Kamis, 31 Oktober 2013

A m p l o p



MALAM saat membuat tulisan ini, saya baru pulang dari menghadiri sebuah undangan. Bulan Dzulhijjah begini ini, undangan yang datang silih berganti. Kalau bukan walimatul khitan, ya walimatul arusy. Benar sih, dalam acara walimahan itu, kami para undangan hanya sebagai pendengar saja. Begitu datang, ada terima tamu yang setelah salaman akan memberi sekotak kue dan segelas air mineral. Itu adalah bekal dalam mengikuti rangkaian acara yang durasinya bisa agak lama.

Dalam walimahan, sambil menunggu acara inti –biasanya mauidhoh khasanah--, ada grup banjari yang menyenandungkan puji-pujian untuk Baginda Nabi. Setelah acara inti, ditutup doa. Sudah? Belum. Sekalipun doa disebutkan oleh pembawa acara sebagai acara penutup, tetapi bukan berarti sudah tidak ada lagi acara yang lain. Masih ada. Dan ini lebih inti daripada yang inti. Yakni; acara makan. Bahkan selesai makan pun masih ada lanjutannya; pembagian berkat (biasanya berisi nasi lengkap dengan lauknya plus kue dan sebutir buah).

Begitulah, selain hanya meluangkan waktu, tak ada pengeluaran sama sekali dalam menghadiri acara walimahan. Tetapi, sehari setelah walimahan (tetap di tuan rumah yang sama), lain lagi ceritanya. Datang bukan sekadar datang. Iya sih, dalam undangan disebutkan memohon kehadiran untuk mohon doa restu. Namun dalam praktiknya tidak begitu. Harus bawa amplop yang di dalamnya diisi uang sekian puluh ribu rupiah untuk disalam-tempelkan kepada shohibul hajjat.

Dengan undangan yang bertubi-tubi,

Rabu, 30 Oktober 2013

Ketika Buruh Menuntut



“WAH, musim hujan akan segera tiba ini, Kang,” demi melihat langit tak secerah kemarin, dan matahari tak seterik kemarin, Mas Bendo berkata.

“Hampir bareng ya datangnya dengan musim demo para buruh,” setelah menyeruput kopi, Kang Karib melanjutkan membaca koran terbitan kemarin.

“Iya, ya, Kang,” mulut Mas Bendo berdwi fungsi; sambil mengunyah pisang goreng sekaligus sambil mengamini sahutan Kang Karib tadi. “Tetapi, aku kira buruh menuntut gaji naik demi meningkatkan taraf hidupnya itu hal yang wajar, Kang. Karena suksesnya pengusaha, tak terlepas dari cucuran keringat para buruhnya.”

“Betul katamu, nDo. Namun akan menjadi kurang wajar manakala buruh menuntutnya keterlaluan.”

“Keterlaluan piye to, Kang?” dari nada bicaranya, sepertinya Mas Bendo ini ada di pihak yang pro buruh.

“Lha iya, menuntut upah naik sekian puluh persen itu bagaimana nalarnya?”

“Lho, nalarnya jelas, Kang,” makin semangat Mas Bendo berargumen. “Jangan sampai buruh hanya dijadikan sapi perah, dijadikan tumbal demi mengeruk keuntungan setinggi gunung. Tetapi nasib buruh sendiri tetap sengsara, tetap nelangsa...”

“Pada dasarnya menuntut itu hal yang lumrah, nDo. Tetapi tentu akan lebih elok kalau dilakukan dengan santun, dengan tata krama.”

“Kalau si pengusaha tetap ndablek dan tutup kuping serta tutup hati, mogok kerja adalah pilihan yang rasional, Kang.”

“Tapi kalau dengan mogok kerja itu malah merugikan perusahaan piye, nDo?”

“Ya memang itu tujuannya,” mantap Mas Bendo menjawab. “Pengusaha biar tahu rasa. Bahwa tanpa buruh yang bekerja mereka bakalan rugi.”

“Dan tanpa adanya pengusaha, makin tak tentu pula nasib si buruh,” timpal Kang Karib.

Walau masih kurang sependapat dengan Kang Karib, Mas Bendo seakan kehabisan amunisi mendengar kalimat Kang Karib barusan.

“Pengusaha harus menyadari bagaimana susahnya kehidupan buruh,” kata Kang Karib kemudian.

“Nah, setuju itu aku, Kang,” semangat Mas Bendo tersulut lagi.

“Tetapi,” lanjut Kang Karib, “sesekali buruh juga harus menyadari bagaimana susahnya pengusaha. Bagaimana mereka harus berusaha bertahan untuk survive di tengah iklim ekonomi global dan di antara serbuan para kompetitor. Lagian, kalau gaji buruh dinaikkan, apa menjamin kinerja mereka bakalan naik? Iya sih, tentu mereka akan semakin giat dalam bekerja. Tetapi itu bertahan dalam berapa lama? Paling-paling dua-tiga bulan berikutnya sudah ngglembosi, sudah asal-asalan lagi. Dan tabiat begitu itu di mana-mana sudah umum, nDo. Lalu, tahun berikutnya mereka-mereka ini menuntut kenaikan gaji lagi. Mengancam mogok kerja lagi. Kadang sikap mentang-mentang itu memang tidak melulu dimiliki orang-orang yang sudah mapan, misalnya para pengusaha. Buruh pun sering memakainya; mentang-mentang buruh, mentang-mentang jumlahnya banyak. Menuntut kenaikan upah dua kali lipat. Memangnya ini perusahaan nenek moyangmu.....”

“Wah, mbelgedhes Sampeyan ini, Kang!” sembur Mas Bendo. “aku perhatikan, dari tadi Sampeyan selalu membela pengusaha. Jangan begitu, Kang. Kita harus kompak. Sampeyan jangan menggembosi sebuah perjuangan...”

Mendengar kalimat Mas Bendo barusan Kang Karib malah cekikikan.

Sampeyan kok malah tertawa ini bagaimana, to?”

“Lha kamu itu, lucu...”

“Lucu?! Apanya yang lucu?!”

“Lha bagaimana tidak lucu, wong kita ini sama-sama pengangguran,” jawab Kang Karib. “Biarpun upah buruh naik setinggi langit, ya kita tetap saja nganggur...” *****


Senin, 28 Oktober 2013

Si Randy dan Pak Randy



SEPERTINYA, adalah suatu yang kurang mengenakkan bila dalam satu kelas, ada guru dan murid yang namanya sama. Lebih menyiksa lagi, kalau si murid itu termasuk dalam kategori usil.

Saat SMP, saya punya teman sekelas yang namanya sama dengan guru pelajaran ekonomi kami. Sebut saja namanya Randy. Si Randy murid, sudah usil, suka kentut pula. Dan siapa pun tahu, kentut yang sunyi malah aromanya ruarr  biasa.

Saat seisi kelas konsentrasi penuh mendengar penjelasan Pak Randy tentang diskonto, debet, kredit dan sebangsanya, dari deretan bangku tengah sisi belakang tiba-tiba ada kegaduhan. Di tengah-tengah kegaduhan itulah si Randy duduk. Dengan sekeliling pada menutup hidung, jelaslah sudah, tudingan sumber bencana adalah gas buang si Randy.

“Ada apa di belakang ribut-ribut?” Pak Randy lantang bertanya.

Teman-teman di sekeliling Randy yang sebagian besar perempuan, langsung menunjuk si biang kerok. “Pak, Randy kentut,” seperti koor suara itu kompaknya.

Sebuah penjelasan yang sangat jelas. Toh, si Randy juga tidak membantah. Tetapi penjelasan itu disertai tawa yang tertahan manakala cara pengucapannya lamat-lamat terdengar seperti menuduh Pak Randy yang kentut.

“Apa?!” seakan kurang jelas, Pak Randy ingin mendengar ulang jawaban kompak tadi.

Sambil cekikikan kami lebih kompak menjawab, “Pak Randy kentuutt.....”

Sumber keributan di kelas bagi Pak Randy harus diberi hukuman, dan hukuman yang khas dari beliau adalah dicubit. Tetapi cubitan itu bukan sembarang cubitan. Pak Randy suka mencubit (maaf) puting kami para siswa lelaki dan menariknya ke atas sampai kami ikutan berdiri sambil meringis kesakitan.

Setelah menghukum Randy, dan memperingatkan agar ia tidak bikin gaduh lagi, Pak Randy melanjutkan pelajaran. Belum lama berselang, dari arah semula ada lagi kegaduhan. Lagi-lagi, sekeliling Randy tutup hidung. Ah, kurang ajar betul anak itu! Begitulah akibatnya kalau mau berangkat sekolah makan kedelai muda rebus.

Tetapi dengan sikap ksatria si Randy langsung berdiri dan mengangkat dua tangan, “Sumpah. Bukan saya yang kentut! Hiruplah dengan seksama, aroma ini bukan berasal dari kedelai rebus.”

Kegaduhan mengecil menjadi kasak-kusuk. Si Randy memerhatikan teman-teman di sekeliling duduknya. Dan mendapati si bunga kelas, Grace (juga bukan nama sebenarnya) wajahnya ranum memerah menahan malu. Kepadanyalah kecurigaan si Randy tertuju.

“Mengakulah, Grace. Tak perlu malu, karena buang angin yang tak dikehendaki adalah hal yang juga manusiawi...,” sok bijak Randy berkata.

Dengan Grace yang tak membantah, sumber kegaduhan kedua siang itu jelaslah sudah. Tetapi bukan Randy namanya kalau tak bisa menambah sebuah kegaduhan menjadi makin meriah.

Demi menyadari hukuman ala Pak Randy adalah cubitan di titik yang itu-itu juga, “Harus adil dong, pak. Saya tadi dicubit, Grace harus dicubit juga dong, Pak,” ucapan Randy itu langsung direspon meriah oleh teman sekelas.

“Cubit, cubit, cubit....”

Di antara kekompakan tuntutan kami itu, Pak Randy mengemasi buku-bukunya, memasukkan ke dalam tas, dan, “Pelajaran siang ini cukup sampai disini. Selamat siang,” guru ekonomi yang malang itu menutup pelajaran dan keluar meninggalkan kelas disusul kegembiraan kami yang semuanya terbilang keterlaluan. *****


Sedekah Sampah



KAMI sekeluarga mungkin termasuk dalam kategori keluarga penyayang dalam tanda petik. Apa-apa yang kami miliki begitu kami sayangi. Walau sudah tidak kami gunakan, seringkali sesuatu itu  teramat sayang untuk dibuang. Saking banyaknya macam barang yang kami simpan, sampai-sampai tanpa kami sadari seakan semua sudut rumah kami menjadi gudang.

Lemari menjadi penuh sesak oleh baju-baju lama yang sekarang sudah tidak muat lagi di badan. Berkardus-kardus bekas kemasan mie instan yang di dalamnya berjejalan mainan-mainan si kecil yang tak pernah lagi dipakai bermain. Sandal-sepatu si kecil yang sudah kekecilan. Di dekat dapur, teronggok bertumpuk-tumpuk wadah plastik aneka bentuk hasil dari seringnya saya mendapat kondangan tahlilan. Termasuk aneka macam piring dan mangkok hadiah setiap istri saya membeli ditergen.

Pada saat tertentu,

Senin, 21 Oktober 2013

S e p a t u



SEKALIPUN, tentu saja, saya pernah mendengar perihal sepatu kaca milik Cinderella, sayangnya, pengetahuan saya tentangnya tak seberapa lengkap. Cenderung buta, malah. Tak tahu saya, misalnya, apa keistimewaan dari sepatu itu, apa konflik yang terjadi atasnya dsb, dst. Itu  tentang dongeng. Dan apa pun bisa terjadi di alam dongeng, sehingga saya tak perlu repot-repot menariknya ke logika nyata. Bahwa, betapa dengan mengenakan sepatu kaca, si pemakai bakalan  mudah sekali celaka. Kesandung batu saja, pecahan beling sepatu itu bakal mengancam telapak kaki.

Lain sepatu kaca Cinderella, lain pula dengan Sepatu Dahlan. Karena suatu sebab, ketika berkunjung ke sebuah toko buku, dan buku itu ditata sedemikian rupa lazimnya buku unggulan yang baru terbit, ia langsung saya usung ke kasir bersama beberapa buku lainnya untuk saya beli. Apesnya, ternyata buku tulisan Krishna Pabichara itu, dengan membaca beberapa bab awal, gairah saya meneruskan membaca sirna sebelum dapat separonya. Dan ia segera menghuni rak buku bersama koleksi saya yang lain. (Wah, rugi dong sudah mahal-mahal membeli tak khatam membacanya? Ah, tidak juga. Lagian  tak sekali itu saja saya kehilangan syahwat membaca sebelum menamatkannya. Saya merasa lebih tidak begitu rugi manakala, kemudian, buku itu dilahap anak saya sampai halaman terakhir).

Dengan tahu betapa untuk memiliki sepatu saja adalah sebuah mimpi yang tak mudah terwujud bagi si Dahlan, cukuplah bagi saya sebagai modal untuk menengok masa lalu yang juga kurang lebih demikian. Contoh terbaru dari kisah sepatu ini adalah dari beberapa penggawa Timnas U-19 yang mengalami main bola memakai sepatu bekas seharga tigapuluh ribu rupiah. Kalau saja rasa malu karena hanya menggunakan sepatu bekas begitu tinggi sehingga membuat minder dan menyerah  serta meyalahkan keadaan, tentu saja kita tak akan mengenal Evan Dimas, Fathurrohman dkk sebagai pesepak bola andalan masa depan.

Ketika SD, saat pertama kali dibelikan sepatu, pergi ke sekolah saya tetap saja bersandal jepit, atau tak jarang malah bertelanjang kaki. Saat itu saya sudah kelas lima. Kalaulah berangkat dari rumah pakai sepatu, begitu jam istirahat tiba, istirahat pula kaki saya dari terbungkus sepatu. Dengan tidak memakai sepatu, main betengan, kejar-kejaran dan lainnya dalam berlari terasa lebih gesit. Itu alasan pertama. Alasan kedua, dan ini lebih tinggi kadarnya, adalah betapa saya begitu menyayangi sepatu berbahan seperti beludru warna hitam itu. Saking sayangnya, saya tak ingin ia kotor, apalagi sampai rusak dipakai bermain. Alasan ketiga, dengan sebagian besar teman sekolah paling banter bersandal jepit, menjadikan kaum bersepatu sebagai minoritas. Kalaulah kami kemudian ikutan melepas sepatu walau punya, kami anggap itu semata sebagai tindakan solidaritas.

Kalau anak saya atau anak Sampeyan sekarang ini minta sepatu dengan ukuran disesuaikan dengan ukuran kaki, kalau setahun kemudian ukuran kaki membesar, walaupun sepatu itu  (karena mahal dan mutunya bagus) belum rusak, niscaya si anak akan minta sepatu baru lagi. Dalam hal ini, saya akui, orang tua saya telah berpikir matang sebelum membelikan sepatu. Sehingga walau pun sepatu itu sangat jarang sekali saya pakai, orang tua saya tak terlalu khawatir tiba-tiba sepatu itu tak muat di kaki saya yang secara ukuran akan bertambah besar. Apa pasal?

Ya, karena dalam membelikan sepatu, orang tua saya memilih yang ukurannya melebihi ukuran kaki saya kala itu. Sehingga dalam memakainya, bagian ujung depan kaki yang masih longgar, Ibu memasukkan gombal (kain bekas) sebagai sumpal. Tidak hanya sepatu, dalam membelikan baju pun saya sering diperlakukan begitu. Kalau saya kenakan, ia menjadi baju kebesaran dalam arti yang sesungguhnya.

Kenapa orang tua saya berlaku demikian, penjelasannya adalah; keterbatasan bisa melahirkan 'visi/wawasan jauh ke depan', sekalipun kalau diterapkan pada anak-anak saya sekarang, sekadar membayangkannya saja sulitnya sudah sedemikian.

Atau isenglah sedikit; belikan anak kita yang sudah  kelas lima SD sepatu yang kebesaran, sumpal bagian depan dengan kain bekas, mintalah ia kenakan untuk ke sekolah, lalu perhatikan apa yang terjadi. *****


Senin, 14 Oktober 2013

Stand Up Comedy ala Kang Edi #1



WALAU tadi pembawa acara telah menyebut nama saya, tentu tidak ada salahnya saya mengenalkan diri. Oke, nama saya Edi Winarno. Betul, Anda tidak keliru. Saya masih ada hubungan dengan Pak Bondan yang mak-nyus itu. Hubungan saudara? Bukan. Hubungan bisnis? Juga bukan. Lalu hubungan apa dong?

Begini, kami sama-sama anggota PWI. Tentu Anda telah tahu, Pak Bondan Winarno adalah salah satu wartawan senior di negeri ini. Walau sekarang beliau lebih dikenal sebagai pembawa acara kuliner di televisi, beliau adalah penulis bidang managemen yang handal. Ibarat kata; asam di gunung garam di laut, dalam belanga bertemu juga. Nah, Pak Bondan yang berlatar belakang kuli tinta (sebutan yang sekarang kurang pas), dalam PWI bertemu dengan saya yang berlatar kuli bangunan. Ya, kami sama-sama anggota Persatuan Winarno Indonesia.

Untuk apa saya malu menyebut diri sebagai kuli bangunan kalau sebenarnya memang demikian. Hidup ini harus jujur, Bos. Dan jujur itu bisa dibagi dalam beberapa jenis. Ada jujur kacang hijau, jujur sumsum dan lain-lain. Hidup dalam profesi apa pun harus punya prinsip. Harus punya motto.
Motto hidup saya adalah: berani karena benar, takut karena tidak berani.

Ngomong-ngomong tentang keberanian, dulu saya kurang memilikinya. Makanya, walau dari dulu wajah saya sudah ganteng, untuk urusan cinta saya awalnya minder. Akibat dari semua itu, parah, Bos. Saya jadi telaten; telat jadi manten.

Pernah sih, hampir menikah. Jalan ke arah situ sudah mulus banget. Bagaimana tidak mulus; ibu bapaknya sudah setuju, kakek-neneknya juga sudah oke, paman, bibi sampai semua tetangga mendukung. Tahu nggak kenapa kala itu saya batal menikah? Ini sadis, Bos. Masa gara-gara satu orang yang nggak setuju semua jadi batal? Tapi tahu nggak siapa yang tidak setuju itu? Apesnya, yang nggak setuju itu cewek yang akan saya nikahi....

Sebagai lelaki saya harus pantang menyerah. Cinta ditolak, cari lagi sasaran tembak. Ini keharusan yang perlu dilaksanakan. Bukan apa-apa, ini perkara umur, Bos. Sudah usia kepala tiga belum dapat pasangan, bisa keburu karatan....

Dasar wajah saya keren, nggak lama dari penolakan yang tadi itu, saya dapat lagi tawaran dari seorang Mak Comblang. Yang ini semua ditanggung halal, kata si Mak Comblang. Maksudnya, keputusan ada pada orang tua. Tetapi saya mesti bersabar.

“Sabar bagaimana?” tanya saya.

“Kata Ayah-Ibunya, kamu baru boleh menikahi putrinya kalau ia sudah lulus kuliah,” begitu jawab Mak Comblang. “Bagaimana, kamu sanggup?”

“Oke, no problem,” mantap saya menjawab. 

Dalam pikiran saya, sambil menunggu itu, paling tidak saya masih punya waktu untuk mempersiapkan diri lagi. Benar kan, Bos? Menikah itu harus diperhitungkan secara matang. Tidak asal jebret  saja.

“Tapi ngomong-ngomong, sekarang dia sudah kelas berapa?” tanya saya kepada Mak Comblang.

“Baru TK Nol Besar.” *****

Minggu, 06 Oktober 2013

Mengendus Modus


SUATU  hari, seorang laki-laki yang mengaku sebagai petugas PLN bertamu ke rumah mertua saya dalam rangka membawa kabar gembira. Bahwa, “Selamat, rumah Ibu terpilih menjadi salah satu yang mendapat fasilitas perangkat penghemat daya,” kata petugas itu.

“Kalau boleh tahu, apa kriterianya sehingga kami mendapat alat ini?” saya bertanya.


Dengan kalimat yang sepertinya sudah dipersiapkan sedari awal, meluncurlah penjelasan yang makin memperjelas bahwa lelaki itu hanyalah petugas PLN gadungan. Kalaulah salah satu kriteria yang disebutkannya adalah karena penggunaan listrik di rumah mertua terbilang hemat dan tidak pernah telat bayar, bagi saya itu sungguh menggelikan. Dengan daya terpasang hanya 2 amphere (450W), apalagi yang perlu dihemat. Kalau memang alat itu bisa menghemat, tentu sasaran tembak yang lebih tepat adalah pelanggan yang dalam pemaikaian listriknya lumayan besar.

Dengan harga yang mesti dibayar hampir seratus ribu plus anjuran penempatan alat itu yang tersembunyi dan tidak boleh bilang siapa-siapa, makin terang benderanglah kedoknya. Maka, dalam hal ini, saya memutuskan tak membelinya.

Begitulah, di daerah-daerah, memang sering kita dapati para sales yang demikian itu. Menjajakan aneka alat atau barang dengan kalimat awal yang menipu. Ketika pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan konversi minyak tanah ke LPG 3 kilogram, tidak lama setelah itu berkeliaranlah para sales penjaja selang dan regulator gas LPG yang konon kuat dan tahan lama. Dan mereka ini mengaku sebagai petugas Pertamina.

Di sebuah SPBU di kawasan Gresik, suatau sore ketika saya antre hendak mengisi bensin, sebagaimana para pengantre yang sebelumnya, saya ditanya seorang lelaki yang dari seragamnya saya tahu kalau dia bukan pegawai SPBU. “Maaf, bapak memakai oli apa?”

Enduro,” jawab saya.


Selamat, Pak,” lelaki berkemeja putih lengan panjang itu menyalami saya, “karena Bapak memakai oli Enduro, Bapak berhak mendapatkan hadiah di sana,” ia menunjuk ke seorang yang berdiri di pintu keluar SPBU.

Ketika petugas SPBU mengisi tanki motor saya, saya dengar seorang pengantre lain yang di belakang saya disuguhi pula pertanyaan serupa oleh lelaki tadi. Dan, ketika ia menjawab memakai oli Repsol, ia mendapat pula ucapan selamat dan berhak pula mendapat hadiah. Aneh kan, promisi oli kok aneka merek semua dapat hadiah?

Akal-akalan itu benar terbongkar manakala saat saya menghampiri petugas lain yang ditunjuk lelaki yang tadi, mengaharuskan para penerima ucapan selamat yang berminat mengambil hadiah harus membayar sekian puluh ribu rupiah.

Praktik sales di SPBU ini pernah pula saya dapati di sebuah pompa bensin di kota Surabaya. Bagaimana bisa pihak SPBU melakukan pembiaran terhadap para sales itu untuk menggelar 'sandiwara' di areanya, tentu menimbulkan tanda tanya.


KEMARIN di siang bolong, sekira jam 12.30 WIB, saat saya istirahat dan sedang tak ingin terganggu (untuk itu saya menutup pintu depan), belum lama terlelap ada suara orang mengetuk pintu diiringi ucapan salam bertubi-tubi. Karena tamu harus dihormati, tentu saya harus menyambutnya walau kepala menjadi berdenyut-denyut karena ritual tidur yang gagal.

Maaf, Pak, saya dari Dinkes sedang melaksanakan Sensus Kesehatan,” seorang lelaki menggendong tas ransel lumayan besar , dengan map warna hijau di tangan mengenalkan diri sesaat setelah saya membuka pintu.

Sensus Kesehatan? Belum yakin akan sensus itu, ia mengeluarkan kertas dari map-nya dan memberondong saya dengan pertanyaan-pertanyaan lain berikutnya. Karena fokus pertanyaan lebih kepada mata dan kacamata, tentu saya berpikiran akan lebih tepat saat mengenalkan diri tadi ia bilang sebagai petugas sensus kesehatan mata.

Modusnya mudah diendus; ujung-ujungnya ia jualan kacamata.*****