Selasa, 04 Februari 2014

Pelajaran dari Tepi Jalan

DUA bulan yang lalu di kawasan itu masih berjajar tukang knalpot membuka usaha. Kini, setelah di bawah tempat mereka ditanam box culvert, entah kemana para penjual knalpot itu berada. Tempat dimana dulu mereka menawarkan barang dan jasa telah rata dan bersih. Saya kira, setelahnya, seperti di tempat-tempat lain di kota ini, akan dibangun trotoar berlantai keramik tempat para pejalan kaki nanti mengayun langkah.

Ya, di kanan-kiri jalan Mayjen Sungkono sedang ditata sedemikian rupa. Selain agar makin nyaman dipandang, digunakan sesuai peruntukan, box culvert itu juga sebagai sarana mengatasi banjir yang rutin melanda jalan itu. Dan, ketika daerah lain banyak yang terendam banjir, syukurlah, kota pahlawan masih terbilang aman.

Setiap sore, sepulang kerja, di pinggir jalan Mayjen Sungkono, di tempat dimana dulu para tukang knalpot berada, senantiasa saya lihat seorang ibu dengan anak lelakinya yang tuna netra. Pada sepeda anginnya saya lihat seonggok tas besar selalu dibawa. Entah si Ibu itu berjualan apa. Yang jelas, pada jam empat sore, saya lihat Ibu-Anak itu selalu telah ada di situ.

Yang juga saya sering lihat, ada seorang perempuan berjilbab berhenti menemui mereka. Membuka bawaan makanan, dan dengan penuh kasih menyuapi si anak. Tiada rasa canggung saya dapati. Sementara, sambil mengunyah, si anak tampak tersenyum sambil memegang minum yang juga dibawakan si perempuan baik hati itu. Sebuah senyum yang lahir alami sebagai reaksi dari sebuah interaksi.

Pada titik itu, timbul iri dalam hati. Betapa di jaman yang orang serba begitu mudah pamer akan segala hal yang tak penting diketahui orang lain (lewat status, twitpic dll.), masih ada saja orang yang tak terangsang untuk latah bernarsis-ria. Peduli pada sesama tanpa peduli apakah kepedulian itu dipedulikan orang lain atau tidak.

Seperti perempuan berjilbab itu, siapa pun kita pasti mampu berbuat baik kalau mau. *****