SUDAH agak terbiasa dengan harga-harga dikota,pulang kedesa menjadi pernah ternganga-nganga.Tarif angkot yang di Surabaya jauh-dekat tigaribu rupiah,didesa masih ada yang bertarif 350 perak,tergantung jarak.Rujak yang dikota limaribu,didesa satu porsi jumbo cuma seribu.
Suatu waktu saya harus pulang kampung menghadiri hajatan famili.Letak rumahnya nun jauh di sana.Rute jalan desa yang membelah kebun tebu.Itupun,didahului naik angkot (angkutan pedeaan ding) oper tiga kali,ditambah naik becak dari Pasar Umbulsari ke Wonoroto.Tarifnya?
"Terserah,"kata abang,eh bapak,becak yang tak seberapa kekar.
Mau bagaimana lagi,tak bisa memilih yang lain.Karena memang sudah gilirannya.Dan,bukan itu masalahnya.Tetapi tarifnya."Bilang dong,pak.Berapa? Kan saya bisa nawar atau apa?"kata saya.
Si bapak becak malah terbahak,"Tak mungkinlah kemahalan,seikhlasnya saja..."
Nah,nah...
Daripada kian lama kian tak jelas,saya naik saja.
Mula-mula lewat jalan desa yang telah beraspal,lalu belok kanan masuk jalan makadam.Terus.terus....nah ini dia!Masuk jalan sawah!Becak tidak digenjot,tapi si bapak turun dan mendorongnya.Jalan susah karena basah habis hujan.Untunglah hujan sudah reda.Karena saya tak tahu,kalau hujan sedang berlangsung,apakah bapak becak ini sudah sedia tudung sebelum hujan apa belum?Kalau tak tersedia,pastilah saya senasib dengan kisah yang dialami M Faizi Guluk-guluk.
Ketegaan saya jatuh berkeping-kepin.Tapi ikutan turun tak boleh.Dengan perasaan yang hancur lebur,saya tetap nangkring diatas becak yang gagal saya nikmati enaknya.
Peluh bercucuran dan nafas yang ngos-ngosan berpacu dalam melodi sore itu, diantara sawah tebu.Duhai,ini bukan keindahan.Ini lebih dari ...entah apa.
Setelah nyaris setengah jam perjuangan itu,sampailah pada tujuan.Tetapi bukankah tarif belum (atau tidak) bersetujuan?Berapa? Oh,bingung saya.Lalu saya sibuk dengan singkat membuat perbandingan. Dari Pasar Pahing Rungkut ke gang 2 tempat tinggal saya,naik becak tarifnya lima ribu.Padahal hanya dekat saja.Padahal jalannya mulus saja.Padahal yang disini lebih kacau-balau jalannya.Lalu berapa?Ohiya,ini desa!Yang seporsi rujaknya cuma seribu.Sebungkus cenil cuma duaratus!
Setelah berterima kasih,seterima kasih terima-kasihnya,saya tegakan menyodorkan ini; lima ribu rupiah plus separo bungkus rokok Saritoga.
Beliaupun,yang belum lepas ngos-ngosannya,mengucap kata yang sama.Terima kasih.Maknanya; saya yang ngasih beliau yang nerima.Tapi sudah pantaskah nilai segitu,dibanding segala derita sepanjang jalan?Ah,sudahlah.Bukankah awalnya sudah ada satu kata: terserah. Tapi saya belum bisa menyerah dengan yang baru saja saya alami.
Maka,lalu saya nanya ke adik dan ibu saya (yang sama-sama gemuknya) yang tadi juga naik satu becak berdua pada kloter pertama dengan rute yang sama.Tapi berhasil menawar hingga tarif 'resmi'-nya.
"Seribu lima ratus,"kata adik saya.
Duh,hidup,hidup....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar