Rabu, 28 November 2012

Mengukur Jarak Madura-Berlin


 Judul buku: Merentang Sajak Madura-Jerman (Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin)
Penulis: M. Faizi
Kata Pengantar: Martin Jankowski
Desain Sampul: Tugas Suprianto
Editor: ?
Cetakan: Pertama, Juni 2012
Penerbit: Komodo Books


SEKITAR satu setengah tahun yang lalu saya sempat membuat catatan ringan tentang per-FB-an. Apa Arti Sebuah Efbi, begitu saya memberinya judul. Di situ saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada beberapa teman FB saya. Salah satu yang saya tanyakan adalah tentang pertemanan antar sesama Facebooker. Dan salah satu yang saya ‘wawancarai’ ketika itu adalah penulis buku ini, M. Faizi.

 Jujur, ketika itu kami belum seakrab sekarang. Tetapi untuk menjadi semakin akrab tinggal menunggu waktu saja, sepertinya. Kenapa? Ya bukankah kita akan mudah akrab ketika teman baru kita itu memiliki kesamaan selera. Begitulah. Selebihnya, “Berteman secara serius, seperti di alam nyata, untuk menambah wawasan karena kayaknya  lebih dari 80% saya kenal dengan teman-teman FB saya,” demikian jawabnya ketika saya tanyakan tentang tujuannya ber-FB.

Dalam buku ini (hal. 114-122), saya lebih dalam menemukan fakta dari ucapan itu. Ada berderet nama sahabat maya yang kemudian bisa berjumpa secara nyata. Ada Martin Jankowski (festival director Jakarta-Berlin yang mengundangnya ke Jerman), ada Tolya Glaukos, sahabat Jerman-nya yang lain, ada Nanang WK (teman yang ketika berangkat sudah menunggu untuk kopi darat di bandara Soekarno-Hatta,  tetapi karena berangkat kejebak macet sehingga tak memungkinkan untuk sekadar say hello dan menepuk pundak, sebab kalau itu dilakukan berisiko akan ditinggal terbang Turkish Airlines) yang belum kapok sehingga menunggu dengan setia ketika penulis buku ini tiba kembali di tanah air. Ada Moko Boemenz yang di rumahnya akan ia pakai tarnsit untuk bermalam. Semua mereka itu sahabat maya yang secara nyata (dalam pertemuan nyata) menjadi teman sejati.

Sekali pun begitu, sebuah pertemanan harus pula mendapat ujian. Misalnya, ketika suatu malam dengan tulus ingin mentraktir minum kopi seorang teman Jerman,  Bertthold Damshauser namanya. Kolumnis, Redaktur Jurnal Sajak dan pengajar di Universitas Bonn profesinya. Lemparan tawaran itu benar disambar, namun, “Boleh, boleh. Tetapi kalau boleh memilih, saya minta dibelikan bir.”
Itu hal kecil, itu hal sederhana. Tetapi bagi seorang muslim yang taat, membelikan khamr (baca: bir) bagi orang lain pun adalah sebuah dosa. Peristiwa di Bar & Lounge Estrel Hotel malam itu bikin mukanya pucat. Jelas, itu bukan soal perbedaan harga kopi dan bir yang harus dibayar. Melainkan karena kesadaran diri, bahwa peci hitam nasional sebagai penutup kepala, dan lilitan sorban di leher, mendadak tidak fashionable di hadapan bartender itu sesaat setelah berucap, “One beer, please.”

Untunglah, “Sorry, we are closed,” jawab bartender itu disambut senyum nakal para temannya. Oh, dikerjai rupanya (hal. 44).

Jadi, siapa teman sebenarnya? “Jauh atau dekat, sungkan atau akrab, lama-baru? Asalkan dia mau mengajak pada kebaikan, ya, itulah dia.” (hal. 122.)

Sebagai sebuah buku catatan perjalanan, buku ini mampu mengajak pembacanya seperti ikut serta dalam setiap langkahnya. Semua nyaris tiada terlewatkan dalam catatan. Sampai hal-hal kecil, sampai detil. Tentang ini, saya telah lama mengaguminya sebagai penulis yang sangat peduli akan  ketelitian. (Kebetulan saya sering membaca catatan perjalannya pada beberapa blog-nya) Di situ kita bisa dapati betapa waktu, nama-nama (tempat, bis, jalan, dll) ditulisnya dengan akurat. Mulai harga seporsi rawon di RM Taman Sari II, Subang yang seharga 19 ribu, sampai secangkir kopi di kedai Turki di kota Berlin yang senilai 1 Euro, dari harga sebungkus rokok Gudang Garam Signature bercukai  dan berperingatan pemerintah Jerman seharga 6-7 Euro, lama penerbangan Jakarta-Berlin yang 16,5 jam, sampai lama perjalanan darat (naik bis) dari desa Guluk-guluk sampai Jakarta yang 28,5 jam!

Tentang angka-angka itu, saya bermaksud tidak sekadar membacanya, tetapi menghitungnya. Misalnya, lama penerbangan Jakarta-Berlin, dengan semua data yang ada dalam buku ini, benarkah selama itu? Mulailah saya menjumlah; Jakarta-Singapura 100 menit (transit di Changi, 1 jam), Singapura-Istanbul 10,5 jam. Sedangkan Istanbul-Berlin ditempuh  dalam 2,5 jam penerbangan. Jadi saya total-total; ‘hanya’ 14 jam 40 menit. Bukan 16,5 jam. (Maaf, saya pun tidak terlalu yakin akan hasil penjumlahan saya ini, karena nilai pelajaran matematika saat saya sekolah dulu amatlah buruk).

Biasa makin nasi sementara di Jerman tidak semua ‘warung’ menyediakannya, untuk menemukannya pun perlu perjuangan. Dan sebagai penggemar nasi yang hanya dimasak dengan cara biasa, ketika dijamu makan secara prasmanan di  Hotel Estrel yang mewah, menghadapi ikan salmon mentah yang diasamkan, roti, buah, cokelat, selai berbagai rasa, membuatnya ragu akan yang dihadapinya. Jangan-jangan, selai yang seharusnya dilibatkan dengan roti, dimakan bersama salad. Kesimpulannya, pengetahuan tentang apapun sebaiknya dikuasai seorang penyair, agar hidupnya tidak dihabiskan untuk membangun reputasi dalam sastra tetapi kemudian dihancurkan di meja makan (hal. 37). 

Selain nasi, yang juga sulit (dan jauh) ditemukan adalah masjid. Sekalipun sangat jarang, masjid masih ada. Sejauh-jauh jarak, toh ada teman yang mengajaknya, tetapi lupa adalah penyebab kegagalan sholat  Jumat. Sesuatu yang sangat disesalinya. Maka, dengan perasaan malu, ia membatin, “Jumat kali ini saya tidak hadir, Tuhan,” (hal. 90).

Sebagai sebuah catatan tentang perjalanan seni, buku ini tentu saja memuat hal-ikhwal festival yang diikutinya. Tentang teman-teman seniman seperjalannya, Joni Ariadinata (redaktur majalah sastra Horison), Sosiawan Leak (sastrawan dan seniman teater), juga seniman yang lain, Jamal D. Rahman. (Empat sekawan seniman yang sempat 'mati gaya' kala nyaris ketinggalan pesawat di bandara Soekarno-Hatta). Tentang penampilan band Krakatau yang memukau, dengan Ubiet sebagai vokalis dengan suara magis-magis genit diiringi Dwiki Darmawan yang bermain piano seperti kesurupan. Sebagai penyair, penulis buku ini tampilnya ‘hanya’ duduk-duduk saja, berdiskusi sastra. Tetapi, saya kira, porsi terbesar yang disorot adalah jalan-jalannya. (Termasuk ketika ‘kabur’ dari arena festival di Berlin untuk nyempal ke Leipzeig. Selain untuk ziarah kubur ke makam Johann Sebastian Bach, meluncur ke kota itu juga untuk sebuah ‘misi khusus’; mengantarkan kerupuk! (hal. 61-62). Mafhum saja, namanya juga catatan perjalanan.

Yang tak luput dari bidikannya adalah betapa disiplin ditegakkan sampai sebegitunya. Sopir bis yang tak segera menjalankan kendaraannya walau tiada penumpang yang ditunggunya. Satu-satunya yang ditunggu adalah jam keberangkatannya. Dan itu hanya kurang enam puluh detik! Tidak hanya waktu keberangkatan yang sangat ditaati, traffict light pun demikian. Jadi, sesibuk apa pun lalu-lintas,  penyeberang jalan tetap merasa selalu aman. Bahkan bagi tuna netra sekalipun. Untuk tuna netra ini, ada kode tersendiri. Pada tiang lampu-lampu penyeberangan, ada speaker yang berbunyi ‘tok, tok’. Orang yang tuna netra akanmencari sumber suara itu kalau hendak menyeberang, jika lampu berwarna hijau, ketukan ‘tok, tok’ tersebut akan semakin kerap. Itulah pertanda saat menyeberang yang aman. (hal. 90) Ini mungkin salah tulis yang lolos dari pelototon editor. Kalau tidak, berarti di Jerman, kalau lampu sedang berwarna hijau, memang saatnya untuk menyeberang. Kalau di sini kan kalau merah.

Penulis yang baik adalah pencatat yang baik, begitu kata sebuah ungkapan.
Terlepas dari kesalahan (tulis/cetak atau tafsir saya) yang ada, buku ini tetaplah menarik bagi saya. Maka, ketika sesaat setelah mengkhatamkannya, saya langsung menulis di dinding Facebook-nya. Dan itu langsung dikomentarinya, “Untuk khatam butuh berapa lap?” Saya langsung membalas, “Saya hanya perlu sekali berhenti di pit stop beberapa saat untuk kemudian ngebut membaca lagi sampai kisah membuat kopi di depan dapur.”

Membaca buku bagus selalu membuat hati senang. Dan sebuah sensasi kesenangan, bisa membuat seseorang lupa akan rasa capek (hal. 28).

 Sekian lama berteman secara maya, membaca buku ini serasa saya diceritai secara langsung oleh seorang teman sejati  yang baik hati. Dari yang kemarin-kemarin belum mengenalkan begitu dekat, lewat kata-kata Martin Jankowski (paragraf pertama pengantar yang berjudul Puisi Dua Belas Ribu Kilometer, hal. 9) saya menjadi semakin hormat.

Wa ba’du, tentang buku ini, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak sependapat dengan kesaksian mendiang Lan Fang, “Tulisan bagus dari laki-laki bagus,” begitu ia bilang.*****

4 komentar:

  1. Astaga, muncul di sini pula rupanya... danke

    BalasHapus
  2. Terima kasih saya sampaikan. Saya senang karena itu pertanda buku saya ini telah dibaca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga seNNang, karena di situ juga tertera tanda tangan Sampeyan. Hehe....

      Hapus