Tampilkan postingan dengan label Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Buku. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Januari 2016

Sang Penakluk, Anjing ke Baghdad dan Dewa Mabuk

Judul Buku: Biografi Gus Dur
(Judul asli: The Autohorized Biography of Abdurrahman Wahid,
diterbitkan pertama kali oleh Equinox Publishing)
Penulis: Greg Barton
Penerjemah: Lie Hua
Penerbit dalam Bahasa Indonesia: Saufa bekerjasama dengan IRCiSoD dan LKiS
Cetakan Pertama: Januari 2016
Halaman: xxvi + 514


 DUA orang pemuda dari Indonesia --satu asal Rembang, satunya lagi asal Jombang-- melanjutkan pendidikan ke Kairo, Mesir. Untuk urusan makanan, tugas pun dibagi; satu bagian belanja, satunya lagi bagian memasak untuk kemudian setelah matang disantap bersama. Menu favorit si juru masak adalah jeroan sapi, yang kalau di Mesir bagian itu oleh tempat pemotongan hewan tidak dimanfaatkan. Sebuah karunia bagi dua pemuda itu karena, dengan hanya mengambil secara cuma-cuma jeroan di tempat penjagalan sapi, tentu saja bisa menghemat biaya sebagai mahasiswa yang jauh dari orang tua.

“Untuk apa sih setiap hari ambil jeroan?” iseng salah satu pegawai pemotongan hewan itu bertanya ketika si pemuda Rembang mengambil jeroan.

“Untuk makanan anjing,” asal saja si Rembang menjawab.

Waktu terus berjalan dan suplai jeroan untuk bahan makanan tak pernah kehabisan. Sampai kemudian si mahasiswa asal Jombang yang pinter masak dan kutu buku itu melanjutkan studi ke Baghdad, Irak. Jadilah si mahasiswa Rembang itu tak ada lagi yang memasakkan jeroan sapi dan ketika suatu waktu ia berpapasan dengan pemilik rumah potong sapi, ia ditanya, “Hei, kok sudah lama ente gak ambil jeroan di tempat ane kenapa?”

“Anjingnya sudah pindah ke Bagddad,” jawab si Rembang dengan enteng sekali.

Ya, pemuda Rembang itu namanya Ahmad Mustofa Bisri dan lelaki asal Jombang itu namanya Abdurrahman ad-Dakkil (Abdurahman sang Penakluk) Siapa Abdurrahman Ad-Dakkil? Dialah Abdurrahman Wahid. Siapa Abdurrahman Wahid? Dialah Gus Dur. Siapa Gus Dur?

Ada banyak tulisan mengenai tokoh yang satu ini, tetapi sebagian di antaranya adalah ditulis oleh orang yang sangat mencintainya. Dengan posisi sangat cinta, orang sering tegelincir pada sikap yang tidak obyektif dalam menulis atau bertindak. Seperti kelakuan seorang cendekiawan Prancis, namanya Andee Feillard, yang langsung masuk ke gereja dan lalu berdoa ketika mendengar Gus Dur, sahabat yang dicintainya, dikabarkan telah berpulang, padahal ia 'hanya' menderita stroke akut dan sedang dirawat di RS.

Sesaat setelah melewati masa kritis, Greg masuk ke kamar tempat Gus Dur dirawat dan menceritakan sahabat Prancisnya itu, “Anda tahu hal ini tidak lazim, bukan? Andrre adalah seorang cendekiawan Prancis – cendekiawan Prancis tidak ke gereja, apalagi berdoa.”

Sambil tersenyum Gus Dur menjawab,”Di Prancis, semua orang terbaik adalah seperti itu.” (hal. 9)

Presiden Indonesia paling fotogenic adalah Soekarno. Sampai sekarang, tak sedikit orang memajang gambar Si Bung itu di rumahnya dengan aneka pose. Ya, dipotret dari sudut mana saja Bung Karno memang memancarkan kharisma, walau (zaman itu ia telah sadar betul kekuatan sebuah gambar) mesti dipilih dulu mana yang layak dipublikasikan, mana yang tidak. Jadi, yang beredar sekarang ini adalah foto-foto hasil seleksi dan benarlah adanya, semua fotonya tampak punya aura lebih. Lha Gus Dur?

Rabu, 28 November 2012

Mengukur Jarak Madura-Berlin


 Judul buku: Merentang Sajak Madura-Jerman (Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin)
Penulis: M. Faizi
Kata Pengantar: Martin Jankowski
Desain Sampul: Tugas Suprianto
Editor: ?
Cetakan: Pertama, Juni 2012
Penerbit: Komodo Books


SEKITAR satu setengah tahun yang lalu saya sempat membuat catatan ringan tentang per-FB-an. Apa Arti Sebuah Efbi, begitu saya memberinya judul. Di situ saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada beberapa teman FB saya. Salah satu yang saya tanyakan adalah tentang pertemanan antar sesama Facebooker. Dan salah satu yang saya ‘wawancarai’ ketika itu adalah penulis buku ini, M. Faizi.

 Jujur, ketika itu kami belum seakrab sekarang. Tetapi untuk menjadi semakin akrab tinggal menunggu waktu saja, sepertinya. Kenapa? Ya bukankah kita akan mudah akrab ketika teman baru kita itu memiliki kesamaan selera. Begitulah. Selebihnya, “Berteman secara serius, seperti di alam nyata, untuk menambah wawasan karena kayaknya  lebih dari 80% saya kenal dengan teman-teman FB saya,” demikian jawabnya ketika saya tanyakan tentang tujuannya ber-FB.

Dalam buku ini (hal. 114-122), saya lebih dalam menemukan fakta dari ucapan itu. Ada berderet nama sahabat maya yang kemudian bisa berjumpa secara nyata. Ada Martin Jankowski (festival director Jakarta-Berlin yang mengundangnya ke Jerman), ada Tolya Glaukos, sahabat Jerman-nya yang lain, ada Nanang WK (teman yang ketika berangkat sudah menunggu untuk kopi darat di bandara Soekarno-Hatta,  tetapi karena berangkat kejebak macet sehingga tak memungkinkan untuk sekadar say hello dan menepuk pundak, sebab kalau itu dilakukan berisiko akan ditinggal terbang Turkish Airlines) yang belum kapok sehingga menunggu dengan setia ketika penulis buku ini tiba kembali di tanah air. Ada Moko Boemenz yang di rumahnya akan ia pakai tarnsit untuk bermalam. Semua mereka itu sahabat maya yang secara nyata (dalam pertemuan nyata) menjadi teman sejati.

Sekali pun begitu, sebuah pertemanan harus pula mendapat ujian. Misalnya, ketika suatu malam dengan tulus ingin mentraktir minum kopi seorang teman Jerman,  Bertthold Damshauser namanya. Kolumnis, Redaktur Jurnal Sajak dan pengajar di Universitas Bonn profesinya. Lemparan tawaran itu benar disambar, namun, “Boleh, boleh. Tetapi kalau boleh memilih, saya minta dibelikan bir.”
Itu hal kecil, itu hal sederhana. Tetapi bagi seorang muslim yang taat, membelikan khamr (baca: bir) bagi orang lain pun adalah sebuah dosa. Peristiwa di Bar & Lounge Estrel Hotel malam itu bikin mukanya pucat. Jelas, itu bukan soal perbedaan harga kopi dan bir yang harus dibayar. Melainkan karena kesadaran diri, bahwa peci hitam nasional sebagai penutup kepala, dan lilitan sorban di leher, mendadak tidak fashionable di hadapan bartender itu sesaat setelah berucap, “One beer, please.”

Untunglah, “Sorry, we are closed,” jawab bartender itu disambut senyum nakal para temannya. Oh, dikerjai rupanya (hal. 44).

Jadi, siapa teman sebenarnya? “Jauh atau dekat, sungkan atau akrab, lama-baru? Asalkan dia mau mengajak pada kebaikan, ya, itulah dia.” (hal. 122.)

Sebagai sebuah buku catatan perjalanan, buku ini mampu mengajak pembacanya seperti ikut serta dalam setiap langkahnya. Semua nyaris tiada terlewatkan dalam catatan. Sampai hal-hal kecil, sampai detil. Tentang ini, saya telah lama mengaguminya sebagai penulis yang sangat peduli akan  ketelitian. (Kebetulan saya sering membaca catatan perjalannya pada beberapa blog-nya) Di situ kita bisa dapati betapa waktu, nama-nama (tempat, bis, jalan, dll) ditulisnya dengan akurat. Mulai harga seporsi rawon di RM Taman Sari II, Subang yang seharga 19 ribu, sampai secangkir kopi di kedai Turki di kota Berlin yang senilai 1 Euro, dari harga sebungkus rokok Gudang Garam Signature bercukai  dan berperingatan pemerintah Jerman seharga 6-7 Euro, lama penerbangan Jakarta-Berlin yang 16,5 jam, sampai lama perjalanan darat (naik bis) dari desa Guluk-guluk sampai Jakarta yang 28,5 jam!

Tentang angka-angka itu, saya bermaksud tidak sekadar membacanya, tetapi menghitungnya. Misalnya, lama penerbangan Jakarta-Berlin, dengan semua data yang ada dalam buku ini, benarkah selama itu? Mulailah saya menjumlah; Jakarta-Singapura 100 menit (transit di Changi, 1 jam), Singapura-Istanbul 10,5 jam. Sedangkan Istanbul-Berlin ditempuh  dalam 2,5 jam penerbangan. Jadi saya total-total; ‘hanya’ 14 jam 40 menit. Bukan 16,5 jam. (Maaf, saya pun tidak terlalu yakin akan hasil penjumlahan saya ini, karena nilai pelajaran matematika saat saya sekolah dulu amatlah buruk).

Biasa makin nasi sementara di Jerman tidak semua ‘warung’ menyediakannya, untuk menemukannya pun perlu perjuangan. Dan sebagai penggemar nasi yang hanya dimasak dengan cara biasa, ketika dijamu makan secara prasmanan di  Hotel Estrel yang mewah, menghadapi ikan salmon mentah yang diasamkan, roti, buah, cokelat, selai berbagai rasa, membuatnya ragu akan yang dihadapinya. Jangan-jangan, selai yang seharusnya dilibatkan dengan roti, dimakan bersama salad. Kesimpulannya, pengetahuan tentang apapun sebaiknya dikuasai seorang penyair, agar hidupnya tidak dihabiskan untuk membangun reputasi dalam sastra tetapi kemudian dihancurkan di meja makan (hal. 37). 

Selain nasi, yang juga sulit (dan jauh) ditemukan adalah masjid. Sekalipun sangat jarang, masjid masih ada. Sejauh-jauh jarak, toh ada teman yang mengajaknya, tetapi lupa adalah penyebab kegagalan sholat  Jumat. Sesuatu yang sangat disesalinya. Maka, dengan perasaan malu, ia membatin, “Jumat kali ini saya tidak hadir, Tuhan,” (hal. 90).

Sebagai sebuah catatan tentang perjalanan seni, buku ini tentu saja memuat hal-ikhwal festival yang diikutinya. Tentang teman-teman seniman seperjalannya, Joni Ariadinata (redaktur majalah sastra Horison), Sosiawan Leak (sastrawan dan seniman teater), juga seniman yang lain, Jamal D. Rahman. (Empat sekawan seniman yang sempat 'mati gaya' kala nyaris ketinggalan pesawat di bandara Soekarno-Hatta). Tentang penampilan band Krakatau yang memukau, dengan Ubiet sebagai vokalis dengan suara magis-magis genit diiringi Dwiki Darmawan yang bermain piano seperti kesurupan. Sebagai penyair, penulis buku ini tampilnya ‘hanya’ duduk-duduk saja, berdiskusi sastra. Tetapi, saya kira, porsi terbesar yang disorot adalah jalan-jalannya. (Termasuk ketika ‘kabur’ dari arena festival di Berlin untuk nyempal ke Leipzeig. Selain untuk ziarah kubur ke makam Johann Sebastian Bach, meluncur ke kota itu juga untuk sebuah ‘misi khusus’; mengantarkan kerupuk! (hal. 61-62). Mafhum saja, namanya juga catatan perjalanan.

Yang tak luput dari bidikannya adalah betapa disiplin ditegakkan sampai sebegitunya. Sopir bis yang tak segera menjalankan kendaraannya walau tiada penumpang yang ditunggunya. Satu-satunya yang ditunggu adalah jam keberangkatannya. Dan itu hanya kurang enam puluh detik! Tidak hanya waktu keberangkatan yang sangat ditaati, traffict light pun demikian. Jadi, sesibuk apa pun lalu-lintas,  penyeberang jalan tetap merasa selalu aman. Bahkan bagi tuna netra sekalipun. Untuk tuna netra ini, ada kode tersendiri. Pada tiang lampu-lampu penyeberangan, ada speaker yang berbunyi ‘tok, tok’. Orang yang tuna netra akanmencari sumber suara itu kalau hendak menyeberang, jika lampu berwarna hijau, ketukan ‘tok, tok’ tersebut akan semakin kerap. Itulah pertanda saat menyeberang yang aman. (hal. 90) Ini mungkin salah tulis yang lolos dari pelototon editor. Kalau tidak, berarti di Jerman, kalau lampu sedang berwarna hijau, memang saatnya untuk menyeberang. Kalau di sini kan kalau merah.

Penulis yang baik adalah pencatat yang baik, begitu kata sebuah ungkapan.
Terlepas dari kesalahan (tulis/cetak atau tafsir saya) yang ada, buku ini tetaplah menarik bagi saya. Maka, ketika sesaat setelah mengkhatamkannya, saya langsung menulis di dinding Facebook-nya. Dan itu langsung dikomentarinya, “Untuk khatam butuh berapa lap?” Saya langsung membalas, “Saya hanya perlu sekali berhenti di pit stop beberapa saat untuk kemudian ngebut membaca lagi sampai kisah membuat kopi di depan dapur.”

Membaca buku bagus selalu membuat hati senang. Dan sebuah sensasi kesenangan, bisa membuat seseorang lupa akan rasa capek (hal. 28).

 Sekian lama berteman secara maya, membaca buku ini serasa saya diceritai secara langsung oleh seorang teman sejati  yang baik hati. Dari yang kemarin-kemarin belum mengenalkan begitu dekat, lewat kata-kata Martin Jankowski (paragraf pertama pengantar yang berjudul Puisi Dua Belas Ribu Kilometer, hal. 9) saya menjadi semakin hormat.

Wa ba’du, tentang buku ini, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak sependapat dengan kesaksian mendiang Lan Fang, “Tulisan bagus dari laki-laki bagus,” begitu ia bilang.*****

Rabu, 24 Oktober 2012

Kaleidoskop Markesot


Judul buku: New Markesot Bertutur
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Pengantar/Editor: Kuskridho Ambardi
Penerbit: Mizan
Cetakan: I September 2012
Tebal: 471 halaman


SEKARANG zaman ‘bebas’. Anda boleh bicara apa saja tentang pemerintah di mana saja. Di warung-warung kopi, di gardu sambil bersiskamling, atau sambil main kartu gaple saat jagong bayi. Atau, bagi  yang punya kemampuan menulis, Anda bisa mengeluarkan keluh kesah Anda dalam bentuk tulisan dan dikirimkan ke surat kabar. Tidak dimuat karena Anda bukan pengamat politik ‘betulan’, sekarang tidak kurang wadah untuk memuntahkan mual-mual di otak Anda. Ada situs-situs jejaring sosial, atau blog-blog  gratisan. Dan Anda akan aman-aman saja. Sekencang apa pun Anda berteriak, kalau tidak sedang sangat apes, telinga Anda tidak akan ada yang menjewernya.

Ini beda dengan zaman Orde Baru dulu. Jangankan berteriak, berbisik ngrasani  pemerintah pun, hidup Anda bisa terancam! Tetapi selalu ada pemberani diantara para penakut. Dalam hal ini, walau hanya sebagai orang mbambung, Markesot termasuk yang tidak punya rasa takut. Ia saban hari Minggu selama tiga tahun (dari tanggal 26 Pebruari hingga 1 Januari 1992) selalu bertutur dalam alur yang kadang terkesan ngelantur. Sok pinter, sok alim. Kadang dibumbui dalil-dalil dalam bahasa Arab, tetapi kadang-kadang 'misuh' juga.

Tokoh rekaan dalam sebuah tulisan, seringkali ucapan-ucapan dalam dialog-dialognya, tidak bisa dimungkiri itu adalah juga ucapan-ucapan hati si penulisnya yang sedang meminjam mulut tokoh rekaannya. Dan, tidaklah terlalu salah menganggap si Markesot itu adalah wujud lain dari si Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun. Yang egaliter, sedikit kosro, tetapi tidak tipis dalam pemahaman dan penguasaan medan. 

 Markesot Bertutur pertama kali dibukukan adalah setahun setelah kolom Cak Nun itu berhenti muncul dari edisi Minggu sebuah koran sore terbitan Surabaya. Dua tahun berikutnya muncul lagi buku Markesot Bertutur Lagi. Dan, September 2012 ini, Mizan menerbitkan lagi New Markesot Bertutur.

Dalam terbitan terbaru ini, para pembaca (pengagum tulisan Cak Nun utamanya) seolah diajak kembali ke masa lalu. Masa-masa awal tahun 90-an. Melihat lagi kaleidoskop sejarah di bawah kendali Orde Baru. Tentang Porkas, tentang penggusuran untuk proyek waduk Kedungombo, tentang gelaran Piala Dunia saat Maradona membuat gol tangan Tuhan, tentang robohnya tembok Berlin sampai perang teluk, tentang China yang masih dipimpim PM Li Peng. Pendek kata, Cak Nun menyuguhi kita gado-gado dalam kemasan dan olahan yang mak-nyus. Dengan gaya bahasa yang lincah (kadang genit), ia mengajak kita mentertawai (negeri) diri sendiri.

Tentang NU dan Muhammadiyah, meminjam salah satu tokoh teman Markesot yang digambarkan sedang sakit dan tengah dijenguk seorang tokoh Nahdlatul Ulama, ia menulis begini, “Saya ini tidak NU tidak Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah itu konco perjuangan. Mbok ojo gelut ae se..” (hal. 101).

Buku ini adalah kumpulan kolom. Dan kolom-kolom itu, tadinya, memang tidak diniatkan untuk dijadikan buku. Kolom mingguan itu ditulis dengan memungut tema apa saja yang sedang hangat dalam Minggu itu. Dan terbukti, Cak Nun yang saat-saat itu sedang sebagai sungai yang tiada kehabisan ‘air’, punya napas kuat untuk selalu menuangkan renungannya dalam gaya penulisan yang, menurut budayawan Mohamad Sobary, mengajak orang harus telaten untuk mencari ‘mutiara’ yang dia sampaikan dengan aneka bungkus.

Seperti kata Kang Sobary di atas, memang banyak sekali mutiara yang ditebar Cak Nun dengan bahasa yang enteng dan tidak njlimet. Misalnya tentang kehidupan, begini dia melukiskan, “Urip itu urap. Mengaduk. Mencampur. Mempergaulkan. Menyentuhkan satu unsur dengan unsur lain. Makanya, makanan ini disebut urapan. Kalau di Jawa Tengah disebut gudangan. Maksudnya, urapan itu seperti halnya banyak barang di gudang. Campur. Itulah urip. Itulah kehidupan...” (hal. 366)

Begitulah. Kolom yang kala itu memang dibuat khusus untuk sebuah koran sore yang saat itu sedang kuat-kuatnya secara tiras di Surabaya, bahasa yang dipakai seringkali memang bahasa Suroboyoan. Yang egaliter, dan sesekali berhias pisuhan juga. Tetapi, dengan gayanya yang khas, pisuhan ala Suroboyo yang sekarang juga sering dikumandangkan Sudjiwo Tejo itu, oleh Cak Nun dijlentrehkan dengan gambaran yang enteng. Bahwa pisuhan made in Suroboyo itu akan tidak berarti pisuhan bila dalam rasa bahagia bertemu sahabat kental dan dengan lantang (sambil tertawa) memekikkan kata-kaka itu. ‘Pisuhan’ itu menjadi sekadar idiom budaya. Maknanya menjadi relatif, tergantung konteks komunikasinya. Kita tidak dapat menghakimi ekspresi seseorang hanya dengan melihat bunyi kata-katanya, melainkan kita harus perhatikan nadanya, nuansanya, letak masalahnya. Kata ahli ilmu fiqih: yaduru ‘ala ‘illatihi. (hal. 38)

Sebagai buku kumpulan kolom, lebih-lebih kolom-kolom itu diterbitankan nyaris duapuluh tahun yang lalu, menjadikan para pembaca buku ini yang usianya di bawah 30 tahun, saya khawatir mereka ini akan sulit menemukan ‘sesuatu’ yang melatar belakangi sebuah bahasan. Ini dikarenakan, setiap judul itu tidak dicantumkan terbit tanggal dan tahun berapa.

Itu soal lain.
Sebagai penulis, Cak Nun memang mempunyai gaya yang khas. Sekaligus tulisan yang dibuat bertahun-tahun lalu itu tetap terasa relevan mengambarkan keadaan kita saat ini.  Ia bisa dengan cerdas, lewat mulut Markesot, menerjemahkan hal-hal ruwet dengan cara sepele, lewat cara pandang para orang mbambung. Ia bisa dengan enteng bilang, “Tidak ada yang lebih siluman dibanding dengan kenyataan-kenyataan di negeri ini.” Sementara pada bab lain dia berkata, “... zaman ini sudah sedemikian semrawut: siapa Ibrahim siapa Fir’aun, sudah samar. Struktur persoalan sudah sedemikian kompleks. Terkadang kita adalah Ibrahim, terkadang kita Fir’aun, terkadang kita adalah kayu bakar, terkadang kita adalah api yang menyala-nyala.” (hal. 53)

Buku bagus ini memang tidak seratus persen suci dari ‘hadats kecil’ macam kesalahan tulis yang lolos dari pelototan editor. Misalnya di halaman 125. Dalam judul Tukar –menukar Kunci Distribusi Suami-Istri, pada paragraf akhir Cak Nun yang memang juga penyair ini sedang membuat tokoh utama buku ini berada dalam situasi hati yang galau. Markesot jadinya makin nglangut di biliknya. Bercinta dengan sunyi. “Sunyi itu kudus,” katanya berpuasa. Menurut saya, kalimat itu harusnya ; “Sunyi itu kudus,” katanya berpuisi.

Sekalipun sering mengkritik Orde Baru dengan gayanya yang kadang ‘nylekit’ dan mengagetkan, toh di saat-saat terakhir kekuasaan presiden Soeharto, Cak Nun  termasuk salah satu tokoh yang diajak bicara oleh pak Harto untuk menentukan sikap atas desakan massa yang menginginkan ia mundur dari jabatan presiden yang telah digenggamnya selama 32 tahun. Dengan gayanya yang mbeling, Cak Nun termasuk salah seorang tokoh yang berhasil turut membujuk Pak Harto untuk lengser saja.

Dan kalimat mbeling itu diucapkan pula oleh pak Harto dalam jumpa pers sesaat setelah pertemuan yang digelar minus Amien Rais itu. “....bahkan ada yang bilang, tidak jadi Presiden tidak pathek’en,” kata Pak Harto sambil melirik Cak Nun yang berdiri di belakangnya.

Sama, tidak membaca buku ini pun Anda tidak akan pathek’en, tidak akan kudisan.  Tetapi dengan membacanya, kita bisa tahu banyak hal dalam perspektif seorang budayawan asal Jombang ini. Dan, tahu adalah lebih beruntung dari pada tidak tahu. Lebih rugi lagi adalah bila tidak tahu tetapi tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. *****

Rabu, 19 September 2012

Demonstran Sexy

JUMAT kemarin (14 September), khotib salat Jumat singkat sekali khutbahnya. Menjadikan saya punya lebih banyak waktu untuk ngeluyur dulu sebelum balik kantor lagi. Tujuannya ke sebuah toko buku yang tak jauh dari masjid itu. Dan pada rak buku-buku sastra, saya menemukan satu buku tipis yang nyelempit agak ke bawah. Dengan cover yang menggoda iman, saya comot buku itu. Dan semakin tergoda iman saya saat mendapati nama Binhad Nurrohmat sebagai penulisnya. 

Kendati sebagai buku lama, saya ambil itu sebagai salah satu buku yang saya beli. Karena terbungkus plastik tentu saya tak tahu isinya apa. Ketika saya buka, astaghfirullah..... buku itu sungguh ter-la-lu (meminjam istilah bang Haji).
Isinya asyik sih. Tetapi buku yang terdiri dari 122 halaman itu tidak sedikit per lembar halamannya yang hanya terdiri dari tiga baris kalimat. Itu pun salah satu kalimatnya adalah judul.

Dan sebelum orasi pamungkas yang ditulis panjang lebar oleh Yudi Latif, pada halaman ke 109 (judulnya Bukan Kata Kritikus) Binhad menulis begini; "Penyair serius tabu membaca buku ini".

Tentu saya tidak pantas untuk 'tersinggung'; saya bukanlah penyair, lebih-lebih yang serius.

Salam.

Senin, 28 Mei 2012

Sepatu Dahlan: Inspirasi dari Alas Kaki



Sepatu Dahlan
Gambar: Google Images
Judul Buku: Sepatu Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Noura Books
Cetakan Pertama, Mei 2012
390 hlm.; 14 x 21 cm



SETIAP penulis mempunyai cara sendiri untuk membuat cerita fiksi. Salah satunya, yang saya tahu, menggunakan resep para jurnalis. Resep itu cukup manjur. Pertama, agar sebuah cerita menjadi sedemikian hidup walau itu hanyalah rekaan semata. Kedua, ini tidak kalah penting, agar semua alur cerita tertata secara runut dan dapat dengan mudah menjawab keingintahuan pembaca. Ya, resep itu lazim disebut sebagai 5W+1H.



Pada cerita fiksi macam itu, penulis setelah menentukan plot dan tokoh-tokohnya lengkap dengan masing-masing karakter, membuat pertanyaan kepada masing-masingnya. Tentu memakai kaidah 5W+1H itu. Tetapi karena semua seratus persen adalah fiksi semata, pertanyaan dan jawabannya itu hanyalah sebuah wawancara imajiner belaka. Bagaimana tidak, karena yang bertanya dan yang menjawab adalah sang penulis sendiri. Dan hal itu dilakukan agar sebuah penciptaan (cerita fiksi) menjadi lebih gampang dan cepat.



Buku Sepatu Dahlan ini pun dibangun dengan cara yang sama. Yang membedakan hanyalah wawancara yang dilakukan oleh Khrisna Pabichara terjadi secara nyata. Ia, selain mewawancarai tokoh utama, juga melakukan riset mendalam dengan menemui orang-orang (baca: saksi mata) kehidupan masa kecil Dahlan Iskan, menginap di kampungnya dan sampai-sampai menelusuri rute perjalanan Dahlan Iskan dari rumah ke sekolah yang 6 kilometer sekali jalan itu. Dengan itu, tentulah tidak berlebihan bila dikatakan novel ini lebih mempunyai 'nyawa'. Ruh-nya betul-betul terasa. Karena ditulis dengan totalitas oleh seorang Khrisna yang terbilang mumpuni.



Tetapi, “Buku ini bukan kisah nyata. Bukan biografi. Namun isinya terinspirasi oleh perjalanan hidup saya,” demikian kata Dahlan Iskan pada lounching buku ke 14 (tetapi novel pertama) dari Khrisna Pabichara ini.



Jelas sudah, bagi yang berharap menemukan gaya penulisan Dahlan Iskan di buku ini, silakan untuk bersiap kecewa. Karena buku ini ditulis oleh orang lain. Tetapi, sekali lagi, karena dikerjakan sepenuh hati oleh seorang yang mumpuni, kita akan diajak berkelana ke masa lalu Dahlan Iskan dengan alur yang mengalir, dengan setiap butir kisah dibangun lewat sentuhan sastrawi, menjadikan (bisa-bisa) pembaca akan seperti kena candu.



Bagi yang sudah pernah membaca buku Ganti Hati yang ditulis Dahlan Iskan (diterbitkan pertama oleh JPBooks, Oktober 2007), Prolog dan Epilog buku ini mungkin akan menggugah kembali ingatan Anda tentang saat-saat menjelang dan sesudah Dahlan Iskan melakukan operasi cangkok hati di sebuah Rumah Sakit di Tiongkok sana. Tetapi sekalipun buku ini diniatkan 'hanya' sebagai novel fiksi, dengan Prolog dan Epilog itu (masing-masing berjudul 18 Jam Kematian dan Mimpi Baru) sudah diolah sedemikian rupa, akan sangat sulit sekali melepaskan diri dari kenyataan bahwa bagian itu adalah merupakan kisah asli.



Jujur saya akui, saya tertarik membaca buku ini karena sebagai anak kampung dengan keadaan yang miskin, dulu saya juga pergi-pulang sekolah dengan berjalan kaki, juga bersepatu bekas yang ujungnya sudah jebol. Dengan membaca buku ini, seolah saya sedang membaca kisah saya sendiri. Tetapi kalau beranggapan buku ini hanya layak dibaca oleh orang yang berlatar belakang miskin seperti saya, tentu saja keliru. Bahwa kemiskinan itu pernah dialami, biarlah saja itu. Namun ketika sebuah keadaan yang susah itu tidak dihadapi dengan 'cara susah' tentu adalah sebuah pencerahan. Dan buku ini, nyaris setiap lembarnya adalah bicara tentang itu. Tentang sebetapa pun miskinnya, harus selalu pantang menyerah.



Dibaca sekarang, saat orang tua sibuk memilihkan sekolah lanjutan untuk anak-anaknya, buku ini memberi cerminnya. Bahwa ketika sebagian besar orang tua ingin anaknya sekolah negeri dan cenderung menjadikan pesantren sebagai alternatif terakhir disinggung pada bab pertama yang diberi judul Tanah Tebu.



“Bapak tahu, Le, tapi kamu harus tahu diri. Harus tahu kemampuan orang tua. Kalau di pesantren Takeran, biaya lebih ringan,” tegas Bapak. (hal 20)



Sekalipun dengan biaya murah begitu, dengan tidak melarang Dahlan sekolah hanya bertelanjang kaki saja begitu, hari pertama mendaftar sekolah ke Pondok Pesantren Sabilil Muttaqin ini sudah disambut tulisan yang ditempelkan didinding. Bukan sembarang tulisan. Karena tulisan itu kalau bisa meresapkannya ke dalam jiwa, akan menjadikan setiap kita lebih bermakna.



Ojo kepingin sugih, lan ojo wedi mlarat, juga sumber bening ora bakal nggolek timba. (Jangan ingin kaya, dan jangan takut miskin. Sumur bening tidak akan mencari timba.)



“Pilih ngendi, sugih tanpa iman opo mlarat ananging iman?”



Dengan tegas aku menjawab, “Sugih ananging iman, Pak.” (hal. 31)



Begitulah, dialog dibangun dengan ringan tetapi sarat makna. Juga ketika Dahlan sepulang sekolah dan masih ngos-ngosan, karena berjalan tanpa alas kaki sejauh 6 kilometer dibawah terik matahari, sekalipun Ibu karena kasihan menyilakan agar tidur sebentar, “Ndak ada waktu, Bu. Harus nyabit (mencari rumput untuk pakan ternak, pen) lagi.”



Tentang telapak kakinya yang selalu kepanasan pergi-pulang sekolah hanya nyeker begitu, impian terbesar untuk mengurangi penderitaan macam itu adalah ingin memiliki sepatu.



Setengah sadar aku bergumam, “Coba aku punya sepatu.....”



Ibu tertegun, meletakkan canting (alat untuk membatik, pen), dan menatapku sedih. “Kita boleh saja bermimpi sesuka hati, Le. Tak ada salahnya bermimpi punya sepatu, tapi jangan karena mimpi itu belum tercapai lantas kamu putus asa. Hidup ini keras, kamu harus berjuang sendiri.” (hal. 40)



Saya sependapat dengan testimoni cerpenis dan esais Damhuri Muhammad, bahwa tidak gampang menulis novel dari riwayat seorang tokoh yang sedang bertabur bintang. Pengarang bisa terjebak dalam ungkapan-ungkapan prosaik yang bergelimang puja-puji, atau terancam oleh sinisme lantaran menyingkap hal-hal tak terlihat yang boleh jadi mencemari keterpujian tokoh tersebut. Tetapi, Khrisna Pabichara telah selamat dari dua jebakan itu.



Inspirasi memang bisa muncul dari siapa saja dan benda apa saja. Bagi sebagian orang, bisa jadi sosok Dahlan Iskan adalah seorang inspirator. Yang ceplas-ceplos, yang tegas, jujur, pekerja keras dan, ini dia, selalu bersepatu kets. Bahwa sekarang ia dipandang sukses, iya. Tetapi bahwa ia mempunyai 'pengalaman' mendalam tentang masa lalunya yang miskin sampai-sampai sepatu saja hanya mampu dimilikinya saat-saat akhir SMA (Aliyah), juga iya. Dan ini, sekali lagi, juga bisa dijadikan sebuah inspirasi.



Akhirnya, sambil menunggu dua buku lanjutannya (Surat Dahlan dan Kursi Dahlan) saya mengamini kalimat terakhir dari pengantar Dahlan Iskan untuk buku ini yang ditulis pendek saja; It's a must read.*****