Sabtu, 31 Maret 2012

Politik dan Kedunguan

DALAM politik, kedunguan itu bukanlah halangan.

Napoleon Bonaparte (1769-1821) Politikus dan Kaisar Prancis.

Senin, 26 Maret 2012

K a s m i r a h


-->
-->
Dimuat Radar Surabaya, Minggu 15 April 2012.
PEREMPUAN itu tampak bersih untuk ukuran orang yang dianggap tidak waras. Ia selalu mandi dua kali sehari. Pagi tadi, ketika orang-orang berangkat hendak belanja ke pasar, masih melihatnya mencuci baju di sungai, setelah ia mandi rupanya. Dan siang ini, seperti siang-siang yang lalu, ia pergi ke pasar ini. Sepekan sekali orang sini melihatnya. Setiap Senin. Karena kalau Jum'at ia ke Menampu, Kamis ke Mojosari, Rabu ke Reboan, Minggu ke Kasiyan Wetan. Kecuali Selasa. Selasa ia tidak ke pasar Grenden. Ia di rumah saja.

Pasar Senin ini termasuk ramai. Pak Untung si penjual jamu tampak masih kalah muda dibanding istrinya yang masih tampak bahenol. Dan, seperti orang-orang yang berkunjung ke pasar, Pak Otor si penjual kopiah yang tampak alim pun sempat punya pikiran kotor bila melihat kemontokan Bu Untung


Di dekat Pak Untung itulah, di bagian luar pasar yang berupa tanah lapang dengan beberapa pohon waru ditanam sebagai peneduh, Kasmirah menggelar dagangannnya. Paling tidak itu perkiaan orang. Karena perempuan itu seperti sedang menarik tali dari ujung sini dikaitkan ke pohon waru sana. Selalu begitu. Tanpa suara, tanpa berkata-kata. Padahal, semua orang yakin, si Kasmirah ini tidaklah tuna wicara. Ia bergerak seperti sedang menggelar tikar untuk tempat ia menata jualannya. Juga, seakan menyampir-nyampirkan helai-helai kain. Gerakannya itu seperti pantomim saja. Melipat-lipat, menggapai-nggapai orang yang lewat dilakukannya sambil tetap tak bersuara.

Siapa sebenarnya Kasmirah, tidak ada orang yang tahu pasti. Tetapi ada satu cerita yang diyakini kebenarannya oleh nyaris semua orang. Menurut keyakinan itu, begini ceritanya; ia adalah cucu dari Mbah Suro, seorang pedagang kain keliling dari pasar ke pasar. Kasmirah itu diasuh oleh Mbah Suro sejak bayi. Sebab kedua orang tuanya meninggal karena pagebluk.

Rabu, 21 Maret 2012

Kalau Singkong Bisa Ngomong


-->
TEBAKAN sampeyan betul, judul di atas saya jiplak dari title lagu lawas Doel Sumbang yang berduet dengan Nini Karlinna dan sempat kondang di tahun 80an; Kalau Bulan Bisa Ngomong. Dan ngomong-ngomong tentang lagu 80an, saya juga suka lagu-lagunya Bill&Brod-nya Arie Wibowo yang selalu berkacamata hitam, bertopi, dan Nyong Anggoman dengan rambut kribo yang senantiasa sambil nyangklong keyboard itu. Sebutlah misalnya Madu dan Racun, Angin Sorga (duet bareng Ervinna yang asli arek Suroboyo) dan juga Singkong dan Keju.

Untuk Singkong dan Keju, liriknya ringan khas Arie Wibowo dengan musikalitas yang selalu bernada gembira, bercerita tentang kesenjangan. Dengarlah ini; aku suka jaipong, kau suka disco, aku suka singkong kau suka keju...

Jelas, yang dimaksud adalah antara yang berpunya dengan yang tiada. Antara si miskin dan si kaya (eh, kok seperti judul sebuah sinetron ya?) Tetapi selalukah begitu? Padahal bukankah sering kita dapati pada penjual gorengan (mungkin juga dijual oleh sahabat Efbi saya, mas Samsul Hadi di Samarinda sana) memadukan antara keduanya. Ia ditampilkan sebagai singkong keju. Yang ketika kita mengunyahnya terasa meduk dan empur.

Rambu Rancu?


DALAM berlalu-lintas, sebisa mungkin saya berlaku taat rambu. Dan sekalipun ketika mengajukan SIM dulu saya lewat jalan setengah resmi, perkara rambu sepertinya bukan soal sulit. Apa sih susahnya memahami huruf S atau P dicoret. Atau gambar terompet yang (juga) dicoret bila didekat area itu ada tempat ibadah.

Kaluu mau disebutkan tentu banyak sekali lambang rambu-rambu itu. Untuk jalan licin, dilarang mendahului, batas kecepatan, batas tonase, jalan menanjak atau menurun, jalur rawan kecelakaan, jalan menyempit, dsb, dst.

Tetapi disebuah perempatan jalan, rambu (tulisan) yang biasanya ditempel dibawah lampu pengatur lalulintas bisa berbeda bunyinya. Ada yang belok kiri langsung, ada juga yang belok kiri mengikuti lampu. Nah ini rancunya.

Kalua sampeyan mengikuti saya, itu artinya sampeyan turut berjalan dibelakang saya. Lha kalau mengikuti lampu?! Padahal lampu itu tidak bergerak kemana-mana. Piye? Untuk rambu yang model begitu, terpaksa saya melanggar. Saya tidak terus-terus diam disitu. Saya terus melaju saja kalau lampunya sudah menyala hijau.*****

Senin, 19 Maret 2012

'Bhinneka Tunggal Ika'


BAGI keluarga saya, selain ketika hari libur, makan bersama hanya terjadi saat makan malam. Karena makan pagi adalah lebih bersifat individu. Istri saya sarapan jam lima, si sulung jam setengah enam, sementara saya jatuh tempo sarapannya setiap jam tujuh kurang sepempat. Semua waktu yang tidak seragam itu disebabkan karena kegiatan kami berbeda garis start-nya.

Makan malam yang ramai itu, lebih sering bermenu seadanya. Tetapi nuansa yang tercipta lebih dari itu. Sekalipun dengan soto (maklum, istri saya berasal dari LA hehe..) yang diproduksi kemarin pagi, kenikmatannya sungguh tiada tara. Lebih konkretnya inilah pemandangannya; saya pakai piring bening, istri saya pakai warna kuning, sementara si sulung pakai mangkok putih. Gelas sebagai tempat minum pun berbeda ketingggian dan bentuknya. Beraneka wadah. Tetapi, 'Bhinneka Tunggal Ika'. Berbeda-beda tetapi tetap satu sebabnya; semua ajang makan-minum itu hasil kreatifitas istri saya dalam membeli sabun detergent dan semacamnya.

Begitulah dalam setiap belanja. Sungguh istri saya tidak punya pendirian dalam hal merek. Ia teramat plin-plan. Apapun mereknya, kalau ada hadiah piring atau mangkoknya, itulah yang ia beli. Kalaupun dalam berangkat tidak ada nama kecap dalam daftar belanja, tetapi bila sampai di swalayan sedang ada promo beli sebotol kecap dapat gratis satu sendok atau gelas, sering ia akan segera  goyah iman untuk kemudian langsung meraihnya.

Bagaimana dengan sampeyan?

Rabu, 14 Maret 2012

Helmy Yahya; Gagal Jadi Dokter, Sukses Sebagai Entrepreneur


SELAIN talk show dan berita, dalam menonton televisi saya juga suka acara kuis. Saat remaja dulu, Gita Remaja yang dibawakan Tantowi Yahya jarang saya lewatkan. Itu, seingat saya, bukan acara kuis yang pertama saya kenal. Karena, lamat-lamat saya ingat, sebelumnya ada Bob Tutupoli dengan kuis Pesona 13 yang pernah saya tonton. Bagian terseru dari kuis itu adalah, merangkai satu kalimat dengan satu orang peserta sebagai pemandu tenman yang lain untuk menebak gerakan yang diterjemahkan sebagai kata. Maka, keramaian pertama yang muncul saat segmen itu adalah serbuan tanya; kata benda, kata sifat dst, dsb. Yang kemudian dipakai oleh semua peserta di episode selanjutnya adalah, gerakan menggoyangkan pinggul sebagai sebutan untuk kata 'yang'.

Berikutnya, masih ingat betul saya akan gaya Koes Hendratmo ketika mengucap kalimat 'Berpacu Dalam Melodi' sebelum Ireng Maulana All Stars memainkan instrumentalia lagu tertentu. Pula, gaya bung Kepra (sebuah nama yang asik, bukan?) ketika membawakan kuis Aksara Bermakna, atau Rano Karno dalam Lacak Dunia, Aom Kusman dalam Siapa Dia, Olan Sitompul di kuis Serba Prima. Lalu, ketika tayangan kuis itu habis, dalam deretan kerabat kerja yang terpampang dilayar kaca selalu ada nama Ani Sumadi, juga Reinhard Tawas sampai Helmy Yahya.

Nama terakhir itu yang ingin saya tulis. Ya, Helmy Yahya. Raja kuis (juga reality show) yang dengan piawai menyalip sang ratu yang juga gurunya; Ani Sumadi.
Foto: Google Image

Helmy Yahya lahir di Palembang pada 6 Maret 1963. Ayahnya adalah seorang kiai, yang juga mantan penyanyi di sebuah orkes gambus dan lalu menghidupi anak-anaknya dengan menjadi pedagang kaki lima.

Helmy Yahya memang cerdas. Ini terbukti selain sebelumnya menjadi pelajar teladan tingkat Sumatera Selatan, lalu juga menjadi pelajar teladan tingkat SLTA se-Indonesia pada 1980. Ketika itu cita-cita yang ingin ia raih adalah menjadi dokter. Tetapi, “Ah, kehidupan saya yang memprihatinkan di masa kecil dan terkadang tidak dipandang sebelah mata dan malah sering diremehkan membuat saya berkeinginan mencari pekerjaan yang membut saya dianggap oleh masyarakat sekitar. Lagi-lagi, karena keadaan ekonomi keluarga saya yang membuat saya harus mengubur cita-cita saya menjadi dokter. Saya tahu betul betapa mahalnya biaya untuk menjadi dokter, dan harus lulus. Tak ada cerita mahasiswa drop out dari fakultas kedokteran bisa praktik sebagai dokter,” begitu tulis Helmy Yahya dalam pengantar buku Siapa Berani Jadi Entrepreneur yang ditulisnya bareng Baban Sarbana.

Selulus SMA, adik kandung Tantowi Yahya ini diterima pada program Perintis II (sebuah model penerimaan Mahasiswa Baru terhadap lulusan terbaik SMA se-Indonesia) di IPB Bogor. Sekalipun dengan biaya kuliah yang disubsidi,

Senin, 12 Maret 2012

Waktu Adalah Uang


PERGELANGAN yang manakah yang sedang sampeyan lingkari dengan jam tangan? Di kiri atau kanan tentu sama pantasnya. Dan sama-sama ada alasannya. Kelaziman, mungkin begitu bila sampeyan menggelangkannya di tangan kiri. Dan untuk yang melingkarkan dipergelangan tangan kanan, bisa saja ia membuat alasan yang dikeren-kerenkan, ”Saya menghargai waktu, makanya alat penunjuk waktu ini saya taruh di tangan kanan.”

Semua bisa diterima akal, sekalipun tentang waktu itu semua bisa pula diakali. Makanya sampai ada istilah jam karet. Atau, kalau ditanya atasan ketika suatu kali terlambat sampai di tempat kerja, alasannya, “Maaf, bos. Jam dinding dirumah saya mati, sudah gitu jalanan macet lagi...”

Itulah mengapa, mungkin, lalu diciptakan jam tangan. Yang bisa dipakai kemana-mana. Perkara jam tangan ini, lalu tidak hanya sebagai penunjuk waktu, itu soal lain. Ia, untuk merek-merek tertentu, bisa pula sebagai semacam perhiasan. Sebagai penunjuk derajat si pemakai.

Dan saya termasuk orang yang tidak pernah mengenakan jam tangan. Baik di pergelangan tangan kiri atau tangan kanan. Tidak ada alasan tertentu, sebenarnya, kenapa saya berlaku begitu. Tidak ingin saja. Tidak pula ber-nadzar akan mengenakan bila sudah mampu membeli merek tertentu, misalnya. Tidak. Saya merasa baik-baik saja sekalipun tidak mengenakannya. Untuk urusan waktu, saya bisa melihatnya di layar hand phone jadul saya yang masih hitam-putih ini. Yang memang lebih dominan hanya sebagai penunjuk waktu ketimbang tampil sebagai alat komunikasi.

Pernah sih dulu ketika masih bujang dikasih jam tangan oleh bapak kost. Mungkin beliau merasa kasihan melihat pergelangan tangan saya selalu tampil polos. Tentu tak baik menolak pemberian. Jangan dilihat nilainya, tulusnya itu lho yang penting. Saya tentu saja berterima kasih seterima kasih-terima kasihnya. Tetapi, saya simpan pemberian itu dengan sebaik-baiknya. Dan, sejak itu sampai sekarang saya tidak pernah sekalipun mengenakannya.


Perjalanan harian saya dari rumah ke tempat kerja yang cuma tak lebih dari lima belas kilometer, dulu biasa saya tempuh sekitar tiga puluh menit dengan bermotor. Belakangan, karena semakin padatnya kendaraan (dengan roda dua sukses tampil sebagai raja), waktu tempuh saya menjadi hampir satu jam. Itu pun sudah sesekali melanggar ketentuan kecepatan di dalam kota yang dibatasi 40 kilometer per jam. Kenapa? Dimana-mana macet sekarang. Apalagi kalau habis hujan. Apalagi menjelang perlintasan kereta api.

Baiklah, ini rute saya; dari Rungkut saya lewat dalam, via Tenggilis yang tembus ke Raya Jemursari, lalu ambil kanan masuk Raya Margorejo Indah. Menjelang rel kereta api, ketika sirine meraung atau suara lembut perempuan yang mengingatkan agar selalu waspada setiap akan melewati pintu perlintasan kereta api (karena sudah banyak yang maninggal sia-sia, dilokasi lain masih banyak perlintasan yang tidak dijaga dan tidak berpintu, dst, dst), ia pertanda pula akan adanya kepadatan lalu lintas. Sambil menjalankan motor dengan sangat lambat begitu, atau malah lebih sering berhenti, untuk melihat jam saya menengok kekiri atau kanan. Mencari-cari pergelangan tangan orang di samping saya. Kalau lagi apes, karena tidak menemukan jam tangan, barulah saya merogoh saku, melihat ponsel.

Bila baru sampai di dekat Maspion Square situ sudah dua puluh menit menuju jam delapan, alamat terlambat sampai di tempat kerja. Padahal, saya termasuk penakut dalam berkendara. Saya, sebisa mungkin, menghindarkan diri untuk melajukan motor dengan zig-zag. Zig kekiri-zag kekanan, salip kiri, salip kanan. Padahal di depan masih ada beberapa titik yang kendaraan selalu uyel-uyelan. Di depan Royal Plaza sebelum RSI, di dekat Bonbin, atau tidak mustahil pula di Mayjen Sungkono. Padahal waktu terus berjalan, padahal saya tidak mengenakan jam tangan. Padahal sambil berkendara begitu, jangankan ber-SMS, lihat jam di layar ponsel saja sudah sama risikonya. Nyawa taruhannya

Padahal berikutnya adalah, dulu di jalan Diponegoro, didepan Hotel Oval sekarang, pernah ada jam besar. Yang bisa saya lirik setiap waktu. Setiap saya melintas disitu. Sekarang tidak ada lagi. Yang tersisa hanya pondasinya. Untunglah tidak jauh dari situ, terdapat pos sekuriti sebuah bank. Yang jam dindingnya bisa terlihat dari jalanan. Maka, kepadanyalah selalu saya lihat waktu setiap lewat.

Lepas jalan Ciliwung, masuk Adityawarman, diseberang kantor KPU Surabaya, jamnya juga bernasib sama. Tinggal pondasinya saja. Terus lurus naik ke Mayjen Sungkono, di JPO (Jembatan Penyeberangan Orang) setelah Ciputra World, sempat ada pemodern-an jamnya. Dari yang dulu model jarum, menjadi model digital. Tetapi, sudah beberapa lama si digital itu pun meninggal. Lampu penunjuk waktu yang dulu merah menyala, kini hanya terlihat sebagai barisan titik-titik hitam tanpa kedip.

Tentu saja saya tidak bisa mengetahui sudah jam berapa ketika sampai disitu, kalau saja sebelumnya saya tidak melirik (lagi-lagi) pos sekuriti, yang kali ini milik sebuah showroom mobil mewah disebelum Ciputra World.

Begitulah nasib jam-jam di kota Surabaya. Ada sih yang secara fisik masih terlihat bagus. Di JPO depan dua Rumah Sakit yang berhadap-hadapan di jalan Diponegoro, misalnya. Yang disekujur tubuhnya tertempel  iklan sebuah produk rokok. Jam besar itu jarum-jarumnya masih ada. Tetapi, setiap lewat sana, jarum-jarumnya terlihat selalu salah langkah dalam menunjuk angka. Senasib dengan alat penunjuk tingkat pencemaran udara di dekat bundaran Satelit. Yang seberapa parah apa pun kemacetan terjadi disitu, alat bernama Pollutant Standard Index  itu layarnya selalu saja memampang kata 'Sedang'. Tidak tahu, apakah tingkat polusi disekitar alat itu berdiri memang baru dalam tahap 'sedang' atau alat itu 'sedang' tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Saya tentu juga tidak tahu siapa yang harus membetulkan jam-jam itu. Mengganti baterainya atau apa. Yang saya tahu, ada istilah waktu adalah uang. Dalam artian, untuk merawat jam sebagai alat penunjuk waktu itu pun diperlukan uang. Tetapi, kalaulah dikehendaki, saya rela pajak yang saya bayarkan itu juga digunakan untuk biaya perbaikannya. Agar ketika saya berkendara dijalanan kota, masih bisa melirik alat penunjuk waktu itu bila perlu.*****



Sabtu, 10 Maret 2012

Timnasku Sayang, Timnasku Malang

EMPAT puluh lima ment babak pertama mendominasi permainan sampai setengah lapangan, masih saja itu gagal membuat hati saya lapang. Rupanya saya kadung tidak pede akan sesuatu bernama kemenangan. Walau tentu soal kalah itu, yang bukan barang asing bagi sebuah timnas olahraga bernama sepak bola di negeri ini, adalah hal sudah sangat biasa. Tetapi kebiasaan itu, menjadi tidak biasa ketika tempo hari timnas senior dicukur gundul 10 gol tanpa balas saat versus Bahrain.. Belum cukup dipermalukan sampai disitu, dengan skor yang naudzubilah itu, masih saja FIFA tega mencurigainya sebagai main mata agar Bahrain lolos kebabak berikutnya. Kecurigaan yang masuk akal. Karena supaya bisa lolos, Bahrain harus menang dengan selisih sembilan gol. Dan, Indonesia dengan 'baik hati' memberi kemenangan 10 gol!

Sudahlah. Itu timnas senior. Sekarang saya sedang menonton yang junior dibawah coach Widodo C. Putro. Teriakan suporter yang sambil menyanyikan Garuda Di Dadaku, saya bayangkan, suara segemuruh itu tentu sebagai indikasi banyak sekali TKI di Brunai. Dengan bentangan kain merah-putih sedemikian panjang dipinggir lapangan, tentulah para pahlawan devisa itu ingin melihat sang kapten Andik Vermasyah mampu memimpin kawan-kawannya meraih kemenangan. Para supporter itu tentu tak ingin Timnas kesayangan selalu bernasib malang.

Tetapi, tidak seperti dulu ketika melihat timnas bertanding dan ditayang secara live oleh TVRI, satu-satunya stasiun televisi kala itu. Saat menonton adalah sekaligus saat yang mendebarkan. Melihat Hermansyah (kiper yang selalu pakai celana panjang itu) dibombardir penyerang tim lawan saya ikut jantungan. Kini debar itu hilang entah kemana. Atau sebuah catatan kekalahan yang akrab menimpa timnas kita adalah biang keladinya. Entahlah.

Di turnamen Hasanal Bolkiah Trophy, tadi malam (9 Maret 2012), Timnas U-21 main di babak final bertemu tuan rumah. Seperti saya tulis diawal, dengan main bagus dibabak pertama, belum tentu berbuah bagus dibabak kedua. Benar saja, masuk dimenit 48, gawang Aji Saka mampu dibobol Aminuddin Zakwan bin Tahir. Dan setelah Adi Said menggandakan keunggulan di menit 75, saya dengan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun langsung mematikan televisi.

Bola memang bulat. Dan kenyataan bahwa dibidang sepak bola kita kalah oleh negara yang sekecil Brunei adalah sebuah kenyataan yang harus juga ditelan bulat-bulat. Bukan perkara 'apa sih susahnya mencari minimal sebelas pemain hebat dari sekian ratus juta penduduk negeri ini'. Bukan. Karena memang telah terbukti, apapun alasannya, belum ada yang mampu melakukannya. Itu pertama. Kedua, sepak bola bukan soal sebelas dari sekian banyak penduduk pastilah ada yang hebat. Tengoklah, negara dengan penduduk sebanyak China atau India, kok saya belum pernah mendengar prestasinya semoncer ekonominya. Yang saya tahu, Didier Drogba, Yaya Toure dan beberapa pemain yang merumput di klub-klub Eropa berasal dari Pantai Gading. Dan Pantai Gading itu bukan negara besar. Pada titik ini mungkin saja sepak bola memang bukan maqom kita. Siapa tahu.*****

Jumat, 09 Maret 2012

Pancingan

MUPU, itu sebuah istilah dari mengambil anak. Maka, anaknya lalu dibilang anak pupon. Untuk apa mupu anak?

Nah jawabnya ada macam-macam. Tetapi, salah satunya adalah sebagai pancingan. Karena sekian lama berumah tangga belum juga dikaruniai momongan, maka ada yang percaya dengan mupu  anak, adalah sebagai pancingan agar segera mendapat keturunan. Boleh percaya boleh tidak, tetapi ada yang percaya akan khasiat model pancingan ini.

Kalaulah demikian keadaannya, tentu ada banyak hal yang bisa dipancing.
Misalnya, rajin belajar adalah pancingan agar pintar. Bekerja keras adalah pancingan agar sukses. Tidak melanggar lalu lintas pun adalah pancingan agar selamat sampai tujuan. Memberi sebagai pancingan agar menerima. Pancingan agar dibaiki adalah dengan membaiki. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Dan dalam dunia per-FB-an, status adalah sebagai pancingan agar mendapat komentar. Pancingan yang bagaimana, itu bisa relatif. Karena tidak sedikit status yang remeh-temeh pun kebanjiran komentar. Karena, bukankah banyak orang dalam pergaulan maya itu (disadari atau tidak) hanya sekadar untuk buang-buang waktu. Walau, tentu tak bisa dibilang tidak ada yang begitu bijak menyikapi dan memperlakukannya sebagai tak jauh beda dengan silaturrahim alam fana.

Bagaimana dengan sampeyan?

Kamis, 08 Maret 2012

Bekerja Sambil Kerja Sambilan

UNTUK menambah penghasilan, banyak sekali orang yang melakukan pekerjaan sambilan diluar kerja utama. Bentuknya aneka macam. Dari yang dirumah menerima service televisi sampai menjadi agen asuransi. Dari yang menerima jasa pembasmian rayap sampai sebagai tukang cat atau tukang pijat urat.

Tidak seperti bidang lain, teman saya yang satu ini (sebut saja namanya Robby) rupanya passion-nya lebih ke berdagang. Kalau malam ia tampil sebagai PKL. Dagangannya mulai dari tas, sandal sampai sepatu. Dari tas pinggang sampai tas punggung. Barang dagangan itu ia kulak dari orang lain dengan laba sekian rupiah setiap item yang laku. Hasilnya?

“Lumayan, buat tambah uang belanja,” katanya.

Sebagai barang kelas kaki lima, harganya pun tentu bersahabat. Dari tas kecil yang senilai limabelas ribu sampai termahal seharga tiga puluh ribu. Untuk sepatu dan sandal pun masih semurah itu.

Pak Paiman, teman saya yang lain, secara naluri juga memiliki jiwa dagang yang sama. Pernah saya lihat ia membawa meja belajar bentuk lipat untuk anak-anak yang ia ambil dari seorang pengrajin di dekat tempat kostnya, untuk dijual dikampungnya di Prigen sana. Ia melakukan itu setiap mudik mingguannya. Jawaban ketika saya tanya berapa keuntungannya pun, nyaris persis jawaban Robby. “Lumayanlah, untuk ganti beli bensin,” ujarnya.

Naluri bisnis memang tiada batas. Seperti barang dagangan yang tiada batas. Apapun, dijaman sekarang, bisa dijadikan uang. Tergantung seberapa jeli mengintip peluang. Lihatlah, disebuah sekolah dasar, diluar pagar ada seorang menjual semacam biji buah yang keras. Dan ternyata, barang sepele itu laku keras. Beberapa anak SD tetangga saya sepulang sekolah asyik memainkan biji keras itu. Diadu, siapa yang pecah duluan, dialah yang kalah.

“Main apa itu?” tanya saya.

“Main si Bolang,” jawab anak-anak itu sambil terus asyik dolanan. Rupanya mereka melakukan permainan itu karena meniru salah satu episode yang pernah mereka lihat pada program Si Bolang  yang ditayangkan Trans7

Begitulah anak-anak. Apapun, kalau mengasyikkan, bisa dijadikan mainan. Bagi pedagang, itu adalah peluang. Robby pun menangkapnya dengan jeli. Ia tidak jualan biji keras itu. Ya, ia lebih kreatif. Bikin topeng ala Zoro. Membuat sendiri dari bahan sejenis lembaran karet hitam tipis. Dengan sentuhan garis-garis dibagian pinggir sebagai pemanis. Entah ia dapat ide darimana. Dan untuk menjualnya ia berpartner dengan Pak Paiman. Dan hari itu 80 buah topeng telah berpindah tangan ke Pak Paiman untuk diedarkan di Prigen. Harganya dari Robby 500 rupiah perbuah, dan terserah Pak Paiman untuk dijual berapa di Prigen.

“Bagaimana, laku topengnya?” tanya saya pagi tadi. Saya baru bertemu tadi karena tiga hari kemarin ia libur.

“Laris, tapi baru laku 21 buah sudah dilarang jualan,” kata Pak Paiman yang nekat menjual per buah seribu rupiah.

“Lho, kenapa?”

“Istriku kan menjualnya di halaman sekolah TK,” Pak Paiman bercerita. “ dan anak-anak TK itu tetap mengenakan topeng ketika masuk kelas. Duduk manis sebagai sekelompok Zoro kecil. Dan tak mau melepas sekalipun dilarang gurunya...”

"Harusnya, gurunya suruh pakai topeng Zoro sekalian dong...," seloroh saya. ******

Sabtu, 03 Maret 2012

Tips Menjadi Penulis

AWALI setiap pagimu dengan menulis. Itu akan membuatmu menjadi penulis.

Gerald Brenan, penulis Inggris (1894-1987)