Tampilkan postingan dengan label Radio Komunitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Radio Komunitas. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 April 2012

Iklan Layanan Masyarakat

ANTENA sudah diberdirikan. Tidak terlampau tinggi memang. Karena coverage area sebagai radio komunitas memang hanya sebatas 2,5 kilometer saja.

Saya jadi ingat siang itu (11 Pebruari 2012), disaat rehat dari pelatihan penyiar, dibawah pohon trembesi yang rindang disudut pendopo yang teduh, di depan ruang perpustaan, saya berbicara dengan Devi Kristanti. Perempuan ini turut sebagai 'ibu' yang sibuk demi kelahiran sebuah radio komunitas. Saat itu, selepas makan siang itu, sambil berdiri saya berdiskusi tentang acara apa yang sekiranya bisa ditampilkan nanti. Ini penting, karena sekalipun telah memiliki lima acara dengan durasi masing-masing satu jam (salah satu syarat pendirian radio komunitas, paling tidak ia harus sanggup secara kontinyu bersiaran minimal lima jam sehari), tentu perlu dipikirkan untuk menambah menjadi lebih lama lagi. Untuk itu dibutuhkan program acara lainnya.

Selanjutnya, “Mari saya tunjukkan studio kita,” katanya sambil mengajak saya kebagian belakang komplek itu.

Sambil mengikuti langkahnya saya mencerna kata 'kita' yang baru saja diucapkannya. Kita? Ya, sebagai radio komunitas memang menjadi terbuka untuk siapa saja dikomunitas itu untuk tampil sebagai bagiannya. Sebagai apa saja. Teknisi, penyiar atau yang lainnya. Semua terbuka, dan semua sukarela!

Dibawalah saya ke sebuah ruang yang sedang dalam perbaikan. “Ini dulunya akan digunakan sebagai kamar mandi,” Devi berkata.

Saya lemparkan pandangan ke segala ruang yang memang tak seberapa luas. Dua buah AC telah menempel didinding. Satu di ruang siaran, satu lagi di ruang (yang masih menurut mbak Devi) akan dijadikan tempat ketika ada acara talk show. Dengan kaca sebagai penyekatnya. Menurut saya, itu terlihat sebagai pemborosan ruang. Karena bisa saja ruang siaran dan ruang talk show menjadi satu saja seperti yang saya lihat di video streaming radio Suara Surabaya. Tetapi, disisi lain, ruangan itu sudah terlihat agak 'wah' kalau dilihat sebagai studio sebuah radio komunitas.

Studio kecil itu secara view cukuplah bagus. Di depan adalah kolam ikan yang dipinggirnya ada banyak sekali pepohonan. Dan di dekat bibir kolam ikan itulah kaki antena menancap. Menurut rencana, Rabu (11 April 2012) besok segala peralatan siaran yang selama ini diletakkan didalam kantor diboyong ke studio. Untuk selanjutnya dilakukan siaran percobaan. (Selama ini sudut kantor itu menjadi studio sementara untuk berlatih siaran dengan tanpa diudarakan, tetapi cukup disebar-luaskan via speaker yang hanya bisa didengar diseantero Pusdakota ini saja).

Dalam sebuah kesempatan, saya pernah menawarkan diri membuat naskah untuk Iklan Layanan Masyarakat. Dan, dalam sebuah komunikasi via FB, mbak Devi merespons dengan baik. Maka, agar saya tidak dibilang melupakan janji, saya segera mencari-cari topik apa gerangan yang layak di-ILM-kan.

Suatu sore saat sedang momong si kecil, saya lihat seorang perempuan dengan enteng membuang sampah ke sungai. Aha, ini bisa dijadikan ILM. Temanya; ajakan untuk agar jangan membuang sampah di sungai. Saya kira ini penting. Sangat penting.

Di lingkungan kami, (atau dalam bahasa lain: komunitas kami) yang hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari kawasan industri Rungkut, memang terdapat sebuah sungai yang luar biasa hitam airnya. Kehitaman itu lebih diperparah oleh sampah. Dan, sepertinya, bukan hanya seorang ibu itu saja yang dengan gampang membuang sampah ke sungai. Ada, atau banyak, ibu-ibu lain yang mempunyai perilaku yang sama. Pada kondisi itulah, paling tidak, siaran sebuah radio komunitas diharapkan mampu memberi pencerahan.

Mulailah saya corat-coret membuah naskah. Tentu saja masih terbuka peluang untuk diperbaiki. Itu nanti. Toh ini hanya konsep. Mau direkam atau tidak pun itu soal belakangan.

Dan, inilah hasil corat-coret saya:


Naskah skenario Iklan Layanan Masyarakat
Pengisi suara tiga orang (Bu RT, Yu Tun, Yu Sri) plus seorang narator.

Yu Sri: Pagi-pagi kok sudah bawa tas kresek penuh mau kemana sampeyan, Yu?

Yu Tun: Eh, sampeyan. Ngagetin saya saja. Ini lho, tadi saya baru bersih-bersih rumah. Lha ini hasilnya; sampah. Ada botol bekas, ada kertas koran, ada baju yang sudah sobek dan macem-macemlah pokoknya.

Yu Sri: Terus, barang-barang itu mau sampeyan apakan?

Yu Tun: sampeyan ini bagaimana to, Yu. Yang namanya sampah ya harus dibuang.

Yu Sri: Dibuang? Dibuang kemana?

Yu Tun: Sampeyan itu, Yu. Lha wong buang sampah saja kok repot. Ya tinggal dilempar ke sungai kan beres. Ia akan bisa hanyut sampai jauh...

Yu Sri: Wah, wah. Sampeyan ini. Buang sampah kok ke sungai. Bahaya itu, Yu.

Yu Tun: Bahaya? Bahaya opo?

(Bu RT datang dan langsung ikut nimbrung)

Bu RT: Pagi-pagi kok sudah jagongan di pinggir sungai ini ada apa, to?

Yu Sri dan Yu Tun (menyahut bareng): Eh, Bu RT...

Yu Sri: Ini lho, Bu. Yu Tun ini mau buang sampah ke sungai. Lak bahaya to, bu?

Bu RT: Lho, ya jelas bahaya itu. Nanti kalau pas musim hujan, dan aliran sungai mampet karena saluran tersumbat sampah, lalu lingkungan kita kebanjiran, akhirnya yang repot kan kita-kita juga.

Yu Sri: Nah, itu, Yu. Dengarkan apa kata bu RT....

Bu RT: Dan lagi, sampah-sampah itu kan bisa dimanfaatkan, bisa didaur ulang. Atau, pisahkan saja antara sampah basah dan sampah kering. Nah, nanti mari bersama kita proses sampah-sampah itu agar memberi nilai tambah. Bagaimana? Sudah jelas?

Yu Tun: Sudah, Bu. Sudah jelas kok.

Bu RT: Nah, kalau sudah jelas, mari kita terapkan dalam lingkungan kita. Dan, mari kita ajak lebih banyak lagi orang untuk peduli akan lingkungan sendiri.

Narator: Menjaga lingkungan pada hakikatnya adalah juga menjaga kehidupan. Buanglah sampah pada tempat yang benar. Atau, olahlah sampah agar ia memberi nilai tambah.
Iklan Layanan Masyarakat ini dipersembahkan oleh radio komunitas SIP-FM. SIP-FM; Dekat-Bersahabat!

(Sekali lagi, konsep diatas adalah masih dalam bentuk kasar. Tidak menutup kemungkinan untuk dipoles disana-sini dulu sebelum direkam atau diudarakan.)

Senin, 13 Februari 2012

Belajar Kepada Penyiar


KESUKAAN saya membaca, kalau saya tidak salah ingat, datang berbarengan dengan kesukaan saya mendengarkan radio. Dan, selain radio lokal, ada beberapa radio luar yang rutin saya kuping. Sebutlah misalnya, Radio Australia, BBC, VOA, atau Radio Netherland siaran Indonesia. Telinga saya cukup akrab dengan suara Ebet Kadarusman (ABC Australia), atau Ayun Sundari, Arya Gunawan, Gogo Prayoga dan Helen Lumban Gaol (BBC London), Bari Mochtar (Ranesi- Radio Netherland Siaran Indonesia), atau Suprapto (VOA- Suara Amerika). Saat itu, acara siaran dari stasiun asing masih belum boleh di relay oleh stasiun lokal. Jadinya, mengupingnya pun kadang sampai benar-benar harus menempelkan radio ke kuping. Karena gelombang pendek (SW) sering diterima radio saya dengan suara timbul-tenggelam.

Kalau penyiar lokal yang saya ingat kala itu, tentu saja Meutia Kasim yang saban Minggu nongol di acara WeeklyTop40. Berisi tangga lagu-lagu top yang lagi kondang saat itu, dengan kiblat Amerika Serikat. Dan untuk acara serupa dengan kiblat Eropa, saya dengar yang buatan Radio Netherland; Europe Parade.


Kalau kesukaan membaca kemudian memantik keinginan saya untuk turut bisa membuat bacaan, karenanya lalu saya mulai belajar menulis. Sejak itu dan sampai sekarang. Bukankah belajar memang tiada batas waktu? Juga, ketika suka mendengarkan radio, sedikit demi sedikit saya juga membuat impian tentang betapa enaknya menjadi seorang penyiar. Maka, ketika orang lain ketika mandi suka sambil menyanyi, karena saya tidak bisa menyanyi, dalam sambil mandi itu lebih sering saya seolah sedang siaran radio!


Tempo hari saya dapati selebaran tentang pelatihan menjadi penyiar ditempel di papan-papan pengumuman dikampung, saya langsung daftar ikut. Toh pelatihan itu dilaksanakan hari Sabtu (11 Pebruari kemarin) dan kebetulan saya sedang libur kerja. Kebetulannya lagi, lokasi pelatihan itu hanya kurang dari seratus meter dari rumah saya. Tepatnya, disalah satu ruang di gedung Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan - Universitas Surabaya (Pusdakota Ubaya).

Walau sudah termasuk peserta paling tua, setidaknya saya merasa sebagai yang paling ganteng. Saya seakan adalah si Jaka Tarup diantara para bidadari. Tentu, karena peserta lainnya plus seorang instrukturnya semua  perempuan. Sebagai lelaki tua yang sendiri di sarang perempuan begitu, saya hilangkan semua keminderan. Saya datang kesini toh untuk belajar. Agar besok-besok, ketika saya siaran dikamar mandi, paling tidak saya sudah dalam teknik yang tidak keliru.


Disitu, ketika saya mengikuti pelatihan itu, saya baru tahu, selain harus bisa olah nafas sedemikian rupa, seorang penyiar sebelum siaran harus melakukan senam dulu. Tentu senam khusus; yang bisa melancarkan saat siaran. Agar bicara tidak belepotan dan tidak sampai kehabisan kata. Nama salah satu gerakan senam ini namanya sangar; Lion Face! Gerakannya begini; tangan posisi seperti hendak menerkam, mata disipitkan sesipit-sipitnya, gigi dikatupkan se-nggeget-nggeget-nya. Ini dilakukan sekitar dalam hitungan sepuluh detik. Selanjutnya, dengan tangan masih dengan posisi sama, tetapi kali ini mulut dimonyongkan semonyong-monyongnya, mata dimelototkan semelotot-melototnya, lidah dijulurkan sepanjang-panjangnya. Ini juga sepuluh detik. Gerakan lainnya adalah  menjulurkan lidah dan diputar-putar menjilati bibir sendiri dalam putaran kekiri tujuh hitungan dan kekanan juga tujuh hitungan. Kemudian mengurut rahang sendiri, dilanjut mengurut tenggorokan.

Heran, dengan hanya melakukan gerakan 'aneh' begitu pun keringat saya sudah ndrodos keluar. Tetapi terus terang saya kurang konsentrasi. Takut anak saya tiba-tiba nongol dan melihat bapaknya berlagak seperti singa yang melotot hendak menerkam mangsa, wah bisa girap-girap anak saya.


Jam dua belas siang, kami rehat sejenak. Semua berkumpul di pendopo untuk makan siang. Peserta latihan penyiar bergabung dengan peserta pelatihan lainnya yang kali itu sedang membahas topik urban farming.

Setelah makan siang dan sholat dhuhur, pelatihan kembali dilanjutkan. Kali ini praktek lapangan. Yang pertanian ke lahan pertanian yang juga ada dilokasi itu, yang latihan penyiar langsung praktek siaran di studio yang juga tersedia. Disitu ada bedanya. Yang petani, karena memang pada dasarnya adalah sudah bertani, dan disini hanya di ubah mindset-nya agar lebih menggunakan pupuk organik, tentu adalah gampang. Bagi penyiar, tunggu dulu. Bicara sendiri didepan seperangkat alat siaran (ada mixer, pakai headphone, menghadap komputer dan didepan bibir ada mikrophon dan tidak bicara secara face to face dengan lawan bicara), saya yang sudah diajari membuat radio script sebelum siaran, semua langsung buyar. Bicara dengan cara begitu ternyata tidak gampang. Menjadi penyiar ternyata adalah pekerjaan besar!

Setelah pelatihan itu, saya jadi sadar. Bicara untuk enak didengar orang lain harus ada persiapan. Tidak asal keluar suara, tidak asal berkoar. Harus bisa meredam emosi pribadi. Harus jelas intonasinya, jelas artikulasinya, juga dengan aksentuasi yang sedemikian rupa. Bicara begitu, yang enak didengar itu, yang menyenangkan orang begitu, tentu tidak melulu bisa diterapkan untuk siaran radio semata. Dalam kehidupan sehari-hari pun tentu juga perlu.

Salam.****