PEMILU sudah
setahun lagi. Untuk itu, beberapa tahapan telah dimulai. Mulai ferivikasi
parpol yang boleh berlaga, penentuan nomor urut parpol dsb.
Tidak seperti zaman Orde Baru yang parpolnya hanya tiga biji
(dan itu nomor urutnya tidak pernah berganti), era sekarang, dengan parpol yang jumlahnya lumayan banyak, nomor urutnya
selalu berubah. Tidak hanya itu, ada parpol yang Pemilu lima tahun lalu ikutan
sebagai kontestan, Pemilu mendatang tidak lagi. Malah, pada Pemilu yang lalu
belum lahir, Pemilu nanti tampil sebagai parpol peserta Pemilu. Partai Nasdem,
contohnya.
Saya bukan orang politik. Saya orang biasa seperti Sampeyan. Namun, orang-orang politik
itu, para caleg itu, tentu amat membutuhkan suara orang-orang biasa seperti
saya ini. Bagaimana mendapat simpati orang-orang biasa yang pada saatnya nanti mau
mencoblos gambarnya di bilik suara, biasanya dilakukan banyak cara. Dari mengumbar
janji, sampai membagi sembako. Taktik yang sesekali ada namun sering dibantah
adalah praktik money politics.
Dari waktu ke waktu, data pemilih selalu berkembang. Ini hal
yang niscaya. Jumlah penduduk yang secara usia telah memiliki hak suara terus
bertambah. Demi hal itu, KPU melaksanakan program yang namanya Pemutakhiran
Data Pemilih Pemilu 2014.
Seminggu yang lalu,
malam selepas Isya’, datang petugas menempel sticker di kaca jendela rumah
saya. Sticker itu dilampiri secarik kertas berkop KPU dengan kode Model
A.A.1-KPU. Selain tertera nama Kepala Keluarga (KK), juga ada alamat domisili
lengkap nomor TPS tempat di mana nanti saya memberikan hak suara. Dan, tentu
saja, nama-nama anggota keluarga saya yang telah memilki hak suara.
Di rumah ini saya tinggal bersama istri dan dua anak yang masih
belum memiliki hak suara. Si sulung baru SMP, dan si kecil baru tiga setengah
tahun. Namun di sticker yang ditempel di kaca jendela itu, terdapat empat nama
yang memiliki hak suara. Selain nama saya dan istri, ada nama Joko Sumardi dan
Istianah yang saya tidak tahu dua orang itu siapa.
Mendapati hal itu, tentu saja saya langsung bertanya kepada petugas
yang memasang. Tapi apa jawabnya?
“Oh, maaf, Pak. Itu tadi saya keliru nulis. Tidak apa-apa, kok...”
terang Bapak petugas dengan enteng. Bagi saya, penjelasan itu sungguh tidak jelas.
Kalau memang salah nulis, kenapa tidak dihapus saja. Dan kemudian
saya dibuatkan formulir baru, sticker baru. Mendapati hal itu saya menjadi
punya pikiran buruk; jangan-jangan hal itu memang disengaja, dilakukan secara
sistematis. Titip nama untuk sebuah kepentingan entah apa. Yang terdekat tentu
agenda Pilgub Jatim, karena data itu dipakai juga untuk Pemilukada Jatim yang
tinggal sebentar lagi. Lalu, kalau iya itu disengaja, siapa yang mengambil
keuntungan dari praktik itu?
Wis-lah, saya
bukan orang politik, dan memikir itu membuat rambut saya makin rontok saja. Semoga
data itu belum final. Semoga masih ada tahapan berikutnya yang membuat niat
memelintir data mutakhir tidak bisa terjadi. Sehingga Pemilu (termasuk
Pemilukada) benar-benar jujur dan adil.
Saya harap Sampeyan
sependapat dengan saya.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar