Sabtu, 06 Juni 2015

EWAS Bikin Klejingan

Melihat-lihat dulu, menawar-nawar kemudian. (Foto: Galuh Setiawan)
BERTEMPAT di play ground tempat kerja saya ini, Kamis kemarin (4 Mei 2015), EWAS (Expatriate Women's Association of Surabaya) mengadakan acara Yard Sale. Pada awalnya, kegiatan bazar yang bersifat charity itu hanya dikhususkan untuk anggota. Tetapi sampai siang pengunjung yang datang sangat jauh dari harapan, bahkan hanya yang membuka stan saja. Padahal, mulanya panitia mengumumkan yang diundang dan akan datang sekitar 40 anggota. Lha kok ternyata suasananya hanya sepoi-sepoi sepi-sepi saja. Nah, siapa dong yang beli dagangannya?

Yang dijual aneka macam, mulai baju, sepeda, tas, sepatu, kacamata renang, mainan anak yang semuanya adalah barang lungsuran atau bekas pakai. Harga dibanderol mulai sepuluh ribu (untuk barang mainan anak-anak) sampai satu juta. Ya, yang satu juta itu harga sebuah tas, dan bekas. Mahal? Relatif. Tetapi, "Ini barang bagus," kata Nyonya Montse yang memajang tas itu. "Lihatlah; bahannya, jahitannya, semua perfect. Ini kalau baru, harganya three million rupiah," katanya.

Suasana bazar. (Foto: Galuh Setiawan)
Begitulah, akhirnya bazar itu terbuka untuk kami-kami yang bekerja disini. Saya ikutan pula berkeliling dari stan ke stan. Pegang-pegang saja. Bukan apa-apa, harganya itu lho yang bikin kulit dompet saya merinding.

"Ini murah, mas," kata seoarng teman yang memegang sepatu anak-anak berbahan kulit berwarna cokelat.

"Berapa sampeyan beli?" tanya saya.

"Seratus," jawabnya mantap. "padahal kalau baru ini tujuh ratus, Mas," tambahnya.

Saya menuju stan lain. Selain busana dan mainan anak, disitu PS Portable merek Sony terselempit pada tas dengan posisi menonjol ke atas. Ya, saya tak tertarik membeli tasnya, tetapi PS-nya. Agar tidak seperti membeli kucing dalam karung, saya buka dus PS itu, dan, "No, no.Ini punya saya, tidak dijual," kata bule cantik itu dalam bahas Inggris yang sukses membuat muka saya merah maroon karena klejingan.

Sepeda impor ini dibanderol lima ratus ribu rupiah. (Foto: Galuh Setiawan)
Tentu saja meminta maaf atas kelancangan itu. Saya berkeliling ke stan lainnya lagi. Tetapi, Anda tahu, rasa malu kadang susah hilang begitu  saja. Ia harus diguyur oleh sesuatu yang lain agar berlalu. Menujulah saya ke bawah pohon trembesi dimana ditempatkan pada meja penganan kecil, kopi, teh dan air mineral. Saya tidak minum kopi, juga sedang tidak ingin ngeteh, dan akhirnya mengambil sebotol kecil air mineral saja.

"Oke, silakan; harganya sepuluh ribu sebotol," seorang panitia, juga perempuan bule, membuat saya meletakkan lagi sebotol kecil air mineral itu.

Saya kira gratis, lha kok harus bayar. Sepuluh ribu pula harganya, padahal diluar paling cuma duaribu.

"Khusus anggota memang gratis," terangnya.

Saya menjauh, meninggalkan arena. Tak meneruskan mengunjungi stan lain; takut klejingan lagi. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar