UMURKU
dua puluh tahun ketika mulai tinggal di apartemen ini, tepatnya tujuh
hari sebelum peresmiannya, delapan belas tahun yang lalu. Tentu,
gedung apartemen yang dibangun di atas tanah yang sebagian di
antaranya adalah bekas kuburan ini belum seperti sekarang, yang semua
fasilitas lebih lengkap. Waktu itu, seingatku, jalan raya di depan
itu, yang ada patung buayanya itu, juga masih sepi. Motor belum
seperti digelontorkan dari pabriknya seperti sekarang, sehingga
angkot masih menjadi andalan orang-orang yang kurang berduit. Yang
juga kuiingat, tengah malam sebelum esoknya Pak Walikota
meresmikannya, ada empat-lima orang menggali tanah di sisi
depan-kanan bangunan untuk menanam kepala kerbau hitam.
Penghuni
lama yang betah tinggal sampai sekarang masih bisa kuhitung dengan
jelas. Pertama, tentu Bapak Tua yang saban hari sejak dulu suka
berbaju hitam yang tinggal di lantai empat belas. Walau aku yakin ia
tidak tuna wicara, belum pernah sekali pun aku mendengar ia bicara.
Beberapa kali kami ketemu di dalam
lift,
(biasanya malam-malam, ketika aku dari cari angin di depan lobby;
duduk menyendiri di bibir kolam kecil dengan pohan kamboja di
kanan-kirinya, dan bunyi gemericik air di kolam itu sungguh bikin
hati tenteram) dia menombol angka empat belas dan aku melakukan hal
sama untuk tujuanku; lantai tiga puluh empat.
Seperti
kami yang jarang tahu apa pekerjaan tiap-tiap penghuni, begitu juga
aku tak tahu apa profesi Bapak Tua itu yang ketika sesekali aku
melintas di depan pintu apartemennya, selalu bisa dengan jelas
kuhirup wangi bunga kamboja, aroma yang juga amat aku suka.
Begitulah,
apartemen ini, yang kalau dibandingkan dengan gedung serupa di
sekujur kota yang lahir belakangan, tetap belum kalah. Ya desainnya
yang elegan dan cenderung klasik, atau bentangan taman nan luas
dengan aneka tanaman hias terawat sempurna, juga lobby
berinterior artistik dengan piano tua di sudutnya yang malam-malam
sering aku diam-diam memainkannya . Tetapi seperti juga pernah engkau
dengar, ada kalimat yang mengatakan 'orang bisa membeli tempat
tinggal dengan kasur empuk dan semua ruang berpenyejuk, namun tiada
orang sanggup membeli mimpi'. Semakin orang mengingini privacy
berlebih, seperti para penghuni gedung apartemen ini, niscaya mereka
semua adalah pula pengidap paranoid berlebih.
Okupansi
gedung yang kutinggali ini tak pernah jelek, dengan lebih delapan
puluh persen adalah orang lama dengan dominasi orang lokal dan
sisanya adalah orang asing yang punya pabrik di kawasan industri kota
ini. Para ekspatriat itu ada yang dari Jepang, Korea, India, Italia
atau orang Cheko, yang check
in
dua bulan lalu, yang dengar-dengar ia adalah bos pabrik garment
di kota sebelah.
Seperti
mereka yang tak memedulikan aku, aku pun kurang peduli kepada mereka.
Beberapa kali kami bertemu di taman, ketika mereka mengajak
anak-itrinya --juga anjingnya-- bermain, sama sekali tak pernah
menyapaku atau paling tidak melemparkan senyum kepadaku. Oh, ataukah
mereka memang selalu tidak melihat kehadiranku?
Tentang
anjing-anjing itu, yang sekarang bukan hanya si Korea itu saja yang
memeliharanya, namun banyak penghuni lainya, adalah sebuah
pelanggaran, sebenarnya. Karena sebagaimana tercantum dalam
peraturan; dilarang memelihara binatang di apartemen. Namun,
pelanggaran itu justru berawal dari orang lokal sini saja yang
katanya masih famili dekat owner
gedung ini. Sebagai keluarga pemilik, mana berani coba, pihak
managemen menegurnya. Ya, begitulah, akhirnya orang yang karena sebab
keyakinannya tak mau berdekatan dengan anjing seperti aku ini, setiap
mereka membawa peliharaannya dan kami bertemu di dalam lift,
aku mepet ke sudut seperti orang ketakutan terlutar penyakit
berbahaya.
Di
antara penghuni yang betah tinggal disini, malah sering kudapati para
pegawai yang datang dan pergi. Tak terkecuali para resepsionis itu.
Ohya, aku punya cerita tentang salah satu dari mereka. Namanya
Clara, orangnya periang dengan ciri ada tato bertuliskan nama Rindang
di dada kirinya. (Oh, engkau keliru kalau menduga Rindang itu nama
mantan suaminya atau nama anak sulungnya. Itu adalah nama lelaki
cinta pertamanya. Dan sebagai penganut aliran first
love never die
yang taat, ia betekad tak akan menghapus tato itu selamanya) Secara
perawakan Clara itu masihlah seperti gadis baru setahun lulus SMA,
walau, “Ia sudah janda, punya anak dua,” bisik seorang sopir yang
sempat kudengar, saat aku duduk di depan driver's
lounge.
“Janda
gak
apa-apa, yang penting masih singset,”
temannya, yang kukira juga sopir, menimpali dengan otak jorok khas
laki-laki.
“Hust,
jangan macam-macam, ia sudah milik bosku,” wanti-wantinya seolah
teman sopirnya itu sanggup menanggung tambahan dua anak lagi, plus
biaya make
up
ibunya yang dari aromanya saja sudah ketahuan kalau bukan parfum atau
bedak merek murahan.
Bermula
dari pembicaraan itu, secara iseng kutelusuri betulkah demikian
adanya. Dan, kutemui kebenarannya dua minggu berselang ketika
kukuntit si Clara selepas jam kerja. Malam itu, tidak seperti biasa,
ia tidak menuju parkir kendaraan karyawan untuk terus pulang, namun
menuju ke depan lobby
yang disitu sudah menunggu si sopir dari bule Italia yang kalaulah
ditambah tiga centi lagi panjang hidungnya akan menjadi seperti milik
Pinnochio.
Clara
tidak bertanya hendak dibawa kemana karena pastilah si sopir sudah
tahu dimana tuannya telah menunggu. Hapal sudah sopir itu, setiap
majikan perempuannya pulang ke Milan, si tuan akan tidak kesepian
dengan kehadiran Clara itu.
Satu
tahun lagi empat puluh tahun usiaku. Hei, kamu tdak percaya ya?
Jangan begitu, bukankah sekarang terserah pada masing-masing orang
untuk tampak melebihi usia atau sebaliknya. Jangan bandingkan aku
dengan istrimu yang karena kurang kau modali dan malah kau bebani
dengan hal-hal yang kurang menyenangkannya, membuat ia tampak tua
sebelum waktunya. Ayolah, para suami, jangan menang sendiri. Jangan
pernah sedikit pun menipu istrimu dengan bilang meeting
ketika kau pulang terlambat padahal engkau sedang bersenang-senang
dengan sahabat lamamu yang sekarang ia sudah menjadi istri orang
lain. Bagaimana bisa engkau sering menuntut istrimu agar selalu
terlihat muda dan menggairahkan padahal engkau sendiri makin hari
malah makin bersifat kekanak-kanakan saja?
Kata
orang, hidup dimulai dari umur empat puluh. Jangan percaya! Itu
omongan orang ngelantur. Sengelantur orang jomblo yang selalu bilang
bahagia. Kalau mau bikin, ada banyak kalimat lainnya untuk
menyembunyikan ketidakbahagiaan para jomblo itu. Hei, jangan
tersinggung. Aku juga jomblo dan aku tak sebahagia orang-orang yang
sudah berpasangan.
Di
bagian lain gedung ini, di dekat kolam renang, pada bulan bagus
sering dilangsungkan acara pesta pernikahan. Kulihat disitu kedua
mempelai menaburkan senyum tiada henti kepada siapa saja yang datang.
Sementara di sudut lain, seorang perempuan berkacamata tebal nampak
menyendiri. Selain kurang bisa bergaul, kulihat ia juga kurang bisa
berdandan. Itu dua hal yang membuatnya berpeluang menjadi perawan
tua, seperti aku. Hal lain yang membuat perempuan sulit mendapatkan
jodoh adalah bila penghasilanmu jauh melebihi siapa pun lelaki di
seantero negeri. Makanya, tak usahlah perempuan mati-matian
siang-malam bekerja terlalu keras untuk mengumpulkan harta bila
karenanya engkau malah menjadi amat menakutkan untuk dinikahi.
Ya,
aku suka menyendiri, seperti Bapak Tua lantai empat belas itu, dan
aku punya alasan sendiri tentang kesendirianku ini. Okelah, engkau
boleh saja menganggap alasan yang hendak kuutarakan ini hanya bualan
seperti buatan para jomblo yang gemar menyanyi i'am
single and very happy
itu.
Seperti
engkau yang pernah diam-diam suka kepada seseoang yang celakanya ia
malah tidak mengetahuinya, begitulah pula kisah--bertepuk sebelah
tangan--ku ini. Lara karena cinta, lebih-lebih untuk kali pertama,
sungguhlah tiada tara. Aku tidak tahu, kalau engkau pernah berulang
kali jatuh cinta dan berulang kali pula gagal, apakah engkau masih
merasakan sakitnya tuh
disini. Ataukah engkau malah sudah kebal oleh hal yang bisa jadi itu
adalah memang karmamu sendiri.
Ingin
sekali aku berbagi cerita cintaku itu kepadamu. Namun, aku pikir,
sungguh bukan tempat yang tepat untuk menumpahkan segalanya disini.
Betul, seperti engkau saat curhat, bukankah itu tak kau lakukan
kepada semua orang. Hanya kepada sahabat yang kau yakini ia bisa
menyimpan rahasia dan bukan malah mem-bully-mu
ketika ia sudah tahu isi hati dan perasaanmu.
Ya,
aku ingin menjadi sahabatmu. Menjadi teman curhatmu, sebagaimana
engkau (kalau mau) menjadi teman curhatku. Oh, jangan permasalahkan
dunia kita berbeda. Karena bukankah cinta juga hal gaib dan sebagian
besar orang tidak menakuti cinta.
Baiklah,
sebagai sahabat, kau bisa memintaku datang kepadamu kapan saja.
Caranya tidak sulit kok.
Ketika suatu malam kau ingin aku ada di sisimu; matikanlah lampu
kamarmu dan gantikan ia dengan sebatang lilin. Letakkan lilin yang
sudah kau nyalakan itu di atas meja yang telah kau taruh disitu
kembang kamboja. Berdoalah sambil memejamkan mata dan sebutlah
namaku. Bila ada desir angin lembut kau rasa di tengkukmu, itu
tandanya aku telah ada di kamarmu.
Ohya,
hampir lupa. Kenalkan; namaku Elita. *****
Ini karangan sampeyan atau gimana, Mas? Apakah ini juga dimaksud sebagai cerpen atau diari atau bagaimana? Lantas, siapa Elita kok ujug ujug muncul di akhir tulisan?
BalasHapusEh, saya suka bagian ini: "Makanya, tak usahlah perempuan mati-matian siang-malam bekerja terlalu keras untuk mengumpulkan harta bila karenanya engkau malah menjadi amat menakutkan untuk dinikahi."
Entah sebagai apa tepatnya ya, Ra? Yang jelas, awalnya tulisan di atas saya beri judul Solilokui Elita.
Hapus