-->
-->
![]() |
Dimuat Radar Surabaya, Minggu 15 April 2012. |
PEREMPUAN
itu tampak bersih untuk ukuran orang yang dianggap tidak waras. Ia
selalu mandi dua kali sehari. Pagi tadi, ketika orang-orang berangkat
hendak belanja ke pasar, masih melihatnya mencuci baju di sungai,
setelah ia mandi rupanya. Dan siang ini, seperti siang-siang yang
lalu, ia pergi ke pasar ini. Sepekan sekali orang sini melihatnya.
Setiap Senin. Karena kalau Jum'at ia ke Menampu, Kamis ke Mojosari,
Rabu ke Reboan, Minggu ke Kasiyan Wetan. Kecuali Selasa. Selasa ia
tidak ke pasar Grenden. Ia di rumah saja.
Pasar Senin ini termasuk ramai. Pak Untung si penjual jamu tampak masih kalah muda dibanding istrinya yang masih tampak bahenol. Dan, seperti orang-orang yang berkunjung ke pasar, Pak Otor si penjual kopiah yang tampak alim pun sempat punya pikiran kotor bila melihat kemontokan Bu Untung
|
|
Di dekat Pak Untung itulah, di bagian luar pasar yang berupa tanah
lapang dengan beberapa pohon waru ditanam sebagai peneduh, Kasmirah
menggelar dagangannnya. Paling tidak itu perkiaan orang. Karena
perempuan itu seperti sedang menarik tali dari ujung sini dikaitkan
ke pohon waru sana. Selalu begitu. Tanpa suara, tanpa berkata-kata.
Padahal, semua orang yakin, si Kasmirah ini tidaklah tuna wicara. Ia
bergerak seperti sedang menggelar tikar untuk tempat ia menata
jualannya. Juga, seakan menyampir-nyampirkan helai-helai kain.
Gerakannya itu seperti pantomim saja. Melipat-lipat,
menggapai-nggapai orang yang lewat dilakukannya sambil tetap tak
bersuara.
Siapa sebenarnya Kasmirah, tidak ada orang yang tahu pasti. Tetapi
ada satu cerita yang diyakini kebenarannya oleh nyaris semua orang.
Menurut keyakinan itu, begini ceritanya; ia adalah cucu dari Mbah
Suro, seorang pedagang kain keliling dari pasar ke pasar. Kasmirah
itu diasuh oleh Mbah Suro sejak bayi. Sebab kedua orang tuanya
meninggal karena pagebluk.