Minggu, 30 Juni 2013

Logika Orang Gila

SETIAP kali 'pulkam' dan melintas di sekitaran SDN Mlokorejo 1, sebuah rumah megah di seberang sekolah itu selalu membuncahkan kenangan. Di situlah, tiga puluh tahun yang lalu, saya, kakak-adik dan orang tua pernah tinggal. Tentu saja jalan aspalnya tak semulus sekarang, kalau malam belum sebenderang sekarang (baca; aliran listrik belum ada), dan rumah kami tentu bukan rumah yang megah itu.

Kalau kemudian orang tua menjual sejengkal tanah yang hanya selebar lidah, itu tentu ada alasannya. Yakni, dengan menjualnya, uang hasil penjualan itu bisa dibelikan tanah dengan lebar berlipat ganda di daerah yang agak ke dalam, agak jauh dari jalan raya. Tetapi bagi saya, di bekas tanah kami itu, yang sekarang berdiri bangunan megah itu, seperti tadi saya bilang, ada memori yang tak akan hilang.

Kala itu, rumah kami hanyalah berdinding bambu, dengan jendela tanpa kaca. Ada beberapa pohon jeruk keprok di depan rumah, dan juga beberapa pohon nangka di belakang rumah. Satu lagi, ada bangunan musholla di depan agak ke barat.

Musholla itu buka 24 jam. (Ya, karena memang tidak ada pintunya.) Dengan letak rumah kami yang persis berada di dekat jalan raya, menjadikan ada saja orang yang memanfaatkan musholla itu. Untuk numpang sholat pada waktu-waktu sholat, atau tempat menginap bagi yang kemalaman di jalan.

Sebagai yang tinggal di dekat jalan raya, saya juga hapal nama-nama orang gila yang sering berjalan tak karuan tujuan. Kadang ke arah barat, sore hari sudah balik ke timur. Sekarang ini, saat saya membuat tulisan ini, lamat-lamat saya juga ingat wajah Pak Pingseng. Orang tua berkulit keriput yang saban hari melintas di jalan raya membawa jepitan agak panjang terbuat dari bambu. Orangnya lucu, adegan yang selalu diperagakan setiap kami, anak-anak, mengikuti langkahnya, adalah; ia akan memijit hidungnya dan menghisapnya sedemikian rupa, sampai kulit lubang hidungnya itu kempis.
Itulah kenapa kami memangggilnya sebagai pak Pingseng. Ia orang waras, sekalipun saban hari menyusuri jalan adalah dalam rangka bekerja. Yakni sebagai pemulung puntung rokok. Entahlah, puntung rokok beragam merek itu disetorkannya kepada siapa dan akan dijadikan apa.

Lain Pak Pingseng, lain pula Kitut. Dalam setiap perjalanannya ia selalu seperti pengembara yang kelebihan barang bawaan. Dua-tiga buntalan gombal amoh, plus satu alat musik yang tak pernah ketinggalan; kentongan bambu. Sesekali ia berhenti di bawah rindangnya pohon asam di pinggir jalan dan memukul kentongan sambil menyanyi. Ironisnya, bunyi kentongan yang tak tentu nadanya itu, ditingkahi nyanyian yang tak kalah abstraknya. Kasihan sekali, Kitut itu memang tuna wicara, sekaligus tuna wicara.

Satu lagi yang sering lewat, namanya Pak Thayib. Sekalipun tidak sedang makan, mulutnya selalu tampak mengunyah. Dari sekian orang kurang waras, hanya dia yang sesekali singgah di emperan musholla kami.

Suatu pagi, ketika akan sholat subuh, ibu saya mendapati buah pepaya dengan kulit ranum masak pohon ditumpuk sedemikian rupa di teras musholla. Timbul pertanyaan, siapa gerangan yang meletakkannya disitu. Mungkin awalnya ibu mencurigai saya dan teman-teman sebaya sebagai pelakunya. Tetapi saya kira ibu paham, kami sehabis mengaji memang sering mencuri buah-buahan di tegalan milik tetangga, tapi selalu buah curian itu akan kami habiskan dalam sekali acara jamuan makan tengah malam.

Agak siangan dikit, pak Thayib muncul dengan mulut mengunyah seperti biasa.

Sampeyan mencuri pepaya ini dari mana? Balikin sana, jangan taruh disini,” ibu langsung menuduh.

Dasar nalarnya ambyar, dengan santai Pak Thayib menjawab, “Itu tadi malam saya ambil dari depan rumah Pak Bagio Dalang. Salah sendiri, wong pepaya sudah masak kok gak diunduh, ya saya unduh....” *****

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar