SEKALIPUN gang di depan rumah
saya ini adalah gang buntu, ia tak luput dari rambahan para penjaja
makanan. Sekalipun pintu rumah sudah saya tutup, saking hapalnya,
saya bisa menebak penjual apa yang lagi lewat, hanya dari suara
khasnya. Suara itu, sampeyan tahu, bukan melulu berasal dari
mulut. Bahkan sebagian besar adalah bebunyian dari alat bantu
tertentu.
Bila yang terdengar adalah suara
tuuuttttt seperti bunyi nada sambung telepon, saya tahu yang
sedang lewat adalah penjual putu. Memang, penjual putu
lebih memercayakan kepada bunyi yang ditimbulkan oleh semacam
cerobong kecil yang dibentuk sedemikian rupa dan diletakkan diatas
dandang tempat memasak putu, ketimbang teriakan mulut atau
alat bunyi lain. Satu lagi, asap putih yang menyertai bunyi itu,
turut pula menyebarkan aroma wangi pandan. Hal itu, tentu sudah cukup
untuk menggugah lidah bagi yang sedang kepingin menikmati kue putu.
Tetapi, saya kira, bebunyian yang
banyak dipakai adalah semacam terompet kecil dengan bulatan karet
dibelakang. Yang berbunyi tit-tot, tit-tot bila ditekan. Alat
ini, bila tidak melihat penjualnya secara langsung, saya sering
keliru menebak. Ia dipakai oleh penjual donat, es potong sampai
pentol seratusan. Sepertinya, agar tidak menimbulkan kebingungan dan
kerancuan, mereka perlu melakukan perundingan.
Tetapi kerancuan bukan melulu dimiliki
si tit-tot, tit-tot itu. Penjual mie pangsit dan nasi goreng
pun memakai alat sama; kentongan bambu. Kentongan pula, tetapi yang
ini ukurannya kecil dan terbuat dari kayu--, saya dapati pula dipakai
mas penjual bakwan Bromo. Ya, saya sebut begitu karena saya dapati
memang si bakwan ini dikelola lebih modern. Cat armada gerobak yang
sama, seragam penjual yang sama dan tentu saja bunyi dan bentuk
kentongan yang sama. Bakwan Bromo ini pernah pula saya dapati di luar
kota. Adakah ia juga telah merambah daerah sampeyan?
Yang legendaris, seingat saya, adalah
penjual es tung-tung. Es puter (karena cara bikinnya yang
diputer-puter) itu, didesa saya disebut juga sebagai es tung-tung.
Karena, si penjual selalu menabuh gamelan yang digantung didekat
pegangan tangan gerobaknya. Bunyi tung-tung yang ditimbulkan,
menjadikan es yang biasanya diwadahi semacam contong saat saya
membeli itu, dinobatkan sebagai es tung-tung.
Penjual tentu ada juga yang masih
memakai teriakan sebagai penanda kehadirannya. Penjual sate,
misalnya. Atau lontong kikil yang masih setia dengan lampu minyaknya.
Ohya, jagung rebus dan tahu campur masih dijajakan dengan cara
berteriak. Kalau tahu tek, memakai wajan yang dipukul sebagai
pemanggil pembeli. Walau, konon dinamakan tahu tek karena
bunyi gunting yang dipakai memotong-motong tahu itu awal mulanya.
Yang khas, tentu saja, adalah penjual
arumanis. Dari dulu, dari jaman saya masih kanak-kanak, sampai
sekarang cara menjajakannya masih tetap sama. Ini lebih kepada
sentuhan seni. Tepatnya seni musik. Penjualnya tidak memakai gerobak,
tetapi menggunakan kaleng krupuk yang dimodivikasi sedemikian rupa.
Pelengkapnya adalah alat musik semacam biola. Penjual yang selalu
berjalan kaki ini, menandai kehdirannya dengan bunyi khas alat musik
gesek itu.
Ada juga yang tampil dengan sentuhan
kemajuan jaman. Sudah tidak pakai kentongan atau memukul-mukul
mangkok dengan sendok seperti penjual bakso. Pedagang keripik sudah
memakai rekaman. Begini bunyinya, “Keripik pisang, keripik singkong
enak'e, rek....” begitu berulang ulang.
Dari semua cara penjual menjajakan
dagangannya itu, satu yang paling saya ingat. Penjual es cendol
dikampung saya, memakai sejenis klintingan yang biasa dikenakan
keleher sapi untuk memanggil pembeli. Klintingan itu, yang
diletakkan didekat pegangan gerobak dorong itu, sambil
digoyang-goyang selalu. Sampai menimbulkan bunyi klinting-klinting.
Sampai bunyi klinting-klinting-nya mengilhami kami, anak-anak,
untuk menggubah sebuah lagu. Lagu itu secara khusus sering ditujukan
kepada saya. Begini bunyi liriknya; “Inting-inting es,
abang-abang setrup, edi rembes gak tau raup...”*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar