Sabtu, 30 November 2013

Panas Berebut Pantas


LELAKI itu berkulit hitam kecokelatan dengan tato entah gambar apa di lengan. Rambut agak panjang model Charlie-nya Setia Band, tetapi disemir keunguan. Tindikan di telinga kanan tersemat anting, entah emas entah sepuhan. Celana jeans murahan dengan dompet terselip di saku belakang. Karena masih belum jinak, lelaki itu merasa perlu mengikat leher dompetnya itu dengan rantai yang ujungnya diikatkan kuat-kuat ke ikat pinggang. Sepatunya itu mampu menutupi pori-pori kakinya yang belum bersih betul oleh sisa adonan semen yang memang sulit sekali hilang kalau tidak diolesi oli atau minyak goreng. Tak perlu lebih panjang lagi, saya ingin bilang; lelaki itu adalah pekerja bangunan. (Tetapi maaf beribu maaf, bukan maksud saya mengejek para pekerja bangunan, karena toh, kalau tetangga saya atau siapa pun bertanya, saya akan menjawab dengan jujur kalau saya juga berprofesi sebagai pekerja bangunan!)

Yang hendak saya tonjolkan adalah ke-PD-annya berdandan 'necis' begitu. Di mata saya, tampilannya itu terlihat kurang pas, kurang pantas.. Tetapi, sekarang ini, perkara pantas adalah semakin subjektif saja. Bukan hanya bagi teman pekerja bangunan itu, tetapi bagi banyak orang. Gambar para caleg yang dikibarkan lewat bendera-bendera yang sekarang ini dipasang tinggi-tinggi di atas pepohonan di pinggir-pinggir jalan raya, sampai para tokoh yang iklannya saban hari mondar-mandir di televisi (lebih-lebih stasiun televisi milik sendiri) demi mengenalkan diri sebagai calon presiden kita mendatang. Tak beda dengan siapa pun yang berdandan nyeleneh dan merasa pantas, para caleg itu merasa dirinya pantas sebagai anggota legislatif dan para capres itu pun merasa pantas sebagai presiden.

Hari-hari ini, saya baca di media, ada pengemis yang kena razia dan ia kedapatan membawa uang kontan puluhan juta , tepatnya 25,4 juta rupiah! Dengan penghasilan, menurut cerita media, yang mencapai rata-rata seratus ribu rupiah sehari (atau melonjak menjadi satu juta rupiah sehari di hari raya), pantaslah kiranya pengemis itu bisa meraih penghasilan yang mengalahkan pendapatan saya sebagai pekerja bangunan. Masuk akalnya lagi, masyarakat kita termasuk gampang iba melihat peminta-minta. Demi gampang diibai, tentu saja para pengemis memantaskan diri untuk itu. Memakai baju lusuh, atau bahkan berlagak ngesot tak bisa berjalan, lalu menadahkan tangan di perempatan-perempatan jalan yag ramai dilalui orang.

Menjelang pergantian tahun, ada peristiwa yang selalu terulang; para buruh menuntut kenaikan upah. Ini, sekali lagi, lebih berdasar pada aspek 'merasa pantas'. Kebutuhan dan harga-harga naik, maka pantaslah upah ikut naik, begitu muasalnya. Sementara, di sisi lain, para pengusaha mempunyai pula pakem'kepantasan' versinya sendiri. Ambil contoh di sebuah kota; para buruh menuntut UMK 2,9 juta, sementara pengusaha mempunyai ancar-ancar nominal pada kisaran 1,9 juta. Gap selebar itu ditengahi oleh pemerintah setempat dalam bilangan yang dirasa lebih rasional, lebih pantas. Bukan saja bagi kaum buruh, namun juga bagi pengusaha. Palu diketok pada angka 2,2 juta.

Masing-masing pihak puas? Oh, tentu tidak. Kaum buruh merasa keringatnya kurang pantas dihargai serendah itu, sedang para pengusaha juga merasa upah setinggi itu ada di luar batas kepantasan. Demi memperjuangkan kenaikan upah para buruh ngeluruk kantor gubernur dan atau gedung dewan atau atasan di tempat kerjanya masing-masing adalah sudah menjadi tradisi tahunan. Di saat yang sama, bisa diistilahkan pohon simalakama sedang ditanam, dan akan berbuah setiap akhir tahun.. Yakni, ketika sebuah tuntutan dikabulkan lebih berdasarkan pada kuatnya desakan, niscaya hal itu akan terulang terus di saat-saat yang akan datang. Sementara, mengharap perbaikan kinerja pekerja hanya karena upah telah dinaikkan sesuai permintaan, paling banter itu berlaku hanya di tiga bulan pertama, karena setelahnya semua akan berlaku seperti sedia kala.

Begitulah; berebut pantas selalu bikin panas. *****

Kamis, 28 November 2013

K e r u p u k


PAGI tadi, saat Kang Karib bertamu ke rumah Mas Bendo, si tuan rumah baru saja selesai sarapan. Keringat yang menempel di wajah, plus bibirnya yang memerah, bisa ditebak, Mas Bendo makan kalau bukan nasinya masih panas ya karena pedas.

“Wih, lauknya apa kok kamu sarapan sampai keringat ndromos begitu, nDo?”

“Beginilah, Kang kalau orang ayem; sarapan nasi hangat lauk kerupuk dan sambal terasi saja sudah luar biasa mak nyus-nya.”

“Kamu itu, nDo, nDo. Kerupuk saja kok mak nyus.”

“Ya daripada makan enak, serba mahal tetapi tak bisa menikmati sepenuh hati karena hidupnya selalu dihantui kecurigaan; curiga ditipu teman bisnis, curiga ketahuan belangnya, curiga ditusuk dari belakang oleh orang kepercayaan, curiga telepon atau email disadap. Aku kan enggak. Jadi, sekali pun cuma makan berlauk kerupuk, ya nikmat-nikmat saja.”

“Makan sama kerupuk saja kok bangga!”

Sampeyan jangan meremehkan kerupuk, Kang. Karena kerupuk pun ada filosoinya.”

“Filosofi mbelgedhes apa!, Orang kerupuk itu hanya ramai dalam kemriuknya tetapi tak ada gizinya kok.”

“Nah, itu dia, Kang,” Mas Bendo menyahut. “Dalam hidup ini, entah itu dalam lingkungan sosial atau dalam organisasi apa pun, seringkali ada yang bersifat seperti kerupuk itu; ramai tetapi tak bermutu...”

Sambil tertawa Kang Karib menunjuk Mas Bendo, “Itu lak kamu sendiri...”

“Juga Sampeyan,” balas Mas Bendo juga sambil nyengenges. “Tetapi begini, Kang. Dalam lingkungan kita, entah itu tetangga sekitar atau di tempat kerja, selalu ada yang sebagai krupuk, sambal, penyedap rasa atau yang lainnya lagi. Untuk apa? Ya agar sebuah menu menjadi lengkap, menjadi sedap. Kalau terlalu banyak sambel, ngomong dan kelakuannya selalu bikin pedas, ya nggak bagus, karena bisa bikin sakit perut. Terlalu banyak penyedap, bicara palsu, menjilat atas menjilat bawah ya tak baik juga untuk tubuh. Semua harus dalam takaran yang wajar, karena kalau dalam dosis yang keterlaluan, apa pun akan tidak baik.” *****


Pelawak dan Politikus

ORANG sekarang memperlakukan para pelawak dengan serius dan menganggap politikus mereka lelucon.

-Will Rogers, humoris Amerika (1870-1935)



Sabtu, 16 November 2013

Nasi Bebek Wonokromo

Nasi bebek.
Foto: blog.gerombolancinta.com
SALAH satu menu yang saya suka adalah nasi bebek. Di Surabaya ini, banyak sekali kedai/warung yang menjualnya. Mulai kelas kali lima sampai yang lebih tinggi dari itu.

Ada istilah yang mengatakan, pembeli membawa pembeli. Artinya, ketika sebuah kedai ramai oleh pengunjung, hal itu menarik orang lain untuk pula mengunjunginya. Tentu saja karena penasaran. Entah itu karena lezatnya menu yang dijual, atau sebab lain. Harganya murah, misalnya.

Ilmu itu saya gunakan pula saat 'kelaparan' di tempat yang saya tak biasa. Umpamanya ketika di kota lain. Tentu kalau saya lagi bepergian sendiri, saya lebih leluasa menerapkan teori ini. Saat transit di terminal Bayuangga, Probolinngo, dalam perjalanan pulang kampung, seringkali saya makan bukan di depot-depot yang berjajar di dalam arena terminal. Tetapi saya lebih memilih keluar. Mencari-cari; dimana ada warung yang ramai, ke situlah saya menuju.

Sebagai warung kaki lima, tentu akan kurang 'sreg' makan di situ kalau tak terbiasa. Tata letak menu yang sedemikian rupa, plus higienitas yang patut dipertanyakan. Tetapi, syukurlah, saya baik-baik saja menyantap makanan di warung-warung kelas teri itu. Lebih dari itu, untuk sepiring munjung nasi pecel lauk ayam goreng plus tempe dan rempeyek remuk lengkap dengan segelas es teh, uang sepuluh ribu rupiah masih susuk.

Karena penasaran akan ramainya, pernah saya mampir ke sebuah warung yang menu utamanaya adalah nasi bebek. Setelah menu dihidangkan dan saya santap, ah, ternyata rasanya kurang mengena bagi lidah saya yang berkelas kaki lima ini. Sebagai nasi bebek, bagi saya penampilannya terlalu 'cantik'. Lagian, dengan semacam kuah warna kekuningan, ia mengingatkan saya akan kuah sayur lodeh. Lebih kurang nikmat lagi ketika saya harus membayar agak mahal untuk itu.

Untuk nasi bebek, lidah saya ini cocoknya di warung kaki lima di daerah Wonokromo, tidak jauh dari lampu merah sisi timur. Sambil makan, saya bisa menikmati suasana macetnya jalanan. Tukang martabak yang asyik membanting-banting adonan sampai tipis dan lebar. Tidak jauh dari situ ada tukang tambal ban yang kesepian, tiada 'pasien'. Atau kalau pas ada kereta api lewat, telinga ini menangkapnya sebagai irama yang menggema.

Warung nasi bebek ini sudah saya kenal sejak masih di seberang jalan dulu, tidak jauh dari pos polisi. Tetapi sekarang di area itu sudah tidak boleh ada PKL mangkal. Di lokasi sekarang, dengan menu yang sudah dikenal pelanggannya, yang datang tetaplah ramai. Lagian, secara lokasi, di tempat yang baru ini pun tak kalah strategisnya. Karena, ia berada di ujung selatan 'pasar maling'. Sebuah tempat dengan aktifitas jual-beli yang kalau makin malam makin ramai. Kenapa disebut 'pasar maling'? Ya, karena di tempat itu bisa didapat ponsel kosongan, baju, jaket, sepatu dan barang-barang second lainnya dengan harga bantingan. Dengan harga semurah itu, dicurigai barang itu adalah dari hasil nyolong. Itulah sebabnya ia dibilang sebagai pasar maling.

Nasi bebek di Wonokromo ini secara tampilan lebih 'serem', dengan sambal lebih nendang. Dibubuhi taburan srundeng yang khas, ia nikmat sekali disantap di tempat. Tetapi bagi yang ingat anak-istri di rumah, bisa pula dibungkus untuk dibawa pulang. Dengan memakai kertas minyak ala kaki lima, sebungkus nasi bebek Wonokromo ini dibandrol seharga sebelas ribu rupiah. Bagi saya, itu harga bersahabat untuk seporsi menu kuliner kali lima yang mantap. *****


Jumat, 15 November 2013

Stand Up Comedy ala Kang Edi #2



APA PUN pekerjaan kita, sepanjang itu hal baik, tidak ada alasan untuk gengsi, Bos. Pernah saya mendengar orang berkata; banyak sekali pengangguran yang saling berlomba untuk mendapatkan pekerjaan, sementara, ironisnya, banyak pula orang yang sudah bekerja tetapi di kantor ia suka sekali dengan sengaja 'menganggurkan diri'.

Sorry, Bos. Bukannya saya sok menggurui, tidak. Lagian, tidak ada potongan saya menjadi seperti itu. Toh pekerjaan saya tidak elit-elit amat. Cuma karyawan rendahan, yang setiap bulan, ketika baru memasuki tanggal ke empat, jumlah gaji di dompet tinggal seperempat. Tapi saya enjoy-enjoy saja. Yang penting pekerjaan saya halal. Ceihhh....

Padahal kalau dirunut, bukannya pamer nih, Ayah saya itu dulu pernah menjadi pejabat. Mulai lurah, camat, bupati sampai gubernur pernah ia lakoni. Tetapi saya ya tetep begini saja. Nggak pernah sok. Bukan zamannya lagi pamer siapa orang tua kita, tetapi kita harus bisa menepuk dada; inilah aku. Harus gitu, Bos.

Ohya, Ayah saya itu bukan hanya pernah menjadi gubernur saja, bahkan Beliau juga sempat menjadi Kompeni-Belanda. Ayah saya berkhianat kepada negerinya sendiri? Oh, tidak. Itu hanya semacam tuntutan skenario saja. Bagaimana tidak, wong Ayah saya pemain sinetron....

Ngomong-ngomong tentang sinetron, kalau diperhatikan, para artis sinetron yang sering muncul di layar televisi itu, yang cantik-cantik itu, bukan hanya karena cantiknya, tetapi lebih karena beruntung saja. Kalau cuma modal cantik, banyak cewek cantik (yang bahkan lebih cantik dari para pemain sinetron) yang bekerja sebagai pelayan di mall-mall, misalnya. Kulitnya putih mulus, tetapi herannya, suka pakai stocking yang aneh-aneh.

Bayangkan coba; betis sudah diperputih pakai lotion dan lulur segala, eh, malah ditutup pakai stocking warna hitam. Heran. Kalau hanya ditutup pakai warna gelap begitu, ngapain susah-susah merawat kaki supaya mulus dengan biaya mahal? Ha?

Suatu kali saya ajak Nenek saya belanja ke mall. Namanya orang kampung, masuk mall bawaannya heran melulu. Lihat ini heran, lihat itu heran. Yang juga tidak kalah mengherankan Nenek, adalah ketika saya ajak ia menemui pacar saya yang bekerja di mall itu dan kebetulan sedang mengenakan stocking warna hitam.
Nenek menarik saya untuk mendekat dan beliau berbisik; “Cewekmu itu lho, kulitnya putih kok kakinya hitam,” kata nenek ke telinga saya.

Namanya juga Nenek, bicara berbisik toh kedengaran pula oleh kuping pacar saya. Dan mendengar itu pacar saya malah tertawa, “Ini stocking , Nek...” katanya. “Eh, ngomong-ngomong, usia Nenek berapa kok pipinya sudah pada keriput begitu?” tanya pacar saya dengan agak kurang ajar.

Tentu saja saya khawatir Nenek akan tersinggung dengan pertanyaan itu. Tetapi syukurlah Nenek malah tersenyum dan dengan PD menjawab, “Ini bukan kulit, Nak. Ini stocking...” *****


Selasa, 12 November 2013

Kacamata Politik



SUNGGUH saya sadari, seiring bertambah (atau berkurang ?) umur, mata saya ini ikutan kabur. Huruf-huruf dalam halaman koran atau buku makin kecil dan suram saja rasanya bagi penglihatan saya. Kalau dulu masih mampu memasukkan benang dalam lubang jarum sebelum menjahit ketiak baju yang robek, kini pekerjaan sepele itu tak mampu lagi saya lakukan. Saya mesti meminta anak sulung saya untuk melakukannya, sebagaimana saya memintanya membacakan aturan pakai pada botol sirup obat batuk untuk adiknya.

Mengatasi menurunnya kemampuan penglihatan itu, lazimnya tentu saya harus pakai kacamata. Tetapi entah kenapa, saya masih enggan membeli kacamata baca yang harganya sebenarnya tak seberapa. Tentang kenapa saya semuda ini (weiihh, lebih empat puluh tahun masih merasa muda?!....), kalau dirunut ke belakang tentu ada penyebabnya. Yakni, sejak kecil saya suka sekali membaca. Kesukaan membaca itu kadang tak pandang waktu. Bisa siang, sore atau malam. Untuk siang tentu tak ada masalah, karena terang. Sementara ketika malam, dalam membaca itu seringkali saya hanya ditemani lampu minyak. Iya sih, bapak punya lampu petromaks (ketika itu kami menyebutnya strongking, walau mereknya Tingwon dan bukan Storm King), tetapi lampu itu hanya dinyalakan saat-saat khusus saja. Misalnya kalau pas ada hajatan selamatan, atau, tentu saja, ketika hari raya tiba. Aliran listrik? Oh, tiang-tiangnya saja kala itu belum ada!

Sabtu, 09 November 2013

Baju Pahlawan



PADA pagar besi pembatas jalan di Wonokromo, Surabaya, saya dapati berjajar lumayan rapat sang merah putih melambai-lambai ditiup angin. Kehadirannya, sungguh menjadi penyejuk di antara kibaran bendera lain milik partai-partai politik yang bulan-bulan belakangan ini mulai ramai menghiasi aneka sudut kota. Bukan hanya bendera, terpampang juga bermacam baliho bergambar tokoh-tokoh yang sedang ‘menjajakan diri’ agar dipilih pada Pemilu legislatif nanti. ‘Jujur, bersih dan berani’, ‘Muda, Ulet dan Pro Rakyat’, ‘Bekerja untuk Sejahtera’ dlsb. Kata-kata itu tertera sebagai pemanis buatan di bawah foto yang dibikin semenjual mungkin. Untuk slogan terakhir, sepertinya patut diperjelas: untuk kesejahteraan pribadi atau kesejahteraan rakyat?

Kembali ke jajaran bendera merah putih yang menghiasi jalanan;

Jumat, 08 November 2013

Panggilan Tu(h)an

DENGAN nyaris tak seorang pun yang tidak memiliki ponsel, lazim ditemui di dekat pintu atau di bagian tiang masjid ditempel himbauan agar orang mematikan perangkat itu bila masuk ke masjid. Tidak cukup sampai disitu, sebelum sholat jamaah dimulai, pihak takmir bahkan perlu mengulang anjuran itu lewat pengeras suara.

Sekali pun begitu, beberapa kali saya dapati dalam sholat Jumat, suara ponsel maraung di saat sholat sedang berlangsung. Dan dering itu makin terdengar nyaring dalam suasana yang hening. Sebagai kambing hitam, tentu bisa saja dialamatkan kepada penelepon yang tak tahu diri menelepon disaat shalat Jumat. Tetapi, entah lupa atau apa (atau karena datang telat disaat iqomat sudah lewat), sehingga tak mendengar himbauan takmir, seseorang itu tak mematikan ponselnya. Efek dari itu, tentu saja, bukan hanya si empunya ponsel yang bisa jadi kehilangan konsntrasi, jamaah semasjid pun ikutan kurang khusyu'.

Itu yang sengaja. Lain lagi ceritanya bila disengaja. Memangnya ada?

Selasa, 05 November 2013

Arisan Hompimpah



PERNAH saya membaca sebuah tulisan yang mengangkat tentang rujakan dan arisan sebagai dua hal yang hanya ada di Indonesia. Penulis perempuan itu (sayang sekali saya lupa namanya), mengisahkan teman-teman bulenya di negeri seberang begitu heran ketika diterangkan apa itu rujakan dan arisan.

Tentang rujakan, penjelasan akan lebih sempurna manakala disertai contoh sebagai bukti nyata. Dan nyatalah adanya ketika si rujak itu jadi dan para bule itu mencicipi. Wajah yang sudah merah makin merah saat lidah mereka tersentuh pedasnya rujak. Tak biasa makan pedas, mencocol irisan mangga ke sambal membuat liur mengucur deras.

Sekalipun tak segila rujak, tentang arisan pun sulit diterima akal mereka. Untuk apa, pikir mereka, sekadar mengumpulkan uang dari sejumlah orang dalam satu kumpulan, lalu ketika semua sudah terkumpul, sebuah botol yang tutupnya dilubangi dan di dalamnya berisi lintingan kertas berisi nama para anggota, dikopyok untuk menentuka siapa yang dapat arisan.

Bagi para bule, arisan itu adalah sebuah hal yang kurang praktis. Kenapa uang itu harus dikumpulkan di satu tempat? Kok tidak langsung ditransfer saja ke rekening si pemenang? Kenapa harus dikopyok untuk menentukan pemenang?

Penjelasannya begini;