Kamis, 30 Maret 2017

Mirasantika Putra Raja

SEIKAT bayam yang dijajakan abang sayur dari pagi hingga siang dan gak laku, begitulah wajah Mas Bendo. Layu stadium empat.

Kok loyo begitu, ada masalah opo to, nDo?” Kang Karib menyambut.

Aku sedih, Kang,” lirih Mas Bendo berkata. “bagaimana sedihku tidak menembus ke sumsum tulang bila rajaku, panutanku, yang petuah-petuahnya telah meluruskan aku dari jalan keliru, kini justru tertimpa cobaan; darah dagingnya sendiri terjerumus mirasantika...”.

Apakah kamu tidak berniat menaikkan status sedihmu itu menjadi marah?” pancing Kang Karib. “Karena, bukankah kurang elok bila suka bernasihat ke orang sekerajaan, eh anak sendiri malah ketangkap...”.

Marah? Apakah dengan marah bisa menyelesaikan masalah?” umpan lambung Kang Karib dipotong oleh Mas Bendo. “Marah tidak, kecewa iya”, lanjutnya.

Sudahlah, nDo, dibikin santai saja. ♪♫ yuk kita santai agar otot tidak kejang, yuk kita santai agar syaraf tidak tegang...♫♪...”.

Jangan ngejek gitu, Kang...”

Ngejek gimana. Kamu pikir rajamu itu akan stress menghadapi ini. Tidak akan, nDo. Dengar nasihatnya: ♪♫ streessss... obatnya iman dan takwa...♫♪”.

Wis, wis, Kang”, Mas Bendo berniat beranjak. Namun,

Mau kemana kamu, nDo?”

Mau mencari teman lain yang bisa bikin adem, yang bukan malah ngece seperti Sampeyan”, sungut Mas Bendo.

Iya, nDo. Tapi ingat: ♪♫ mencari teman memang mudah, pabila untuk teman suka. Mencari teman tidak mudah, pabila untuk teman duka...♫♪”.

Mak klepat, Mas Bendo pergi. Hatinya nggondok. ,”Ter-la-lu...”, umpatnya tertuju untuk Kang Karib. *****

Rabu, 29 Maret 2017

Ketakutan dan Impian

OH, ini harus diangkat”, kata dokter bedah itu setelah membaca hasil foto USG yang diambil kemarin dari ruang radiologi, “harus dioperasi. Berani?”

Beberapa saat istri saya diam, sediam saya yang duduk di sampingnya. Sikap antara takut dan berani itu pernah saya alami, juga di depan dokter bedah, beberapa tahun yang lalu. Tetapi, kalau kalah sama takut, si penyakit akan makin akut dengan aneka derita susulan yang menyertainya.

Baca juga: Mengandung Humor, Menanggung Tumor

Iya, Dok, dioperasi saja”, lirih istri saya menjawab. Saya pegang tangannya sebagai bukan sikap sok romantis. Tetapi, bukankah memang harus ada yang menguatkan di saat seperti itu.

Hari yang ditentukan pun akhirnya datang juga. Tepat sekeluar saya dari musholla di rumah sakit itu untuk menunaikan shalat Asyar, istri saya menelepon agar saya segera kembali ke kamar rawat inap. Di situ telah ada perawat yang akan membawanya ke ruang operasi.

Saya menyertai istri saya yang didorong menuju ruang dingin berlampu terang itu. Saya lirik mulut istri saya tiada henti entah melafalkan doa apa. “Nanti sebelum diorepasi, berdoalah yang pendek saja”, pesan saya. Alasannya, percuma bermaksud berdoa dengan panjang tetapi harus terputus oleh reaksi obat bius.

Sebelum operasi, istri saya berganti baju hijau pucat. Entah pengaruh warna pakaian yang dikenakannya atau rasa takut yang menggelayut, kulit istri saya kelihatan lebih bersih, hanya beda sedikit dibanding putihnya kulit artis Korea.

Alhamdulillah operasi berjalan baik, dan kini (saat saya membuat tulisan ini) istri saya sudah di rumah dan menjalani masa pemulihan.

Dalam dunia kedokteran mungkin operasi yang dilakoni istri saya adalah perkara kecil. Tetapi, kata 'operasi' sering membuat rasa takut lebih dulu membesar. Dalam banyak hal lainnya, ketakutan-ketakutan sebelum memulai sesuatu, kata para motivator sih, adalah juga pembunuh suatu impian dan cita-cita. *****