SAYA menyukai seni sejak kecil. Sejak sering nunut orang agar bisa masuk ke gedung kesenian yang ajeg menggelar pementasan di kampung saya. Secara bergantian selalu ada. Ketoprak, wayang orang juga ludruk. Biasanya saya dan teman teman langsung menuju ke TKP begitu bubaran ngaji. Selalu. Kecuali malam Jum’at legi. Karena hari itu saya dan teman se-mushola harus ngaji lebih dari hari biasanya. Diawalai membaca surat Yaasin dilanjut tahlil dan lalu mendengar tausiah pak ustad. Menunduk saya mendengarnya ceramahnya. Bukan konsentrasi, tetapi sedang membayangkan betapa serunya sekuel kedua Angling Darmo yang bagian pertamanya sempat saya tonton kemarin malam.
Kalau tidak nonton seni tradisional, alternatifnya ada bioskop misbar. Tempatnya di lantai semen yang kalau siang untuk mengeringkan gabah. Tempat itu penggilingan padi di barat lapangan bola di kampung saya. Dengan pola yang sama;nunut orang masuknya. Film yang saya ingat, sering India. Kalau tidak ya filmnya Rhoma seperti Badai Diawal Bahagia dan semacamnya. Ada pula Gadis Marathon sampai James Bond.
Menginjak remaja, saya tak lagi nunut orang untuk nonton ludruk, selain sudah gak pantes,g edungnya sudah berganti menjadi SD Inpres. Misbar pun sudah tergusur , karena orang lebih suka nonton sinetron di tv. Walau waktu itu salurannya cuma sebiji. Tetapi Rumah Masa Depan,ACI,Pondokan,Losmen,Keluarga Rakhmat sampai generasi Jendela Rumah Kita telah dengan sukses melakukan pembunuhan tontonan panggung tetap seni tradisi di kampung kami. Sekalipun kadang masih ada saja yang nanggap sebagai hiburan pada hajatan.
Tetapi, ada satu seni tradisi yang masih eksis di kampung kami; jaranan. Saya tak cukup punya nyali untuk bergabung di seni yang satu ini, yang sampai kesurupan makan ayam mentah segala. Dan saya memilih gabung ke sebuah grup musik. Sekalipun saya tak bisa nyanyi sekaligus tak bisa main musik, tapi saya dipercaya sebagai emci.
Sekali waktu, karena solidaritas antar kawan, saya bersama teman se-band nonton grup jaranan teman kami yang dapat tanggapan di kampung tetangga kecamatan. Solidaritas, karena kalau kami pentas musik, teman jaranan ikut pula menonton kami.
Jaranan, kalau sampeyan tahu, selalu ada aroma kemenyan. Magis pokoknya. Sekalipun dengan musik yang hanya beberapa, ramenya luar biasa. Rock Jawa, istilah saya. Belum lagi kalau sudah kesurupan, jan menakutkan. Satu lagi, kalau sudah begitu, jangan coba-coba disiuli, bisa dikejar sampeyan. Tapi jangan terlalu takut. Ada tukang gambuh-nya.
Seorang penari , mas Nur namanya, saya lihat mulai kesurupan. Meminum air kembang, bahkan memakan kembangnya sekalian. Menari ritmis sekaligus magis. Berputar. Mencambuk-cambuk kaki sendiri. Menari.Berputar. Menari. Dan....
Ia berhenti tepat di depan saya dan teman-teman yang berdiri diantara penonton.
Gila. Matanya melotot tajam. Mulutnya menghambur-hamburkan kunyahan kembang. Tukang gambuh datang. Dengan bahasa mantra membujuknya agar kembali ke tengah. Agar menari lagi. Tapi gagal. Tetap saja mas Nur memeloti kami. Sorot matanya tajam. Sorot kesurupan. Dan sorot mata itu mengisyaratkan agar kami menuju ke tempat rias yang berada di belakang penabuh gamelan. Semacam kamar sementara untuk berias para pemain yang disiapkan shohibul hajat.
Sorot mata itu begitu menakutkan. Lebih-lebih ketika diselingi cambukan pecut jedar-jeder. Adegan yang bikin kami jantungan ini, malah bikin penonton tepuk tangan. Entah apa maksudnya.
“Sudahlah, ikuti saja maunya,” kata mbah Selar si tukang gambuh, semacam pawang.
“Ikuti apa, mbah?”
“Setan yang merasuki Nur ini ingin agar kamu dan teman-temanmu masuk ke kamar rias,” jawab mbah Selar.
Saya dan teman-teman saling pandang.Masuk ke kamar rias? Untuk apa?
Tapi suara pecut dicambukkan yang semakin ikut kesurupan ini, membuat kami seperti segerombolan sapi yang digiring ke kandang oleh sang gembala. Kami masuk ke kamar rias, digiring mas Nur yang masih kesetanan.
Diluar gamelan masih ditabuh. Terompat berbunyi tanpa henti.
“Wong disuruh masuk saja kok repot. Tuh, di sini banyak jajan,” kata mas Nur yang tiba-tiba setannya hilang sambil menunjuk aneka jajan suguhan untuk rombongan jaranan.
Gila.
Lebih gila lagi, begitu keluar kamar rias, mas Nur kembali kesetanan. Menari lagi . Berputar-putar lagi. Menari lagi. Sambil mengunyah kembang.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar