Rabu, 10 Agustus 2011

Mengukur Income Tukang Cukur

PADA awal-awal terbitnya tabloid Nyata,ada salah satu edisi yang masih saya ingat sampai sekarang.Pada cover depan tabloid Nyata itu menampilkan Sylvana Herman.Selebritas yang lagi top-topnya saat itu.Dan Nyata,atau bahkan semua taboid hiburan lainnya.,sangatlah lazim memampang foto selebritas pada halaman depan.Tetapi tampilan Nyata pada edisi itu sangatlah diluar kelaziman.Jelasnya,si Sylvana Herman yang tampil diluar kelazimannya.Ia tampil seksi dengan bibir merah merekah plus pose menawan tetapi tanpa sehelai rambutpun di kepalanya.Jan gundul-ndul.Padahal rambut,kata orang,adalah mahkota wanita.
Okelah,itu memang semacam cara mengkontroversialkan penampilan diri untuk mendongkrak popularitas.Dalam hal ini tentu popularitas keduanya.Pertama si artis,kedua si tabloid yang memang masih muda usia.Penampilan itu sedemikian melawan arus.Karena,pada saat hampir bersamaan,para wanita sedang gandrung model rambut ala Demi More yang tampil apik dalam film Ghost.Ya,gaya rambut ala Demi More itu yang lebih banyak ditiru para wanita di kampung saya saat itu.Karena,pastilah tidak elok meniru gaya Sylvana Herman.Bahkan,gaya rambut Demi More itu masih ada disukai banyak wanita sampai sekarang.Karena pendek,ia mencerminkan sesuatu yang simpel saja.Tak ribet.
Saya sedang tidak akan berbicara terlalu panjang tentang Sylvana Herman yang sekarang sudah jarang sekali kedengaran beritanya.Juga tidak membahas aktris cantik Demi More mantan istri Bruce Willis yang tetap cantik sampai sekarang.Tidak.Tetapi saya akan sedikit bicara tentang rambut.Ya,rambut saja.
Dan walaupun sampeyan semua pada punya rambut,saya hanya akan membatasi membahas tentang rambut saya sendiri saja.Kalau sampeyan punya jadwal khusus dalam waktu tertentu pergi ke salon untuk memberesi rambut,seingat saya,seumur-umur saya hanya sekali saja pergi ke salon.Itu pun secara gratisan.Karena salon itu milik seorang teman.
Selebihnya,saya selalu potong rambut kepada tukang cukur pinggir jalan.Selama di Surabaya ini,setelah sekian kali gonta-ganti tukang cukur,belakangan saya menemukan yang pas.Yang selalu hapal apa model rambut yang saya inginkan.Karena cocok,walaupun antri saya tetap saja setia menanti giliran.Terlebih disitu selalu ada bacaan yang bisa disantap.Membaca,bagi saya,selalu terasa mengasyikkan.Karena keasyikan itu pula,bisa jadi,sering saya temuai WC orang-orang Jepang selalu ada semacam perpustakaannya di dalam ruang toiletnya.Bisa dibayangkan,buang hajat yang asyik itu makin asyik kalau dilakukan sambil membaca.
Sudahlah bicara tentang buang hajat itu.Saya takut ia akan merusak nafsu makan sampeyan.

Karena model rambut saya selalu pendek,si tukang cukur hanya perlu menyetel mesin pemotong rambut sedemikian rupa,lalu mendorongnya.Dari awal pertama di 'kemuli' kain agar tak kerontokan rambut,sampai selesai (biasanya diakhiri ritual ditaburi bedak bayi) memakan waktu tak lebih dari 25 menit.Ongkosnya? Sembilan ribu rupiah saja.
Angka itulah yang menggugah saya secara iseng menghitung pendapatannya.Sembilan ribu rupiah kali sekian puluh kepala perhari.Dan omzetnya semakin meningkat saat menjelang lebaran begini.
“Saya buka usaha ini sekitar saat-saat krismon,”kata Mawardi (33 th),si tukang cukur itu,saat saya tanya kapan memulai usahanya.
Itu sekitar tahun 1997-1998.Ah,lama juga.Pantesan pelanggannya sudah banyak.Dan saya yakin,jumlah pelanggan akan selalu meningkat.Karena pelanggan pun lalu punya anak,si anak lalu dicukurkan pula kesini.Hebat.Karena pelanggan muda adalah pelanggan potensial.Dan Mawardi,mampu menangkap peluang itu dengan membekali diri keterampilan menyesuaikan mode rambut anak muda yang lagi menjadi trend.
Lokasi yang bagus,ditambah pelayanan yang juga bagus,tentulah mendatangkan income yang bagus.
“Ya,alhamdulillah,”ujarnya tanpa menyebut bilangan rupiah.
Tetapi secara iseng saya tergoda untuk menjumlah.Saya,yang datang selepas maghrib saja sudah merupakan antrian ke lima,dan pelanggan terus saja datang setelah saya.Tetapi agar gampang menghitungnya saya tarik angka rata-ratanya saja.Taruhlah dalam sehari,paling jelek,ada sepuluh pelanggan.Kalikan dengan angka sembilan ribu per kepala.Kalikan sebulan.Dua juta tujuh ratus ribu ripuah.Dan,saya yakin bisa lebih dari itu.
“Ya,lumayanlah,mas,”katanya sambil tangannya terus mencukur rambut saya.”Tetapi dulu saya juga sempat kerja macam-macam.Dan usaha mencukur rambut ini sekadar meneruskan usaha orang tua.”
Terletak di sebelah mulut gang yang menuju rumah saya.Mengahadap ke jalan raya yang selalu ramai.Ukuran ruang kerjanya kecil saja.Tak lebih dari tiga kali tiga meter.Itu ruang prakteknya.Karena bagian belakang dijadikannya rumah tinggal.
“Tiga kali lima belas,”katanya ketika saya tanya luas tanahnya.”Itu saya beli lima tahun lalu.”
“Harga per meternya berapa?”
“Tiga juta.”
Harga yang tinggi untuk ukuran pembelian lima tahun lalu,saya kira.
Setelah sedikit menghitung,saya dapatkan angka;seratus tiga puluh lima juta rupiah!
“Uang segitu dari hasil nyukur semua?”tanya saya.
Mawardi tersenyum.Senyum yang mengiyakan,sepertinya.

Begitulah.Sampeyan beruntung kalau punya pendapatan lebih dari tiga juta per bulan.Kalau pendapatan sampeyan kurang dari itu,tentu income sampeyan kalah oleh si tukang cukur langganan saya itu.Dan benarlah adanya,kesepelean suatu pekerjaan,bukan berarti income yang dihasilkan bisa disepelekan.
Saya punya contoh sepele tentang ini.
Pernahkah sampeyan melihat penjual pentol keliling?Iya,yang kadang pakai sepeda butut.Yang penampilan penjualnya memprihatinkan. Tapi jangan kira penghasilannya sememprihatinkan penampilannya. Karena saya punya tetangga,yang banting setir dari penjual bakso menjadi penjual pentol seratusan.Alasannya?
Orang tak akan membeli bakso lima ratus rupiah.Tentu itu. Butuh paling tidak lima ribu rupiah untuk semangkuk bakso. Tetapi,untuk bisa mencicipi beberapa butir pentol seratusan rupiah,uang tiga ratus perak pun sudah diladeni. Intinya,bukan harga mahal yang bikin income menggunung.Tetapi sekalipun harga murah tapi kalau laju lakunya sebanter Lorenzo,itu yang lebih menjanjikan.
Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar