Tampilkan postingan dengan label perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perjalanan. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Desember 2013

3 Hari, 10 Bis



JAM menunjuk angka 08.31 WIB (Waktu Indonesia Bungurasih) kala bis yang saya tumpangi meninggalkan terminal, hari Jumat kemarin. Sebagai makhluk yang jarang sekali bepergian, ketika hari itu saya harus menghadiri sebuah acara keluarga di lereng Gunung Raung dan Gumitir, dari jauh-jauh hari saya sudah berencana akan membuat semacam catatan perjalanan. 

Buku dan pulpen, seperti biasa selalu turut serta di dalam tas saya. Tetapi, ya ampun, kenapa saya tak mencatat nopol bis yang saya tumpangi ini. Celakanya lagi, dalam secarik karcisnya, tak tertera nama PO-nya. Namun, mata saya yang sudah tak terlalu awas ini tadi ketika seorang makelar menggandeng saya untuk masuk masih sempat melihat angka 7277 tanpa ingat huruf depan dan belakangnya. Nantilah, pikir saya, akan saya cari tahu kalau ia ngetem sejenak di bundaran Gempol.

Tetapi perkiraan saya meleset. Bis yang sopirnya penganut haluan kiri ini –karena di sepanjang tol hobi banget menyalip dari lajur kiri—tak berhenti di Bundaran Gempol. Terus bablas. Ketika bannya menginjak jalanan yang berlubang, duh mana tahan, suspensinya yang keras membuat saya yang duduk di posisi persis di atas roda depan sungguh merasa sangat tidak nyaman.

Nyaris dua jam digoyang-goyang, saya takut dilanda mabuk perjalanan. Tanda-tanda ke arah itu sudah terlihat kala di kening mulai muncul keringat dingin, sementara perut makin tidak karuan. Di sebelum pertigaan Ketapang, Probolinggo, untungnya si suspensi mati ini berhenti; Untuk menerima operan semua penumpang berkarcis Jember dari bis yang --karena saya mulai KO-- tak sempat saya perhatikan. Saya meloncat turun sebelum isi perut meloncat duluan, sebelum nama baik saya sebagai penumpang bis menjadi tercemar berantakan.

Senin, 22 Juli 2013

Mengail Takjil

SETELAH tiba siang saat dhuhur menjelang, jam dua lewat seperempat saya balik pulang lagi ke Surabaya. Untunglah cuaca bulan puasa kali ini sungguh bersahabat, tidak panas-panas amat. Dengan berangkat jam segitu itu, dengan memacu si Supra saya sewajarnya, jam empat kurang sedikit saya sudah sampai jalan Veteran Gresik. Di sebelum perempatan Nippon Paint, saya belok kiri. Asyar telah beberapa waktu berlalu, dan di masjid di jalan Veteran inilah saya menunaikannya sekalipun kurang tepat waktu.

Selesai sholat, wajah terasa segar walau tenggorokan dan bibir masih kering. Sebelum keluar dari masjid, saya edarkan pandangan ke segala arah. Ada layar di atas mimbar. Berisikan waktu jadwal sholat, anjuran untuk mematikan ponsel, waktu WIB yang berbentuk tulisan berjalan muncul bergantian. Dan, saat saya menoleh ke dinding kanan, saya dapati tanda tangan yang sepertinya saya kenal. Selembar marmer kalau bukan dari Ujungpandang ya asal Tulungagung warna putih-putih kuning dengan pahatan bertuliskan kalimat yang menerangkan masjid ini dibangun oleh Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila pada tahun 1994. Ya, sampai disini tentu Sampeyan sudah tahu yang saya maksud; tanda tangan yang saya bilang tadi adalah tanda tangan Pak Harto, presiden kala itu yang sekaligus sebagai tokoh di balik Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila.

Selepas itu, saya melanjutkan perjalanan menuju Surabaya. Perkiraan saya, sampai rumah nanti pas adzan maghrib. Hari Minggu begitu tak terlalu khawatir saya akan kemacetan. Kecuali satu, di proyek jembatan Branjangan yang tak kunjung rampung. Jembatan sebagai jalur utama Gresik-Surabaya itu saya setiap lewat melihat dikerjakan seperti tak sungguh-sungguh. Tak banyak aktifitas, setak banyak pula orang yang bekerja di sana. Yang banyak adalah para pemuda yang memanfaatkan kemacetan itu untuk mengedarkan wadah meminta uang sumbangan. Tak jelas betul uang itu dikumpulkan untuk apa. Tak ada penanda bahwa itu dilakukan demi membangun musholla, misalnya. Yang terlihat malah, tidak sedikit pemuda itu menyodorkan wadah sambil menghisap rokok. Sungguh tindakan kurang sopan di bulan ramadhan.

Kemacetan saban hari di Jembatan Branjangan sungguh lebih tak terelakkan kala lebaran nanti. Menghindari itu bisa juga sih. Tetapi rutenya sungguh melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi lewat Menganti. Lanjut mBobo muter tembus terminal Bunder.

Singkat kata, benar saja; jam lima seperempat saya sudah masuk jalan utama Surabaya. Di Bundaran Satelit, saat lampu merah, ada beberapa pemuda bersarung Atlas membentangkan sepanduk di tengah jalan. Para pemuda lainnya mendekati pengendara sambil membagi takjil. Ah, lumayan. Kalau nanti adzan berkumandang sebelum saya sampai rumah, paling tidak telah ada bekal untuk membuat puasa batal.

Saat sampai di seberang Ciputra World, tepatnya di depan Gedung Juang 45, ketika beberapa pengendara menepi, saya ikutan antre. Lumayan lagi; sebungkus nasi. Masuk jalan Adityawarman lanjut jalan Kutai nihil, tak ada pembagi takjil. Baru di jalan Diponegoro, saya kembali menerima sebungkus es mewah rasa blewah. Mewah? Ah, bukankah seteguk air saja sudah sedemikian nikmat kala berbuka?

Begitulah selama Ramadhan, di beberapa tempat takjil gratis bertebaran. Kalau mau (dan tidak malu pada diri sendiri) tentu bisa saja setiap sore berkeliling kota mencari yang demikian. Mengail takjil sambil ngabuburit, menunggu saat adzan maghrib. *****


Sabtu, 19 Mei 2012

Kepancal Bis

DALAM hal kepercayaan, saya terlanjur tidak begitu dalam menaruhnya kepada seseorang yang berprofesi sebagai kondektur. Ini dilandasi oleh pengalaman empirik (waduh!); setiap kali saya naik bis dari depan mulut gang walet di kampung saya, Mlokorejo-Jember sana, bis apapun, baik dari grup Akas atau yang lainnya, selalu saja sang kondektur bilang, “Langsung Surabaya. Probolinggo tidak parkir.”

Dulu sih saya percaya saja. Dan langsung membayar ongkos sampai landing di Purabaya. Tetapi ketika kenyataannya tidak selalu begitu, dan malah lebih sering dioper di sebelum terminal Menak Koncar Lumajang, lunturlah pula kepercayaan itu. Dioper begitu, sampeyan tahu, akan tidak bisa lagi nyaman. Karena, bis yang dioperi itu, bisa jadi lebih jelek kondisinya, sekaligus lebih penuh isinya. Penumpang yang naik dari pintu belakang diminta maju ke depan. Sementara yang masuk dari pintu depan diminta bergeser ke belakang. Intinya, bis itu sudah penuh-sesak. Intinya lagi, yang tidak kebagian kursi harus terpaksa berdiri. Tetapi, “Sabar sebentar,” kondektur menenangkan. “Di terminal Lumajang banyak yang turun.”
Sekali lagi, bagi yang haqqul yaqin akan perkataan kondektur, bersiaplah untuk kecewa. Karena sesampainya di terminal Lumajang, yang turun hanya satu- dua. Malah yang naik tiga-empat.

SUATU malam saya hendak mudik ke Jember. Tetapi saya kemalaman. Karena, setahu saya, bis terakhir jurusan Jember yang via Kencong (finish Ambulu), take off dari Bungurasih jam sebelas malam. Dan ketika itu, saya baru sampai Bungurasih jam sebelas lebih sedikit. “Barusan berangkat,” kata seorang kondektur ketika saya tanya.

Saya langsung lemes. Saya mempersiapkan plan B; pulang balik ke Rungkut untuk berangkat besok pagi saja. Tetapi, karena kaki saya sudah kadung di terminal hampir tengah malam begitu, terpikirlah untuk memunculkan plan C; menginap di terminal.

“Mau kemana to, mas?” tanya seorang kondektur bis jurusan Jember via Tanggul.

“Mlokorejo,” jawab saya. Tentu saja sang kondektur tahu, tujuan saya itu hanya dilalui bis yang via 
Kencong. Bisa juga sih ikut bis yang via Tanggul dan turun di pertelon Rambipuji. Tetapi, dari Rambipuji ke selatan lewat Balung, Kasiyan menuju Mlokorejo, tengah malam begitu tentu juga bukan pilihan bijak. Ya itu tadi, kendalanya ketiadaan angkutannya.

“Begini saja,” sang kondektur memberi solusi.”Ikut saya saja. Nanti sampai Probolinggo sampeyan oper yang bis baru berangkat tadi.”

“Iya kalau nutut, kalau tidak bagaimana?” saya protes.

Sampeyan bisa ikut yang trayek Ponorogo-Ambulu,” kondektur itu optimis sekali. “Jam satu, bis itu transit di Probolinggo.”

Entah pakai susuk apa mulut kondektur itu, sehingga saya termakan ajakannya. Naik bisnya. Karena malam, antara Surabaya-Pasuruan tak ada seorang penumpang pun yang naik atau turun. Saya semakin berdoa; semoga bis ini bisa nututi bis Surabaya-Ambulu di depannya. Sehingga saya bisa oper dan tidak ketiban sial menginap di terminal Bayuangga Probolinggo yang tentu saja tak seramai Purabaya. Atau kalau sedikit apes, masih ada harapan; ikut yang dari Ponorogo.

Jam satu lebih sedikit, bis Akas yang saya tumpangi masuk terminal Bayuangga. Karena bis tidak parkir, saya langsung meloncat (tentu kaki kiri duluan) dan menuju ke seorang (lagi-lagi) kondektur bis malam jurusan Probolinggo-Surabaya yang tempat antreannya berdekatan dengan yang jurusan Probolinggo-Jember  via Kencong. “Akas yang lewat Kencong?”

“Wah, barusan berangkat, mungkin seperempat jam yang lalu,” jawaban itu membuat saya lemas. Tetapi tak lemas-lemas amat. Karena bukankan masih ada harapan cadangan; bis yang Ponorogo-Ambulu. Tetapi, “Yang dari Ponorogo juga barusan berangkat. Baru saja. Belum lima menit.” Kali ini saya benar-benar lunglai.

“Kalau bis yang lewat  Kencong, paling pagi, berangkat dari sini jam berapa, pak?”

“Jam lima.”

 Musnah sudah harapan. Plan C saya memang menginap di terminal. Tetapi asumsi saya adalah terminal Purabaya. Bukan Bayuangga.

Udara malam teerasa dingin, yang anginnya sesekali berhembus mendekatkan bau asap kenalpot itu ke hidung saya. Sudah begitu, disertai juga satu bonus, aroma pesing entah dari hasil ulah siapa yang membuat terminal yang sesekali saya dapati pelancong mancanegara singgah disitu. Mungkin menuju atau dari Bromo. Dan, bau pesing itu, bagi hidung mereka, tentu tidak hanya dibilang sebagai aroma terminal Bayuangga. Tetapi, bau terminal Indonesia.

Sekalipun tak sehidup ketika dibanding siang, tetapi tengah malam begini ada saja bis yang datang dan pergi. Para pedagang asongan yang kalau siang begitu riuhnya, kali ini sepi. Dan, sepi inilah yang juga saya khawatiri. Saya merasa, kalaulah ada khawatir, sekecil apa pun itu, adalah kekhawatiran yang berlebihan. Kalaulah ada preman terminal, saya tak yakin saya adalah sebagai sasaran. Apa coba yang patut diincar dari saya. Sandal jepit? Atau buntalan kecil tas kresek ini? Begitulah, kalau sedang mudik tidak bareng anak-istri, tampilan saya hanya bersandal jepit dan sebuah tas kresek hitam bekas wadah beli beras yang saya isi satu kaos oblong untuk ganti.

Jam setengah dua saya duduk dibangku panjang di depan depot Bayuangga. Mula-mula saya duduk biasa, lalu bersandar. Sambil tak lepas memandang bis-bis yang sesekali transit, sekalipun tidak dalam waktu lama. Menurunkan penumpang, lalu bablas lagi. Disitu, pada bis-bis itu, saya sedang menunggu keajaiban; ada bis yang lewat Kencong. Harapan yang mungkin kosong. Sekosong tatapan mata saya. Status duduk saya meningkat, saya selonjorkan kaki. Saya letakkan tas kresek hitam. Sampeyan tahu, apa yang seharusnya dilakukan kebanyakan orang di tengah malam begitu? 

Ya, jawaban sampeyan betul; tidur. Maka, demi maksud itu, saya naikkan status kresek hitam ini, dari yang tadinya hanya sebagai wadah baju ganti, saya bikin ia merangkap jabatan juga sebagai bantal. Lumayanlah, tidur tiga jam, sholat subuh di musholla itu, beli roti untuk sarapan, dan jam lima berangkat pulang, matang betul rencana itu saya susun dalam batin.

Badan capek, baru saja kepala saya taruh di bantal (eh kresek isi kaos, ding), langsung saja saya bablas. Tidur pulas itu, tentu tak melulu harus berkasur empuk di ruang sejuk. Di terminal pun, beralas bangku panjang dari beton, yang sesekali hidung ditusuk bau pesing pun, bisa.

Angler sekali saya tidur. Rasanya baru beberapa saat terlelap, telinga saya mendengar teriakan lantang dari kondektur, “Kencong, Kencong, Kencong...”

Saya langsung jenggerat, bangun. Heran saya. Belum mendengar adzan subuh, belum sarapan roti, kok sudah ada bis via Kencong yang siap berangkat. Semakin saya kucek-kucek mata, rasanya semakin terang saja dunia. Jam berapa ini?

Secepat titipan kilat saya menembakkan mata ke jam dinding di depan depot Bayuangga. Oh, sudah jam tujuh rupanya!*****

Sabtu, 28 April 2012

Kuda-kuda

"CARI saja yang lewat Kertosono," pesan seorang teman yang asli Kediri. "Karena kalau naik yang lewat Pare akan lebih lama nyampainya."

Pertanyaan itu perlu saya lontarkan, karena saya akan ke Ngronggo. Sebuah desa yang masih masuk ke dalam wilayah Kediri Kota. Keterangan lanjutan dari teman saya itu, adalah soal bis. Karena, "Yang lewat Pare itu lebih jelek armadanya. Kalau yang Kertosono ada Harapan Jaya atau Pelita Indah. Dijamin banter-banter."

Minggu kemarin (22 April), bersama anak istri plus pakde, jam delapan lebih empat puluh lima menit, saya take off dari Bungurasih. Dan, alhamdulillah, Pelita Indah sedang dalam posisi antrean di depan dengan tulisan via Kertosono di kaca depan.

Karena saya benar-benar buta akan tujuan saya, maka ketika bis melaju diatas jembatan layang Trosobo saya bilang ke kondektur untuk memastikan agar saya nanti diturunkan di pertigaan Ngronggo. "Iya, nanti kalau sudah dekat tak bilangi," kata kondektur sambil menghitung uang kembalian untuk saya. Tarifnya, Surabaya-Ngronggo itu, empat belas ribu per kepala.

Ancar-ancar yang saya dapat dari orang yang hendak kami datangi itu jelas. Pokoknya Ngronggo itu tempat pemberhentian bis setelah Alun-alun. Tepatnya, sebuah pertigaan yang ada lampu traffic light-nya.

Lancar, alhamdulillah.
 Kami tiba di lokasi dengan selamat. Tetapi ada satu pengalaman (pemandangan, sebenarnya) yang betapa tidak selamatnya dia. Ceritanya begini: Biasalah, ketika akan mendekati tempat turun, kondektur selalu meneriakkan suatu tempat. Tujuannya jelas, agar si penumpang itu, yang bisa jadi sedang agak tertidur itu, supaya bangun dan segera mendekati pintu.

Saya lupa ia turun dimana, tetapi seorang lelaki langsung menuju dekat pintu setelah mendengar teriakan kondektur. Tetapi sial. Ketika lelaki itu berjalan mendekati pintu, sopir menginjak pedal rem dengan tiba-tiba entah karena apa. Maka, si penumpang yang hendak turun tadi terjatuh tengkurap dan nyaris mencium bangku (atau penutup mesin?) disebelah sopir. Saya tahu, dengan tangan sempat menahan begitu, tentu kejatuhan itu tidak terlalu menyakitkan. Tetapi, tentulah sangat memalukan. Dan, bapak sopir yang di topi hitamnya tertera tulisan Pemburu itu, sialnya, hanya memandang yang terjatuh itu dengan tanpa meminta maaf.

Analisa saya, penumpang yang sedang apes itu, tidak menyangka sopir akan mengerem mendadak begitu. Juga, rupanya, ia tidak sedang berpegangan pada sebatang besi diatas kepala yang membentang sepanjang di atas tempat duduk. Kejatuhan itu, juga karena ia dalam posisi berdiri tanpa kuda-kuda. Dengan sopir yang bersikap dingin tanpa empati, lengkap sudah penderitaan penumpang nahas itu.*****

Rabu, 21 Desember 2011

Mantera Madura

SEKALIPUN bukan bernama Karib, saya punya sahabat karib. Anto namanya. Lengkapnya; Anto Baruna. Sebuah nama yang tentu tidak mencerminkan bahwa ia berasal dari pedalaman Trenggalek sana.

Sebagai sahabat, sering saya pergi kemana-mana bersama dia. Suatu Minggu, dia mengajak saya pergi keluar pulau. Sekadar tamasya. Tujuannya, sekalipun luar pulau, tidak jauh-jauh amat; Madura. Kala itu Suramadu belum dibangun.

Ke Tanjung Perak kami naik bus kota. Menyeberang ke pulau garam kami ikut kapal Potre Koneng. Sesampainya di Kamal, blank. Tak tahu tujuan. Tetapi saya lihat ia lega. Hasrat menginjakkan kaki di Madura tunai sudah. Tetapi lalu ngapain?

Itu dia. Untuk beberapa saat kami hanya berjalan-jalan putar-putar pelabuhan Kamal. Lalu langkah kami menuju para pedagang didekat pelabuhan. Salak mengunung-gunung dilapak setiap pedagang buah. Rupanya saat itu lagi musim salak di Madura. Disitu tentu juga ada penjual souvenir khas Madura; odeng, miniatur celurit, juga pecut.

Kami tak membeli, baik salak maupun souvenir.
Tetapi sebagai wisatawan, kami terus saja berjalan-jalan. Dan, tibalah kami ke (kalau tidak salah ingat) terminal angkot di Kamal. Segera saja kami menjadi rebutan para makelar angkot. Saya, yang sedikit bisa bahasa Madura, tentu mudah saja menolak tawaran makelar yang terus saja memaksa (paling tidak) kami menjawab kemana tujuannya. Tetapi tidak demikian dengan si Anto. Ia tampak kewalahan menghadapi para makelar yang sebagian besar masih menggunakan bahasa Madura itu.

"Kamu kok tidak dipaksa sih. Kulihat kamu hanya mengucap dua kata, para makelar itu sudah pergi. Apa yang kamu ucapkan?" tanay Anto.

Tentu saja saya ketawa. "Ada manteranya, To," kata saya.

"Ajarin dong," pintanya memelas.

Maka, karena ini sebuah mantera, saya larang ia menuliskannya. Tak ada mantera yang ditulis. Harus dihapal diluar kepala. Dan, mantera Madura ini toh hanya dua kata. Tak sulitlah untuk menghapalnya. Bunyinya; "Bunten semak," kata saya kepada Anto.

Beres.
Saya lihat, setelah ia merasa hapal dengan manteranya, ia dengan pede meninggalkan saya yang minum es teh disebuah kedai di terminal Kamal itu. Saya lihat, ketika ia didatangi makelar, mulutnya komat-kamit merapal manteranya. Dan, ampuh. Makelar itu segera menjauh. Begitu berulang-ulang. Sampai kemudian, karena kekagumannya akan keampuhan mantera yang saya ajarkan, ia bertanya apa maknanya.

"Makna apa?" saya balik nanya.

"Ya makna 'bunten semak' itu. Kok ampuh amat," kata Anto.

Saya menyeringai. Sampeyan  tahu, yang saya ajarkan itu sebenarnya bukan mantera. Ia adalah bahasa Madura. Sebagai kalimat penolak ajakan para makelar. Artinya, lebih kurang, "Tidak, dekat (saja kok tujuan saya)."


Rabu, 05 Oktober 2011

Pengalaman Pertama

PERTAMA kali saya menginjakkan kaki di Surabaya, juga pada musim haji begini. Tetapi karena waktu itu saya baru kelas dua atau tiga SD, tentu tak banyak yang bisa saya ingat. Waktu itu saya diajak ayah dan ibu mengantar kanek-nenek yang berangkat haji. Tidak tanggung-tanggung, dari desa Grenden-Puger, kakek mecarter tiga bis Akas.
Dalam perjakanan, lebih banyak saya fly, mabuk. Tetapi di Surabaya saya ingat diajak ke Bonbin. Itu saja. Peristiwa lain tidak ada yang menempel diingatan saya.

Kali kedua ke Surabaya, sekitar duapuluh tahun yang lalu. Sudah tidak fly. Tetapi memang tidak naik bis. Tetapi truk. Lengkapnya; truk gandeng! Jangan bayangkan duduk di depan didekat sopir. Tidak. Tetapi di bak belakang. Sekalipun tentu tidak di gandengannya.

Peristiwa itu bermula ketika saya diajak seorang teman mencari kerja ke kota Pahlawan ini. Sebuah kepergian yang tanpa rencana, mendadak, sekaligus minim sangu. Seingat saya ketika itu masih di bulan Syawal. Sepanjang perjalanan, kami sekitar enam orang, selalu ngemil jajan lebaran yang masing-masing kami membawanya. Tetapi tentu kami tak bisa melihat pemandangan. Bahkan tak tahu truk sudah sampai dimana. Hanya terasa mak sliyut kalau truk berbelok saja. Karena truk tertutup terpal secara brukut.

Juga, lik Slamet, sopir truk Pantja Jaya yang lagi mengangkut batu kapur untuk dikirim ke pabrik karbit MDQ, selalu melarang kami bersuara. Lebih-lebih kalau masuk jembatan timbang. Lik Slamet sang pilot yang baik hati itu adalah tetangga kami.

Hari sudah malam ketika kami diturunkan di Medaeng. Saling menertawai teman. Karena ternyata wajah kami semua laksana Hanoman.

Tidak menyangka, berawal dari perjalanan penuh kenangan itu, kalau saya hitung-hitung, sudah sekitar duapuluh tahun lebih saya tinggal di kota buaya ini. Belum berhasil menjadi pahlawan, rasanya. Tetapi masih untung, paling tidak saya terhindar dari menjadi buaya.

Masih cerita tentang saat pertama ke kota Surabaya, cak Jum, sorang kenalan, juga punya pengalaman unik. Ia asal Jombang. Ia lebih berkelas, ketimbang saya. Karena pengalaman pertama keluar kotanya naik bis. Selain itu perjalanannya sungguh telah dipersiapkan dengan matang. Tidak mendadak seperti saya.

Kata cak Jum, malam sebelum keberangkatannya, simbok-nya menanak nasi putih. Bukan nasi jagung seperti biasanya. Dan lebih lengkap lagi dengan lauk kare ayam. Sungguh suatu kemewahan.

“Apa memang tradisi di kampung sampeyan, kalau ada keluarga ke kota selalu selamatan begitu?”
tanya saya.

“Itu bukan selamatan,” jawab cak Jum. “Simbok memasak nasi putih dan ayam begitu, karena ia tahu aku ini kalau naik bis selalu mabuk.”

Saya belum nyantol atas penjelasan cak Jum barusan. Apa hubungannya naik bis mabuk dengan nasi putih plus ayam. Kenapa tidak minum Antimo saja?

“Begini,” kata cak Jum. Rupanya ia tahu saya menunggu keterangan lanjutan.”Biasanya aku makan nasi jagung lauknya ikan asin. Gengsi, kan, kalau huekk... mabuk yang keluar ikan asin. Kalau nasi putih dan daging ayam kan lebih mendingan...”

Minggu, 18 September 2011

(Bukan) Kabar Burung

SEBELUM punya kendaraan sendiri, dulu kemana-mana saya selalu naik angkot. Termasuk untuk berangkat dan pulang kerja. Dan kebiasaan saya, kalau akan bepergian, selalu buang air dulu. Karena, repot kan kalau dalam angkot di jalan tiba-tiba kebelet pipis. Kalau pakai kendaraan sendiri sih, tentu saya bisa belok ke SPBU untuk nunut ke toiletnya sekadar melampiaskannya.

Seperti biasa, sore itu sebelum pulang kerja saya menuju toilet melaksanakan 'ritual' buang air dulu. Lepas itu, saya menuju seberang patung kuda di jalan HR Muhammad menunggu lyn TV jurusan Joyoboyo. Dari terminal Joyoboyo ke Rungkut, nanti, saya masih harus oper ke angkot lain. Pilihannya lumayan banyak. Ada lyn U yang lewat Panjangjiwo, atau H4J yang lewat jalan Ahmad Yani lalu belok kiri melalui jalan Jemursari. Kalau ingin lewat Sidosermo bisa pilih lyn JTK yang type Kijang (butut), tetapi kalau mau yang via Margorejo Indah ada JTK2 dari jenis Suzuki Carry.

Menunggu beberapa lama lyn TV yang berwarna coklat tua belum juga nongol. Kecuali angkot-angkot lain, lyn TV ini saya tahu kenapa dinamakan begitu. Kok tidak seperti angkot JTK yang kependekan dari jurusannya: Joyoboyo-Tambak Klanggri, misalnya. Karena lyn TV ini menjelajah daerah Surabaya Barat (Manukan, Lontar, Darmo Permai, Ngesong, Balongsari) yang disitu menjulang tower stasiun relay nyaris semua saluran televisi lokal maupun nasional, maka angkotnya dinamakan lyn TV!

Hampir jam lima sore saya baru dapat lyn yang saya tunggu. Tanpa tanya ini-itu kepada si sopir langsung saja saya masuk. Karena pasti ini menuju terminal Joyoboyo. Lain halnya kalau ia berangkat dari terminal Joyoboyo. Angkot jenis ini terbagi menjadi beberapa tujuan; Ngesong, Manukan, Lontar atau Darmo Permai.

Di dalam angkot ini tak seberapa penuh. Di depan, di dekat sopir, ada satu penumpang, di belakang hanya ada saya, dan seorang ibu bersama anaknya yang sekitar delapan tahun umurnya. Rupanya si ibu itu punya tempat favorit seperti saya. Yang selalu memilih di bangku belakang, di dekat jendela. Angin yang berhembus ketika angkot berjalan membuat terasa isis. Saya duduk di pojok kiri sementara si ibu beserta anaknya di kanan. Kami berhadap-hadapan.

“Ma, ada burung mau terbang, ma,” si anak berceloteh saat angkot berjalan pelan, karena si sopir sambil tolah-toleh mencari penumpang.
“Hust,” si ibu menyuruhnya diam.

Ah, rupanya selain pilihan tempat duduk yang seselera dengan saya, si ibu itu juga tak suka bicara kalau di dalam angkot. Berbincang-bincang di dalam angkot adalah hal yang juga tidak saya sukai.
Tetapi dasar anak-anak, si bocah laki-laki itu terus saja ngoceh layaknya burung. Dan yang dibahas selalu saja soal burung.

Hampir setengah jam kami tiba di terminal Joyoboyo. Saya dan si ibu itu (juga anaknya, tentu) berpisah. Kami mempunyai tujuan yang berbeda, rupanya. Saya melanjutkan perjalanan ke Rungkut, dan si ibu itu entah mau kemana.

Seperti saya bilang di atas, angkot jurusan Rungkut ada beberapa pilihan. Dan semuanya ada plus-minusnya. Lyn H4J; via jalan Ahmad Yani yang luar biasa macetnya. Tetapi lyn U-pun setali tiga uang. Tiada jalan yang tak padat dan cenderung macet di Surabaya di setiap sore hari. Hanya trayek JTK type Kijang yang sedikit lebih lancar. Tetapi (minusnya) ia lewat perkampungan yang jalannya sempit dan meliuk-liuk. Karena jalan sepi, lajunya juga nggremet. Pelaaan sekali. Karena penumpang juga sepi. Kalau JTK2 yang Carry?

Karena ia sebagian besar adalah mobil agak baru (waktu itu sih...), tentu bila dibanding si TV yang setara JTK Kijang, saya memilih si JTK2 yang Carry. Walau bisa-bisa masih saja ada kemungkinan ketemu macet begitu sampai di pertigaan antara Kantor Pos dan kantor Telkom di Kendangsarin nanti. Tetapi plusnya, si JTK2 yang Carry ini, nyaris semua dilengkapi speaker yang menggelegar. Sebagian selalu tune in di sebuah gelombang radio dangdut. Lagu yang lagi populer waktu itu, Anggur Merah-nya Meggy Z.

Sekitar jam enam sore lebih sedikit, saya sampai rumah. Kebiasaan saya, selalu saja saya langsung menuju toilet; buang air. Dan ketika hendak membuka resleting,...
Lhadalah, ia masih menganga tiada terkunci selepas dibuka di tolilet kantor tadi. Makanya si bocah di lyn TV tadi selalu bicara tentang burung! ****

Minggu, 04 September 2011

Tour d'Mudik (bagian 2)

Etape kedua: Surabaya-Jember (P kedua)


EMPAT hari waktu libur dengan perjalanan panjang,tentu recovery si kecil harus mendapat perhatian ekstra.Tetapi,alhamdulillah si Furqon (1,5) kerasan-kerasan saja di mbah Kakungnya.Sekalipun disini dingin.Tetapi ia baik-baik saja.
Setelah dua hari beranjang sana-beranjang sini,tibalah lagi kami harus balik lagi ke Surabaya.Dan seperti biasa,kami selalu rahasiakan arus balik ini.Karena si sulung Fauqo (12) selalu tak mau sarapan kalau tahu akan naik bis.Entahlah.Ia selalu sulit makan kalau akan bepergian.Padahal kalau begitu,dijalan ia akan lunglai tiada daya.Ia pemabuk yang hebat.
Selama dua hari itu,saya temui anak-anak yang dulu ketika saya di kampung masih kecil-kecil,sekarang sudah pada bening.Yang cowok juga sudah ganteng-ganteng.Tentu hal begitu membuat saya sering 'pangling' dengan seseorang yang selalu menyapa saya dengat sebutan paklik,pakde atau bahkan ada yang mbah.(?!)
Oh,sudah tua rupanya saya.Makanya belakangan ini saya menjadi pelupa.

Sebelum saya balik ke Surabaya,jam dua malam istri saya ngedumel tentang lupa saya ini.”Air di termos dingin tuh.Pasti sampeyan lupa nutup ya?Kan sampeyan yang terakhir bikin susu untuk si Furqon.”
Dengan malas saya bangun untuk menjerang air.Sekalian memanggang telapak tangan yang terasa mati rasa karena digigit hawa dingin.Hawa yang sedekian dingin inilah penyebab air setermos menjadi cepat dingin akibat saya lupa menutupnya.
Jam sembilan pagi kami ke jalan raya yang hanya tak lebih dari 70 meter dari rumah.Di seberang gang Walet kami menunggu bis.Dalam hati saya selalu berdoa,semoga ketemu bis yang nggenah.Bukan apa-apa.Saya terlanjur tidak percaya dengan setiap kata kondektur bis trayek Jember-Lumajang yang selalu saja bilang,”Surabaya langsung,”padahal selalu dioper di sekian ratus meter menjelang terminal Menak Koncar Lumajang.
Juga saya temui pemandangan baru;bis-bis mini serupa bis trayek Surabaya-Krian lewat jalan ini.Sungguh ia ancaman serius untuk 'taksi' (kelas Colt-T120),karena si bis mini ini juga menelan penumpang berjarak pendek.Misal,Kasiyan-Kencong atau sekedar Gumukmas.
Tak berapa lama menunggu,muncul dari timur sebuah bis bercat putih tulang.Tampilan luarnya lumayan.Pada tubuhnya tertera nama Sumber Agung.Oh,sungguh nama baru bagi telinga saya.Karena biasaya trayek ini dikuasai Akas,Kenongo,Yuangga, atau Mila.
“Wonorejo,”jawab saya ketika sang kondektur bertanya.Ini sebagai antisipasi.
“Ini langsung Surabaya,pak.”
Itu dia kata-kata yang tak saya percaya.”Saya bawa anak kecil.Gampang,nanti kalau anak saya tak mabuk saya akan nambah ongkos saja,”ujar saya.
Ternyata si Sumber Agung ini banter juga.Tidak ngremet seperti bis lain pada umumnya.Sempat berhenti ngetem di Kencong memang.Tapi hanya sebentar.Selanjutnya wuzzz langsung.Kecurigaan saya tak terbukti.Maka,sesuai rencana,saya nambah ongkos untuk turun di Bayuangga-Probolinggo.
Transit di Probolinggo.Seuai makan siang di depot Bayuangga,istri saya akan membuatkan susu untuk si kecil.Disinilah timbul masalah.”Susunya mana?”tanya istri saya.
“Lho,tadi bukan sampeyan to yang ngringkesi?”saya balik nanya.
Ini dia.Setelah saya membuat dua botol susu untuk bekal perjalanan tadi pagi,saya ingat;saya sudah tutup termosnya.Tetapi susu bubuknya?Itu yang saya lupa.Kebawa apa nggak?
Setengah panik,karena si kecil sudah minta mimik,saya cari bungkusan di tas tak ketemu.Maka,mau tak mau saya harus beli.Tetapi kios seterminal tak ada yang jual.Beginilah repotnya kalau bayi di kasih susu formula.Tentu si susu tak akan tertinggal kalau ia minum ASI. (Iya,ASI.Karena kalau si anak memanggil Umi untuk ibunya,bila disingkat bukan lagi ASI,tetapi ASU. Maaf,hanya meminjam istilahnya Sudjiwo Tedjo)
Saya harus keluar terminal.Tengah hari,panas-panas begini,dari toko ke toko saya mencari.Belum juga ketemu.”Itu disana,pak.Di dekat Puskesmas ada Indomaret,”kata perempuan penjaga sebuah toko.
Saya kira ia dekat saja.Makanya saya jalan kaki.Eh,ternyata lumayan jauh.Tetapi alhamdulillah. Akhirnya sebungkus susu kemasan terkecil saya dapatkan disitu.Walau untuk balik ke terminal saya tak mau lagi jalan kaki.Harus naik angkot.
Dari terminal Bayuangga, ke Surabaya saya naik Restu seperti berangkatnya tempo hari.Dan lancar.Bayangan terjebak kepadatan di depan rumah makan Rawon Nguling tak terjadi.Raya Porong juga sedang bersahabat.Lancar jaya.
Pendek kata,jam empat sore saya tiba di Surabaya.
Dan ketika istri saya membongkar barang bawaan dan juga baju-baju kotor,”Dasar pelupa.Ini susunya ternyata kebawa,”katanya sambil menunjukkan bungkusan yang diambil dari salah satu tas bawaan.
Duh,tiwas....

Sabtu, 03 September 2011

Tour d'Mudik (bagian 1)

DUA etape mudik saya tahun ini,sungguh saya syukuri sebagai yang lancar-lancar saja.Nyaris tiada yang pantas dituangkan sebagai tulisan.Tetapi karena saya kadung bertekad selalu harus menulis seremeh temeh apapun topiknya,maka saya tulis saja.

Etape pertama: Surabaya-LA (PP)
Etape ini pendek saja.Tak lebih dari 75 km.Tapi,sependek apapun jaraknya,dengan semotor berempat plus satu tas besar dan masih ditambah satu ransel,tentukah tetap berisiko tinggi.Tak perlulah saya upload foto saya tentang ini.Sudah sangat banyak terpampang di berbagai media gambar serupa; Si sulung didepan,duduk diatas tas besar diantara kemudi dan sang ayah sebagai 'pilot'.Dibelakang si ibu menggendong si kecil.Menggendong ganda,lengkapnya.Di depan anak,dipunggung ransel.Pula,jangan bayangkan repotnya.
Tetapi,syukurlah.Semua baik-baik saja.Walau sebuah rencana menjadi agak meleset sedikit.Yang tadinya,kami ingin sholat id di LA,karena setelah mendengar pemberitahuan di televisi hari raya baru tiba hari Rabu,maka rencana itu berubah.Mengingat waktu libur saya cuma 4 hari,sementara masih ada satu etape mudik lagi ke tanah air saya di Jember,maka Selasa pagi kami 'berakrobat' lagi;semotor berempat lagi balik ke Surabaya.Transit saja.Karena malam selepas buka puasa kami harus 'terbang' ke Jember.

Etape kedua: Surabaya-Jember (hanya P)
Suara takbir mengiringi perjalanan.Semotor berempat kali ini pendek saja.Saya,seperti biasa,menginapkan si Supra di Purabaya saja.
“Menginap,pak?”sapa penjaga 'penginapan' motor.
“Iya,empat hari.”
“Kena tarif lebaran,pak,”kata petugas itu mengajak mata saya memandang kelender yang ditandai.Juga tertera disitu kalimat pemberitahuan: Tarif Lebaran 5000/hari.
Untuk yang begini ini,tentu tak diatur pemerintah seperti mengatur tarif bus.Maka,ya saya harus mengeluarkan selembar dua puluh ribuan untuk si Supra saya yang selama lebaran ini memang bekerja lebih berat ketimbang biasanya.
Masuk ke Purabaya,saya menemui wajah baru.Bus ekonomi menempati lokasi baru.Jam delapan malam dari situ saya take off.Dibawa bus Restu yang saya tak sempat mencatat nomor punggungnya.Perjalanan yang landa-landai saja.Nyaris tiada yang laik ditulis.Benar-benar cerita tanpa kejutan.Kecuali,laju Restu sempat tersendat di alun-alun Bangil karena ribuan orang bermotor tumplek-blek disitu.Untuk takbiran? Entahlah.tetapi saya malah mengira sedang ada kontes adu suara kenalpot.
Sekitar jam sebelas malam,si Restu landing di Probolinggo.Sesuai rencana,kami hanya transit sejenak disini.Sekadar buang air.Dan yang lebih penting,membeli air panas untuk bikin dua botol susu untuk si kecil.Persiapan yang penting tentu.Karena masih dua jam perjalanan lagi baru sampai sasaran.
Transit yang singkat saja.Ketika kru Akas Asri yang tak parkir di terminal Bayuanga ini teriak-teriak,”Kencong,Kencong...”,dengan agak berlari kami masuk.Saya tak mau berspekulasi.Tengah malam begini bus yang lewat Kencong memang sudah jarang.Saya tak tega melihat si kecil terlalu lama kena hawa terminal yang penuh asap kenalpot,kalau menunggu bus berikutnya.
Dibanding si Restu,terasa Akas Asri ini lebih nyaman.Suspensinya lembut.AC yang berhembus dan badan yang capek membuat saya ingin sejenak terlelap.Tapi sekuat tenaga keinginan itu saya hindari.Karena,kalau sudah tidur,'sejenak' itu bisa lama.Dan itu bisa fatal akibatnya;kelewatan dari sasaran tujuan.
Tengah malam,sekitar jam satu,kami mendarat dengan selamat di kampuang nun jauh dimato; Mlokorejo,disambut hawa dingin yang menggigit.
(Bersambung besok)

Rabu, 24 Agustus 2011

Weekkk...(Suara) Rok Sobek

PADA November mendatang ada kado indah untuk kota pahlawan ini. Kado itu berbentuk sebuah film yang mengusung tema nasionalisme. Judulnya,Bendera Sobek. Digarap oleh sutradara Dwi Ilalang. Film yang menelan dana 8 miliar rupiah itu mengambil lokasi syuting di sejumlah daerah di Jawa Timur. Juga, didukung oleh para pemain asli dari Jawa Timur.

Film yang terinspirasi peristiwa penyobekan bendera di atas hotel Yamato pada November 1945 lalu itu, memulai syutingnya pada 30 Juli kemarin. Tidak tanggung-tanggung, syuting perdana yang juga melibatkan tim dari Jember Fashion Carnaval  itu menutup jalan Tunjungan selama seharian penuh. Tak ayal, hal itu menyebabkan kemacetan luar biasa di tengah kota Surabaya.

Bulan November masih beberapa bulan lagi. Masih ada waktu untuk menunggunya. Dan sambil menunggu, saya juga punya cerita tentang sesuatu yang sobek. Bukan bendera. Tetapi rok!
Tentu, kalaulah difilmkan, adegan sobeknya sang rok ini tak perlu sampai menutup sebuah jalan utama di tengah kota. Karena peristiwa ini terjadi hanya di sebuah desa sana. Tepatnya, dipertigaan pasar Gumukmas-Jember.

Terlalu muluk kalau saya berharap adegan sangat memalukan ini untuk dibuat sebagai film. Tetapi sebagai sesuatu yang saya kenang, memang iya.

Kelemahan saya, antara lain, saya tak pernah mencatat tanggal dan bulan kejadian. Tetapi kali itu saya hendak pergi ke Kencong, kalau tidak salah. Dari mulut gang Walet, saya naik ‘taksi’. Istilah ‘taksi’ di desa saya, jangan bayangkan ia sebagai semacam Blue Bird atau Cipaganti. Bukan. Tetapi ia adalah kendaraan Cotl T-20 atau semacamnya. Yang berfungsi sebagai angkutan umum untuk trayek-trayek jarak dekat. Karena untuk jarak lebih jauh, itu adalah dominasi kelompok Akas dkk. Atau paling tidak dari keluarga Bison-nya Isuzu.

Nah,di dalam ‘taksi’ itu, begitu saya naik,
“Kemana,pak?”sapa sang kernet.
“Kencong,”jawab saya.

Karena tujuan turun saya agak jauh sedikit, si kernet menyilakan yang turun duluan lebih geser ke depan. Kedekat pintu. Karenanya, saya lalu mendapatkan duduk disisi belakang. Tepat di sudut. Tempat yang menjadi favorit saya kalau naik ‘taksi’ begini. Karena bisa dapat angin segar dengan membuka sedikit saja kaca jendelanya.

Saya merasakan angin segar sesaat setelah taksi berjalan. Lebih segar lagi saya duduk berhimpitan dengan seorang wanita muda. Tak terlampau ‘bening’, tetapi karena pesaing lainnya lebih buram, tak apalah.
Saya yang memang sering memperhatikan hal-hal kecil, mendapati kenyataan bahwa; kalau saja si bening itu mau sedikit saja mengatur rambutnya sedemikian rupa, tentulah lebih modis. Tidak hanya membiarkan rambut panjangnya diikat menjadi laksana ekor kuda. Juga bajunya. Terlalu kedodoran untuk ukuran tubuhnya yang ramping. Paduan warna pastel berukuran longgar di atasan, plus bawahan yang juga seperti kepanjangan, saya kira ia sekaligus menyapu jalanan bila berjalan. Intinya;roknya terlalu ‘landung’.
Tetapi saya bukan Itang Yunasz atau Ivan Gunawan. Model baju belakangan ini, saya kira, menjadi ‘hak prerogatif’ si pemakai. Pun, karenanya, tentu bukan pada tempatnya saya menilai siapapun mengenakan baju model apapun. Juga si bening dengan rok longgar ini.

“Kiri, pak,” seru si bening begitu ‘taksi’ sampai di pertigaan Gumukmas.

Oh, rupanya ia sudah sampai sasaran. Dan, saya pikir, saya harus cari sasaran lain untuk mencuci mata. Maka, saya melemparkan pandangan keluar jendela ‘taksi’, berbarengan dengan si bening yang berdiri dari duduknya untuk segera turun.Tetapi,

“Weekkk….”ada suara kain sobek.

Secepat kilat saya mencari sumber suara. Dan, oh Tuhan, rok si bening itu menganga tepat di jahitan pada posisi pahanya. Penyebabnya; ternyata sebagian roknya masih terduduki pantat saya saat dia berdiri.
Saya lirik wajah si bening memerah-padam. Mualuuu. Sangat malu. Saya merasa bersalah? Tentu. Karenanya saya tak berani melihat adegan apa yang terjadi berikutnya. Duh.*****

Selasa, 16 Agustus 2011

Ta'jil Gratis

Tumben sore itu jalan Ciliwung lancar.Langsung bisa belok kanan ke Diponegoro.Hanya terhenti sebentar di traffic light depan kebon binatang tak lebih dari 35 detik.Saya tahu itu dari melototi 'papan penghitung mundur' yang menggantung di tiang lampu merah.Dalam berhenti sekian detik itu,saya merogoh saku,mengeluarkan si jadul N 1100;di layarnya saya dapati angka 17.20 WIB.Ah,pantesan si TOA di menara masjid Al Falah itu belum terdengar suara adzan.
Biasa sudah,bila angka sudah dibawah sembilan,para pengendara mulai menarik tuas gas.Reflek,saya ikut ketularan.Jadi seperti para jagoan GP memulai balapan.Tapi tentu tidak.Kami tidak bisa membalap di sini.Apalagi didepan,tabiat Surabaya mulai kumat.Pertemuan arus dari raya Darmo yang ketemu-muka dengan yang dari Diponegoro,sungguh tak terhindarkan. Pahahal saya ingin segera tiba dirumah. Ingin bisa berbuka puasa bersama dengan si Edwin dan ibunya.
Tetapi,keinginan itu –untuk segera tiba dirumah dan buka bersama keluarga-- tentu bukan melulu keinginan saya.Nyaris semua pengendara di jalan ini punya maksud yang sama. Belum lagi maksud yang lainnya lagi,sesuai dengan isi kepala masing-masing.Maka,bersabarlah,nasihat hati saya.
Ya,kesabaran memang selalu perlu.Lebih-lebih di jalan raya. Lihatlah,betapa ketidaksabaran sering memakan korban. Misal,karena keburu –yang sebenarnya bisa saja ditunda-- orang rela menyalip dari kiri. Lalu setir saling senggolan. Lalu terpelanting. Lalu dari belakang ada truk. Lalu...
Selalu saja ada cerita/berita begitu. Setiap radio Suara Surabaya menyiarkan berita serupa,sungguh berharap itu berita terakhir tentangnya. Tetapi tidak.Karena selalu saja ada yang baru.Korban baru dengan sebab model lama.
Kesabaran itu pula yang perlu diguyurkan lebih kuyub sore itu. Ketika semua laju kedaraan sedemikian merambatnya. Saya mencoba berhenti dan berdiri;yang terlihat adalah ribuan kepala berhelm berjajar dalam padatnya lalulintas menjelang jalan layang Mayangkara.
Dalam berpuasa menghisap asap rokok adalah sebentuk kebatalan. Tetapi semoga,puasa saya tidak batal gara-gara menghisap asap kenalpot. Ribuan kenalpot malah. Yang membuat sore tetap saja terasa panas. Padahal sekitar dua ratus meter lagi,saya bisa melepaskan diri dari keruwetan Raya Wonokromo ini.Saya,seperti biasa,akan ambil lajur kiri,belok di depan RSAL melaju dengan lancar jaya di frontage road.Atau kalau saya lihat di depan Giant Margorejo juga terindikasi macet,saya ambil jalur Bendul Merisi via Sidosermo tembus Plasa Marina.
Tetapi sore itu tidak.Saya lihat didepan longgar.Otomatis bisa lancar jaya.Tentu selepas perjuangan berat dari Wonokromo yang ruwetnya minta ampun.Alhamdulillah,lancar jaya.Tetapi saya baru tahu,ternyata istilah 'lancar jaya' bukan nama sebuah PO bus atau sejenisnya.Tetapi ia saya temui malah pada merk alat dapur dari kayu (entong,sotil) yang saya dapati didapur saya.Bisa sampeyan cek,kalau mau.
Terus lancar?
Oh,ternyata tidak.Di sebelum depan Giant ada lagi kemacetan.Semua pengendara motor pada minggir.Ah,padahal belum terdengar adzan magrib.Padahal tidak sedang ada kecelakaan.Bukankan memang sebuah kecelakaan adalah juga sering sebagai tontonan?Yang banyak orang ingin menontonnya.Lalu malah memacetkan lalu lintas.
Ternyata ada pembagian ta'jil gratis.Dan,saya tentu ikutan antri.Lumayanlah.Bukankah sebentar lagi pasti adzan maghrib berkumandang.Kelumayanan itu saya syukuri.Karena pasti saya mendapati waktu berbuka masih dalam posisi di jalan.Dan sebungkus ta'jil gratis itu,yang sekadar berisi sebungkus roti,segelar air dan dua butir kurma,bisa sebagai pendukung melakukan suatu sunnah puasa;menyegerakan berbuka.
Dan saya sedang beruntung rupanya.Atau malah tak tahu diri.Karena ketika yang lain mendapat satu bungkus,saya mendapat dua.Biarlah.Mungkin rejeki saya memang sedang dua,batin saya ngawur.Saya cantolkan itu pada pengait di motor saya.Saya tancap gas lagi.Belok kiri,masuk jalan Raya Margorejo Indah.Belum genap tiga ratus meter dari situ,jalan tersendat lagi.Ulah 'polisi cepek' yang mengatur kendaraan di sebuah U-turn memang malah sering menghambat kelancaran.
Mau tak mau saya berhenti.Dan saya dapati di pinggir jalan seorang bapak berbaju lusuh dengan tatapan kosong kedepan.Sementara dua anaknya,bermain digerobaknya.Semacam gerobak sampah.Tatapan kosong itu begitu jauh tertuju.Entah menatap apa,atau siapa.Bisa jadi itu tatapan harapan.Tentang lebaran.Tentang baju baru anak-anaknya.Atau entahlah.Yang jelas tatapan itu kosong.Kosong saja.
Dan saya kira,dua bungkus ta'jil gratis yang saya dapatkan ini,bisa sedikit mengisi kekosongan itu.
Salam.

Selasa, 09 Agustus 2011

Penyiar Tenar

SETIAP pulang kamung ke Jember,ada dua hal yang selalu dikeluhkan istri saya.Pertama; selepas terminal Minak Koncar Lumajang laju bis jurusan Jember via Kencong selalu berjalan begitu 'nggremet' bikin geregetan.Dan lebih jengkel lagi ia sering ngetem mencari penumpang.Dan,kedua; ditemui begitu banyaknya tempat orang mengumpulkan sumbangan.
     Keluhan jenis kedua ini yang ingin saya ceritakan sekarang.Tempat-tempat itu --selalu di pinggir jalan-- dan didekat masjid.Iya,memang tempat-tempat itu adalah lokasi panitia pembangunan sebuah masjid mengumpulkan dana dari pemakai jalan.
       Lepas dari Bangil-Pasuruan,sampai di kampung halaman di timur Gumukmas dan sebelah barat Kasiyan,ada begitu banyak tempat seperti itu.Yang ada 'studio' kecil dipinggir jalan.Tempat seorang 'presenter' berkoar-koar seharian.
Si penyiar itu begitu lancarnya mengucap terima kasih kepada setiap pemakai jalan yang melemparkan uang kecil.Sejurus kemudian,ada petugas yang berlari memungutnya.Memasukkannya ke dalam kaleng bekas biskuit yang tutupnya sudah dikasih lubang.Tetapi,saran saya,apabila suatu kali sampeyan menemui pengumpulan sumbangan model demikian,dan sampeyan ingin menyumbang;jangan lemparkan uang kertas.Yakinlah,uang itu akan 'hancur' ketika kaleng dibuka sore hari.Karena kaleng itu dikocok seharian oleh petugas di jalanan,dan si uang kertas akan beradu badan dengan si logam yang berdesakan karena kocokan.
     “Sedikit memalukan,”gumam istri saya.”Di tempatku yang model begini pasti tak ditemukan,”katanya dengan nada membanggakan tanah tumpah darahnya.
      Saya diam saja.Agak tersinggung,sebenarnya.Karena,dulu saya juga pernah terlibat dalam kegiatan serupa.
Sungguh.Tetapi untuk apa malu.Karena untuk bisa menjadi penyiar sumbangan macam itu,tidak gampang dan sedidaknya harus menguasai tiga bahasa! Hal ini karena para pemakai jalan didaerah Pasuruan ke arah timur adalah pengguna campuran dari tiga bahasa itu;Bahasa Jawa,bahasa Madura dan tentu saja bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan keduanya.
     'Karir' saya sebagai penyiar sumbangan datang secara tidak saya duga.
Suatu kali seorang utusan dari panitia pembangunan masjid kampung tetangga menemui saya.Menawari saya menjadi 'penyiar'.Menggantikan petugas lama yang kesandung kasus korupsi.Anda tahu,korupsi itu tak melulu perkara duit miliaran.Duit recehah hasil sumbangan untuk measjid pun bisa di tilep kalau iman tak tahan.
     Mendapat tawaran begitu,sebenarnya saya ingin tertawa.Mentang-mentang saya sesekali tampil di atas pentas bersama kelompok musik sebagai pembawa acara,jadi turun tahta dong kalau menjadi penyiar jalanan model begituan.
     “Ini demi 'masa depan',dik,”kata beliau.
     Masa depan yang ada tanda petiknya adalah masa depan yang sangat di depan.Dan saya masih belum bisa menerimanya di 'masa sekarang'.Tetapi ketika beliau mengeluarkan kartu as bahwa beliau sudah lebih dulu 'kulonuwun' ke ayah saya,saya lalu bisa apa.Mbah Kung,ayah saya itu,begitu fanatiknya kalau sudah menyangkut si 'masa depan' itu.
Maka sejak hari itu,setiap harii saya harus stand by di 'studio' mini di pinggir jalan.Bersiaran dalam beberapa bahasa layaknya BBC.
     Beberapa tahun kemudian masjid hasil sumbangan itu berdiri sudah.Saya lega.Tak lagi harus saban pagi sampai siang bersiaran di sudut pasar Reboan.Tetapi kelegaan itu tak berusia lama.Masjid dikampung sendiri mulai dibangun.Dan untuk langkah pertama,panitia lebih dulu membangun 'studio' kecil dipinggir jalan.Celakanya,saya sudah dianggap tenar dan dinilai sudah pengalaman,maka saya ditunjuk tanpa tender untuk menduduki posisi kepala penyiar!
    Jurus yang dipakai untuk melumpuhkan saya adalah kalimat,”Masa untuk masjid kampung tetangga saja mau,untuk masjid kampung sendiri menolak?”
     Dan sekali lagi mbah Kung mendorong saya untuk menerima tawaran demi bekal saya di 'masa depan' ini.
Begitulah.Sampai sekian belas tahun kemudian,ketika saya pindah kewarganegaraan ke daerah asal istri saya.Suatu kali dalam perjalanan naik bis,selepas terminal Bunder-Gresik sampai menjelang Deket-Lamongan,ada saya temui panitia pembangunan masjid yang memakai pola pengumpulan sumbangan ala banyak orang di sepanjang Bangil sampai Jember.Saya merasa inilah saatnya membalas serangannya ketika mudik ke Jember dulu.
    “Tuh,lihat.Bukan orang Jember saja kan yang minta sumbangan dijalan untuk membangun tempat ibadah,”kata saya.
     “Eh,jangan begitu.Coba saja turun dan tanya,pastilah ketua panitia berasal dari daerah sampeyan,”jawab istri saya.
     Hm?

Sabtu, 06 Agustus 2011

Lebih Aman Mudik Duluan

TANPA ada seruan dari siapapun,kita akan segera pulang ke udik saat lebaran nanti.Ya,padahal tidak ada himbauan dari presiden,misalnya.Seperti yang dilakukan beliau atas Nazaruddin.Dan lebaran memang masih beberapa hari lagi.Masih lama.Tetapi tentu tidak ada salahnya mempersiapkan acara mudik lebih dini.
Kata mudik,menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poewadarminta (1976), berarti “Pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran”.
Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani jawa. Keberadaannya jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan.
Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah.
Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.
Makanya, tidak heran kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik selalu menyempatkan diri untuk ziarah dan membersihkan kuburan.
Sekalipun ada teknologi ponsel atau internet yang memungkinkan kita mengucap selamat lebaran tanpa harus ketemu langsung,tetapi ia dianggap kurang afdol.Karena,bagi sebagian pemudik,acara mudik sekaligus sebagai sarana ‘unjuk diri’ bahwa mereka berhasil hidup dikota.Tak peduli apapun pekerjaan yang dilakoni di kota.Dengan aneka kesulitannya.Maka saat mudik harus terlihat sukses;bawa HP baru,perhiasan mencolok dan semacamnya.Walau kemudian sesampainya dikota dijual lagi itu soal lain.
Lebih lanjut sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sudjito berpendapat, ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama pada masyarakat pedesaan.
Antonius Wiwan Koban, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute,menulis;Pada musim mudik Lebaran 1 Syawal 1431 H atau bertepatan pada 10-11 September 2010 lalu, setidaknya 4 juta sepeda motor digunakan sebagai transportasi untuk mudik Lebaran. Angka ini diprediksi terjadi peningkatan dari angka tahun 2009 lalu yaitu tercatat setidaknya 3,9 juta sepeda motor digunakan pemudik dari Jakarta menuju berbagai daerah. Sebelumnya, pada tahun 2008 tercatat setidaknya 3,2 juta pemudik dengan sepeda motor.
Yang menjadi masalah adalah rawannya kecelakaan sepeda motor dalam angkutan mudik Lebaran, karena sepeda motor bukan didesain untuk bepergian antar kota antar propinsi bahkan antar pulau. Menurut catatan dari beberapa sumber, angka kecelakaan pemudik selama musim mudik Lebaran tahun 2008-2009 lalu, kecelakaan paling banyak dialami oleh pemudik sepeda motor. Pada Lebaran 2010 hingga H-3 saja, tercatat sudah 209 korban tewas akibat kecelakaan mudik, sebagian besar adalah pemudik yang menggunakan kendaraan roda dua.
Pada musim mudik Lebaran tahun 2008 tercatat 1.052 kecelakaan di mana sekitar 800 kasus atau 76 % adalah kecelakaan sepeda motor. Pada tahun 2009, tercatat 1.544 kecelakaan dengan korban meninggal dunia 576 jiwa, sebagian terbesar dialami oleh pemudik sepeda motor.


Dari segi jumlah pemudik, tradisi mudik di Indonesia sebetulnya belum ada apa-apanya dibanding Tiongkok. Bayangkan saja, dengan populasi penduduk yang luar biasa besar, jumlah pemudik di Tiongkok bisa mencapai 700 juta orang dalam waktu nyaris bersamaan. Jumlah tersebut dilansir oleh media lokal di Guangzhou untuk keseluruhan pemudik di daratan Tiongkok dan belum termasuk warga Tionghoa di luar negeri yang mudik ke Tiongkok. Selama 40 hari, 700 juta pemudik itu akan memenuhi stasiun kereta-api, pelabuhan udara, ferry dan terminal bus.
Sementara itu, melihat laporan Kementerian Transportasi Tiongkok yang dilansir kantor berita Xinhua, jumlah pemudik Tionghoa tahun 2011 lebih menakjubkan lagi, yakni diperkirakan mencapai 2,65 miliar orang atau meningkat 11 persen di banding tahun sebelumnya. Jumlah itu merupakan akumulasi penduduk yang mudik setiap hari sepanjang 40 hari perayaan Imlek di negeri tersebut. Sungguh luar biasa,demikian dilaporkan situs Kabari,jembatan Informasi Indonesia-Amerika.

Menurut banyak data yang saya kutip diatas,jelas sudah,disamping segala keriangan akan segera bertemu keluarga di kampung yang sudah setahun tak bertemu,mudik juga menyelipkan kesan kengerian yang tidak main-main.Dan kengerian itu,menurut saya,tentu bisa diminimalisir melalui berbagai cara.
Urusan perbaikan infrastruktur tentu bagian pemerintah.Jelas itu.Walau sering kita dapati perbaikan infrastruktur menjadi terkesan mendadak.Kesannya ia baru dikebut menjelang lebaran datang.Biarlah.Itu urusan pemerintah.
Yang lebih penting,kita harus bisa menekan angka kecelakaan sekaligus jumlah korban yang mengerikan itu dengan cara kita sendiri. .

Karena jumlah korban meninggal sebagian besar adalah pengendara sepeda motor,tentu lebih baik kita menyorotkan perhatian lebih kesana.Dan benarlah adanya,motor yang hanya layak mengangkut dua penumpang dan sedikit barang,pada musim mudik ia dipakasa bekerja lebih keras.Bukan lagi berperan sebagai angkutan yang aman dan nyaman,ia merangkap fungsi layaknya sedang dalam permainan akrobat!
Lihat,ekor motor diberi tambahan.Dua batang kayu sebagai tumpuan tas atau kardus bawaan.Tentu oleh-oleh untuk orang di kampung.Atau hanya bebeberapa setel baju ganti untuk beberapa hari tinggal di kampung.Si ayah mengemudi dengan tingkat kesulitan yang tinggi,karena ada si sulung yang duduk didepan.Di jok belakang si ibu duduk sambil menggendong si bungsu,Masih nyangklong tas pula.
Itu pemandangan umum.Saban lebaran.Padahal jarak yang hendak ditempuh tidaklah dekat.Jakarta-Lamongan.Atau Surabaya-Banyuwangi!Melihat pemandangan itu,tentu tidak mengherankan bila korban jatuh lebih banyak dari pengendara motor.

Ada beberapa cara sebenarnya yang bisa diterapkan agar mudik nyaman sekaligus aman.Dan sekarang,mumpung lebaran masih agak jauh,ia menjadi sangat bisa diterapkan.
Kalau masih memaksakan diri mudik dengan motor,cara ini setidaknya bisa mengurangi beban motor kita.Begini hitungannya.Pertama, waktu tempuh.Berapa lama kita berada dalam perjalanan.Sehari?Dua hari?Taruhlah dua hari.Kita hanya butuh dua setel baju.Dan baju yang lain,yang hendak akan kita pakai di kampung nanti,bisa kita ‘mudikkan’ lebih dulu dengan memakai jasa pengiriman barang.Hal itu juga bisa kita terapkan untuk oleh-oleh untuk orang di kampung.Baik,kalau kita keberatan biaya pengiriman,tentu kita tak perlu repot membeli berkaleng-kaleng biskuit untuk orang rumah.Percayalah,di kampung biskuit itu juga ada .
Tentu lebih aman kita mudik memakai moda angkutan massal.Terus pertanyaannya; motor kita bagaimana?Karena bukankah tanpa motor kita tak bisa leluasa berkunjung ke sanak saudara yang berpencar tempat tinggalnya?Dan untuk menjangkaunya kita butuh motor.Ah,gampang.’Mudikkan’ saja si motor duluan.Serahkan ia pada PT KAI,misalnya.Beres.
Dengan begitu,mudik menjadi lebih nyaman dan tidak memberatkan.Tetapi menjadi tugas pemerintah kemudian,agar ketersediaan angkutan lebaran menjadi memadai.Jangan sampai kita terlantar di terminal.Atau harga tiket yang melejit akibat permainan.
Salam.

Sabtu, 11 Juni 2011

Gelagat Jahat

“KALAU pas gak punya uang,naik motor berdua dengan teman,dari Surabaya ke Sidoarjo yang dilihat cuma leher melulu,”cerita seorang kenalan.Intonasinya biasa saja.Seakan yang dilakukannya bukan kejahatan;padahal ia jambret kalung.”Orang itu,kalau kena jambret,jarang yang langsung teriak.Paling sering cuma tertegun,syok dulu.Beberapa saat kemudian baru sadar,dan baru teriak.Dan,aku sudah mak wusss kabur...”lanjutnya.Sungguh tega.Sungguh berbanding terbalik dengan namanya yang kalau di-Indonesiakan berarti penyayang.
Hal senada juga pernah diungkapkan kenalan saya yang lain.Ia spesialis ponsel.Tekniknya sama.Pengalamannya pun nyaris sama..”Padahal,kadang,kalau 'dapat' barang,dijual harganya gak akan sebanding dengan,misalnya,kalau ketangkap dan digebukin massa,”katanya.”Naik motor sambil SMS-an itu 'sasaran' empuk.Ngambilnya gampang.Pernah ini,Ponsel tak kira BB,langsung tak saut,dibawa kabur .Begitu di tempat aman tak lihat cuma ponsel Tiongkok yang murahan.Apes.”lanjutnya yang pernah jatuh sampai patah tulang lengan.
Satu hal lagi,tindakannya sungguh tak berbudi walau ia bernama Budi.

Saya jadi ingat bang Napi yang selalu berpesan,”Waspadalah,waspadalah,”setiap mengakhiri program berita kriminal di sebuah stasiun tivi.Benarlah adanya,bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat,tapi juga karena ada kesempatan.Makanya jangan beri kesempatan.dan waspadalah selalu.
Kewaspadaan itu pula yang selalu dipesankan emak (alm) kepada saya.Lebih-lebih ketika saya bali dari atau pulang ke Lamongan agak malam.Dengan rute yang melewati beberapa jalan yang lumayan sepi.Pesan itu ditegaskan bukan tanpa alasan.Karena,menurut cerita emak,di jalan yang sering saya lalui itu termasuk jalan rawan kejahatan.Dan sudah pernah terjadi perampasan motor.

“Hati-hati,ini sudah agak malam,”pesan emak ketika saya berdua dengan istri.,kali ini dalam perjalanan balik ke Surabaya.
Dari rumah berangkat selepas maghrib.
Meluncur ketimur.Lewat Palangan.Mentok 'tangkis' belok kanan.Sepi.Jalan makadam membujur dibawah tanggul bengawan mati.Mentok lagi,belok kanan lagi.Tetap sepi.Tetap bermotor sendiri bareng istri.Eh,tetapi tidak.Dibelakang ada motor lain.Membuntuti.Motor laki,dengan dua penumpang berjaket hitam.
Sampai Sambo lumayan terang,banyak rumah dikiri-kanan jalan.Tetapi,lepas itu sepi menyapa lagi.kanan-kiri hanya tambak membentang.Saya jadi ingat pesan emak.Dilokasi sepi macam ini,tentu sangat ideal sebagai tempat perampasan motor..Tetapi saya santai saja.Karena ada pengendara motor lain selain saya.Masih ada teman.Teman?Betulkan ia teman?
Jalan masih saja sepi.Masih saja diapit tambak kanan-kiri.Dan masih saja pengendara motor laki berjaket hitam ber-helm teropong itu membuntuti.Padahal,kalau mau,si Astrea tua saya ini bisa saja dibalap habis.Tetapi tidak.Malah ia ikut banter saat saya bawa motor tua saya ini membanter.Saat pelan,ia turut pula memelan.Ah,apa maunya ini?Jangan-jangan?
Saya rasakan tangan istri saya mendingin.Oleh udara malam bercampur rasa setengah takut.Buktinya,”Kita diikuti orang,mas,”ucapnya.
Selepas Blawi belok kiri.Sepi lagi.Saya tetap diikuti.Istri saya,dan juga saya,merasa mulai diikuti rasa was-was.Pengendara motor laki berjaket hitam ber-helm teropong,mungkin sedang mencari tempat yang tepat untuk merampas Astrea tua saya.Karena beberapa kilometer ke depan masih saja sepi,saya harus cari cara untuk menghindari perampasan.Harus waspada,seperti pesan emak.
Dan,itu dia.Didepan ada terlihat lampu lima belas watt berpendar dari kios bensin yang merangkap jabatan juga sebagai tempat tambal ban.Ini tempat pas untuk upaya penghindaran perampasan.Saya berhenti disitu.Pura-pura mau nambah angin.Pura-pura saja.Agar si penguntit saya segera menyalip saya.Tapi sial.Pengendara berjaket hitam itu juga ikutan berhenti.Dan salah satunya malah turun mendekati saya.Istri saya pasti makin dingin tubuhnya.Saya juga.Penjahat kadang memang main kasar.Tak peduli tempat untuk merampas mangsa.Dan,saya kira,saya sedang pada posisi tak berdaya.
Tetapi tidak.Kejahatan,apapun bentuknya itu,harus dilawan.Lebih-lebih saya laki-laki.yang tak mau kehilangan harga diri didepan istri.Maka,pikir saya,apapun caranya si Astrea tua harus dipertahankan.Mati-matian.Bahkan,kalau perlu,sampai mati sungguhan.
Rasa takut harus dilempar jauh-jauh.Seperti kata pepatah; berani karena benar,takut karena tidak berani.
Saya melirik langkah kaki yang mendekati saya.Menghitung jaraknya.Mempersiapkan pukulan atau tendangan macam apa yang bisa sekali sikat langsung mengena titik mematikan.Ini sedikit ilmu silat yang sempat diajarkan mbah Kung.
“Mau apa sampeyan?,”tanya saya dengan suara saya tegar-tegarkan walau dada hebat bergetar.
Istri saya malah diam.Takut setengah mati,membayangkan duel maut yang akan terjadi di depan matanya sebentar lagi.
“Bapak mau ke Surabaya?”
“Iya,”jawab saya.
“Saya nunut jalan ,pak.Saya mau balik ke Surabaya gak tahu jalan.Bingung,baru hari ini ke Lamongan,”katanya.
Oh?

Kamis, 26 Mei 2011

Mbah Kung (Fu)


RAMBUTNYA sudah berseragam putih.Tak sehelaipun yang mbalela ngeyel pakai hitam.Kompak.Sekompak giginya yang mulai undur diri satu per satu.Walau begitu,ingatannya tak kendur mundur."Tahun selikur,"begitu beliau mengingat kelahirannya.Tak terlulis di akte,mungkin.Tapi saya memercainya saja.Sepercaya saya atas segala cerita di masa mudanya dulu.
Tentang keahliannya berpencak silat.Tentang peperangannya di masa Belanda sampai bergabung sebagai tentara sukarela (begitu selalu disebutnya) di jaman Jepang.Beliau,yang sekalipun sudah sepuh,tak bersemangat rapuh.Ada saja yang harus menjadi kesibukannya.Apapun itu.
Anak-anakku dan anak-anak kakak-adikku memanggilnya mbah Kung.
Suaranya khas.Logatnya khas.Bahkan bunyi sendal jepitnya ketika berjalan,juga khas.Sangat hapal betul telinga ini mengenalnya.Semengenal kami atas suara dehemnya.
"Jangan tidur dulu,tunggu brekat datang,"pesannya selalu setiap berangkat kondangan.
Kami,anak-anaknya,taat setaat-taatnya.Karena,kapan lagi bisa makan enak kalau gak ada kondangan begini.Nasi gurih,sesuwir daging ayam.Sejumput mihun,sepotong tahu atau tempe.Duh,sungguh itu sebagai hidangan agung,disaat saban hari bernasi jagung.
Itulah mengapa rasa memang tidak pernah bohong.Maksudnya,sekalipun suatu pagi ibu menyulut kayu di tungku agar dapur terlihat berasap,agar sama seperti dapur-dapur para tetangga,tetaplah perut ini berkonser keroncong.Karena ibu sedang berbohong.Lebih tepatnya lagi,ibu sedang bersandiwara.
Sudahlah,itu masa lalu.Lalu sekali.Tapi selalu saja,kalau sampeyan perhatikan,saya sering menuliskan cerita lalu.Sekarang ingin saya sudahi.Stop.Sekarang saya hendak menulis tentang simbah Kakungnya anak-anakku.
Mbah Kung selalu suka memakai baju batik lengan panjang bersaku tiga.Dua dibawah (kanan-kiri) satu lagi di dada.Isinya;saku atas adalah kamar 'pak-lopak';Tempat tembakau lengkap dengan semua pemain pendukungnya.Ada cengkeh cap Keris atau cap Dokar,ada kertas rokok cap Pagupon.Satu lagi alat berbahan bakar bensin;korek api.Rokok khas itu,orang kampung kami menyebutnya tingwe.Tentu itu bukan bahasa Mandarin.Ia hanyalah berarti ngelinting dhewe.
Untuk saku bawah,isinya juga amat penting bagi mbah Kung.Satu minyak angin,satunya lagi obat tetes mata.Dan perjalanan kemanapun,kalau ketiga perbekalan itu tak komplit kalau satu saja yang tak terbawa.
Sepulang dari menengok saya di Surabaya,saya punya tugas mulia.Mengantar mbah Kung pulang kampung.Karena,tak mungkinlah saya tegakan serenta itu balik ke Jember seorang diri.
Dari Rungkut,saya bawa mbah Kung ke terminal Joyoboyo.Dan ketika saya berkonsentrasi mengumpulkan segenap indra ke dompet saya (karena Joyoboyo saya yakini sebagai sarang pencopet),mbah Kung justru telah menangkap tangan copet yang nyelonong merogoh saku atas.
"Jangan begitu kamu,"kata mbah Kung dengan logat Madura yang kental."Seenaknya sendiri merogoh saku orang.Gak sopan tahu!"
Ya,mbah Kung hanya menilai dari segi kesopanan saja.Karena,toh si copet telah salah sasaran.Ia tentu tidak tahu,saku atas hanyalah tempat penginapan perlengkapan rokok tingwe mbah Kung.
Ah,suatu hari mungkin saya perlu belajar kecepatan tangan mbah Kung yang terbukti bisa mengalahkan kecepatan tangan si copet.
Atau itu hanya sekedar beruntung saja.Karena dilain waktu mbah Kung pernah tidak untung.Itu menyangkut isi dua saku bawah baju batik kesayangannya.
Mbah Kung tetaplah suka kemana-mana.Walau sepuh,beliau sangat semangat menyertai salah satu cucunya yang menikah di Kedewan Bojonegoro sana.Jember-Bojonegoro tentu bukanlah jarak tempuh yang pendek.Apalagi untuk usia mbah Kung yang sudah sembilah puluh.Byuh!
Asal ketiga bekal itu lengkap,tak perlu ada yang dikhawatirkan tentang mbah Kung.Ada 'pak-lopak',ada minyak angin,ada obat tetes mata.Sip.Perjalan melambung dari Jawa Timur,ngincipi Cepu Jateng lalu menusuk masuk ke Jawa Timur lagi.Uh,Kedewan.
Setelah menembus hutan di tengah malam,rombongan merapat tepat tengah malam.Sebuah kedatangan besan yang kurang sopan.Tapi tamu adalah raja.Perut perih telah terbayar oleh hidangan di tengah malam sekaligus dikampung tengah hutan.
Penat lutut diperjalanan,saya selonjorkan.Kantuk menusuk.Serombongan sibuk menuju tempat melampiaskan kantuk.Mbah Kung sibuk merogoh saku bawah.Perih mata karena terterpa angin dari jendela bus mini non AC ini,membuat mbah Kung ingin menetesinya dengan obat mata yang beliau bawa.Dan...,"Aduh panas,panas.Perihhh..."erang mbah Kung mengagetkan semua yang nyaris terbang ke alam mimpi.
Rupanya mbah Kung keliru menetesi matanya dengan minyak angin.Ah,jangan-jangan jurus Kung fu tangan mbah kung hanya untuk pencopet,bukan untuk obat mata.
Semalan kami mengkhawatirkan mata mbah Kung.Karena semalaman mbah Kung sambat perih.Pagi menjelang,kata mbah Kung,perih sudah berkurang.Agak siang sudah tersa lebih padang.Kemudian,"Iya,lebih padang sekarang.Mata tersa segar.Minyak angin ternyata bisa bikin mata jadi terang."kata mbah Kung.
Dari nada bicaranya saya tahu itu tidak guyon.Itu sungguh-sungguh.Tapi kami sungguh tidak ingin mencobanya.Tidak pula mengijinkan mbah Kung menetesi matanya dengan minyak angin lagi.

Minggu, 20 Februari 2011

Kualat Duit Toilet



PERNAH sudah saya kemana-mana. Walau tentu tak sebanyak 'kemana-mana' Anda. Kemana-mana saya, antara lain ini; menggauli sekujur tubuh molek pulau Bali .(tentang tari pendet, klik disini) Termasuk mbambung di Ubung, terlunta tiada kerja di Kuta, nguli batu di Uluwatu, berlarian memaksiatkan mata di pantai Jimbaran, nyenyak pulas di Seminyak, atau tanpa pura-pura (untuk mengganjal perut) terpaksa mengambil buah sesajen di pura, termasuk nyaris tragis diamuk massa satu banjar yang kesetanan di Sesetan. Semua beraroma nelangsa. Walau belakangan menjadi semacam nostalgi. Nostalgi yang kalau dicecap menjadi berasa 'nano-nano'. Ada manis, ada asin, ada asem, ada-adaaa aja....!

 Dan syukurlah,dalam 'kemana-mana' itu saya terhindar dari angan untuk 'njajan' di 
Kedonganan.(?!)

Kalau semua ditulis, tentulah akan panjang. Makanya satu saja. Itupun kalau sebagai tayangan televisi, di bagian sudut atas harus ada tanda BO. Atau malah di bagian bawah ada running text: adegan tidak patut ditiru. Brutal? Tidak. Porno? Juga tidak. Hanya tidak layak tiru saja. Ini sekadar catatan ringan. Dan sama sekali benar-benar betul sungguhan saya alami (uh, kalimat apa pula ini!). 

Begini, TKP: terminal Ubung-Denpasar. Waktu: tengah malam Waktu Indonesia Tengah.  Tahun: sekitar akhir 80an. 

Bersama beberapa teman, saya akan pulang kampung. Memilih waktu tengah malam karena adem. Walau ada 'karena' yang lain. Yakni supaya sampai rumah di Jawa juga masih pagi buta. Agar tiada kentara para pemuda harapan desa pulang bertangan hampa. Uf. 

Malam itu terminal sudah tak terlalu ramai. Yang sesekali terdengar malah suara kondektur bus mencari penumpang dengan logat Probolinggo. Karena memang banyak armada bus berasal dari kota mangga itu. Menahan dingin malam saya hanya mendesis. Bukan desis ular, tapi desis kebelet pipis.

Menujulah saya ke toilet terminal. Gegas langkah saya jadi melambat begitu tahu penjaga toilet tidur mendengkur. Duduk membungkuk melampiaskan kantuk di atas meja. Saya membaca mantra meringankan tubuh seperti Brama Kumbara ala sandiwara radio Saur Sepuh. He, he... Kalau masuknya gak tahu, dan keluarnya juga gak ketahuan: terhindarlah saya dari membayar uang pipis yang cuma 500 rupiah itu!

Masuk, penjaga ngorok. Pas keluar (dengan segenap ilmu meringankan tubuh), "Bayar, mas," suara itu bukti ajian saya tidak mandi, tidak mempan. 

"Gak ada uang kecil," ini jurus ke dua saya.

 "Ada kembaliannya kok," tangkisnya masih dengan jurus ngantuk. Weladalah, apes tenan iki! 

Padahal yang saya bilang uang besar itu hanya 20 ribu. Nilai segitu menjadi besar karena cuma itu satu-satunya penghuni dompet saya. Pendekar ngantuk itu lamaaa... sekali menghitung uang kembalian saya. Dengan kusut akhirnya saya menerima segenggam uang yang juga kusut itu. Sambil bersungut, saya menghitung uang kembalian itu, dan... Ahaa, menjadi 29.500 rupiah! Dasar dewa ngantuk... Sekali pipis malah dibayar 9500, lha kalau 'beser', berkali-kali pipis, wah bisa hitung sendiri.

Mendapat 'rejeki nomplok', saya belikan uang pipis itu kue basah. Lumayan untuk ganjal perut.

"Lumayan, saya juga bisa segera pulang," kata pedagang asongan sambil ngeloyor pergi.

Saya ngeloyor menghampiri teman-teman saya, sambil menenteng satu tas kresek penuh kue basah bernilai 9500 rupiah. Dengan bangga saya ajak semua teman berpesta-pora. Tentu sebelumnya saya bumbui dengan kisah si 'pendekar toilet' ngantuk itu. 

Dasar pada lapar, semua saling comot isi tas kresek hitam yang saya tenteng. Tanpa dikomando semua bareng-bareng memasukkan kue ke mulut masing-masing. Tanpa dikomando semua langsung 'gebres-gebres' ; bersamaan memuntahkan isi mulutnya.

"Mambuuu... !!!" sebareng makannya mereka berkata.

Tanpa dikomando, mata saya mencari si pedagang asongan tadi. Blas gak kelihatan! Mungkin sudah dimakan leak!  Dan ketika saya menoleh ke penjaga toilet, tetaplah dia mendengkur. Dengkur yang menjadi bernada 'menyokorkan' (walah!) saya. Saya menjadi tak bisa bilang apa-apa. Kecuali satu kata, satu-satunya bahasa Bali yang saya bisa waktu itu; 'kleng' !!! ****