"CAK, mbak Tatik hari Minggu kesini. Sampeyan diminta menjemput di Bungurasih," kata Yunan Widayat, saudara serumah kost, yang baru tiba dari sambang desa.
"Berangkat dari Mloko jam berapa?" tanya saya.
"Jam delapan pagi,"jawabnya.
Karena tidak ingin mbak Tatik yang lebih dulu tiba di Bungurasih, jam sepuluh pagi di hari Minggu itu saya sudah meluncur dari Rungkut ke terminal. Perhitungan matematis saya, naik angkot lyn H4J dari Rungkut turun Jemursari, lalu oper bis kota ke Bungurasih tak mungkinlah memakan waktu sampai satu jam. Atau paling lambat, kalau pak sopir memperlambat laju angkotnya untuk cari penumpang, jam sebelas saya pasti sudah sampai ke TKP. Dan kalau mbak Tatik berangkat dari Mloko (sebuah desa yang terletak antara Kasiyan dan Kencong di Jember sana)jam delapan, paling lambat pula jam satu siang sudah nyampai Bungurasih.
Ketika itu waktu tempuh masih bisa dikira, karena luapan lumpur yang tak terkira itu masih belum merongrong wilayah Porong. Bus-bus masih bisa mak wuzzz di jalan tol mulai Gempol.
Artinya, di terminal saya masih bisa nyantai baca-baca koran. Diterminal ini pula saya punya cerita nakal. Karena saya sempat kost di Bungurasih Timur tak jauh dari terminal ini beberapa bulan lamanya. Dan saban malam ngeluyurnya ya ke tempat ini. Tapi lain kali saja saya tulis. Biar tidak saling jegal dengan acara penyambutan kedatangan kakak perempuan saya ini.
Mulai jam sebelas saya menunggu. Dan menunggu memang jemu, tapi saya yang sudah berhenti merokok kala itu, berusaha membunuhnya dengan cara jitu; membaca. Sambil selalu melirik setiap kali bus AKDP dari Jember (yang didominasi kelompok Akas)datang. Satu jam, mbak Tatik tak jua datang. Dua jam, juga belum. Saya mulai bimbang. Jangan-jangan?
Ya, -jangan kakak saya itu tak melihat saya dan malah mencari-cari saya. Semakin mencari semakin menjauh. Ya, jangan-jangan? Saya berhenti membaca koran. Bukan kerena apa, tapi karena sudah khatam, sampai sak iklan-iklannya.
Kok gak di HP saja? Wah,waktu itu si HP masih belum usum.
Jam tiga sore, hati saya makin tidak lega. Jangan-jangan ada apa-apa dijalan. Saat itu pokoknya tidak ada yang bisa melarang saya untuk jangan ber-jangan-jangan. Tapi mau bagaimana lagi. Akhirnya, ketika maghrib datang menjelang, saya memutuskan balik kanan. Pulang dengan kusut ke Rungkut.
"Darimana, cak?" sapa Yunan Widayat begitu saya dengan lesu masuk rumah kost.
"Tak tunggu sampai pikun mbak Tatik tak datang," jawab saya.
"Lho, sampeyan dari Bungurasih to?!"
"Iya."
"Waduh, cak. Mbak Tatik itu kesininya hari Minggu depan lagi, bukan hari Minggu ini..."
Glodakkk!!!!*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar