SETIAP
kali 'pulkam' dan melintas di sekitaran SDN Mlokorejo 1, sebuah
rumah megah di seberang sekolah itu selalu membuncahkan kenangan. Di
situlah, tiga puluh tahun yang lalu, saya, kakak-adik dan orang tua
pernah tinggal. Tentu saja jalan aspalnya tak semulus sekarang, kalau
malam belum sebenderang sekarang (baca; aliran listrik belum ada),
dan rumah kami tentu bukan rumah yang megah itu.
Kalau
kemudian orang tua menjual sejengkal tanah yang hanya selebar lidah,
itu tentu ada alasannya. Yakni, dengan menjualnya, uang hasil
penjualan itu bisa dibelikan tanah dengan lebar berlipat ganda di
daerah yang agak ke dalam, agak jauh dari jalan raya. Tetapi bagi
saya, di bekas tanah kami itu, yang sekarang berdiri bangunan megah
itu, seperti tadi saya bilang, ada memori yang tak akan hilang.
Kala
itu, rumah kami hanyalah berdinding bambu, dengan jendela tanpa kaca.
Ada beberapa pohon jeruk keprok di depan rumah, dan juga beberapa
pohon nangka di belakang rumah. Satu lagi, ada bangunan musholla di
depan agak ke barat.
Musholla
itu buka 24 jam. (Ya, karena memang tidak ada pintunya.) Dengan letak
rumah kami yang persis berada di dekat jalan raya, menjadikan ada
saja orang yang memanfaatkan musholla itu. Untuk numpang sholat pada
waktu-waktu sholat, atau tempat menginap bagi yang kemalaman di
jalan.
Sebagai
yang tinggal di dekat jalan raya, saya juga hapal nama-nama orang
gila yang sering berjalan tak karuan tujuan. Kadang ke arah barat,
sore hari sudah balik ke timur. Sekarang ini, saat saya membuat tulisan ini, lamat-lamat saya juga
ingat wajah Pak Pingseng. Orang tua berkulit keriput yang saban hari
melintas di jalan raya membawa jepitan agak panjang terbuat dari
bambu. Orangnya lucu, adegan yang selalu diperagakan setiap kami,
anak-anak, mengikuti langkahnya, adalah; ia akan memijit hidungnya
dan menghisapnya sedemikian rupa, sampai kulit lubang hidungnya itu
kempis.
Itulah kenapa kami memangggilnya sebagai pak Pingseng. Ia orang waras, sekalipun saban hari menyusuri jalan adalah dalam rangka bekerja. Yakni sebagai pemulung puntung rokok. Entahlah, puntung rokok beragam merek itu disetorkannya kepada siapa dan akan dijadikan apa.
Itulah kenapa kami memangggilnya sebagai pak Pingseng. Ia orang waras, sekalipun saban hari menyusuri jalan adalah dalam rangka bekerja. Yakni sebagai pemulung puntung rokok. Entahlah, puntung rokok beragam merek itu disetorkannya kepada siapa dan akan dijadikan apa.
Lain
Pak Pingseng, lain pula Kitut. Dalam setiap perjalanannya ia selalu
seperti pengembara yang kelebihan barang bawaan. Dua-tiga buntalan
gombal amoh, plus satu alat musik yang tak pernah ketinggalan;
kentongan bambu. Sesekali ia berhenti di bawah rindangnya pohon asam
di pinggir jalan dan memukul kentongan sambil menyanyi. Ironisnya,
bunyi kentongan yang tak tentu nadanya itu, ditingkahi nyanyian yang
tak kalah abstraknya. Kasihan sekali, Kitut itu memang tuna wicara,
sekaligus tuna wicara.
Satu
lagi yang sering lewat, namanya Pak Thayib. Sekalipun tidak sedang
makan, mulutnya selalu tampak mengunyah. Dari sekian orang kurang
waras, hanya dia yang sesekali singgah di emperan musholla kami.
Suatu
pagi, ketika akan sholat subuh, ibu saya mendapati buah pepaya dengan
kulit ranum masak pohon ditumpuk sedemikian rupa di teras musholla.
Timbul pertanyaan, siapa gerangan yang meletakkannya disitu. Mungkin
awalnya ibu mencurigai saya dan teman-teman sebaya sebagai
pelakunya. Tetapi saya kira ibu paham, kami sehabis mengaji memang sering mencuri
buah-buahan di tegalan milik tetangga, tapi selalu buah curian itu akan kami
habiskan dalam sekali acara jamuan makan tengah malam.
Agak
siangan dikit, pak Thayib muncul dengan mulut mengunyah seperti
biasa.
“Sampeyan
mencuri pepaya ini dari mana? Balikin sana, jangan taruh
disini,” ibu langsung menuduh.
Dasar
nalarnya ambyar, dengan santai Pak Thayib menjawab, “Itu tadi malam
saya ambil dari depan rumah Pak Bagio Dalang. Salah sendiri, wong
pepaya sudah masak kok gak diunduh, ya saya unduh....” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar