Sabtu, 06 Juni 2015

P a n d a n

WALAU tak seberapa luas, saya punya halaman depan yang disitu ada
beberapa tanaman. Baik yang sengaja ditanam maupun yang tumbuh dengan
sendirinya. Bayam adalah yang tumbuh tanpa saya menanamnya. Sementara
belimbing, sirsak, turi, beluntas, pohon ungu dan pandan adalah yang
sengaja saya tanam.

Semua tertanam dengan ala kadarnya, dalam arti; kalau dipandang oleh orang yang mengerti penataan landscape ia terlihat tiada seninya sama sekali. Tak apalah. Yang penting ada tambahan asupan
oksigen yang bisa saya hirup di halaman untuk mengimbangi taburan
polusi yang dikeluarkan cerobong-cerobong pabrik --maklum, karena rumah saya
hanya berjarak limapuluh atau seratus meter saja dari kawasan industri. Yang
penting lagi adalah fungsinya; daun beluntas untuk mengatasi bau
badan, daun ungu untuk mengusir wasir, daun sirsak untuk mencegah
kanker, kembang turi untuk dipecel dan pandan untuk penambah aroma
pada kolak atau penganan lainnya. Buah belimbing bisa juga sih untuk menyembuhkan sariawan,
tetapi sekarang belum berbuah. Dan saya belum tahu apakah daunnya
mempunyai khasiat yang sama dengan buahnya. Yang saya tak harus
menunggu berbuah adalah pandan. (eh, apakah pandan juga berbuah?)

Dibanding punya tetangga kanan-kiri, tanaman pandan di halaman rumah
saya terbilang paling subur. Daunnya lebat. Padahal istri saya belum
tentu sebulan sekali bikin kolak, dan untuk sepanci kolak, paling
banter cuma membutuhkan lima helai daun pandan sebagai penambah aroma.
Tetapi, daun pandan di depan rumah itu nyaris saban hari berkurang.
Dengan lokasi di bibir pekarangan dan tanpa pagar, siapapun yang lewat
dan sedang ingin mengambil daunnya bisa melakukannya dengan gampang.

Mula-mula jengkel juga; gak ikut nandur (menanam), kok enak saja
mengambil tanpa permisi.

Tetapi, tunggu dulu, berapa sih harga dua-tiga helai daun pandan?
Sudah sepadankah harga itu untuk menumbuhkan rasa dengki? Iya, tetapi
mestinya kan permisi dulu, nembung dulu. Lho, bikin kolaknya kan pagi,
kalau menunggu sampai sore ketika yang punya sudah pulang kerja, apa
harus kolaknya tanpa pandan?

Sepertinya sangat banyak hal kecil dan tak seberapa nilainya yang bisa
sebagai bibit tumbuhnya penyakit hati. Dan ketika saya tidak bisa
mengikhlaskan hal-hal sepele, makin musykil saja rasanya untuk
merelakan hal-hal besar.

Padahal pandan itu tumbuh nyaris tanpa pernah saya rawat kecuali
menyiramnya. Kalau mau, tentu Yang Maha Menumbuhkan bisa saja sejak
awal membuat pandan itu puret, bengkring atau bahkan mati. Karenanya, kenapa
saya tidak menumbuhkan pikiran bahwa sejatinya pandan itu milik
orang-orang yang mengambilnya tanpa permisi itu, dan Tuhan hanya sedang
menitipkannya untuk tumbuh subur di pekarangan saya. *****

2 komentar:

  1. thanks atas informasinya gan :) ditunggu artikel yang lainnya

    BalasHapus
  2. thanks atas informasinya gan :) ditunggu artikel yang lainnya

    BalasHapus