PULANG kampung kerumah mbah Kung selalu saja ada cerita. Atau ada kenangan yang tiba-tiba ikut terjaga dari tidurnya. Juga rumpun bambu yang masih saja rimbun di utara rumah mbah Kung ini. Suara berjuta daunnya yang saling bergesek karena keanginan, ia melahirkan desis yang melankolis. Selebihnya,rumah tua itu tetapkan sama; di depan musholla ada berderet kembang 'kuping gajah', 'sri rejeki' sampai 'beras kutah'. Ia adalah sekadar nama bunga, walau yang mbah Kung suka hanyalah daunnya. Kuping gajah; berdaun hijau tua dengan garis-garis seperti sungai mengalir ke segala arah. Sri rejeki; lebih ramping penampilannya, rupanya dietnya berhasil. Beras kutah; agak ramping juga,dengan taburan warna putih di sekujur daunnya. Laksana beras tumpah.
Apalah arti sebuah nama. Lengkapnya lagi;apalah arti nama bunga. Karena ketika gemuruh 'gelombang cinta' yang beberapa waktu lalu melanda, saya selalu gagal menumbuhkan benih cinta kepada bunga. Kecuali satu saja; bunga turi. Yang saya tanam di depan rumah di Surabaya, yang benihnya juga saya impor langsung dari halaman samping rumah mbah Kung ini.
Masuk kedalam rumah, ada kesetiaan menempel di dinding diatas opening yang tembus keruang tengah. Foto presiden dan wakilnya. Bukti mbah Kung mencintai pemimpinnya. Hampir selesai dua periode kepemimpinan pak SBY, mbah Kung tetap saja setia memajang foto Gus Dur dan mbak Mega.
Masuk lebih kedalam lagi, kamar. Disitu, di sebuah lemari tersimpan setumpak kertas yang tanpa saya pesan apa-apa ke mbah Kung, bertahun-tahun tetap bahagia ditempatnya. Entahlah,kenapa mbah Kung tak tergoda untuk memusnahkannya. Paling tidak kertas-kertas itu bisa ditukar bumbu dapur ke warung sebelah. Karena ia bisa menjelma menjadi bungkus terasi, bawang putih dan semacamnya.
Kertas-kertas itu adalah tulisan saya saat SMP dulu. Dan membacanya lagi,jadi malu sendiri. Kok bisa-bisanya saya nulis begitu. Kok bisa-bisanya saya menulis sebagai 'aku' yang selalu berselimut cinta dalam setiap cerita. Mengapa? Kemengapaan itu jawabnya satu; saya terbawa arus Anita Cemerlang yang selalu rakus saya santap. Lalu saya menjadi seakan-akan Zara Zettira dan sebangsanya. Duh.
Masih dikamar itu, dikolong dipan juga tersimpan 'peralatan tempur' mbah Kung. Aneka 'senjata' tersimpan dalam kotak kayu. Maklum, mbah Kung adalah seorang purnawirawan tukang kayu.
Saya masih asyik memelototi selembar demi selembar tulisan tangan yang selalu saya tanggali. Lengkap dengan bulan dan tahunnya menulisnya. Karenanya saya jadi gampang mengingat 'asbabun nuzul' tulisan saya. Pada tumpukan berikutnya saya menemukan buku kecil bersampul kuning. Aha, ini buku raport saat saya SD. Membuka halaman pertama, saya langsung terpesona. Ada foto saya, ukuran tiga kali empat. Ah, ini satu-satunya foto masa kecil yang berhasil saya temukan. Sudah usang memang, karena itu foto lebih dari tigapuluh tahun yang lalu.
Saya pulang ke Surabaya membawa beberapa tulisan yang layak saya selamatkan sebagai kenangan. Ranking terpenting adalah, saya membawa foto usang dari raport saya. Saya ingin mengabadikannya. Saya ingin mencetak ulangnya.
"Ada yang bisa saya bantu, pak?" penjaga stodio foto di depan swalayan Rungkut Jaya ramah menyapa saya.
"Iya, mbak. Ini saya mau cetak ulang foto ini," kata saya sambil mengeluarkan foto kecil tiga kali empat.
Agak lama penjaga studio foto itu mengamatinya.
"Saya ingin cetak ukuran 10 R dua lembar," saya berkata.
"Maaf, pak. Foto ini sudah agak rusak. Ada bagian yang menguning pada beberapa bagian, terutama dada kebawah," si mbak menjelaskan.
"Lalu?" tanya saya.
"Untuk hasil lebih bagus, saya sarankan anak ini diajak langsung kesini. Difoto lagi. Dijamin hasilnya lebih sempurna," terangnya.
"Oh sudah, mbak. Anak itu sudah disini. Sudah di depan mbak.Dan sudah berewokan..." jawab saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar