Tampilkan postingan dengan label Menjajal Sinyal Siaran TV Digital. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menjajal Sinyal Siaran TV Digital. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Maret 2021

Antara PF-209 dan Polytron PDV600T2

KEMARIN saya beli set top box lagi. Dari merk terkenal, Polytron. Type PDV 600T2. Saya sudah punya set top box, sebenarnya. Yang saya beli sudah lama sekali. Jauh sebelum saya banting setir mencari jalur langit, tracking tv satelit.

Gara-garanya, waktu sekitar tujuh tahun yang lalu itu, geliat migrasi tv analog ke digital lelet sekali. Saya dikompori teman agar dolanan jalur langit saja. Dan saya turuti. 

Sekarang geliat migrasi analog ke digital sudah ada kepastian. November 2022. Istilahnya ASO alias Analog Switch Off. Saat mana semua siaran televisi di Indonesia harus sudah berhenti bersiaran analog. Harus beralih ke kanal digital. Sebuah deadline yang disambut suka cita teman-teman pemerhati siaran televisi. Juga oleh pemirsa yang ingin gambar di layar tv menjadi clink, bening.

Terlebih bagi yang telah punya pesawat tv yang sudah support DVB-T2. Yang selama ini terpaksa cuma untuk menangkap siaran analog. 

Hal lainnya lagi adalah mulai ramai kembali peredaran set top box. Ini untuk golongan kaum seperti saya; kaum yang pesawat tivinya masih analog. Agar bisa menangkap siaran digital tidak bisa tidak, kudu pakai alat yang namanya set top box itu.

Baiklah, di bawah ini saya akan tampilkan foto perbandingan penangkapan antara dua set top box milik saya. (Dalam membuat perbandingan ini, yang berbeda hanya set top box-nya saya. Sedangkan pesawat tivi dan antenanya tetap sama.)

Nah, antara set top box PF-209 dan Polytron PDV 600T2, sakti mana dalam menangkap sinyal tivi digital terrestrial?

MUX Viva

MUX Media Grup

MUX Trans

MUX Grup Emtek.

MUX TVRI

Itulah penampakannya. Sakti mana? Beda tipis sepertinya. Pada PF-209 sinyal MUX Emtek terdetek, sedangkan pada Polytron tiada penampakan batang sinyal sama sekali. Walau demikian, menggunakan PF-209, saat di-scan tetap zonk pada pesawat tv saya.

Jadi, apa set top box andalan Anda? ****


Rabu, 05 November 2014

Tips Membeli Set Top Box

SAYA agak merasa bersalah ketika membuat artikel tentang kepekaan set top box dan mendapat lumayan banyak tanggapan/komentar. Sebagian besar menanyakan set top box merek apa yang pada artikel itu memang tidak saya sebut secara gamblang. Sebagian lainnya menanyakan set top box merek apa yang layak direkomendasikan. 
 
Sebagai hal yang menyenangkan, tentu saja, ketika masyarakat pemirsa relatif antusias menyikapi isu siaran televisi digital. Isu? Ah, barangkali agak kurang tepat juga saya mengistilahkan hal itu sebagai isu belaka. Tetapi saya agak kesulitan menemukan kosa kata yang pas untuk menggambarkan perkembangan siaran televisi digital terrestrial yang progress-nya cuma begitu-begitu saja.

Baca juga: Selamat tinggal siaran tv digital terrestrial.

Bisa jadi saya salah. Bisa jadi, karena sudah agak lama saya tidak menghidupkan STB, sekarang siaran tv digital sudah berisi ratusan konten/channel. Anda, yang tidak seperti saya, yang tidak kehilangan kekhusyu'an dan kesabaran setiap kali menghidupkan reciever cuma mendapati maksimal empat MUX yang belum 'tiarap', sekarang sudah girang bukan kepalang menikmati aneka tayangan dari sekian banyak frekuensi yang ada. Disaat Anda beruntung begitu, anggap saja sebagai manusia yang ketinggalan zaman!

Kembali ke soal awal; tentang set top box. Jujur, saya juga sudah agak kurang update tentang perkembangan merek-merek STB. Sekarang saya buka saja; set top box yang saya punya adalah Bomba (masih DVB-T1),TCL, Getmecom-HD9 dan PF-209. Yang mana yang terbaik diantara semua itu?

Sebagai yang masih DVB-T1, Bomba tak usah ikut dibahas. Sedang si TCL, yang tepat setahun saya pakai tunner sudah tidak berfungsi, juga abaikan saja. Sehingga praktis yang saya pakai sekarang cuma Getmecom-HD9 dan PF-209.

Getmecom-HD9 saya ini, sayangnya juga penangkap sinyalnya sudah agak 'tumpul'. Penjelasan dari ini adalah, ketika sinyal dari MUX MNC grup (Channel 41) yang oleh PF-209 masih bisa ditampilkan, pada Getmecom-HD9 sama sekali tidak ada penampakan. Begitu juga MUX Emtek di kanal 29. Pendek kata, punya saya yang PF-209 lebih tajam dalam menangkap signal dibanding si Getmecom-HD9.

Eits, tetapi tunggu dulu. Ini pengalaman pribadi saya dan jangan buru-buru di-gebyah uyah semua Getmecom-HD9 tumpul dan PF-209 tajam. Bisa jadi ini kasuistis semata, namanya juga barang elektronik. Atau Anda punya pakem/patokan tertentu yang bisa dijadikan simpulan atas hal tersebut.

Tetapi, masih tentang set top box yang adalah barang elektronika, layanan purna jual layak dijadikan pertimbangan sebelum membeli barang. Jangan sampai, sudah mahal-mahal membeli, saat ada trouble, tak tahu kita harus membawanya kemana. Ini saya alami ketika STB merek TCL yang saya punya. Saat tunner-nya tidak berfungsi begitu, tak tahu saya harus menyembuhkannya kemana, karena tak tahu dimana letak Service Center-nya. Iya, layanan after sales-nya harus ada, syukur-syukur itu ada di dekat kita. 
 
Sampai disini tentu sudah agak jelas; bahwa hanya merek-merek tertentu saja yang didukung Cervice Centre yang tidak abal-abal. Bahkan, di Surabaya ini, tak tahu dimana letak layanan after sales dari si Getmecom-HD9. (Tentang ini, tentu saya bisa baca di manual book-nya). Tetapi, saat saya baca buku manual dari si PF-209 (yang ternyata merek ini bukan milik dari produsen antena PF yang sudah kita kenal), tempat yang disebut Service Center adalah sebuah toko peralatan antena/parabola di sudut jalan Genteng Besar. Toko yang nampak kusam itu (secara tampilan bukan bandingan bila disandingkan dengan service center Polytron di jalan Nginden atau service center Akari di jalan Kalimantan) membuat saya ragu itu sebagai Service Centre, tetapi saya curiga ia hanya dipinjam namanya untuk kalau ada orang membawa set top box PF yang sedang 'sakit' ke situ (kalau masih dalam masa garansi) langsung diganti baru saja. Lalu, bagaimana kalau batas masa garansi sudah expired? *****


Minggu, 11 November 2012

Menjajal Sinyal Siaran TV Digital


SAYA tidak hapal betul berapa sinyal televisi yang bisa ditangkap pesawat televisi saya. Atau begini saja, kalau sampeyan juga bukan pelanggan televisi berbayar seperti saya, dan hanya mengandalkan antena PF pada umumnya, mari bersama kita hitung berapa stasiun televisi yang ada di kota kita, Surabaya.

Baik, mari kita mulai menghitung; TVRI Nasional (stasiun televisi yang setia bermain di kanal VHF), TVRI-Surabaya (sudah UHF), RCTI, SCTV, ANTV, MNCTV (dulu TPI), GlobalTV, Indosiar, TransTV, Trans|7 (dulu TV7), MetroTV, TVOne (dulu Latifi), SindoTV/ MHTV, KompasTV/bctv, JTV, SBO, BBS, SurabayaTV, ArekTV, MNTV/B-Channel, TV9, Space Toon. Dan harus diakui, dari begitu banyak stasiun televisi yang ada (lokal maupun nasional), yang saban hari kita tonton paling-paling ya stasiun yang itu-itu saja.

Kualitas gambar siaran TV digital begitu cling, bebas 'kepyur'.
(Gambar saya ambil dari tvkuindo.wordpress.com)
Siaran televisi gratisan itu, tentu tak terlalu banyak bila dibanding dengan yang disediakan jaringan televisi berbayar yang gencar sekali menggaet pelanggan baru. Tetapi, konon masih sedikit sekali prosentase orang Indonesia yang berlangganan televisi dibanding negara-negara lain. Ini yang lalu menjadikan beberapa penyedia layanan terus menggenjot jumlah customer. Yang terbaru adalah, kelompok usaha Bakrie tertarik ikut bermain di ladang yang masih dianggap basah ini. Lewat bendera VivaSky, ia akan menantang dominasi Indovision sebagai pemimpin pasar. Dan sepertinya, sebagai pemain baru, VivaSky akan menggunakan momen Piala Dunia 2014 Brasil sebagai salah satu menu andalan jualannya. Karena, sebagaimana kita tahu, Viva (yang membawahi TVOne dan ANTV) adalah juga pemegang hak siar gelaran sepak bola terakbar sejagad itu di Indonesia.

Itu soal lain.
Hal lain yang  juga kita tahu adalah, rencana pemerintah untuk men-switch-off semua pemancar televisi analog pada tahun 2018. Dan sebagaimana juga telah ditetapkan, Indonesia akan menggunakan sistem digital berjaringan. Artinya, siaran televisi itu masih dipancarkan melalui tower-tower sampai menjangkau antena penerima di area tertentu. Beberapa pihak mengatakan ini lebih mahal ketimbang, misalnya, sinyal digital itu langsung dipancarkan dari satelit. Hitungannya, dengan memanfaatkan satu satelit saja, siaran sudah bisa menjangkau semua wilayah Indonesia. Dengan begitu, tidak diperlukan lagi tower-tower di banyak kota.
Yang jelas, nantinya, kalau semua siaran telah berteknologi digital, bagi pemilik televisi analog seperti saya dan belum mampu membeli pesawat televisi keluaran terbaru yang berteknologi digital, harus membeli satu perangkat tambahan sebagai penerima sinyal, kemudian dimasukkan ke pesawat televisi melalui kabel AV. Dengan begitu, kualitas gambar menjadi lebih cling, menjadi lebih bening.

Artikel terkait: Selamat tinggal siaran televisi digital terrestrial.

Yang pening adalah, para pengusaha televisi lokal yang telah menanamkan modal begitu besar sejak pemerintah mengizinkan tumbuh suburnya stasiun televisi bahkan di kota-kota kecil ini. Sebabnya, dengan regulasi itu, ketika semua stasiun harus bersiaran digital, para pengelola televisi lokal itu keberatan membeli perangkat digital yang terbilang mahal. Jangankan membeli peralatan baru, untuk biaya operasioanl saja, sejak berdiri sampai sekarang modal belum impas.

“Sebagian besar stasiun televisi lokal masih pakai teknologi analog. Terus bagaimana alat-alat itu? Apa mau dijadikan besi tua?” tanya Agung Dharmajaya, perwakilan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dalam seminar Siaran Televisi Digital antara Keinginan dan Kenyataan yang digelar di Aula Gedung C Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair (3/11/12) sebagaimana diwartakan Radar Surabaya.

Dengan alat DVB-T ini kita bisa
menerima sinyal digital untuk
pesawat tv kita yang masih analog.
(Sumber gambar: tvkuindo.wordpress.com)
Tahun 2018 masih lima tahun lagi. Masih ada waktu untuk menabung dan membeli pesawat televisi baru, atau minimal membeli seperangkat set top box yang harganya masih ratusan ribu itu. Beruntung, kemarin saya mendapat kiriman Digital Video Broadcasting- Terrestrial (DVB-T) dari seorang blogger kenalan saya di dunia maya.

Lewat alat itu, saya sempat menjajal sinyal siaran televisi digital di Surabaya. Karena, dengar-dengar, selain TVRI, Metro TV telah bersiaran digital juga di Surabaya. Tentu saja televisi lain segera menyusul, sebagaimana telah beberapa stasiun televisi besar lakukan di Jakarta dan Bandung.

Pemasangan alat DVB-T itu gampang sekali. Alat tipis mungil dengan berat kurang dari sekilo itu hanya membutuhkan daya listrik sebesar 10 Watt. Cara install-nya; kabel antena saya yang masih UHF itu saya cabut dari pantat televisi dan saya colokin ke pantat DVB-T. Terus, ‘hubungan badan’ antara pesawat televisi dan set top box itu saya tautkan memakai kabel AV.

Lalu saya putar pesawat televisi saya pada posisi AV. DVB-T saya ‘on’ kan, kemudian saya setting pencarian otomatis (karena kalau setting manual saya kurang paham, beda banget dengan cara setting manual pada pesawat televisi analog), dan; jreng, jreng! Ada enam siaran tertangkap sinyalnya.  Dan semuanya milik TVRI! Entah kemana MetroTV yang kabarnya telah bersiaran digital di Surabaya.
Kanal TVRI-4, salurun khusus olahraga.
Dari enam sinyal yang ketangkap itu, hanya tiga yang bergambar. Satu; TVRI Nasional,  dua; TVRI-Surabaya. Sementara, tiga; TVRI-3 hanya muncul gambar ‘pelangi’ sebagaimana siaran uji coba sebuah stasiun televisi. TVRI-1, TVRI-2, dan TVRI-4 hanya muncul nama saja.

Mutu gambar digital terlihat lebih jelas. Tidak ada lagi ‘kepyur’ sedikitpun. Karena dalam teknologi siaran digital, hanya ada dua kemungkinan; gambar tertangkap jelas karena sinyal kuat, atau gambar tidak akan nampak sama sekali kalau sinyal kurang kuat. Tidak seperti sistem analog, yang kalau sinyal kurang sempurna, gambar tertangkap berbonus semut berbaris alias remeng-remeng. (ini saya ingat ketika di kampung dulu, dan di kota saya tower pemancar belum ada. Walau orang telah memasang antena sedemikian tinggi, karena jarak kota saya dan Surabaya --tempat menara pemancar-ulang stasiun televisi swasta kala itu berada-- sedemikian jauhnya, maka gambar yang muncul di layar kaca sangatlah kabur. Sekalipun begitu, penonton tidak kabur. Ini dikarenakan, ingin menikmati menu lain setelah sekian puluh tahun hanya menikmati menu olahan TVRI). *****

NB: Anda juga bisa membaca tulisan saya yang khusus bicara tentang dunia televisi di alamat www.sisitelevisi.wordpress.com