Tampilkan postingan dengan label Mudik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mudik. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 April 2023

R-4

SECARA itungan, rumah saya di Surabaya jaraknya terbilang relatif tak jauh dari bandara Juanda. Sedangkan tujuan mudik saya di Jember, sudah juga punya bandara. Maka, untuk pulang kampung naik pesawat sungguh tiada kendala berarti. Kecuali, berat bagasi yang tentu dibatasi. Tak mungkin saya memasukkan dua ekor Vario ke dalam tas koper. Karena tas saya bukan seperti milik Doraemon. Alasan berikutnya, karena pesawat tujuan Jember bukanlah sejenis Antonov.

Baiklah. Akhirnya saya putuskan lewat jalur darat saja. Pakai roda empat. Alias duo Vario.

Jalanan sepi. Kalaulah dibuat catatan perjalanan, tiada bumbu yang agak menyengat. Nyaris hambar. Kecuali di Tukum. Setelah menyalip laju bis Ladju dan sebuah truk sekelas Dyna, motor saya oleng. Ban depan gembos. Dengan teknik menepi yang ugil-ugil, saya bersyukur tidak punya bakat (baca: nyali) untuk ugal-ugalan. Karena, konon, bila roda depan angin ngowos dan gembos di kecepatan tinggi, niscaya bisa menyebabkan gulung-koming.

Bersyukurnya lagi, di seberang tempat saya menepi, ada tukang tambal ban --yang walaupun sudah tutup, mau membuka lapaknya kala dibilangi ibunya (yang buka warung kopi di sebelahnya), kalau saya sedang membutuhkan jasanya.

Beres. Dengan ongkos yang ramah di kantong. Selembar uang kertas nominal sepuluh ribuan ditukar dengan menambal ban plus menata selembar ban dalam yang telah digunting melebar, yang diharapkan berfungsi sebagai pelindung bagi ban dalam depan, yang ban luarnya batiknya sudah nyaris plontos. Tetapi, "Ini sudah waktunya ganti. Luar dalam", kata lelaki asal Bangkalan yang lebaran ini tidak mudik, dan baru akan 'toron' saat Idul Adha nanti.

Sambil meneruskan mudik, tolah-toleh bengkel: semua ramai, semua penuh. Okelah, nanti saja. Yang penting sampai rumah dulu, urusan ganti ban bisa belakangan.

Saya lupa, hari lebaran adalah juga hari liburan bagi bengkel. Tetapi apa salahnya dicoba. Lepas tengah hari, di hari H hari raya. Semua tutup. Baik bengkel resmi maupun resmi bengkel. Di depan tertulis, buka 26 April 2023. Arang saya belum patah. H+2 perburuan saya lanjutkan. 

Beberapa bengkel di Gumukmas tutup. Lanjut ke Kencong. Oh, kok juga pada tutup. Lanjut. Pelan-pelan. Ada umbul-umbul Ahass di depan sana. Dan bengkelnya buka! Saya baru kali ini mendapati pengalaman batin (halahmbel!) tentang makna filosofis dari One Heart. Satu Hati. Saya merasa, sebagai orang yang tak bisa ke (se)lain Honda, ini benar-benar makna lain dari yang Semakin di Depan milik kompetitornya itu.

Saya masuk. Didaftar. Dapat nomor urut 6. Pada pit 3 tertanda nama saya. Oh, alangkah betapanya. Sudah di-spesialkan rupaya. Sampai tertulis nama saya. Oh, tidak, tidak. Ataukah ini sebagai pertanda, betapa pasarannya nama saya.

Operasi penggantian ban depan luar-dalam di atas pit nomer 6 langsung dilaksanakan. Mas Edy yang nangani. Ngobrol ringan dengannya, laksana jeruk minum jeruk. Edy ketemu Edi.

Diselingi obrolan seputar pervarioan, tahu-tahu operasi selesai. Tahu-tahu Mas Edy menunjuk meja kasir saat saya tanya berapa biayanya. Tahu-tahu hampir seperempat jeti biaya untuk itu. Dan ini belum masuk dalam anggaran mudik. Ini dia, penggantian ban luar dalam yang serta-merta menggerogoti saku saya, juga luar-dalam.

Tapi tunggu dulu. Seperti halnya semua kecap, keselamatan (berkendara) adalah juga nomor satu. ****

Jumat, 24 Juli 2015

Mudik, Sebuah Catatan Kecil

"SETIAP Lebaran 'orang kota' pada mengaku berasal dari udik sehingga pada mudik," tulis seorang teman lewat akun FBnya. "sesampainya di kampung, 'orang udik' itu malah petita-petiti bergaya sebagai orang kota," lanjutnya.

Sudahlah, itu hal lain. Yang, bisa jadi, saya juga melakukan walau tanpa sadar. Sekarang saya berniat membuat catatan kecil tentang mudik. Dan sebagai orang kecil, tentu catatan ini saya bikin sendiri, karena kalau orang besar yang mudik, pasti ada media yang dengan senang hati menuliskannya. :)

Karena tiga hari pertama lebaran masih harus menjalankan tugas kenegaraan (lebay, ini memang saya lebay-kan...), maka saya baru sempat mudik hari ini. Dan karena (sekali lagi: karena) asap gunung Raung mengganggu penerbangan sehingga bandara di Banyuwangi dan Jember termasuk yang juga ditutup, terpaksa saya menggunakan angkutan darat. (padahal biasanya ya memang naik bis).

Saya take off dari Purabaya persis jam enam pagi naik bis Borobudur yang karena saya langsung naik menjadikan nopol tak sempat saya catat. Yang tercatat malah waktu tempuh Purabaya-Bayuangga yang gak jelek-jelek amat. Durasi yang biasanya rata-rata dua jam, Borobudur 'mabur' dengan capaian waktu 105 menit saja.

Namun, entah sebagai konsekuensi atau terkena tueslag, tarifnya pun dinaikkan sampai setinggi stupa. Yang normalnya 16 ribu atau 20 ribu per pantat, menjadi 25 ribu. Yo wislah, saya yang berangkat berempat, harus membayar 75 ribu, karena si bungsu (demi penghematan) masih cukup dipangku saja.

Tak ada kejutan berarti bersama Borobudur selain hal di atas.

Garis start di terminal Bayuangga, Probolinggo.

Transit sebentar di Bayuangga hanya untuk ke toilet. Pada saat buang air itu, bis Pari Kesit trayek Probolingo-Jember via Kencong berangkat. Dan saya sama sekali tak mengejarnya karena si sulung masih terjebak antrian panjang di pintu toilet. Lagian, walau namanya Pari Kesit, jalannya tak bakalan kesit sebagaimana umumnya bis yang via Kencong lainnya.