Minggu, 18 Oktober 2015

Cerita Elita

UMURKU dua puluh tahun ketika mulai tinggal di apartemen ini, tepatnya tujuh hari sebelum peresmiannya, delapan belas tahun yang lalu. Tentu, gedung apartemen yang dibangun di atas tanah yang sebagian di antaranya adalah bekas kuburan ini belum seperti sekarang, yang semua fasilitas lebih lengkap. Waktu itu, seingatku, jalan raya di depan itu, yang ada patung buayanya itu, juga masih sepi. Motor belum seperti digelontorkan dari pabriknya seperti sekarang, sehingga angkot masih menjadi andalan orang-orang yang kurang berduit. Yang juga kuiingat, tengah malam sebelum esoknya Pak Walikota meresmikannya, ada empat-lima orang menggali tanah di sisi depan-kanan bangunan untuk menanam kepala kerbau hitam.

Penghuni lama yang betah tinggal sampai sekarang masih bisa kuhitung dengan jelas. Pertama, tentu Bapak Tua yang saban hari sejak dulu suka berbaju hitam yang tinggal di lantai empat belas. Walau aku yakin ia tidak tuna wicara, belum pernah sekali pun aku mendengar ia bicara. Beberapa kali kami ketemu di dalam lift, (biasanya malam-malam, ketika aku dari cari angin di depan lobby; duduk menyendiri di bibir kolam kecil dengan pohan kamboja di kanan-kirinya, dan bunyi gemericik air di kolam itu sungguh bikin hati tenteram) dia menombol angka empat belas dan aku melakukan hal sama untuk tujuanku; lantai tiga puluh empat.

Seperti kami yang jarang tahu apa pekerjaan tiap-tiap penghuni, begitu juga aku tak tahu apa profesi Bapak Tua itu yang ketika sesekali aku melintas di depan pintu apartemennya, selalu bisa dengan jelas kuhirup wangi bunga kamboja, aroma yang juga amat aku suka.

Begitulah, apartemen ini, yang kalau dibandingkan dengan gedung serupa di sekujur kota yang lahir belakangan, tetap belum kalah. Ya desainnya yang elegan dan cenderung klasik, atau bentangan taman nan luas dengan aneka tanaman hias terawat sempurna, juga lobby berinterior artistik dengan piano tua di sudutnya yang malam-malam sering aku diam-diam memainkannya . Tetapi seperti juga pernah engkau dengar, ada kalimat yang mengatakan 'orang bisa membeli tempat tinggal dengan kasur empuk dan semua ruang berpenyejuk, namun tiada orang sanggup membeli mimpi'. Semakin orang mengingini privacy berlebih, seperti para penghuni gedung apartemen ini, niscaya mereka semua adalah pula pengidap paranoid berlebih.

Okupansi gedung yang kutinggali ini tak pernah jelek, dengan lebih delapan puluh persen adalah orang lama dengan dominasi orang lokal dan sisanya adalah orang asing yang punya pabrik di kawasan industri kota ini. Para ekspatriat itu ada yang dari Jepang, Korea, India, Italia atau orang Cheko, yang check in dua bulan lalu, yang dengar-dengar ia adalah bos pabrik garment di kota sebelah.

Seperti mereka yang tak memedulikan aku, aku pun kurang peduli kepada mereka. Beberapa kali kami bertemu di taman, ketika mereka mengajak anak-itrinya --juga anjingnya-- bermain, sama sekali tak pernah menyapaku atau paling tidak melemparkan senyum kepadaku. Oh, ataukah mereka memang selalu tidak melihat kehadiranku?

Tentang anjing-anjing itu, yang sekarang bukan hanya si Korea itu saja yang memeliharanya, namun banyak penghuni lainya, adalah sebuah pelanggaran, sebenarnya. Karena sebagaimana tercantum dalam peraturan; dilarang memelihara binatang di apartemen. Namun, pelanggaran itu justru berawal dari orang lokal sini saja yang katanya masih famili dekat owner gedung ini. Sebagai keluarga pemilik, mana berani coba, pihak managemen menegurnya. Ya, begitulah, akhirnya orang yang karena sebab keyakinannya tak mau berdekatan dengan anjing seperti aku ini, setiap mereka membawa peliharaannya dan kami bertemu di dalam lift, aku mepet ke sudut seperti orang ketakutan terlutar penyakit berbahaya.

Di antara penghuni yang betah tinggal disini, malah sering kudapati para pegawai yang datang dan pergi. Tak terkecuali para resepsionis itu. Ohya, aku punya cerita tentang salah satu dari mereka. Namanya Clara, orangnya periang dengan ciri ada tato bertuliskan nama Rindang di dada kirinya. (Oh, engkau keliru kalau menduga Rindang itu nama mantan suaminya atau nama anak sulungnya. Itu adalah nama lelaki cinta pertamanya. Dan sebagai penganut aliran first love never die yang taat, ia betekad tak akan menghapus tato itu selamanya) Secara perawakan Clara itu masihlah seperti gadis baru setahun lulus SMA, walau, “Ia sudah janda, punya anak dua,” bisik seorang sopir yang sempat kudengar, saat aku duduk di depan driver's lounge.

Janda gak apa-apa, yang penting masih singset,” temannya, yang kukira juga sopir, menimpali dengan otak jorok khas laki-laki.

Hust, jangan macam-macam, ia sudah milik bosku,” wanti-wantinya seolah teman sopirnya itu sanggup menanggung tambahan dua anak lagi, plus biaya make up ibunya yang dari aromanya saja sudah ketahuan kalau bukan parfum atau bedak merek murahan.

Bermula dari pembicaraan itu, secara iseng kutelusuri betulkah demikian adanya. Dan, kutemui kebenarannya dua minggu berselang ketika kukuntit si Clara selepas jam kerja. Malam itu, tidak seperti biasa, ia tidak menuju parkir kendaraan karyawan untuk terus pulang, namun menuju ke depan lobby yang disitu sudah menunggu si sopir dari bule Italia yang kalaulah ditambah tiga centi lagi panjang hidungnya akan menjadi seperti milik Pinnochio.

Clara tidak bertanya hendak dibawa kemana karena pastilah si sopir sudah tahu dimana tuannya telah menunggu. Hapal sudah sopir itu, setiap majikan perempuannya pulang ke Milan, si tuan akan tidak kesepian dengan kehadiran Clara itu.

Satu tahun lagi empat puluh tahun usiaku. Hei, kamu tdak percaya ya? Jangan begitu, bukankah sekarang terserah pada masing-masing orang untuk tampak melebihi usia atau sebaliknya. Jangan bandingkan aku dengan istrimu yang karena kurang kau modali dan malah kau bebani dengan hal-hal yang kurang menyenangkannya, membuat ia tampak tua sebelum waktunya. Ayolah, para suami, jangan menang sendiri. Jangan pernah sedikit pun menipu istrimu dengan bilang meeting ketika kau pulang terlambat padahal engkau sedang bersenang-senang dengan sahabat lamamu yang sekarang ia sudah menjadi istri orang lain. Bagaimana bisa engkau sering menuntut istrimu agar selalu terlihat muda dan menggairahkan padahal engkau sendiri makin hari malah makin bersifat kekanak-kanakan saja?

Kata orang, hidup dimulai dari umur empat puluh. Jangan percaya! Itu omongan orang ngelantur. Sengelantur orang jomblo yang selalu bilang bahagia. Kalau mau bikin, ada banyak kalimat lainnya untuk menyembunyikan ketidakbahagiaan para jomblo itu. Hei, jangan tersinggung. Aku juga jomblo dan aku tak sebahagia orang-orang yang sudah berpasangan.

Di bagian lain gedung ini, di dekat kolam renang, pada bulan bagus sering dilangsungkan acara pesta pernikahan. Kulihat disitu kedua mempelai menaburkan senyum tiada henti kepada siapa saja yang datang. Sementara di sudut lain, seorang perempuan berkacamata tebal nampak menyendiri. Selain kurang bisa bergaul, kulihat ia juga kurang bisa berdandan. Itu dua hal yang membuatnya berpeluang menjadi perawan tua, seperti aku. Hal lain yang membuat perempuan sulit mendapatkan jodoh adalah bila penghasilanmu jauh melebihi siapa pun lelaki di seantero negeri. Makanya, tak usahlah perempuan mati-matian siang-malam bekerja terlalu keras untuk mengumpulkan harta bila karenanya engkau malah menjadi amat menakutkan untuk dinikahi.

Ya, aku suka menyendiri, seperti Bapak Tua lantai empat belas itu, dan aku punya alasan sendiri tentang kesendirianku ini. Okelah, engkau boleh saja menganggap alasan yang hendak kuutarakan ini hanya bualan seperti buatan para jomblo yang gemar menyanyi i'am single and very happy itu.

Seperti engkau yang pernah diam-diam suka kepada seseoang yang celakanya ia malah tidak mengetahuinya, begitulah pula kisah--bertepuk sebelah tangan--ku ini. Lara karena cinta, lebih-lebih untuk kali pertama, sungguhlah tiada tara. Aku tidak tahu, kalau engkau pernah berulang kali jatuh cinta dan berulang kali pula gagal, apakah engkau masih merasakan sakitnya tuh disini. Ataukah engkau malah sudah kebal oleh hal yang bisa jadi itu adalah memang karmamu sendiri.

Ingin sekali aku berbagi cerita cintaku itu kepadamu. Namun, aku pikir, sungguh bukan tempat yang tepat untuk menumpahkan segalanya disini. Betul, seperti engkau saat curhat, bukankah itu tak kau lakukan kepada semua orang. Hanya kepada sahabat yang kau yakini ia bisa menyimpan rahasia dan bukan malah mem-bully-mu ketika ia sudah tahu isi hati dan perasaanmu.

Ya, aku ingin menjadi sahabatmu. Menjadi teman curhatmu, sebagaimana engkau (kalau mau) menjadi teman curhatku. Oh, jangan permasalahkan dunia kita berbeda. Karena bukankah cinta juga hal gaib dan sebagian besar orang tidak menakuti cinta.

Baiklah, sebagai sahabat, kau bisa memintaku datang kepadamu kapan saja. Caranya tidak sulit kok. Ketika suatu malam kau ingin aku ada di sisimu; matikanlah lampu kamarmu dan gantikan ia dengan sebatang lilin. Letakkan lilin yang sudah kau nyalakan itu di atas meja yang telah kau taruh disitu kembang kamboja. Berdoalah sambil memejamkan mata dan sebutlah namaku. Bila ada desir angin lembut kau rasa di tengkukmu, itu tandanya aku telah ada di kamarmu.

Ohya, hampir lupa. Kenalkan; namaku Elita. *****


2 komentar:

  1. Ini karangan sampeyan atau gimana, Mas? Apakah ini juga dimaksud sebagai cerpen atau diari atau bagaimana? Lantas, siapa Elita kok ujug ujug muncul di akhir tulisan?

    Eh, saya suka bagian ini: "Makanya, tak usahlah perempuan mati-matian siang-malam bekerja terlalu keras untuk mengumpulkan harta bila karenanya engkau malah menjadi amat menakutkan untuk dinikahi."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Entah sebagai apa tepatnya ya, Ra? Yang jelas, awalnya tulisan di atas saya beri judul Solilokui Elita.

      Hapus