DALAM lingkupnya, Mas Bendo itu
termasuk piawai memanfaatkan sesuatu. Secara ekonomi memang terbilang
bawah, tetapi secara pola pikir kadang terbilang wah. Contoh kecil
saja, seringkali pagi-pagi ia bertamu ke rumah Kang Karib pada saat
istri Kang Karib secara rutin membuatkan kopi untuk suaminya. Nah,
akan tidak elok tentu kalau si tamu (yang konon adalah raja) tidak
ikut juga dibuatkan secangkir kopi. Tetapi, ya itu tadi, Mas Bendo
itu kalaulah sebagai raja, adalah raja yang tipis sekali rasa
malunya. Nyaris saban pagi berlagu begitu demi secangkir kopi yang
gratisan.
Tidak hanya kopi, dalam bertamu di
pagi-pagi itu, ia juga numpang membaca koran yang dilanggani Kang
Karib. Dengan begitu, dalam sebulan ia telah berhemat ratusan ribu
rupiah. (perinciannya; tiga puluh cangkir kopi seharga duaribu rupiah
per cangkir, ditambah harga langganan koran). Sebagai sahabat, tentu
saja Kang Karib tidak sampai menghitung sedetail itu. Lagian juga
percuma. Lha wong Mas Bendo itu tipe orang yang dibakar tidak
kebakar, direndam tidak basah. Jan cuek-bebek pokoknya.
“Kalau disingkat, enaknya namaku itu
dijadikan apa ya, Kang,” setelah menyeruput kopi, dan masih sambil
membaca koran Mas Bendo nyeletuk.
“Disingkat bagaimana karepmu?”
tanya Kang Karib.
“Ya seperti Aburizal Bakrie yang
menjadi ARB itu lo, Kang. Dan ARB itu dipanjangkan lagi bukan menjadi
Aburizal Bakrie, tetapi Atap Rumah Bangsa. Begitu,” mas Bendo
menjelaskan.
“Wah, kalau begitu, namamu bila
disingkat menjadi BND,” mantap Kang Karib menjawab.
“Artinya, Kang?”
“Benalu Nebeng Doang...” seenaknya
Kang Karib memanjangkan.
Dasar ndablek, sama sekali Mas
Bendo tak tersinggung. Ia malah mengajak Kang Karib membahas
nama-nama tokoh yang belakangan ini sering disingkat sebagai inisial
saja.
“Dulu kan yang sering disebut sebagai
inisial kan cuma penjahat. Teroris, misalnya. Atau tersangka
koruptor. Lha sekarang semua. Artis, politikus pokoknya tak
terbatas profesi tertentu.”
“Iya, ya, nDo,” Kang Karib
menimpali. “Aburizal Bakrie itu dulu populer dengan panggilan Ical.
Tapi begitu ia menggebu mencalonkan diri sebagai presiden, dengan
sosialisasi di banyak media (medianya sendiri utamanya), ia
memproklamirkan diri sebagai ARB.”
“Aku tahu sebabnya, Kang,” potong
Mas Bendo. “Kalau tetap memakai Ical, itu terkesan kurang elok.
Apalagi bagi orang Jawa. Apalagi kalau kelak sungguh beliau terpilih
sebagai presiden kita. Akan terasa agak lucu bila ada orang bertanya
siapa presiden kita dan dijawab Ical. Karena ical itu, bagi orang
Jawa, artinya hilang. Mosok presiden kok sampai hilang, Paspampresnya
kemana saja?'
“Hust, hati-hati kalau bicara,
nDo. Bisa dijewer orang kamu kalau ngelantur keterlaluan begitu.”
Mas Bendo langsung diam, jan mak
cep-klakep. Tetapi diam di bibir belum tentu diam di dalam hati.
Pikirannya berlarian kemana-mana, mencari nama-nama. Dalam angannya,
Chaerul Tandjung itu di-inisialkan sebagai CT. Bukan tidak mungkin
kalau nyapres suatu hari anti, CT itu bukan lagi sebagai Chaerul
Tandjung, tapi Cerdas Tangkas, Cepat Tepat, atau Cekatan dan Terarah,
atau apalah. Pokoknya yang bagus-bagus. Bukankah hal ini telah
dicontohkan oleh pak Dahlan Iskan, bos Jawa Pos yang kini menjabat
menteri BUMN, yang tak keberatan namanya disingkat menjadi DI. Mas
Bendo ingat mobil listrik Tuxuci yang dikemudiakan Pak Dahlan dan
mengalami kecelakaan fatal beberapa waktu lalu. Plat nomor mobil
berwarna merah itu DI 19.
Apakah pak Dahlan baru akan nyapres di
tahun 2019 dan bukan di Pemilu 2014, otak Mas Bendo belum klik
sampai ke situ. Tetapi yang Mas Bendo tahu, inisial DI yang
jelas-jelas sebagai Dahlan Iskan, telah diartikan secara cantik
menjadi Demi Indonesia. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar