Minggu, 26 Juni 2011

Presiden Kupu-kupu

ENAM tahun lebih menjadi ajudan presiden,belum pernah saya lihat presiden segirang Minggu pagi ini.Wajahnya terang benderang,lebih bersinar ketimbang saat menang dalam pemilihan untuk jabatan kedua tahun lalu. “Lihatlah,”katanya.Mengajak saya melempar pandang kesegala penjuru taman sekeliling istana.”Si biru,si merah,si hijau dan segala warna telah mulai segar.Daun-daunnya lebat.Dan tunggulah,beberapa hari lagi mereka akan berbunga secara bersamaan.”

Berkali-kali saya lihat presiden geleng-geleng kepala kegirangan.Dan,diam-diam,saya selalu geleng-geleng kepala tak mengerti.Tapi saya ingat,presiden setelah sowan ke guru spiritualnya tiga bulan lalu,langsung mengelar rapat penting dengan menteri pertamanan.Hasilnya,dua hari setelah rapat itu,seluruh tanaman hias diistana dibabat habis.Semua diganti tanaman baru.Bunga-bunga dari jenis entah apa.

Tanaman bunga yang belum berbunga pun telah menggirangkan sang presiden.Terlihat indah memang.Taman istana yang luas itu terasa tampil beda.Pengelompokan jenis bunga yang apik,dan penataan yang eksotik;pastilah menteri pertamanan dan timnya telah bekerja sangat keras memenuhi permintaan sang presiden.Dan tanaman bunga itu,daunnya saja sudah memancarkan keindahan.Baru kali ini saya melihat tanaman bunga dengan daun beraneka warna.Biru,merah,hijau,kuning,ungu.Oh,pikiran saya jadi usil.Ya,usil.

Bukan hanya berpikir,tetapi saya iseng menghitung jumlah jenis tanaman bunga berdaun aneka warna.Jumlahnya empat puluh tujuh jenis.Berarti empat puluh tujuh warna daun.”Lhadalah,kok sama dengan jumlah partai di negeri ini....”batin saya bergumam.

Jum’at sore,ketika matahari mengurangi voltage pancarannya,selepas presiden mengantar pulang tamu kenegaraan di bandara kepresidenan,begitu tiba di istana langsung melihat-lihat tamannya.

“Menurut menteri pertamanan,dua hari lagi mereka akan serentak berbunga,”kata presiden entah kepada siapa.Tapi karena hanya saya yang didekatnya,mungkin saja kalimat itu memang diperdengarkan kepada saya.

“Sudah tak sabar rasanya menungu hari tu,”kata beliau lagi.

Saya diam.Tetap diam.
“Kamu mesti ikut,”presiden menoleh kearah saya.”Seluruh rakyat negeri ini mesti ikut.”

“Maaf,pak.Maksud bapak?”tanya saya.

“Ah,nantilah kamu pasti tahu maksudku.”



Minggu sore,ketika matahari perlahan-lahan mematikan sinarnya;presiden didampingi istri dan menteri pertamanan mengelilingi taman.

“Semua kita memang harus siap menghadapi perubahan.Kalau tidak ingin digilas perubahan itu sendiri.Makanya,sebelum mereka menggilas kita,kita harus lebih dulu berubah.”

“Apa rakyat kita sudah siap,pak?”tanya ibu negara.

“Makanya,sebelum mereka siap,kita dulu yang pertama.Kapan kira-kira kita bisa mulai,pak menteri?”

“Kalau menurut hitungan,seminggu setelah bunga pada mekar secara keseluruhan,proses selanjutnya segera menyusul.Tiga hari berikutnya,kita mulai bisa mengumpulkan ke gudang baru di selatan istana.Tiga puluh enam hari kemudian,kita mulai perubahan,”sungguh saya belum paham pada yang dijelaskan menteri pertamanan barusan.

Tetapi bapak presiden sungguh sangat terkesan.Sungguh.


Benar saja,sesuai hitungan pak menteri pertamanan,bunga-bunga mulai bermekaran.Indahnya tak terkatakan.Bapak presiden senangnya juga tak terkatakan.Dan memang sudah direncanakan,seluruh agenda presiden dikosongkan sampai tigapuluh enam hari kedepan.

Negara berjalan seperti biasa saja.Tak ada yang berubah.Setidaknya belum.Aktifitas istana juga berjalan;Wakil presiden yang jarang muncul,juru bicara yang selalu bicara,anggota dewan yang tetap begitu,petani tetap bertani,koruptor yang tetap suka korupsi,menteri keuangan yang selalu mencari pinjaman.Pokoknya berjalan,kehidupan tetap berjalan.Sekalipun mungkin ditempat.Kalau sudah begini,kadang saya berpikir,”Untuk apa ada presiden?”

Tanaman bunga yang aneh,pikir saya.Bunga berdaun biru bunganya merekah merah.Berdaun kuning berbunga hijau.Diantara keheranan saya itu,presiden malah bahagia setengah mati.Tiada henti dan tiada jemu mengelilingi taman sekehendak hati.Pagi,siang bahkan tengah malam.



“Lihatlah,”entah sudah berapa ratus kali beliau mengatakan kata yang sama.Sejak halaman istana ini ditanami bunga aneh bin nyata.Selalu.Selalu mengajak mata saya memandang hamparan bunga yang sangat tertata.”Besok.Pagi-pagi sekali akan terjadi,”sambung beliau.

Benarlah adanya.Pagi-pagi sekali,ketika saya hendak menemani beliau berolah raga berlari mengelilingi istana seperti biasa,ada yang tak biasa dimata saya.Dan karena yang tak biasa itu,beliau membatalkan acara olahraga paginya.

“Perubahan sudah mulai hari ini rupanya,”kata presiden sambil mendekati tanaman bunga satu persatu.Sampai semua.Sampai beliau bilang,”Ya,semua sudah datang.”

Siapa yang datang?
Saya heran,setiap beliau mendekati kuntum bunga,beliau riang luar biasa.Ada apa gerangan?Saya ikut mendekati bunga-bunga itu.Dan,oh!Ulat!Ribuan ulat kecil panjang sewarna daun bunga.Ulat kuning di bunga berdaun kuning,ulat hijau di daun hijau,ulat biru di biru,dsb,dst.

Oh,Tuhan.Keanehan apa lagi ini?Tapi presiden tetap riang.Makin riang.Melihat ulat-ulat itu mulai melahap daun bagiannya.Ulat ungu memakan daun ungu,ulat hitam makan daun hitam,ulat kelabu makan kelabu.Otak saya menjadi buntu memikirkan tanaman bunga berdaun sewarna,lalu kembang yang seperti tukar posisi,lalu sekarang ulat.Duh.

Melihat ulat sedang makan,presiden malah lupa makan.Mengamati dengan seksama para ulat yang lahap menyantap daun-daun bunga.Ulat-ulat tetap tertib.Belum memakan daun yang tidak sewarna.Ulat yang tadi pagi kecil panjang,kini terlihat gemuk dan lamban. Tetapi tetap lahap.Makin lahap.Tiada merasa kenyang rupanya.Makin siang makin garang.Makin berani.Termasuk memakan yang sedari tadi seperti tabu untuk dilakukan.Ulat-ulat yang yang tadi tertib sekarang tak tahu aturan.Memakan bunga yang bukan sewarna bulunya.

Ulat hijau makan daun merah,ulat biru makan ungu dan seterusnya.Dan sebagainya.

Menjelang petang,ulat-ulat berhenti makan.Tepatnya tiada yang dimakan.Habis sudah daun,bunga dan batangnya sekalian.Taman istana terasa aneh kini.Tanpa bunga.Tanpa hiasan.Kecuali ribuan ulat yang gemuk seukuran lengan.Menjijikkan.Tetapi presiden tidak jijik.Beliau,dengan semangat,memungutinya satu persatu.Memindahkannya ke gudang yang telah disiapkan di selatan istana.Dan,walau merasa jijik,saya ikutan membantu.Ibu negara juga turut serta.Para menteri dan nyonyanya masing-masing juga ikut.Pasukan pengawal presiden juga.Memungutinya satu persatu. Memindahkannya ke gudang.

Tepat tengah malam,usai sudah semua.

“Kunci pintunya,”perintah presiden.

Dan dengan sigap,komandan pasukan penjaga mengunci pintu gudang.Para menteri,termasuk saya sebagai ajudan presiden,merasa puas.Kerja menjijikkan seharian selesai sudah.Tetapi,

“Presiden dan ibu mana?”tanya saya.

Para menteri saling pandang.Pasukan pengaman presiden juga saling pandang.
“Didalam gudang?!”

“Lho?!”

“Bagaimana ini?! Presiden kok dikunci dari luar?”

“Sudahlah,”kata menteri pertamanan.”Beliau menginginkan begitu.Jangan panik,pada saatnya nanti beliau akan keluar sendiri.”


Tanpa ada presiden semua masih berjalan.Seakan masih ada presiden.Tetapi saya,sebagai ajudan,menjadi tak ada kerjaan.Seharian hanya memandangi pintu gudang yang terkunci rapat.Tidak hanya dari luar,tetapi juga dari dalam.Sehari,dua hari,seminggu,tiga minggu dan....suatu pagi dihari ke tigapuluh enam;...

Ada suara aneh berasal dari dalam gudang.Suara dengung,ah bukan.Suara desis,juga bukan.Suara aneh pokoknya.Seperti desir angin.Tapi lembut.Lembut sekali.

Menteri pertamanan datang tergopoh-gopoh.”Sekarang waktunya.Ya,sekarang,’katanya langsung menuju pintu.Membuka kuncinya,lalu membuka pintunya,lalu....

“Ya,Tuhan..”gumam saya begitu pintu gudang terbuka.Dan mata saya langsung menangkap isi gudang.Ribuan,atau bahkan ratusan ribu mahkluk nan indah siap mengepakkan sayap untuk terbang.Kupu-kupu.Aneka rupa,aneka warna.,”Rupanya ini asal suara aneh tadi,”batin saya.

Mata saya lalu tanpa lelah memandang kupu-kupu yang satu per satu terbang keluar gudang.Terbang mengitari istana.Ribuan,bahkan ratusan ribu.Terbang dengan aneka formasi.Indah,sangat indah.Tapi dimana presiden dan ibu negara?!Apa yang terjadi dengan beliau berdua?Dan...

Ketika hampir seluruh kupu-kupu keluar gudang,ada sepasang kupu-kupu besar mendekati pintu.Siap ikut terbang.Kupu-kupu yang besar.Kupu-kupu yang indah.Presiden dan ibu negarakah itu?

Dan,sayap mulai dikepakkan.Ringan.Sepasang kupu-kupu itu terbang sudah.Dan saya yakin.Itu presiden beserta ibu negara.Terbang.Turut mengitari angkasa diatas istana.Sebagai ajudan,saya harus ikut.Harusnya.Tetapi saya bukan kupu-kupu.Saya tentu tidak bisa terbang.Saya tidak punya sayap.Saya hanya punya sepasang tangan.”Tangan?!,”saya terkejut setengah mati melihat sepasang tangan saya.Benarkah ini tangan.Kenapa melebar?Kenapa menjadi tipis?Aha,ini sayap.Sayap yang indah.Sayap kupu-kupu.****

Rabu, 22 Juni 2011

OvJ: Opera van Jail

MEDIA suara-gambar (baca:televisi) sudah terbukti sedikit banyak menimbulkan dampak.Baik yang positif maupun yang sebaliknya.
Tentu masih melekat dalam ingatan kita,ketika banyak bocah yang cedera 'hanya' karena menirukan adegan Smack Down yang tayang di (alm) Lativi.Peniruan yang fatal.Karena banyak bocah mengira akan tidak apa-apa bila beradu banting dengan teman.Bisa di sekolah atau dirumah.Celaka.Karena yang mereka tiru dalam tayangan itu adalah sebuah 'tontonan'.Ya,sekadar tontonan. Yang sudah dibikin sedemikian rupa hampir mendekati nyata.
Sudahlah.Itu sudah masa lalu.Dan celakanya (lagi) peniruan-peniruan macam itu bukan tidak mungkin lagi terjadi saat Ini.tentu bukan menirukan adegan Smack Down yang memang sudah tidak tayang.Dan Lativi pun yang tinggal nama.
Dan,televisi –sebagai bidang yang menjual kreatifitas-- tak kan berhenti menjejali otak pemirsa dengan aneka kreasi.Perkara kreasi itu hanya sekadar menimbulkan haha-hihi,dan gagal menyemai nilai positif,itu soal lain.Itu soal belakangan.Atau jangan-jangan,memang tak terlalu perlu dipersoalkan.
Ambil contoh,tayangan Opera van Java yang mengudara via Trans7.Saban malam setia menemani yang rela terbahak dalam hidangan lawakan murahan!Yang hanyak berkutat pada olok-olok yang dianggap lucu.Olok-olok fisikal.Jelasnya;tentang hidung pesek dan sebangsanya.Atau adegan jatuh terjengkang oleh ulah jail lawan main yang mendorongnya duduk ke kursi 'palsu' stereofoam.
Lucu?Mungkin iya.Menghibur?Mungkin juga iya.Tetapi ketika kita mau berharap sedikit saja,misalnya harus mempunyai added value pasca memelototi sebuah tayangan,rasanya terlalu berharga waktu kita terbuang percuma selama sekian jam durasinya.
(Tulisan serupa juga bisa dibaca disini)

Sabtu, 11 Juni 2011

Gelagat Jahat

“KALAU pas gak punya uang,naik motor berdua dengan teman,dari Surabaya ke Sidoarjo yang dilihat cuma leher melulu,”cerita seorang kenalan.Intonasinya biasa saja.Seakan yang dilakukannya bukan kejahatan;padahal ia jambret kalung.”Orang itu,kalau kena jambret,jarang yang langsung teriak.Paling sering cuma tertegun,syok dulu.Beberapa saat kemudian baru sadar,dan baru teriak.Dan,aku sudah mak wusss kabur...”lanjutnya.Sungguh tega.Sungguh berbanding terbalik dengan namanya yang kalau di-Indonesiakan berarti penyayang.
Hal senada juga pernah diungkapkan kenalan saya yang lain.Ia spesialis ponsel.Tekniknya sama.Pengalamannya pun nyaris sama..”Padahal,kadang,kalau 'dapat' barang,dijual harganya gak akan sebanding dengan,misalnya,kalau ketangkap dan digebukin massa,”katanya.”Naik motor sambil SMS-an itu 'sasaran' empuk.Ngambilnya gampang.Pernah ini,Ponsel tak kira BB,langsung tak saut,dibawa kabur .Begitu di tempat aman tak lihat cuma ponsel Tiongkok yang murahan.Apes.”lanjutnya yang pernah jatuh sampai patah tulang lengan.
Satu hal lagi,tindakannya sungguh tak berbudi walau ia bernama Budi.

Saya jadi ingat bang Napi yang selalu berpesan,”Waspadalah,waspadalah,”setiap mengakhiri program berita kriminal di sebuah stasiun tivi.Benarlah adanya,bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat,tapi juga karena ada kesempatan.Makanya jangan beri kesempatan.dan waspadalah selalu.
Kewaspadaan itu pula yang selalu dipesankan emak (alm) kepada saya.Lebih-lebih ketika saya bali dari atau pulang ke Lamongan agak malam.Dengan rute yang melewati beberapa jalan yang lumayan sepi.Pesan itu ditegaskan bukan tanpa alasan.Karena,menurut cerita emak,di jalan yang sering saya lalui itu termasuk jalan rawan kejahatan.Dan sudah pernah terjadi perampasan motor.

“Hati-hati,ini sudah agak malam,”pesan emak ketika saya berdua dengan istri.,kali ini dalam perjalanan balik ke Surabaya.
Dari rumah berangkat selepas maghrib.
Meluncur ketimur.Lewat Palangan.Mentok 'tangkis' belok kanan.Sepi.Jalan makadam membujur dibawah tanggul bengawan mati.Mentok lagi,belok kanan lagi.Tetap sepi.Tetap bermotor sendiri bareng istri.Eh,tetapi tidak.Dibelakang ada motor lain.Membuntuti.Motor laki,dengan dua penumpang berjaket hitam.
Sampai Sambo lumayan terang,banyak rumah dikiri-kanan jalan.Tetapi,lepas itu sepi menyapa lagi.kanan-kiri hanya tambak membentang.Saya jadi ingat pesan emak.Dilokasi sepi macam ini,tentu sangat ideal sebagai tempat perampasan motor..Tetapi saya santai saja.Karena ada pengendara motor lain selain saya.Masih ada teman.Teman?Betulkan ia teman?
Jalan masih saja sepi.Masih saja diapit tambak kanan-kiri.Dan masih saja pengendara motor laki berjaket hitam ber-helm teropong itu membuntuti.Padahal,kalau mau,si Astrea tua saya ini bisa saja dibalap habis.Tetapi tidak.Malah ia ikut banter saat saya bawa motor tua saya ini membanter.Saat pelan,ia turut pula memelan.Ah,apa maunya ini?Jangan-jangan?
Saya rasakan tangan istri saya mendingin.Oleh udara malam bercampur rasa setengah takut.Buktinya,”Kita diikuti orang,mas,”ucapnya.
Selepas Blawi belok kiri.Sepi lagi.Saya tetap diikuti.Istri saya,dan juga saya,merasa mulai diikuti rasa was-was.Pengendara motor laki berjaket hitam ber-helm teropong,mungkin sedang mencari tempat yang tepat untuk merampas Astrea tua saya.Karena beberapa kilometer ke depan masih saja sepi,saya harus cari cara untuk menghindari perampasan.Harus waspada,seperti pesan emak.
Dan,itu dia.Didepan ada terlihat lampu lima belas watt berpendar dari kios bensin yang merangkap jabatan juga sebagai tempat tambal ban.Ini tempat pas untuk upaya penghindaran perampasan.Saya berhenti disitu.Pura-pura mau nambah angin.Pura-pura saja.Agar si penguntit saya segera menyalip saya.Tapi sial.Pengendara berjaket hitam itu juga ikutan berhenti.Dan salah satunya malah turun mendekati saya.Istri saya pasti makin dingin tubuhnya.Saya juga.Penjahat kadang memang main kasar.Tak peduli tempat untuk merampas mangsa.Dan,saya kira,saya sedang pada posisi tak berdaya.
Tetapi tidak.Kejahatan,apapun bentuknya itu,harus dilawan.Lebih-lebih saya laki-laki.yang tak mau kehilangan harga diri didepan istri.Maka,pikir saya,apapun caranya si Astrea tua harus dipertahankan.Mati-matian.Bahkan,kalau perlu,sampai mati sungguhan.
Rasa takut harus dilempar jauh-jauh.Seperti kata pepatah; berani karena benar,takut karena tidak berani.
Saya melirik langkah kaki yang mendekati saya.Menghitung jaraknya.Mempersiapkan pukulan atau tendangan macam apa yang bisa sekali sikat langsung mengena titik mematikan.Ini sedikit ilmu silat yang sempat diajarkan mbah Kung.
“Mau apa sampeyan?,”tanya saya dengan suara saya tegar-tegarkan walau dada hebat bergetar.
Istri saya malah diam.Takut setengah mati,membayangkan duel maut yang akan terjadi di depan matanya sebentar lagi.
“Bapak mau ke Surabaya?”
“Iya,”jawab saya.
“Saya nunut jalan ,pak.Saya mau balik ke Surabaya gak tahu jalan.Bingung,baru hari ini ke Lamongan,”katanya.
Oh?

Selasa, 07 Juni 2011

'Setan' Setia Kawan

SAYA menyukai seni sejak kecil. Sejak sering nunut orang agar bisa masuk ke gedung kesenian yang ajeg menggelar pementasan di kampung saya. Secara bergantian selalu ada. Ketoprak, wayang orang juga ludruk. Biasanya saya dan teman teman langsung menuju ke TKP begitu bubaran ngaji. Selalu. Kecuali malam Jum’at legi. Karena hari itu saya dan teman se-mushola harus ngaji lebih dari hari biasanya. Diawalai membaca surat Yaasin dilanjut tahlil dan lalu mendengar tausiah pak ustad. Menunduk saya mendengarnya ceramahnya. Bukan konsentrasi, tetapi sedang membayangkan betapa serunya sekuel kedua Angling Darmo yang bagian pertamanya sempat saya tonton kemarin malam.

Kalau tidak nonton seni tradisional, alternatifnya ada bioskop misbar. Tempatnya di lantai semen yang kalau siang untuk mengeringkan gabah. Tempat itu penggilingan padi di barat lapangan bola di kampung saya. Dengan pola yang sama;nunut orang masuknya. Film yang saya ingat, sering India. Kalau tidak ya filmnya Rhoma seperti Badai Diawal Bahagia dan semacamnya. Ada pula Gadis Marathon sampai James Bond.

Menginjak remaja, saya tak lagi nunut orang untuk nonton ludruk, selain sudah gak pantes,g edungnya sudah berganti menjadi SD Inpres. Misbar pun sudah tergusur , karena orang lebih suka nonton sinetron di tv. Walau waktu itu salurannya cuma sebiji. Tetapi Rumah Masa Depan,ACI,Pondokan,Losmen,Keluarga Rakhmat sampai generasi Jendela Rumah Kita telah dengan sukses melakukan pembunuhan tontonan panggung tetap seni tradisi di kampung kami. Sekalipun kadang masih ada saja yang nanggap sebagai hiburan pada hajatan.

Tetapi, ada satu seni tradisi yang masih eksis di kampung kami; jaranan. Saya tak cukup punya nyali untuk bergabung di seni yang satu ini, yang sampai kesurupan makan ayam mentah segala. Dan saya memilih gabung ke sebuah grup musik. Sekalipun saya tak bisa nyanyi sekaligus tak bisa main musik, tapi saya dipercaya sebagai emci.


Sekali waktu, karena solidaritas antar kawan, saya bersama teman se-band nonton grup jaranan teman kami yang dapat tanggapan di kampung tetangga kecamatan. Solidaritas, karena kalau kami pentas musik, teman jaranan ikut pula menonton kami.

Jaranan, kalau sampeyan tahu, selalu ada aroma kemenyan. Magis pokoknya. Sekalipun dengan musik yang hanya beberapa, ramenya luar biasa. Rock Jawa, istilah saya. Belum lagi kalau sudah kesurupan, jan menakutkan. Satu lagi, kalau sudah begitu, jangan coba-coba disiuli, bisa dikejar sampeyan. Tapi jangan terlalu takut. Ada tukang gambuh-nya.

Seorang penari , mas Nur namanya, saya lihat mulai kesurupan. Meminum air kembang, bahkan memakan kembangnya sekalian. Menari ritmis sekaligus magis. Berputar. Mencambuk-cambuk kaki sendiri. Menari.Berputar. Menari. Dan....

Ia berhenti tepat di depan saya dan teman-teman yang berdiri diantara penonton.

Gila. Matanya melotot tajam. Mulutnya menghambur-hamburkan kunyahan kembang. Tukang gambuh datang. Dengan bahasa mantra membujuknya agar kembali ke tengah. Agar menari lagi. Tapi gagal. Tetap saja mas Nur memeloti kami. Sorot matanya tajam. Sorot kesurupan. Dan sorot mata itu mengisyaratkan agar kami menuju ke tempat rias yang berada di belakang penabuh gamelan. Semacam kamar sementara untuk berias para pemain yang disiapkan shohibul hajat.

Sorot mata itu begitu menakutkan. Lebih-lebih ketika diselingi cambukan pecut jedar-jeder. Adegan yang bikin kami jantungan ini, malah bikin penonton tepuk tangan. Entah apa maksudnya.

“Sudahlah, ikuti saja maunya,” kata mbah Selar si tukang gambuh, semacam pawang.

“Ikuti apa, mbah?”

“Setan yang merasuki Nur ini ingin agar kamu dan teman-temanmu masuk ke kamar rias,” jawab mbah Selar.

Saya dan teman-teman saling pandang.Masuk ke kamar rias? Untuk apa?

Tapi suara pecut dicambukkan yang semakin ikut kesurupan ini, membuat kami seperti segerombolan sapi yang digiring ke kandang oleh sang gembala. Kami masuk ke kamar rias, digiring mas Nur yang masih kesetanan.

Diluar gamelan masih ditabuh. Terompat berbunyi tanpa henti.

Wong disuruh masuk saja kok repot. Tuh, di sini banyak jajan,” kata mas Nur yang tiba-tiba setannya hilang sambil menunjuk aneka jajan suguhan untuk rombongan jaranan.

Gila.
Lebih gila lagi, begitu keluar kamar rias, mas Nur kembali kesetanan. Menari lagi . Berputar-putar lagi. Menari lagi. Sambil mengunyah kembang.****

Sabtu, 04 Juni 2011

Cetak Ulang Foto Usang

PULANG kampung kerumah mbah Kung selalu saja ada cerita. Atau ada kenangan yang tiba-tiba ikut terjaga dari tidurnya. Juga rumpun bambu yang masih saja rimbun di utara rumah mbah Kung ini. Suara berjuta daunnya yang saling bergesek karena keanginan, ia melahirkan desis yang melankolis. Selebihnya,rumah tua itu tetapkan sama; di depan musholla ada berderet kembang 'kuping gajah', 'sri rejeki' sampai 'beras kutah'. Ia adalah sekadar nama bunga, walau yang mbah Kung suka hanyalah daunnya. Kuping gajah; berdaun hijau tua dengan garis-garis seperti sungai mengalir ke segala arah. Sri rejeki; lebih ramping penampilannya, rupanya dietnya berhasil. Beras kutah; agak ramping juga,dengan taburan warna putih di sekujur daunnya. Laksana beras tumpah.

Apalah arti sebuah nama. Lengkapnya lagi;apalah arti nama bunga. Karena ketika gemuruh 'gelombang cinta' yang beberapa waktu lalu melanda, saya selalu gagal menumbuhkan benih cinta kepada bunga. Kecuali satu saja; bunga turi. Yang saya tanam di depan rumah di Surabaya, yang benihnya juga saya impor langsung dari halaman samping rumah mbah Kung ini.

Masuk kedalam rumah, ada kesetiaan menempel di dinding diatas opening yang tembus keruang tengah. Foto presiden dan wakilnya. Bukti mbah Kung mencintai pemimpinnya. Hampir selesai dua periode kepemimpinan pak SBY, mbah Kung tetap saja setia memajang foto Gus Dur dan mbak Mega.

Masuk lebih kedalam lagi, kamar. Disitu, di sebuah lemari tersimpan setumpak kertas yang tanpa saya pesan apa-apa ke mbah Kung, bertahun-tahun tetap bahagia ditempatnya. Entahlah,kenapa mbah Kung tak tergoda untuk memusnahkannya. Paling tidak kertas-kertas itu bisa ditukar bumbu dapur ke warung sebelah. Karena ia bisa menjelma menjadi bungkus terasi, bawang putih dan semacamnya.

Kertas-kertas itu adalah tulisan saya saat SMP dulu. Dan membacanya lagi,jadi malu sendiri. Kok bisa-bisanya saya nulis begitu. Kok bisa-bisanya saya menulis sebagai 'aku' yang selalu berselimut cinta dalam setiap cerita. Mengapa? Kemengapaan itu jawabnya satu; saya terbawa arus Anita Cemerlang yang selalu rakus saya santap. Lalu saya menjadi seakan-akan Zara Zettira dan sebangsanya. Duh.

Masih dikamar itu, dikolong dipan juga tersimpan 'peralatan tempur' mbah Kung. Aneka 'senjata' tersimpan dalam kotak kayu. Maklum, mbah Kung adalah seorang purnawirawan tukang kayu.

Saya masih asyik memelototi selembar demi selembar tulisan tangan yang selalu saya tanggali. Lengkap dengan bulan dan tahunnya menulisnya. Karenanya saya jadi gampang mengingat 'asbabun nuzul' tulisan saya. Pada tumpukan berikutnya saya menemukan buku kecil bersampul kuning. Aha, ini buku raport saat saya SD. Membuka halaman pertama, saya langsung terpesona. Ada foto saya, ukuran tiga kali empat. Ah, ini satu-satunya foto masa kecil yang berhasil saya temukan. Sudah usang memang, karena itu foto lebih dari tigapuluh tahun yang lalu.

Saya pulang ke Surabaya membawa beberapa tulisan yang layak saya selamatkan sebagai kenangan. Ranking terpenting adalah, saya membawa foto usang dari raport saya. Saya ingin mengabadikannya. Saya ingin mencetak ulangnya.

"Ada yang bisa saya bantu, pak?" penjaga stodio foto di depan swalayan Rungkut Jaya ramah menyapa saya.

"Iya, mbak. Ini saya mau cetak ulang foto ini," kata saya sambil mengeluarkan foto kecil tiga kali empat.

Agak lama penjaga studio foto itu mengamatinya.

"Saya ingin cetak ukuran 10 R dua lembar," saya berkata.

"Maaf, pak. Foto ini sudah agak rusak. Ada bagian yang menguning pada beberapa bagian, terutama dada kebawah," si mbak menjelaskan.

"Lalu?" tanya saya.

"Untuk hasil lebih bagus, saya sarankan anak ini diajak langsung kesini. Difoto lagi. Dijamin hasilnya lebih sempurna," terangnya.

"Oh sudah, mbak. Anak itu sudah disini. Sudah di depan mbak.Dan sudah berewokan..." jawab saya.

Rabu, 01 Juni 2011

Hidup Itu Bagai Sepasang Sepatu

"HIDUP itu bagai sepasang sepatu,"kang Karib berkata.
"Mosok to,kang? Yang sering aku dengar sih,hidup itu cuma sekadar mampir ngombe,cuma numpang minum.Lha kalau sampeyan bilang hidup bagai sepasang sepatu itu sampeyan dapat ilmu darimana?"sahut mas Bendo.
Kang Karib tertawa.
"Sampeyan itu piye to,kang.Kok malah ngguyu."
"Ya aku ini ngguyu kamu.Wong aku asal ngomong kok ditanggapi serius."
"Lhadalah.Semprul tenan sampeyan."
Kang Karib tertawa lagi.Kali ini tawanya serius sungguhan."Yo wis,nDo,kalau kamu mau aku serius,ya tak seriusi kamu.Piye?"
"Ya baguslah kalau gitu.Piye,piye?Penjelasannya bagaimana?"
"Begini,nDo.Kalau 'mampir ngombe' itu kan penggambaran betapa sebentarnya hidup ini.Ibaratnya,ya cuma sak sruputan saja.Makanya waktu harus jangan tersia-siakan.Harus bermakna.Harus memberi added value baik secara horizontal maupun vertikal."
Mas Bendo ndlahom."Lha hubungannya dengan persepatuan tadi piye?"
"Begini,"jawab kang Karib."Sepasang sepatu itu ada kanan,ada kiri."
"Ya jelas to,kang.Mosok dua-duanya kanan."
"Aku mau tanya sekarang;ukuran sepatumu berapa?"
"41,"jawab mas Bendo.
"Dua-duanya?"
"Ya tentu,kang.Mosok yang satu 39,lak sisian.Lak gak nyaman dikenakan."
"Ya itu penjelasannya.Hidup itu ya seperti itu.Ada kanan,ada kiri.Bukan sebagai pembeda.Tetapi jadikan ia sebagai penyedap rasa.Agar nyaman dikenakan."
"Aku kok belum mudheng to,kang?"
"Suami -istri itu layaknya sepasang sepatu,atasan-bawahan itu seperti sepasang sepatu,kamu dan tempat kerjamu itu bagai sepasang sepatu dst,dsb..."
"Kanan-kiri,atas-bawah tapi saling melengkapi.Begitu?"
"Tul."
"Saling mengerti fungsi dan tahu tempat diri.Begitu?"
"Tul."
"Tal-tul,tal-tul?!"mas Bendo sedikit anyel.
"Hahaha..."kang Karib tertawa."Sekarang kamu sudah mudheng kan maksudku.Memakai sepatu itu akan tidak terasa nyaman kalau ada sebiji kerikil didalam salah satunya.Apalagi di dua-duanya."