SAYA tidak hapal
betul berapa sinyal televisi yang bisa ditangkap pesawat televisi saya. Atau begini
saja, kalau sampeyan juga bukan pelanggan televisi berbayar seperti saya, dan
hanya mengandalkan antena PF pada umumnya, mari bersama kita hitung berapa
stasiun televisi yang ada di kota kita, Surabaya.
Baik, mari kita mulai menghitung; TVRI Nasional (stasiun
televisi yang setia bermain di kanal VHF), TVRI-Surabaya (sudah UHF), RCTI,
SCTV, ANTV, MNCTV (dulu TPI), GlobalTV, Indosiar, TransTV, Trans|7 (dulu TV7), MetroTV,
TVOne (dulu Latifi), SindoTV/ MHTV, KompasTV/bctv, JTV, SBO, BBS, SurabayaTV,
ArekTV, MNTV/B-Channel, TV9, Space Toon. Dan harus diakui, dari begitu banyak
stasiun televisi yang ada (lokal maupun nasional), yang saban hari kita tonton
paling-paling ya stasiun yang itu-itu saja.
 |
Kualitas gambar siaran TV digital begitu cling, bebas 'kepyur'.
(Gambar saya ambil dari tvkuindo.wordpress.com) |
Siaran televisi gratisan itu, tentu tak terlalu banyak bila
dibanding dengan yang disediakan jaringan televisi berbayar yang gencar sekali
menggaet pelanggan baru. Tetapi, konon masih sedikit sekali prosentase orang
Indonesia yang berlangganan televisi dibanding negara-negara lain. Ini yang
lalu menjadikan beberapa penyedia layanan terus menggenjot jumlah customer. Yang
terbaru adalah, kelompok usaha Bakrie tertarik ikut bermain di ladang yang
masih dianggap basah ini. Lewat bendera VivaSky, ia akan menantang dominasi
Indovision sebagai pemimpin pasar. Dan sepertinya, sebagai pemain baru, VivaSky
akan menggunakan momen Piala Dunia 2014 Brasil sebagai salah satu menu andalan
jualannya. Karena, sebagaimana kita tahu, Viva (yang membawahi TVOne dan ANTV)
adalah juga pemegang hak siar gelaran sepak bola terakbar sejagad itu di
Indonesia.
Itu soal lain.
Hal lain yang juga kita tahu adalah,
rencana pemerintah untuk men-switch-off semua pemancar televisi analog pada
tahun 2018. Dan sebagaimana juga telah ditetapkan, Indonesia akan menggunakan
sistem digital berjaringan. Artinya, siaran televisi itu masih dipancarkan
melalui tower-tower sampai menjangkau antena penerima di area tertentu. Beberapa
pihak mengatakan ini lebih mahal ketimbang, misalnya, sinyal digital itu
langsung dipancarkan dari satelit. Hitungannya, dengan memanfaatkan satu
satelit saja, siaran sudah bisa menjangkau semua wilayah Indonesia. Dengan begitu,
tidak diperlukan lagi tower-tower di banyak kota.
Yang jelas, nantinya, kalau semua siaran telah berteknologi
digital, bagi pemilik televisi analog seperti saya dan belum mampu membeli
pesawat televisi keluaran terbaru yang berteknologi digital, harus membeli satu
perangkat tambahan sebagai penerima sinyal, kemudian dimasukkan ke pesawat
televisi melalui kabel AV. Dengan begitu, kualitas gambar menjadi lebih cling,
menjadi lebih bening.
Artikel terkait:
Selamat tinggal siaran televisi digital terrestrial.
Yang pening adalah, para pengusaha televisi lokal yang telah
menanamkan modal begitu besar sejak pemerintah mengizinkan tumbuh suburnya stasiun
televisi bahkan di kota-kota kecil ini. Sebabnya, dengan regulasi itu, ketika
semua stasiun harus bersiaran digital, para pengelola televisi lokal itu
keberatan membeli perangkat digital yang terbilang mahal. Jangankan membeli peralatan baru, untuk biaya operasioanl
saja, sejak berdiri sampai sekarang modal belum impas.
“Sebagian besar stasiun televisi lokal masih pakai teknologi
analog. Terus bagaimana alat-alat itu? Apa mau dijadikan besi tua?” tanya Agung
Dharmajaya, perwakilan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dalam seminar
Siaran Televisi Digital antara Keinginan dan Kenyataan yang digelar di Aula
Gedung C Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair (3/11/12) sebagaimana
diwartakan Radar Surabaya.
 |
Dengan alat DVB-T ini kita bisa
menerima sinyal digital untuk
pesawat tv kita yang masih analog.
(Sumber gambar: tvkuindo.wordpress.com) |
Tahun 2018 masih lima tahun lagi. Masih ada waktu untuk
menabung dan membeli pesawat televisi baru, atau minimal membeli seperangkat
set top box yang harganya masih ratusan ribu itu. Beruntung, kemarin saya
mendapat kiriman
Digital Video Broadcasting- Terrestrial (DVB-T) dari seorang blogger kenalan saya di dunia maya.
Lewat alat itu, saya sempat menjajal sinyal siaran televisi digital di Surabaya.
Karena, dengar-dengar, selain TVRI, Metro TV telah bersiaran digital juga di
Surabaya. Tentu saja televisi lain segera menyusul, sebagaimana telah beberapa
stasiun televisi besar lakukan di Jakarta dan Bandung.
Pemasangan alat DVB-T itu gampang sekali. Alat tipis mungil
dengan berat kurang dari sekilo itu hanya membutuhkan daya listrik sebesar 10
Watt. Cara install-nya; kabel antena saya yang masih UHF itu saya cabut dari
pantat televisi dan saya colokin ke pantat DVB-T. Terus, ‘hubungan badan’ antara
pesawat televisi dan set top box itu saya tautkan memakai kabel AV.
Lalu saya putar pesawat televisi saya pada posisi AV. DVB-T
saya ‘on’ kan, kemudian saya setting pencarian otomatis (karena kalau setting
manual saya kurang paham, beda banget dengan cara setting manual pada pesawat
televisi analog), dan; jreng, jreng! Ada enam siaran tertangkap sinyalnya. Dan semuanya milik TVRI! Entah kemana MetroTV
yang kabarnya telah bersiaran digital di Surabaya.
 |
Kanal TVRI-4, salurun khusus olahraga. |
Dari enam sinyal yang ketangkap itu, hanya tiga yang
bergambar. Satu; TVRI Nasional, dua;
TVRI-Surabaya. Sementara, tiga; TVRI-3 hanya muncul gambar ‘pelangi’ sebagaimana
siaran uji coba sebuah stasiun televisi. TVRI-1, TVRI-2, dan TVRI-4 hanya
muncul nama saja.
Mutu gambar digital terlihat lebih jelas. Tidak ada lagi ‘kepyur’
sedikitpun. Karena dalam teknologi siaran digital, hanya ada dua kemungkinan;
gambar tertangkap jelas karena sinyal kuat, atau gambar tidak akan nampak sama
sekali kalau sinyal kurang kuat. Tidak seperti sistem analog, yang kalau sinyal
kurang sempurna, gambar tertangkap berbonus semut berbaris alias remeng-remeng.
(ini saya ingat ketika di kampung dulu, dan di kota saya tower pemancar belum
ada. Walau orang telah memasang antena sedemikian tinggi, karena jarak kota
saya dan Surabaya --tempat menara pemancar-ulang stasiun televisi swasta kala
itu berada-- sedemikian jauhnya, maka gambar yang muncul di layar kaca
sangatlah kabur. Sekalipun begitu, penonton tidak kabur. Ini dikarenakan, ingin
menikmati menu lain setelah sekian puluh tahun hanya menikmati menu olahan TVRI).
*****
NB: Anda juga bisa membaca tulisan saya yang khusus bicara tentang dunia televisi di alamat
www.sisitelevisi.wordpress.com