Selasa, 09 Agustus 2011

Penyiar Tenar

SETIAP pulang kamung ke Jember,ada dua hal yang selalu dikeluhkan istri saya.Pertama; selepas terminal Minak Koncar Lumajang laju bis jurusan Jember via Kencong selalu berjalan begitu 'nggremet' bikin geregetan.Dan lebih jengkel lagi ia sering ngetem mencari penumpang.Dan,kedua; ditemui begitu banyaknya tempat orang mengumpulkan sumbangan.
     Keluhan jenis kedua ini yang ingin saya ceritakan sekarang.Tempat-tempat itu --selalu di pinggir jalan-- dan didekat masjid.Iya,memang tempat-tempat itu adalah lokasi panitia pembangunan sebuah masjid mengumpulkan dana dari pemakai jalan.
       Lepas dari Bangil-Pasuruan,sampai di kampung halaman di timur Gumukmas dan sebelah barat Kasiyan,ada begitu banyak tempat seperti itu.Yang ada 'studio' kecil dipinggir jalan.Tempat seorang 'presenter' berkoar-koar seharian.
Si penyiar itu begitu lancarnya mengucap terima kasih kepada setiap pemakai jalan yang melemparkan uang kecil.Sejurus kemudian,ada petugas yang berlari memungutnya.Memasukkannya ke dalam kaleng bekas biskuit yang tutupnya sudah dikasih lubang.Tetapi,saran saya,apabila suatu kali sampeyan menemui pengumpulan sumbangan model demikian,dan sampeyan ingin menyumbang;jangan lemparkan uang kertas.Yakinlah,uang itu akan 'hancur' ketika kaleng dibuka sore hari.Karena kaleng itu dikocok seharian oleh petugas di jalanan,dan si uang kertas akan beradu badan dengan si logam yang berdesakan karena kocokan.
     “Sedikit memalukan,”gumam istri saya.”Di tempatku yang model begini pasti tak ditemukan,”katanya dengan nada membanggakan tanah tumpah darahnya.
      Saya diam saja.Agak tersinggung,sebenarnya.Karena,dulu saya juga pernah terlibat dalam kegiatan serupa.
Sungguh.Tetapi untuk apa malu.Karena untuk bisa menjadi penyiar sumbangan macam itu,tidak gampang dan sedidaknya harus menguasai tiga bahasa! Hal ini karena para pemakai jalan didaerah Pasuruan ke arah timur adalah pengguna campuran dari tiga bahasa itu;Bahasa Jawa,bahasa Madura dan tentu saja bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan keduanya.
     'Karir' saya sebagai penyiar sumbangan datang secara tidak saya duga.
Suatu kali seorang utusan dari panitia pembangunan masjid kampung tetangga menemui saya.Menawari saya menjadi 'penyiar'.Menggantikan petugas lama yang kesandung kasus korupsi.Anda tahu,korupsi itu tak melulu perkara duit miliaran.Duit recehah hasil sumbangan untuk measjid pun bisa di tilep kalau iman tak tahan.
     Mendapat tawaran begitu,sebenarnya saya ingin tertawa.Mentang-mentang saya sesekali tampil di atas pentas bersama kelompok musik sebagai pembawa acara,jadi turun tahta dong kalau menjadi penyiar jalanan model begituan.
     “Ini demi 'masa depan',dik,”kata beliau.
     Masa depan yang ada tanda petiknya adalah masa depan yang sangat di depan.Dan saya masih belum bisa menerimanya di 'masa sekarang'.Tetapi ketika beliau mengeluarkan kartu as bahwa beliau sudah lebih dulu 'kulonuwun' ke ayah saya,saya lalu bisa apa.Mbah Kung,ayah saya itu,begitu fanatiknya kalau sudah menyangkut si 'masa depan' itu.
Maka sejak hari itu,setiap harii saya harus stand by di 'studio' mini di pinggir jalan.Bersiaran dalam beberapa bahasa layaknya BBC.
     Beberapa tahun kemudian masjid hasil sumbangan itu berdiri sudah.Saya lega.Tak lagi harus saban pagi sampai siang bersiaran di sudut pasar Reboan.Tetapi kelegaan itu tak berusia lama.Masjid dikampung sendiri mulai dibangun.Dan untuk langkah pertama,panitia lebih dulu membangun 'studio' kecil dipinggir jalan.Celakanya,saya sudah dianggap tenar dan dinilai sudah pengalaman,maka saya ditunjuk tanpa tender untuk menduduki posisi kepala penyiar!
    Jurus yang dipakai untuk melumpuhkan saya adalah kalimat,”Masa untuk masjid kampung tetangga saja mau,untuk masjid kampung sendiri menolak?”
     Dan sekali lagi mbah Kung mendorong saya untuk menerima tawaran demi bekal saya di 'masa depan' ini.
Begitulah.Sampai sekian belas tahun kemudian,ketika saya pindah kewarganegaraan ke daerah asal istri saya.Suatu kali dalam perjalanan naik bis,selepas terminal Bunder-Gresik sampai menjelang Deket-Lamongan,ada saya temui panitia pembangunan masjid yang memakai pola pengumpulan sumbangan ala banyak orang di sepanjang Bangil sampai Jember.Saya merasa inilah saatnya membalas serangannya ketika mudik ke Jember dulu.
    “Tuh,lihat.Bukan orang Jember saja kan yang minta sumbangan dijalan untuk membangun tempat ibadah,”kata saya.
     “Eh,jangan begitu.Coba saja turun dan tanya,pastilah ketua panitia berasal dari daerah sampeyan,”jawab istri saya.
     Hm?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar