Senin, 06 Februari 2012

Bunyi Pemanggil Pembeli


SEKALIPUN gang di depan rumah saya ini adalah gang buntu, ia tak luput dari rambahan para penjaja makanan. Sekalipun pintu rumah sudah saya tutup, saking hapalnya, saya bisa menebak penjual apa yang lagi lewat, hanya dari suara khasnya. Suara itu, sampeyan tahu, bukan melulu berasal dari mulut. Bahkan sebagian besar adalah bebunyian dari alat bantu tertentu.

Bila yang terdengar adalah suara tuuuttttt seperti bunyi nada sambung telepon, saya tahu yang sedang lewat adalah penjual putu. Memang, penjual putu lebih memercayakan kepada bunyi yang ditimbulkan oleh semacam cerobong kecil yang dibentuk sedemikian rupa dan diletakkan diatas dandang tempat memasak putu, ketimbang teriakan mulut atau alat bunyi lain. Satu lagi, asap putih yang menyertai bunyi itu, turut pula menyebarkan aroma wangi pandan. Hal itu, tentu sudah cukup untuk menggugah lidah bagi yang sedang kepingin menikmati kue putu.

Tetapi, saya kira, bebunyian yang banyak dipakai adalah semacam terompet kecil dengan bulatan karet dibelakang. Yang berbunyi tit-tot, tit-tot bila ditekan. Alat ini, bila tidak melihat penjualnya secara langsung, saya sering keliru menebak. Ia dipakai oleh penjual donat, es potong sampai pentol seratusan. Sepertinya, agar tidak menimbulkan kebingungan dan kerancuan, mereka perlu melakukan perundingan.

Tetapi kerancuan bukan melulu dimiliki si tit-tot, tit-tot itu. Penjual mie pangsit dan nasi goreng pun memakai alat sama; kentongan bambu. Kentongan pula, tetapi yang ini ukurannya kecil dan terbuat dari kayu--, saya dapati pula dipakai mas penjual bakwan Bromo. Ya, saya sebut begitu karena saya dapati memang si bakwan ini dikelola lebih modern. Cat armada gerobak yang sama, seragam penjual yang sama dan tentu saja bunyi dan bentuk kentongan yang sama. Bakwan Bromo ini pernah pula saya dapati di luar kota. Adakah ia juga telah merambah daerah sampeyan?

Yang legendaris, seingat saya, adalah penjual es tung-tung. Es puter (karena cara bikinnya yang diputer-puter) itu, didesa saya disebut juga sebagai es tung-tung. Karena, si penjual selalu menabuh gamelan yang digantung didekat pegangan tangan gerobaknya. Bunyi tung-tung yang ditimbulkan, menjadikan es yang biasanya diwadahi semacam contong saat saya membeli itu, dinobatkan sebagai es tung-tung.

Penjual tentu ada juga yang masih memakai teriakan sebagai penanda kehadirannya. Penjual sate, misalnya. Atau lontong kikil yang masih setia dengan lampu minyaknya. Ohya, jagung rebus dan tahu campur masih dijajakan dengan cara berteriak. Kalau tahu tek, memakai wajan yang dipukul sebagai pemanggil pembeli. Walau, konon dinamakan tahu tek karena bunyi gunting yang dipakai memotong-motong tahu itu awal mulanya.

Yang khas, tentu saja, adalah penjual arumanis. Dari dulu, dari jaman saya masih kanak-kanak, sampai sekarang cara menjajakannya masih tetap sama. Ini lebih kepada sentuhan seni. Tepatnya seni musik. Penjualnya tidak memakai gerobak, tetapi menggunakan kaleng krupuk yang dimodivikasi sedemikian rupa. Pelengkapnya adalah alat musik semacam biola. Penjual yang selalu berjalan kaki ini, menandai kehdirannya dengan bunyi khas alat musik gesek itu.

Ada juga yang tampil dengan sentuhan kemajuan jaman. Sudah tidak pakai kentongan atau memukul-mukul mangkok dengan sendok seperti penjual bakso. Pedagang keripik sudah memakai rekaman. Begini bunyinya, “Keripik pisang, keripik singkong enak'e, rek....” begitu berulang ulang.

Dari semua cara penjual menjajakan dagangannya itu, satu yang paling saya ingat. Penjual es cendol dikampung saya, memakai sejenis klintingan yang biasa dikenakan keleher sapi untuk memanggil pembeli. Klintingan itu, yang diletakkan didekat pegangan gerobak dorong itu, sambil digoyang-goyang selalu. Sampai menimbulkan bunyi klinting-klinting. Sampai bunyi klinting-klinting-nya mengilhami kami, anak-anak, untuk menggubah sebuah lagu. Lagu itu secara khusus sering ditujukan kepada saya. Begini bunyi liriknya; “Inting-inting es, abang-abang setrup, edi rembes gak tau raup...”*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar