma 3000 rupiah per transaksi. Yang saya heran, lha saya setor untuk rekening saya sendiri kok dikenakan biaya. Tetapi karena saya memang baru kali itu punya rekening di bank, saya anggap memang begitu peraturannya.

“Maaf, pak. Kami tidak bisa memprosesnya disini. Bapak harus ke kantor dimana bapak buka rekeing ini dulu,” mbak CS itu berkata.

“Kantor capem di Rungkut sudah tidak ada, mbak. Saya tidak tahu pindah kemana.”

“Kalau begitu, bapak bisa ke kantor kami di Kendangsari.” ia menjelaskan.

Jelasnya, ini makin tidak jelas.


Besoknya saya ke Kendangsari. Manisnya wajah sang costumer service, sudah tak terlalu saya perhatikan. Feeling saya, urusan mengubah kewarganegaraan saya ini tidak mudah.

“Maaf, pak, atas kesalahan kami,” kata CS di Kendangsari.

Ya, tentu saya maafkan, batin saya.

“Begini, pak. Daripada mengubah status kewarganegaraan bapak yang makan waktu lama, lebih baik bapak membuka rekening baru. Dan nanti uang yang direkening lama dipindahbukukan ke rekening baru. Bagaimana, pak?”

Tentu saja saya setuju. Yang penting status saya aman. Uang saya juga aman.

Jadilah saat itu juga saya membuka rekening baru. Membuat data baru. Termasuk tentu saja ditanya nama ibu kandung. Juga membayar dua lembar materai. Baru setelahnya mbak CS yang ramah itu meminta KTP saya untuk difoto copy.

Ia memerhatikan KTP saya. “Lho, kok KTP Lamongan, pak?”

Perasaan saya tidak enak lagi.

“Maaf, pak. Dulu memang bisa membuka rekening di Surabaya pakai KTP luar kota. Tetapi peraturan baru, kami tidak diperkenankan begitu lagi, pak.”

“Lalu saya harus bagaimana, mbak?”

“Bapak harus membuka rekening baru di kota bapak.”

Wih, menjadi WNA ternyata kok urusan menjadi ruwet begini. Tetapi mau bagaimana lagi. Kalau saya berkeras menaturalisasi status WNA saya dengan menjadi warga negara Indonesia, tentu ini bukan dalam rangka sok nasioalis. Ini perkara uang! Sekalipun jumlahnya tak seberapa.

Setelah urusan kewarganegaraan saya kembali, dengan membuka rekening baru bukan di bank itu, saya ayem. Lebih ayem lagi ketika uang saya ketika menjadi WNA itu telah berhasil pindah tempat ke rekening baru. Di bank baru itu, saya kembali menjadi WNI. *****

Senin, 07 November 2011

Setor Tunai


KANTOR capem bank ini mempunyai tiga teller. Satu khusus BG dan sejenisnya, yang dua untuk transaksi tunai. Untuk non tunai cenderung sepi, tetapi tidak demikian dengan yang tunai. Antrean mengekor lumayan panjang. Tetapi saya lihat teller 2 lebih pendek ekornya ketimbang teller 3. Kesitulah saya bergabung. Berdiri persis dibelakang lelaki seusia saya dengan sandal jepit dan jaket kumal. Ia menyandang tas yang tak kalah kumalnya.

Setelah beberapa menit, saya sudah berada di urutan ketiga. Si teller sedang melayani seorang wanita muda yang wajah dan penampilannya membikin ruang yang sudah sejuk ini menjadi makin sejuk. Ramah sekali sang teller melayaninya. Dan, dari nada bicaranya, sepertinya mereka memang sudah saling kenal. Sambil menghitung setoran tunainya yang lumayan banyak, mereka terus saja tertawa-tawa. Begitulah, wanita kalau sudah akrab, selalu saja bikin ramai.

Akhirnya selesai sudah. Beberapa bendel uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan masuk ke laci teller. Harum parfumnya semerbak ketika wanita cantik itu beringsut keluar dari antrean dan berjalan aduhai disamping saya. Sekarang si lelaki kumal itu maju ketampil.

Tetap dengan ramah sang teller menyambut. Senyum dan salam meluncur standard front liner. Hebat betul para teller itu. Tak peduli berpenampilan bagaimana, si nasabah selalu mendapat sambutan ramah.

Lelaki kusut itu menyodorkan selembar slip transaksi. Dari warnanya saya tahu, ia akan setor tunai. Kertas itu sewarna dengan yang sedang saya pegang. Pada nominal yang saya tulis, tertera angka tiga ratus ribu rupiah. Bagi saya, itu angka yang lumayan tinggi sebagai nilai tabungan per bulan.

Saya melirik jam dinding. Menurut perkiraan, tak lebih dari sepuluh menit lagi pasti transaksi saya sudah selesai. Dan segera kembali ke tempat kerja. Karena, masih menurut dugaan saya, paling-paling lelaki kumal itu juga akan setor sekitar nominal saya.

Saya sudah merogoh saku dan mengeluarkan enam lembar uang lima puluh ribuan ketika lelaki kumal itu juga mengeluarkan isi ransel bututnya. Isinya? Bikin dompet saya  semaput!

Saya mendengus pelan. Melirik antrean di teller 3 yang masih mengular. Lirikan berikutnya, jam dinding yang menjadi sasaran. Alamat terlambat balik kantor, nih, batin saya.

Pasalnya, isi perut tas kumal itu uang berjejal-jejal. Penuh. Jauh diatas nilai uang yang saya genggam sampai keringetan ini. Dan, uang lelaki itu terdiri dari aneka nominal. Bisa dibayangkan, butuh waktu lama si teller untuk 'membereskannya'.

Tak perlu mencari tahu itu uang sendiri atau hanya disuruh majikannya, hari itu, dikantor capem bank itu, saya benar-benar membuktikan kebenaran dari sebuah pepatah. Jangan menilai buku hanya dari sampulnya.

Salam.