Senin, 14 Oktober 2013

Stand Up Comedy ala Kang Edi #1



WALAU tadi pembawa acara telah menyebut nama saya, tentu tidak ada salahnya saya mengenalkan diri. Oke, nama saya Edi Winarno. Betul, Anda tidak keliru. Saya masih ada hubungan dengan Pak Bondan yang mak-nyus itu. Hubungan saudara? Bukan. Hubungan bisnis? Juga bukan. Lalu hubungan apa dong?

Begini, kami sama-sama anggota PWI. Tentu Anda telah tahu, Pak Bondan Winarno adalah salah satu wartawan senior di negeri ini. Walau sekarang beliau lebih dikenal sebagai pembawa acara kuliner di televisi, beliau adalah penulis bidang managemen yang handal. Ibarat kata; asam di gunung garam di laut, dalam belanga bertemu juga. Nah, Pak Bondan yang berlatar belakang kuli tinta (sebutan yang sekarang kurang pas), dalam PWI bertemu dengan saya yang berlatar kuli bangunan. Ya, kami sama-sama anggota Persatuan Winarno Indonesia.

Untuk apa saya malu menyebut diri sebagai kuli bangunan kalau sebenarnya memang demikian. Hidup ini harus jujur, Bos. Dan jujur itu bisa dibagi dalam beberapa jenis. Ada jujur kacang hijau, jujur sumsum dan lain-lain. Hidup dalam profesi apa pun harus punya prinsip. Harus punya motto.
Motto hidup saya adalah: berani karena benar, takut karena tidak berani.

Ngomong-ngomong tentang keberanian, dulu saya kurang memilikinya. Makanya, walau dari dulu wajah saya sudah ganteng, untuk urusan cinta saya awalnya minder. Akibat dari semua itu, parah, Bos. Saya jadi telaten; telat jadi manten.

Pernah sih, hampir menikah. Jalan ke arah situ sudah mulus banget. Bagaimana tidak mulus; ibu bapaknya sudah setuju, kakek-neneknya juga sudah oke, paman, bibi sampai semua tetangga mendukung. Tahu nggak kenapa kala itu saya batal menikah? Ini sadis, Bos. Masa gara-gara satu orang yang nggak setuju semua jadi batal? Tapi tahu nggak siapa yang tidak setuju itu? Apesnya, yang nggak setuju itu cewek yang akan saya nikahi....

Sebagai lelaki saya harus pantang menyerah. Cinta ditolak, cari lagi sasaran tembak. Ini keharusan yang perlu dilaksanakan. Bukan apa-apa, ini perkara umur, Bos. Sudah usia kepala tiga belum dapat pasangan, bisa keburu karatan....

Dasar wajah saya keren, nggak lama dari penolakan yang tadi itu, saya dapat lagi tawaran dari seorang Mak Comblang. Yang ini semua ditanggung halal, kata si Mak Comblang. Maksudnya, keputusan ada pada orang tua. Tetapi saya mesti bersabar.

“Sabar bagaimana?” tanya saya.

“Kata Ayah-Ibunya, kamu baru boleh menikahi putrinya kalau ia sudah lulus kuliah,” begitu jawab Mak Comblang. “Bagaimana, kamu sanggup?”

“Oke, no problem,” mantap saya menjawab. 

Dalam pikiran saya, sambil menunggu itu, paling tidak saya masih punya waktu untuk mempersiapkan diri lagi. Benar kan, Bos? Menikah itu harus diperhitungkan secara matang. Tidak asal jebret  saja.

“Tapi ngomong-ngomong, sekarang dia sudah kelas berapa?” tanya saya kepada Mak Comblang.

“Baru TK Nol Besar.” *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar