Minggu, 19 Mei 2013

Anak Bidadari


SEPERTI saran seorang teman, sebisa mungkin aku menghindari untuk mengawali cerita ini dengan menyebut matahari atau langit. Tetapi karena ia, temanku itu, selalu bilang bahwa ibunya adalah seorang bidadari, mau tidak mau aku harus menyebut langit sebagai asal dari ibunya. Bidadari, seperti pernah kubaca pada buku-buku dongeng yang aku pinjam di perpustakaan saat SD dulu, bertempat tinggal di khayangan.

Salah satu kisah yang samar-samar aku ingat adalah ketika para bidadari turun ke bumi untuk mandi di sebuah sendang, ada seorang pemuda yang diam-diam mencuri selendang milik salah satu  bidadari. Dan, saat yang lain segera terbang pulang ke khayangan sehabis mandi, satu di antara bidadari itu, kalau tidak salah namanya Nawangwulan, tidak bisa terbang karena selendangnya hilang. Pencuri selendang itu, yang kemudian menjadi suami dari bidadari itu, Joko Tarub namanya. Tetapi, temanku itu bukan anak Joko Tarub.
Ayahnya bernama Gelam. Seorang tukang judi yang sekarang sudah mendiang.

Sama seperti engkau, mula-mula aku menganggap temanku itu, ohya namanya Rindang, adalah sedang mengigau ketika selalu menyebut kalau ibunya adalah bidadari. Itu adalah sebuah pernyataan yang menjengkelkan. Sama menjengkelkan ketika engkau mempunyai teman yang kemana pun ia berada selalu memasukkan jari telunjuknya ke lubang hidung; ngupil. Atau teman lain yang selalu (walau tidak sedang pilek) menarik napas sampai berbunyi ‘ngok’ di hidungnya, lalu memaksa --dengan suara yang tak kalah menjijikkan-- entah ingus entah dahak, untuk segera meloncat dari tenggorokannya. Dan, cuh!, ia meludahkannya secara cuek tidak jauh dari tempatnya berada.

“Ibuku bidadari, ayahku tukang judi,” itu yang ia ucap kala pertama kali aku bertanya tentang orangtuanya.

Sabtu, 18 Mei 2013

Habis Spacetoon, Terbitlah NET.


SEJAK melihat promo program kuis Siapa Dia di TVRI beberapa hari yang lalu, langsung saja saya menyetel alarm pengingat di ponsel. Saya tulis ‘Kuis Siapa Dia TVRI, 18 Mei jam 17.00’. Setidaknya, dengan membuat pengingat di ponsel, saya akan terhindar dari lupa. Beres. Dengan begitu, saya akan bisa bernostalgia pada acara kuis yang dulu sempat populer. Sekalipun sekarang pembawa acaraya bukan Aom Kusman, paling tidak –saya kira-- Denny Candra juga kental sekali aksen Sunda-nya, sama dengan Kang Aom Kusman.

Melihat kuis Siapa Dia, selain lagu pembukanya yang masih saya ingat, ada sesuatu yang ingin saya ikut nebak; sang Mistery Guest. O, o siapa dia?

Sebelum alarm yang saya setel berbunyi, syukurlah, saya tidak lupa kalau hari ini Sabtu, 18 Mei. Saat mana NET. (nama baru stasiun televisi yang mengakuisisi Spacetoon) mulai melakukan siaran percobaan. Hal itu saya telah tahu beberapa hari yang lalu, dan hari ini saya dipertahu (eh, apa pula istilah ini?!) ketika membuka akun twitter @netmediatama.

Hari ini saya bekerja, dan pulangnya nyampai rumah tepat jam 17.00. Pilih mana? Bernostalgia dengan kuis Siapa Dia, atau khusyu’ menonton kemunculan NET. untuk kali pertama?

Tidak bisa tidak, demi keduanya, saya memutuskan untuk ‘poligami’ saja;

Rabu, 15 Mei 2013

Kotak Obat di Jok Motor

SEKARANG ini, menurut Sampeyan, kendaraan apa yang layak disebut raja jalan raya? Truk, bus, angkot? Menurut saya kok semua yang dibilang di atas barusan itu kurang tepat. Jawaban yang saya inginkan adalah R-2. Ya, sepeda motor!

Jangan dilihat bentuknya yang ramping. Tetapi tengoklah jumlahnya. Makin hari, sepertinya, makin dikuasai saja setiap jengkal jalan olehnya. Ia, di tangan pengendara yang ugal-ugalan, bisa memakan jatah lajur kendaraan lain sekalipun, sebenarnya, ia telah disediakan lajur tersendiri; lajur kiri.

Sekalipun merajai jalanan, ia secara risiko adalah yang paling rentan. Tiada bodi atau bemper yang bisa menahannya dari benturan bila terjadi kecelakaan. Sejauh ini, tiada pula pernah saya dengar, motor mahal sekalipun, ada kantung udara otomatis (ABS) yang mengembang bila tubrukan.

Melihat kenyataan bahwa anak seusia SMP belum boleh mngendarai motor bila ke sekolah, akan menimbulkan lonjakan jumlah motor baru di jalanan memasuki tahun ajaran baru nanti. Bagi orang tua yang mampu, adalah lazim membelikan motor anaknya begitu masuk SMA. Padahal, jumlah lulusan SMA tentu ribuan jumlahnya. Belum lagi pembeli motor baru di kalangan masyarakat umum. Yang karena ongkos angkutan umum tentu akan naik saat harga BBM naik (lagi) nanti, pastilah memilih menyisihkan uang demi bisa membayar uang muka agar bisa memiliki motor baru. Dengan motor sendiri, secara kalkulasi, tentu masih terasa ringan dibanding dengan kemana-mana harus naik angkot.

Setiap berangkat kerja, dan nyaris setiap hari merasakan betapa macetnya jalanan di jam berangkat (dan pulang), seringkali saya saya mendapati ribuan helm terlihat pating penthus di pandang dari belakang. Dengan rapatnya jarak antar pengendara R-2, bila sedikit saja terlibat senggolan, bisa berbeuntut celaka. Dan celaka itu makin serius bila si pengendara menggeber tunggangannya dengan kecepatan seenak udelnya.

Pagi tadi, saat berangkat kerja, di sebelum perlintasan KA di jalan Margorejo Indah, di pinggir jalan saya lihat ada seorang lelaki duduk di pinggir jalan dengan dengkul bundas, babras dan berdarah. Di dekatnya ada seorag polisi dan dua orang laki-laki lain. Entah siapa dua lelaki itu. Teman atau lawan dalam insiden kecelakaan kecil itu, saya tidak tahu.

Sebagaimana pengendara motor lain, saya hanya menoleh dan tidak menepi. Lagian, kalau ikut menepi dan merubung si celaka, saya mau apa? Tidak ada yang bisa saya perbuat untuknya. Dan bukan tidak mungkin hal itu malah bikin lalin makin macet saja.

Itu akan berbeda, misalnya, bila di jok motor saya tersedia obat merah dan perban. Dengan dua benda itu, tentu saya bisa menetesi dengkulnya yang babras itu dengan obat merah lalu membalutnya dengan perban sedemikian rupa.

Ini, membawa perlengkapan PPPK ini, sepertinya juga penting mengingat kecelakaan bisa menimpa siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Tentu kita tak berharap ada yang celaka, tetapi kalau ada, dan itu terjadi di dekat kita, paling tidak kita bisa melakukan tindakan yang manusiawi sebagai manusia. Dan bukankah seyogyanya berbuat baik kepada orang lain itu tak perlu menunggu menjadi caleg dulu? *****