WALAU tadi pembawa acara telah menyebut
nama saya, tentu tidak ada salahnya saya mengenalkan diri. Oke, nama saya Edi
Winarno. Betul, Anda tidak keliru. Saya masih ada hubungan dengan Pak Bondan
yang mak-nyus itu. Hubungan saudara? Bukan.
Hubungan bisnis? Juga bukan. Lalu hubungan apa dong?
Begini,
kami sama-sama anggota PWI. Tentu Anda telah tahu, Pak Bondan Winarno adalah
salah satu wartawan senior di negeri ini. Walau sekarang beliau lebih dikenal
sebagai pembawa acara kuliner di televisi, beliau adalah penulis bidang managemen
yang handal. Ibarat kata; asam di gunung garam di laut, dalam belanga bertemu
juga. Nah, Pak Bondan yang berlatar belakang kuli tinta (sebutan yang sekarang
kurang pas), dalam PWI bertemu dengan saya yang berlatar kuli bangunan. Ya, kami
sama-sama anggota Persatuan Winarno Indonesia.
Untuk apa
saya malu menyebut diri sebagai kuli bangunan kalau sebenarnya memang demikian.
Hidup ini harus jujur, Bos. Dan jujur itu bisa dibagi dalam beberapa jenis. Ada
jujur kacang hijau, jujur sumsum dan lain-lain. Hidup dalam profesi apa pun
harus punya prinsip. Harus punya motto.
Motto hidup
saya adalah: berani karena benar, takut karena tidak berani.
Ngomong-ngomong
tentang keberanian, dulu saya kurang memilikinya. Makanya, walau dari dulu
wajah saya sudah ganteng, untuk urusan cinta saya awalnya minder. Akibat dari
semua itu, parah, Bos. Saya jadi telaten; telat jadi manten.
Pernah sih, hampir menikah. Jalan ke arah situ
sudah mulus banget. Bagaimana tidak mulus; ibu bapaknya sudah setuju,
kakek-neneknya juga sudah oke, paman, bibi sampai semua tetangga mendukung. Tahu
nggak kenapa kala itu saya batal
menikah? Ini sadis, Bos. Masa gara-gara satu orang yang nggak setuju semua jadi batal? Tapi tahu nggak siapa yang tidak
setuju itu? Apesnya, yang nggak
setuju itu cewek yang akan saya nikahi....
Sebagai lelaki
saya harus pantang menyerah. Cinta ditolak, cari lagi sasaran tembak. Ini keharusan
yang perlu dilaksanakan. Bukan apa-apa, ini perkara umur, Bos. Sudah usia
kepala tiga belum dapat pasangan, bisa keburu karatan....
Dasar wajah
saya keren, nggak lama dari penolakan
yang tadi itu, saya dapat lagi tawaran dari seorang Mak Comblang. Yang ini
semua ditanggung halal, kata si Mak Comblang. Maksudnya, keputusan ada pada orang
tua. Tetapi saya mesti bersabar.
“Sabar
bagaimana?” tanya saya.
“Kata
Ayah-Ibunya, kamu baru boleh menikahi putrinya kalau ia sudah lulus kuliah,”
begitu jawab Mak Comblang. “Bagaimana, kamu sanggup?”
“Oke, no problem,” mantap saya menjawab.
Dalam pikiran
saya, sambil menunggu itu, paling tidak saya masih punya waktu untuk
mempersiapkan diri lagi. Benar kan, Bos? Menikah itu harus diperhitungkan
secara matang. Tidak asal jebret saja.
“Tapi
ngomong-ngomong, sekarang dia sudah kelas berapa?” tanya saya kepada Mak
Comblang.
“Baru TK Nol
Besar.” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar