Rabu, 25 Juni 2014

Korban Tepukan

SECARA pasti saya sudah lupa. Namun karena itu saya alami sebelum menikah, perkiraan saya, itu terjadi kalau tidak tahun 97 ya tahun 98. saat itu di kanan-kiri sekitaran pertigaan Rungkut masih semrawut, masih banyak sekali lapak pedagang kaki lima. Lebih-lebih malam Minggu. Berjajar di situ, mulai pedagang sepatu, baju, batu akik, bakso, gorengan dan masih banyak lagi yang lainnya..♫♪....

Sekalipun tidak berniat beli apa-apa, sesekali saya cuci mata ke situ. Di salah satu pojok, tidak jauh dari jembatan kecil, berkerumun orang-orang mengitari, saya duga, tukang jamu. Ini mengingatkan saya saat sekolah dulu yang di jam istirahat (atau membolos) ke pasar demi melihat atraksi sebutir telur yang bisa jalan sendiri. Sesuatu yang sampai pasar tutup pun tak saya temui si telur benar-benar ngglundung sendiri. Itu, saya kira, hanyalah taktik tukang jamu dalam menarik perhatian orang.

Begitu pula dengan yang malam itu saya lihat. Maka saya hanya berdiri saja, tidak ikutan jongkok menyimak seperti beberapa pria itu. Namun, “Hei,” lelaki perpakaian hitam, dengan gelang akar di tangan dan beberapa biji akik di jarinya, menuding saya, “jangan berdiri, duduk.” katanya.

Saya menoleh kiri-kanan dan belakang, memastikan jangan-jangan kata-kata itu ditujukan bukan kepada saya.

Iya, Sampeyan,” lelaki itu, yang rupanya pimpinan tukang jamu itu, memastikan keraguan saya.

Entah apa mantra yang diucapkannya, setelah itu , bersama beberapa pria di barisan depan yang sedari tadi sudah duduk jongkok, kami ikuti saja perintahnya; menjulurkan tangan, membuka telapak tangan, dan diminta menggenggam dua butir batu akik.

Sambil kami tetap menggenggam, si pria hitam itu terus berkoar-koar lewat speaker Toa kecil bermulut segi empat. Karena geregetan atau apa, seorang pria di sebelah saya melemparkan batu akik yang sedari tadi digenggamnya.


Hei, tidak sopan itu,” si hitam naik pitam.

Setelahnya, pria yang melemparkan akik itu mengerang tidak karuan; lalu kesurupan. Ih, edan. Untunglah, dengan membisikkan mantra ke kupingnya, si hitam itu mampu mengusir sesuatu yang menempelinya. Lalu, “begitulah, tidak suka ya tidak suka. Tetapi harus punya tata krama,” kata si hitam. “Saya bisa jadi dibegitukan tadi itu tidak apa-apa. Tetapi penunggu akik itu yang tidak terima,” lanjutnya.

Mendadak bulu kuduk saya berdiri grak. Saya berusaha tenang, paling tidak berusaha terlihat tenang. Tetap menggenggam, sambil dalam hati terus membaca rapalan yang saya bisa.

Satu per satu kemudian kami ditanya, apa yang dirasakan saat menggenggan sepasang batu akik itu. Ada yang bilang panas, ada yang merasa dingin, ada yang seperti melayang, ada yang merasa tenaganya tersedot. Ah, saya kok tidak merasakan apa-apa. Tetap merasa hanya menggenggam batu. Maka, ketika tiba giliran saya yang ditanya, hal itu pulalah yang saya katakan.

Mendengar jawaban saya, pria hitam itu malah menepuk pundak lalu merangkul saya. Kemudian, sementara asistennya melanjutkan atraksi, saya oleh si hitam diajak ke belakang, agak menjahui kerumunan.

Sampeyan luar biasanya,” pujinya. “Hanya orang yang punya kekuatan linuwih yang tidak merasakan apa-apa saat menggenggam sepasang akik bertuah itu. Dalam pewayangan, Sampeyan saya anggap seperti Puntadewa...” si htam itu terus saja bicara walau saya tidak mengerti jluntrungannya. Sampai entah berapa lama, sampai ia menyerahkan sepasang akik itu untuk saya dan berpesan agar saya merawatnya dengan baik.

Saat pulang, saya diminta tidak mampir-mampir. Sesampainya di kost-kostan, saya buka buntalan itu, dan mendapati ia adalah batu akik biasa. Yang dasarnya saya memang tidak suka batu akik, saya tak bermaksud menjadikannya sebagai jimat. Beberapa menit berselang, sesuatu yang tadi sempat saya rasakan berkurang tiba-tiba kembali datang; ingatan. Hal pertama yang saya raba adalah saku belakang. Dompet. Dan, oh, di situ hanya tersisa duit seribu lima ratus rupiah. Ya, gendam, saya telah kena gendam si lelaki bergelang akar. Harusnya, saat tadi si hitam itu menepuk pundak, agar tidak mempan, saya balik menepuknya. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar