UPDATE status atau ngetwit itu
jangan terlalu sering biar disangka sibuk, begitu bunyi kalimat yang
ditulis seseorang yang saya ikuti di twitter. Dan kalau dicerminkan
kepada kenyataan di sekitar, hal itu adalah kebalikannya. Lihatlah,
betapa orang makin susah terpisahkan dengan layar ponselnya. Sebagai
yang sangat ketinggalan zaman dan kemana-mana hanya bawa ponsel jadul
berkelas Nokia N1200 dan paling mewah cuma punya Nokia C3, saya
kadang kurang mengerti; apa saja ya diketikkan pada layar smartphone
sehingga selalu saja orang begitu senang menarikan jempol tangannya
menombol-nombol huruf tak peduli waktu dan tempat. Malah, seorang teman begitu saya kagumi atas
kecepatannya menulis kata-kata di layar ponsel dengan hanya memakai
dua ujung jempolnya jauh melebihi rekor kecepatan saya menulis
menggunakan empat jari (dua jari kanan, dua jari kiri) pada keyboard
komputer.
Nah, apa orang yang selalu tak bisa
jauh dari smartphone-nya itu tidak sedang sibuk? Oh, mereka
selalu sibuk. Namun, sebagaimana slogan sebuah warung kopi di gang
dekat rumah saya yang memajang kalimat ojok sampek kerjomo nganggu
ngopimu (jangan sampai aktifitas kerjamu mengganggu kegiatan
ngopimu), para orang yang yang tidak bisa lepas dari aktifitas
(bermedia) sosial itu pun layak punya tagline; bekerjalah
hanya di sela nyosmedmu.
Jujur, kadang saya tergoda juga untuk
agak ikut arus; ganti 'senjata' berjenis smartphone. Bahkan
bidikan saya sudah masuk ke merek dan tipe-nya segala. Celakanya,
seperti hendak memilih istri, saya tak langsung tubruk saja. Ada
beberapa hal yang saya timbang-timbang. Sudah seharusnyakah saya
punya? Untuk kebutuhan apa? Sekadar supaya eksis di socmed? Atau sudah kudu punya demi menunjang aktifitas kerja?
Oh, namun tolong kasih tahu saya; apa pekerjaan dengan gergaji, cetok, palu, tang, obeng dan sebangsanya adalah senjata andalan, harus sudah ikut madzhab yang mewajibkan punya smartphone adalah fardlu 'ain? (Imbas dari terlalu mempertimbangkannya ini, sampai sekarang saya
masih setia setiap saat bersama N1200 dan untuk aktifitas nyosmed selalu memakai si C3. Ini sekaligus
sebagai jawaban dari beberapa email yang masuk menanyakan WA dan Pin
BB, bahwa: saya tidak punya)
Iya, sih. Tidak semua orang tak bisa
lepas dari gadget-nya sampai-sampai mengorbankan quality
time bersama anak-istrinya. Mereka orang hebat yang sangat taat
waktu. Sehingga hanya saatnya saja lengket dengan gadget, dan
saat lainnya untuk pekerjaan atau keluarga.
Gadget dengan segala fiturnya
bisa jadi amat mengasyikkan. Namun,”Ia sekarang berubah. Nggak
seramai dulu. Sekarang ia saban waktu lebih asyik dengan ponselnya,”
kata seorang teman tentang teman kami yang lain.
Orang bisa asyik dan ramai sendiri
dengan banyak teman dari banyak tempat di dunia secara maya, tetapi
bisa jadi ia menjadi pribadi baru yang makin hari makin kehilangan
kehangatan bagi teman satu ruangan yang sebelumnya selalu ramai dan
akrab secara nyata. Bukan hanya para dewasa, sekarang anak-anak pun
kemana-mana bawa smartphone dan mengakrabinya melebihi teman
sebangku di sekolahnya atau bahkan dibanding ibu-bapaknya. Ini
sebagai bukti bahwa smartphone bisa menjadi sarana mendekatkan
yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. Dengan kenyataan demikian,
nanti, makin terasa biasa saja orang tidak saling 'kenal' dengan
tetangga yang tinggal di depan hidungnya. *****
kenyataan yang benar benar terjadi mulai sekarang: smartphone and stupidman
BalasHapus