Minggu, 27 Desember 2015

Pesan untuk Operator Sound System

BULAN Robi'ul Awwal begini, banyak sekali orang punya hajat di kampung saya. Khususnya untuk acara khitanan atau pernikahan. Ya, dalam penanggalan Jawa, bulan ini (yang disebut juga bulan Maulud, dengan gampang orang menyebutnya bulan Mulud) termasuk bulan bagus untuk menggelar acara-acara itu. Dalam ingatan saya, dua bulan dari dua belas bulan dalam setahun, yakni bulan Suro dan Selo, termasuk yang dihindari dalam melakukan acara-acara macam itu. Walau kalau saya amati yang belakangan terjadi, ada juga yang 'nekad' menggelar acara di dua bulan itu. Bisa jadi generasi (Jawa) sekarang sudah lebih 'maju' dalam pakem dan paugeran dan kurang suka memercayai primbon. Generasi ini lebih percaya bahwa hari bagus selalu ada dalam setiap bulan, yakni hari ketika orang-orang sudah gajian.

Banyaknya orang yang menggelar acara di bulan ini, adalah berkah bagi banyak pihak. Catering, persewaan gedung resepsi, persewaan alat-alat pesta dan termasuk juga pawang hujan. Ya, bulan Mulud selain identik dengan musim panen buah-buahan, ia seringkali jatuh pada musim penghujan. Menggelar pesta di musim hujan tentu butuh 'orang pintar' yang bisa memindah hujan agar tidak tercurah di sekitar acara, tetapi digeser ke tempat lainnya. Masalahnya adalah, di tempat lain ada juga orang menggelar acara yang meminta pula kepada pawang hujan kepercayaannya untuk hal serupa.

"Makanya, disini susah sekali turun hujan, selain banyak proyek pembangunan, banyak orang punya hajat sih," kata seorang teman.

Teman saya itu bukan orang tak berpendidikan, tetapi bukankah yang percaya akan hal-hal demikian itu tak melulu orang yang tinggal di pedalaman yang kadang masih menyembah pohon ciplukan.

Sabtu, 19 Desember 2015

Habis KompasTV, Terbitlah Trans|7 HD

BAGAIMANA kabar tv digital? Bagaimana kabar STB Anda? Masih aman di kardusnya. Baik, itu lebih baik. Iya, channel yang ada belum bertambah, MUX yang on air juga belum berubah. Ya, begini ini nasib kalau kita sudah beli STB dan konten siaran yang ada juga masih itu-itu saja (yang masih juga bisa disaksikan di jalur analog). Kalau Surabaya saja sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta saja masih begini, bagaimana nasib siaran tv digital di kota yang lebih kecil ya?

Artikel terkait: Selamat tinggal siaran tv digital terrestrial.

Penampakan Trans|7 HD pada pesawat televisi saya yang masih tabung.
Kemarin, secara iseng saya menghidupkan STB yang sudah sekian lama menganggur dan, oh ada perubahan ini. Trans|7 sudah HD. Iya sih, di Jakarta (juga Jogja?) pernah saya baca memang sudah HD, tetapi di Surabaya ini baru sekarang saya tahu. Sejak kapan ya?

“Sejak ultah TransMedia kemarin,” jawab seorang teman ketika gambar layar Trans|7 itu saya pampang di akun Facebook.

Lha, tapi sakarang KompasTV tidak ada lagi di MUX TransMedia 522 MHz. Kenapa ?”

“Memang begitu itu, Kang,” seorang teman saya menjelaskan, “siaran HD itu butuh bandwidth yang gede, jadi ada siaran yang mesti dikorbankan.”

Pantauan teman lain di kawasan Kedung Adem, Bojonegoro.
(foto: Agung Rama Elektronika/FB)
Saya yang memang awam akan hal ini cuma manggut-manggut saja diterangkan begitu. Tetapi, “Tentang KompasTV yang menghilang dari MUX TransMedia ada cerita tersendiri,” teman yang lain, yang juga pengamat televisi, menimpali.

Saya tak menguberkan tentang ada cerita apa di balik hengkangnya KompasTV dari MUX TransMedia, dan lebih menunggu saja si teman tadi itu meposting ulasan mengenai hal itu di blognya. (Sungguh saya tunggu lho, Dave...)


Selasa, 15 Desember 2015

Samsat Manyar, Cepat dan Lancar

Pemberitahuan yang gamblang. (Foto-foto: ewe)
DIPAMPANGNYA pemberitahuan bahwa material untuk STNK dan plat nomor telah tersedia dan bagi yang tertunda penerbitannya sudah bisa mengambil, membuat saya lega. Dulu ketika saya mengurus perpanjangan surat kendaraan lima tahunan, dijanjikan STNK dan plat nomor pengganti baru akan jadi enam bulan kemudian. Kemarin itu, ketika saya datang lagi ke kantor Samsat Manyar itu, terhitung tujuh bulan sudah dari kedatangan saya pertama. Bukan apa-apa, kalau dijanjikan enam bulan dan baru saya ambil tujuh bulan, misalkan belum jadi dan mesti sabar menunggu sekian waktu lagi, saya kan bisa bilang dengan gemes, “Piye to iki, katanya enam bulan, sudah saya tambah sebulan lha kok belum jadi juga.”

Petugas berseragam, termasuk yang pakai hem lengan
panjang dan berdasi itu,
  melayani dengan ramah dan selalu siap membantu.
Di depan pintu masuk, saya bertanya ke seorang petugas yang dengan senang hati menerangkan ke loket mana saya mesti menuju, “Silakan Bapak ke loket 28 dulu untuk mencetak STNK. Lalu dari situ, kalau STNK-nya sudah jadi, Bapak ke loket 18 untuk pembuatan plat nomor,” lelaki setengah baya berkata ramah sekali.

Karena sudah pernah ke situ, hapal saya letak loket 28; loket paling kiri dari pintu masuk. Meletakkan bukti pembayaran STNKB dan plat nomor pada tempat yang tersedia, belum lama saya duduk, nama saya sudah dipanggil; STNK sudah tercetak. Setelah mengisi buku pernyataan bahwa STNKB sudah saya ambil, saya membawa berkas itu ke loket 18. Yang di sini agak lama.

Sambil menungu pencetakan plat nomor kendaraan, saya memperhatikan sekitar. Senin pagi yang ramai, ruang tunggu nyaris penuh. Belum lagi orang berjalan dari loket satu ke loket berikutnya sesuai prosedur. Walau alurnya sudah ditata sedemikian rupa, bagi yang baru pertama kali ke Samsat Manyar, terlihat bingung juga. Tetapi, petugas berseram rapi + berdasi, termasuk yang tadi saya tanya di depan pintu, akan mendekati orang yang demikian itu untuk kemudian menerangkan dengan gamblang sambil menunjuk letak loket dimaksud. Nah, begini ini harusnya kantor pelayanan publik. Rapalan mantra 'kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah' sudah harus dienyahkan jauh-jauh. Karena, bukankah sejatinya rakyat adalah majikan dan mereka adalah pelayannya.

Sabtu, 05 Desember 2015

Kekhawatiran yang Sontoloyo

SEBAGAI orang, saya terlalu sering khawatir. Hampir setengah kilometer berangkat dari rumah, di jalan tiba-tiba saya mengkhawatirkan kompor atau kran air apakah sudah dimatikan, lampu atau televisi dan radio apakah masih menyala, atau pintu sudah terkunci atau belum. (Istri sudah berangkat pagi-pagi dan anak-anak telah pula berangkat sekolah, saya menjadi penghuni terakhir yang berangkat.) Walau ketika saya balik lagi ke rumah semua baik-baik saja (baca: sudah dimatikan dan pintu juga sudah terkunci), namun ia laksana hobi yang seringkali saya ulangi. Iya, saya memang payah.

Saya termasuk agak telaten (telat jadi manten) juga akibat dari sifat itu. Sanggupkah menjadi suami yang baik, mampukah kelak menjadi ayah yang bisa momong dan membiayai anak-anak mendapat pendidikan yang bagus. Oh, belum-belum sudah takut pada kekhawatiran memang sontoloyo!

Para jomblowan-jomblowati yang sampai hampir pecah perang dunia ketiga sekarang ini belum juga nekad memilih gandengan, bukan tidak mungkin juga karena penyakit khawatir ini. Jangan-jangan yang disetiai tak menyetiai, jangan-jangan si dia belum seratus persen bisa move on dari sang mantan. Berhentilah, hai para jomblo, dari mendengarkan lagu i'm single and very happy! Ya, itu lagu sontoloyo yang menyesatkanmu menjadi jomblo abadi.

Selasa, 01 Desember 2015

Parikan Suroboyoan: Coblosan

Mas Bendo: ndik Suroboyo menyang Tunjungan
mbanting busi dipane kayu
paklik Rasiyo memang pengalaman
ning Lucy pancene ayu

Mbak Yu : nyilih kain popok nang Karangan
momong rojo koyo bareng Rhoma Irama
milih pemimpin, rek, ojok sembarangan
lek wong Suroboyo yo jelas milih Bu Risma

(Iyo, rek. Tak kandhani koen yo; lha lek cumak bondho ayu thok, lha digawe opo?! Pemimpin iku kudune lak cak-cek, opomaneh masalah Suroboyo iku uakeh puoll. Banjir umpamane. Lha lek ngatasi banjir ditinggal wedhak'an dhisik, lak selak klelep wargane)

Mas Bendo: mangan delima kleleken kecik
sapi karo kebo kelonan wae
prestasine Bu Risma pancene apik
tapi opo salahe njajal calon liyane

(Lha, sopo ngerti paklik Rasiyo karo Ning Lucy iku lek diwenehi kesempatan isok gawe kutho Suroboyo luwih apik. Lha lek durung dijajal wis dianggep gak mampu, iku termasuk kliru, Mbak Yu.)

Mbak Yu: penari japin numpak gerobak
peniti kae pasangno nang kain katun
milih peminpin ojok cobak-cobak
sing mesti-mesti ae ben engko ora getun

(Sampeyan iku, Cak, Cak. Milih peminpin kok cobak-cobak. Koyok nganggo minyak kayu putih ae. Pokok'e aku wis madhep mantep, gepeng ilir aku tetep milih Bu Risma)

Kang Karib : banyu aki dicampur terasi
rondho lesehan nang pojok plataran
yo ngene iki urip ing zaman demokrasi
bedo pilihan ojok sampek dadi tukaran

bantalan lesung mergo gak duwe dipan
upo ning kendhi lambene dilat-dilat
pemilihan langsung pancen butuh kedewasaan
sopo ae sing dadi awak'e dhewe tetap ae melarat rakyat

(wis talah, rek. Gak usah gegeran mergo bedo pilihan. Opo koen pikir lek jagomu sing dadi terus peno gak perlu nyambut gawe. Lha sopo sing ngingoni anak-bojomu? Mbahne Sangkil opo! Ayo, sing penting nyambut gawe, perkoro mengko pemimpin (calon sing endi ae sing menang) ora lali janjine, yo syukur. Lha lek ingkar janji, ayo didungakno bareng-bareng mugo-mugo gudhiken sak kujur awak'e.)*****


Senin, 30 November 2015

GlobalTV, Rusia vs Turki dan Kasus Setnov

DUA tetangga berjarak satu rumah di barat rumah saya meninggikan rumahnya menjadi dua lantai. Syukur alhamdulillah rezeki mereka berlimpah sehingga mampu membangun rumah lebih megah. Alhamdulilllahnya lagi, karenanya saya tak mungkin lagi main-main menembak Thaicom-5 untuk keluyuran menengok 'kebun kates' di satelit itu. Walau saya menjadi kurang bersyukur juga karena antena UHF saya ikutan terhalang tembok tinggi mereka.

Beberapa channel UHF menjadi kurang cling, tetapi masih bisa beralih ke Palapa-D atau Tekom-1 demi menyaksikan semua saluran televisi nasional. Kecuali GlobalTV (yang dua minggu ini sinyalnya pelit sekali) tempat Naruto beraksi mulai menjelang maghrib sampai hendak Isya'. Begitulah, jam segitu lazim dibilang jam utama, prime time. Prime time pula untuk melakukan hal yang lebih bermakna; menemani anak-anak belajar atau mengaji. Tetapi televisi menohok siapapun di jam berapapun dengan tayangan semau mereka dengan tanpa ampun. Pemirsa tak punya kuasa lebih besar kecuali meraih remote control dan mematikannya.

Makanya sama sekali saya tak menyesal manakala tak berhasil mendapatkan sinyal GlobalTV di Palapa-D. Dengan memakai 4 LNB, toh saya bisa melanglang angkasa mencari channel lain di satelit lainnya. Dan konsentrasi saya kini tertuju kepada Al Jazeera untuk mengetahui kabar terbaru kawasan Timur Tengah dan wilayah konflik lainnya di jazirah Arab dan sekitarnya.

Yang terbaru tentu gesekan tajam antara Turki dan Rusia setelah peristiwa penembakan Shukoi oleh F16 milik Turki. Saya bisa memantau reaksi keras Rusia via channel Russia Today (yang beberapa hari belakngan ini selalu menayangkan perkembangan peristiwa itu dalam Breaking News-nya –tentu dengan kacamata Rusia) tetapi tolong kasih tahu saya channel televisi Turki yang siaran FTA di satelit Asiasat5 atau Asiasat7. Perang terbuka secara dar-der-dor di medan sesungguhnya mungkin terjadi belakangan, tetapi biasanya perang (propaganda) di media (termasuk juga televisi) sebagai bumbu permulaan akan ditaburkan lebih dulu. Mengikuti berita itu tentu lebih 'asyik' ketimbang menyimak kasus Papa Minta Saham yang menyeret ketua DPR Setya Novanto. Menurut saya yang awam hukum ini, rasanya kasus itu makin hari makin mbulet saja dan bisa jadi akhirnya malah hilang ditelan berita banjir bandang yang acap terjadi di negeri ini pada musim hujan. *****

Senin, 23 November 2015

Makan Silet

SEBAGAI manusia berbulu, saya selalu mempunyai silet. Selain di rumah, di locker tempat kerja pun saya menyiapkan perlengkapan mencukur itu. Dua atau tiga hari tidak dikerok pakai silet, niscaya di dagu saya ini akan tumbuh subur 'duri-duri” nan tajam dan sekarang telah pula dwi warna; hitam dan ada pula yang putih.

Makanya saat ikut sebagai panitia penyembelihan hewan qurban, saya suka tersenyum ketika ada satu-dua orang yang mencari cacap (lendir yang diyakini bisa meneumbuhkan bulu) dari kambing untuk dioleskan ke dagu atau atas bibir. Lha wong saya yang sudah berbulu tanpa dicacap begini kadang suka kuwalahan mencukurnya, kok malah ada yang dirangsang agar tumbuh. Macam-macam saja orang-orang itu.

Suatu waktu, ketika sedang asyik mencukur jenggot pakai silet Tatra, datanglah seorang kawan. “Nanti setelah kau pakai, aku ambil ya siletnya?” pintanya.

Kawan saya itu tak berkumis, tak pula memelihara jenggot di dagu. Tetapi bukankah silet tak melulu bisa dipakai hanya untuk mencukur bulu, karena bisa juga kan ia dipakai untuk memotong kuku (kalau untuk tukang santet sih, konon benda tipis tajam itu juga bisa dimasukkan ke dalam perut orang yang dikehendaki)

Beberapa saat kemudian, selesailah saya menggunduli duri-duri yang tumbuh di pipi dan dagu. Ketika saya raba, kulit di dua tempat itu terasa kembali licin, walau akan kembali kasar hari-hari kemudian. Justru dari bulu yang selalu tumbuh itu pulalah pabrik pisau cukur tak akan tutup. Kalaulah mau pamer, tentu saya dan orang-orang berbulu lainnya sungguh besar sekali jasanya terhadap keberlangsungan hidup pabrik silet itu. 

Saya serahkan pisau silet yang masih menempel pada alat pencukur itu kepada teman yang sedari tadi menunggui. Saya perhatikan, ia keluarkan pisau silet itu, ia bersihkan dengan tissue. Lalu, lhadalah; ia mengeremusnya. Ada bunyi kriuk yang aneh ketika benda tajam itu ia kunyah. Edan tenan. 

Setahu saya, teman saya itu bukanlah pemain kuda lumping yang sesekali dalam atraksinya suka makan beling. Ia hanyalah juara pingpong tingkat desa, selain sebagai gitaris andalan grup musik dangdut dengan jadwal manggung hanya di acara tujuhbelasan di halaman balai desa kampung kami. Makanya saya heran sekali; dimana ia berguru sehingga menjadi sesakti ini?!

Saya hanya plonga-plongo saja menyaksikan ia mengunyah silet itu sampai lumer, lalu menelannya dengan santainya, sama sekali tak khawatir si silet itu merobek tenggorokan atau ususnya. 

Kamu pun bisa melakukannya,” katanya kemudian. 

Terbayang di kepala saya lelaku yang mesti dijalani demi bisa mempunyai kemampuan linuwih macam makan silet itu. Dan saya yang memang kurang meminati hal-hal demikian itu, belum-belum sudah memutuskan mengunyah keripik singkong tentu lebih masuk akal ketimbang mengunyah silet. 

Yang tadi aku lakukan itu sama sekali tak pakai mantra,” ia menjelaskan. “Yang penting yakin. Hal apa pun akan bisa tercapai asalkan yakin kita bisa melakukannya.”
oOo
Peristiwa itu terjadi sekian tahun yang lalu, dan saya tidak tahu apakah si teman itu sekarang sesekali masih suka mengunyah pisau silet ataukah sudah meningkat kemampuannya. Sudah doyan ngrikiti pisau dapur atau gobang, misalnya. Tetapi begini: enyahkanlah semua bayangan tentang makan aneka 'sajam', karena itu menakutkan. Kalimat terakhir yang ia ucapkan itu yang justru membuat ia bak seorang motivator saja. Atau dalam bahasa bos Go-Jek, “Semakin besar hambatan dan penolakan, biasanya ada peluang besar di baliknya,” demikian kata Nadiem Makarim. *****


Kamis, 19 November 2015

Suami Baru Istriku

BAGAIMANA cara istrimu memanggilmu? Njangkar dengan hanya menyebut namamu saja, atau Mas, atau Pa, atau Yah seperti caranya mengajari anak-anakmu dulu, tetapi terbawa sampai sekarang? Celakanya, selama sepuluh tahun pernikahanku dengan Rara belum juga kami dikaruniai momongan. Celaka lanjutannya, selain Rara memanggil njangkar sejak dulu kepadaku, jabatannya kini naik tinggi dengan kesibukan yang juga menggunung. Bukankah ketika gaji istrimu lebih tinggi darimu itu adalah juga sebuah kesialan yang nyata?

Rempeyek benar juga. Celotehnya suatu ketika, “Pilih istri itu jangan muluk-muluklah. Yang penting perempuan, yang penting punya lubang.”

Bengkel akan terasa sepi kalau Rempeyek sedang sakit gigi. Celetukannya ada saja. Juga tentang lubang itu. Ia bilang, lubang adalah isyarat ia bisa dimasuki, dinafjahi. “Kalau punya istri tapi buntu; apeslah suaminya. Mau dinafkahi bagaimana wong ia sudah bisa cari nafkah sendiri, malah bisa mendapat yang lebih besar dari gaji kita. Olala...”

Namanya Tifa, tetapi di sekujur wajahnya ada bintik-bintik sebesar kedelai yang membuatnya dipanggil Rempeyek. Dan ia tidak mempersoalkannya. Bahkan istrinya, yang menurutnya kecantikannya hanya dua tingkat di bawah kecantikan bidadari KW 3 itu, pun memanggilnya dengan 'Mas Peyek' sebagai panggilan sehari-hari.

Senin, 16 November 2015

Sudut Pandang: Lady Rockers

Mel Shandy sedang menyanyikan
salah satu hits-nya; Bianglala.
Foto-foto: ewe
TAHUN 80an sampai awal 90an adalah era dimana musik rock berjaya di Indonesia. Festival rock digelar dimana-mana dan dari ajang itu muncul grup atau penyanyi rock ternama. Kini, era dimana rock tak lagi secemerlang dulu, agak sulit rasanya sekadar untuk menyebut grup rock yang masih eksis, tentu saja selain God Bless yang melegenda.

Rock, dengan genre mulai metal sampai yang slow, makin jarang hadir di kuping lewat radio, misalnya. Bagi penyuka sejati, tentu saja masih menyimpan lagu-lagu cadas itu di file pribadi yang sesekali, ketika rindu, dinikmati sendiri. Dulu, Djarum dan Gudang Garam (sekadar menyebut nama sponsor) adalah merek yang sering menghadirkan pertunjukan tour musik rock di banyak kota.

Jumat, 13 November 2015

Ramuan Madura

AWAS, hati-hati kamu, calon suamimu itu orang Madura,” mertua saya (waktu itu masih berstatus sebagai calon) menasihati anaknya yang sekarang sudah sekian belas tahun menjadi istri saya.

Saya orang Jember dan sering ketika berkenalan dibilang, “Madura dong?” saat saya katakan asal daerah saya. Baiklah, tentu saya tak perlu ngotot mengatakan bahwa Jember itu bukan salah satu kabupaten di Madura. Jember ya Jember. Tetapi nasib sama barangkali juga menimpa orang dengan asal Bondowoso, Situbondo atau Pasuruan yang sering mendapat cap sebagai reng Madureh.

Jangankan di pulau Jawa atau seantero Indonesia yang selalu terdapat orang Madura, di tanah suci Mekah pun konon banyak sekali mukimin yang asal Madura. Inilah yang menyebabkan ada dua kelompok orang Madura; negeri dan swasta. Paling tidak demikian yang pernah saya baca dari artikel Mas Edi 'Akhiles' Mulyono yang ternyata selain berdarah Sumenep juga berdarah Jember. (Wah, boleh dong kalau saya anggap beliau sebagai tretan, saudara satu Jember?) Madura negeri adalah orang Madura yang lahir, besar dan bermukim di Madura sepanjang hayat dikandung badan. Sedang Madura swasta adalah orang Madura yang bermukim di luar pulau Madura sampai akhir hayat.

Di Jember, wabil khusus di desa asal saya, tidak seratus persen (keturunan) Madura. Dominasi tentu saja suku Jawa, sebagian berasal dari Ponorogo atau Mataraman. Tetapi dengan saban hari srawung (bergaul) dengan orang Madura yang masih menggunakan bahasa Madura, sedikit banyak ada juga pengaruhnya. Logat bicara, umpamanya. Di desa saya, walau bahasa sehari-hari yang dominan dipakai adalah bahasa Jawa, tetapi nadanya sudah lain dengan Jawa asli, Jawanya sudah tidak medok lagi, tetapi Jawa kagok. Sudah ada nada Maduranya.

Masih di desa saya, penduduk yang asal Madura terbagi di tenggara dan barat laut. Sementara yang di tengah, timur dan barat jan Jawa deles. Entah bagaimana dulu awal pembagian wilayahnya. Keuntungan ketika dulu saya bersekolah berbaur dengan teman-teman dari dusun Bregul dan Sembungan (wilayah dengan mayoritas keturunan Madura, tempat pondok pesantren Bustanul Ulum yang mayoritas santrinya berasal dari pulau Madura), adalah kami bisa secara alami saling belajar bahasa. Makanya tidak heran bila di kampung kami anak orang Jawa (seperti saya ini contohnya) bisa berbahasa Madura, pun demikian pula sebaliknya.

Bisa berbahasa lain tentu tak ada ruginya. Misalnya ketika saya melakukan transaksi membeli ikat pinggang atau mainan untuk anak saya dengan PKL di Surabaya ini, dengan menggunakan bahasa telok lemak, saya bisa mendapatkan harga yang wajar. Seorang Madura swasta asal Pasuruan yang tiap malam menjajakan jagung rebus di gang depan rumah, membungkus lima buah jagung rebus untuk uang limaribu rupiah yang saya bayarkan, padahal untuk orang lain ia menjual duaribu per buah, Mungkin dengan mengunakan bahasa mereka secara fasih, saya dianggap sebagai tretan dibik, saudara sendiri.

Selain ulet, pekerja keras, rajin dan teguh dalam pendirian, salah satu yang terkenal dari Madura adalah ramuannya. Ramuan Madura, Anda tentu pernah dengar dan saya pernah mencobanya. Saya dapati kopi adalah bahan utamanya. Padahal siapa pun tahu Madura bukanlah penghasil kopi. Tak masalah, yang penting khasiatnya, Bung!

Sekarang sedang hangat pembicaraan tentang Madura yang akan berdiri sebagai propinsi sendiri, melepaskan diri dari Jawa Timur. Sebuah wacana yang sangat tidak tabu dan tak perlu buru-buru dipandang sebagai kehendak yang agak anu. Coba, apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang Madura?

Maka, ketika mereka mempunyai ramuan rahasia agar sapi karapan bisa berlari kencang seperti kesetanan, bukan tidak mungkin para tokoh yang sedang menyusun pembentukan propinsi Madura ini juga telah menyiapkan ramuan khusus nan mujarab dan bukan sekadar ramuan oplosan yang memabukkan demi sekadar mengincar jabatan *****


Rabu, 11 November 2015

Brosur

'DIBANDING pasang iklan mini di koran, lebih manjur pakai brosur yang dimasukkan kotak surat di perumahan,” kata seorang kenalan yang biasa menangani floor drain buntu di tempat kerja saya. “Lebih mengena, dan saya justru sering dapat job dari cara itu,” imbuh lelaki gondrong yang selain menangani drain buntu dengan sistem tekan, juga mengajar musik di rumahnya ini.

Benar juga, sepertinga.

Buktinya, sering saya dapati penyebar brosur 'sedot WC' seenaknya menempelkannya di tiang telepon. Itu menawarkan menyedot kotoran dengan cara kotor. Tiang atau tembok menjadi kurang enak dipandang dengan aneka brosur yang ditempelkan sembarangan. Ada sih sekarang yang lebih sopan, menggantungkan brosur sedot WC dengan design agak cantik di pagar rumah lengkap dengan talinya; 'simpan brosur ini karena suatu saat Anda pasti membutuhkan' begitu pesannya lengkap dengan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Di depan toko ponsel yang baru buka di Rungkut Kidul, setiap kali saya melintas di depannya, selalu ada petugas yang membagikan brosur kepada siapapun pengendara yang lewat. Dan saya selalu mengambilnya. Pertimbangannya, si petugas itu bekerja. Semakin banyak brosur yang berhasil ia bagikan, siapa tahu ia mendapat poin plus dari majikannya sehingga bulan depan ia naik gajinya. Berkali-kali saya mengambil brosur dengan tawaran aneka smartphone terbaru dengan harga menarik, belum juga mampu membuat saya meninggalkan si Nokia jadul yang berlayar hitam-putih ini.

Di lampu merah Panjangjiwo, beberapa kali saya menerima brosur yang sama dari seorang gadis berjilbab dengan isi sama; program diet yang bisa menurunkan berat badan secara ajaib. Walau kalau bercermin saya sering mendapati perut saya makin buncit, saya tak tertarik mengikuti progran yang ditawarkan dalam brosur itu. Namun saya selalu mengambil kertas brosur itu untuk saya bawa pulang dan membuanganya ke tempat sampah. Saya kasihan kalau langsung membuangnya di jalan, setelah membaca sekilas sambil menunggu lampu menyala hijau, saya takut si gadis berjilbab itu tersinggung. (Entah ya, apa petugas pintu tol juga sempat tersinggung ketika karcis tol yang diberikan kepada pengemudi bersama uang kembalian, si pengemudi langsung membuang karcis itu di situ dan menjadikan pintu tol sering terlihat kotor oleh kertas putih yang beterbangan)

Di lampu merah aneka jasa atau barang yang ditawarkan lewat brosur. Mulai kredit motor, pinjaman dana, pengobatan alternatif yang mampu mengatahai 1001 penyakit sampai cara menambah penghasilan yang bisa dikerjakan di rumah dengan pendapatan per hari minimal 500 ribu rupiah. Sebagai janji, semua menggunakan kata yang menggiurkan. Entahlah, apakah si pembuat brosur itu meniru caleg, cabub, cagub atau capres ketika berkampanye, atau justru si caleg, cabub, cagub atau capres itu yang meniru para pembuat brosur itu dalam melontarkan janji. *****


Senin, 09 November 2015

Baju Pahlawan

Sumber ilustrasi foto: Google Images.
NIH lihat, Kang,” Mas Bendo menyodorkan ponselnya yang di layarnya sedang terpampang foto seorang anak berseragam doreng tentara, ”dedeg-piyadeg-nya jan pas tenan. Gagah tur nggantheng seperti aku, bapaknya.”

Weladhalah, itu foto anakmu to, nDo?”

Memangnya kenapa, Kang? Kok ada nada ngenyek pada pertanyaan Sampeyan? Apa gak boleh aku yang kerempeng nyengangik begini punya anak mbois?

Halah, jadi orang itu mbokya jangan sugetan to, nDo, nDo. Jangan gampang tersinggung begitu,” dasar Kang Karib, bisa saja ia membela diri. “Lagian, anakmu itu mau karnaval kemana to kok pakai baju tentara begitu?”

Sampeyan ini piye to, Kang? Besok kan Hari Pahlawan, dan dua hari ini anak-anak sekolah dianjurkan pakai pakaian pahlawan.”

Tetapi, nDo, apa semua pahlawan adalah tentara?” sanggah Kang Karib. “Atau, apakah jasad yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan semua adalah benar-benar pahlawan?”

Wikk, matek Mas Bendo mendapat pertanyaan itu dari Kang Karib. Daripada melakukan serangan balasan dengan jurus ngawur, ia ngowoh saja menunggu lanjutan kalimat Kang Karib. “Ya, namanya juga anak-anak. Bisa jadi mereka memakai seragam doreng di hari pahlawan sekadar ikut-ikutan teman. Nah, tugas guru-guru di sekolah yang harus bisa meluruskan. Bahwa, ya itu tadi; dulu para pejuang yang ikhlas mengangkat senjata untuk berjihad melawan penjajah bisa jadi hanya memakai baju seadanya. Cuma pakai kaus lusuh dan bercelana pendeklah, yang sarunganlah, dan sebangsanya. Kalau dalam film-film perjuangan, yang pakai baju doreng malah si Kompeni Belanda itu...”

Mas Bendo baru mingkem ketika seekor lalat hendak menclok di giginya, “Jadi apa salah anak-anak memakai baju doreng tentara di hari pahlawan ini, Kang?”

Ya enggaklah,” Kang Karib menjawab. “Cuma begini, nDo. Yang lebih utama itu bukan bajunya. Tetapi ruh-nya, semangatnya. Lha kalau cuma baju itu kan bungkusnya saja, ibarat ponsel, cuma casing-nya saja. Nah, selain guru, kita-kita sebagai orang tua yang magak ini (bagaimana gak magak? Lha wong ikut perang gak pernah, lahir procot sudah melihat Indonesia Raya yang begini ini) yang harus bisa menanamkan sifat patriotisme dan heroisme. Agar anak-anak kita mampu menang melawan penjajahan dan agresi model baru. Yang bukan memakai bedil sebagai senjatanya, tetapi isme-isme halus yang sedikit demi sedikit mampu membelokkan arah dan menjauhkan generasi negeri ini dari akar budayanya, dari akar kebangsaannya, dari kearifan lokalnya”


Wik, masak sampai segitunya, Kang?”

Dikandhani kok malah wik,” ujug-ujug Mbak Yu ikut nimbrung.

Kalau anak Sampeyan, tadi ke sekolah pakai baju doreng juga, Mbak Yu,” tanya Mas Bendo.

Aku setuju dengan pendapat Kang Karib yang tadi kukuping; bahwa, tidak semua pahlawan berbaju doreng.”

Lalu, anak Sampeyan pakai baju apa?”

Tadi ia pakai bajuku yang dulu sehari-hari kupakai saat aku bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Bukankah Sampeyan sering mendengar, para pejabat menyebut kaumku itu, kaum TKW itu juga sebagai pahlawah; pahlawan devisa.” *****