Rabu, 12 Juni 2013

Menjual Inisial

DALAM lingkupnya, Mas Bendo itu termasuk piawai memanfaatkan sesuatu. Secara ekonomi memang terbilang bawah, tetapi secara pola pikir kadang terbilang wah. Contoh kecil saja, seringkali pagi-pagi ia bertamu ke rumah Kang Karib pada saat istri Kang Karib secara rutin membuatkan kopi untuk suaminya. Nah, akan tidak elok tentu kalau si tamu (yang konon adalah raja) tidak ikut juga dibuatkan secangkir kopi. Tetapi, ya itu tadi, Mas Bendo itu kalaulah sebagai raja, adalah raja yang tipis sekali rasa malunya. Nyaris saban pagi berlagu begitu demi secangkir kopi yang gratisan.

Tidak hanya kopi, dalam bertamu di pagi-pagi itu, ia juga numpang membaca koran yang dilanggani Kang Karib. Dengan begitu, dalam sebulan ia telah berhemat ratusan ribu rupiah. (perinciannya; tiga puluh cangkir kopi seharga duaribu rupiah per cangkir, ditambah harga langganan koran). Sebagai sahabat, tentu saja Kang Karib tidak sampai menghitung sedetail itu. Lagian juga percuma. Lha wong Mas Bendo itu tipe orang yang dibakar tidak kebakar, direndam tidak basah. Jan cuek-bebek pokoknya.

“Kalau disingkat, enaknya namaku itu dijadikan apa ya, Kang,” setelah menyeruput kopi, dan masih sambil membaca koran Mas Bendo nyeletuk.

“Disingkat bagaimana karepmu?” tanya Kang Karib.

“Ya seperti Aburizal Bakrie yang menjadi ARB itu lo, Kang. Dan ARB itu dipanjangkan lagi bukan menjadi Aburizal Bakrie, tetapi Atap Rumah Bangsa. Begitu,” mas Bendo menjelaskan.

“Wah, kalau begitu, namamu bila disingkat menjadi BND,” mantap Kang Karib menjawab.

“Artinya, Kang?”

“Benalu Nebeng Doang...” seenaknya Kang Karib memanjangkan.

Dasar ndablek, sama sekali Mas Bendo tak tersinggung. Ia malah mengajak Kang Karib membahas nama-nama tokoh yang belakangan ini sering disingkat sebagai inisial saja.

“Dulu kan yang sering disebut sebagai inisial kan cuma penjahat. Teroris, misalnya. Atau tersangka koruptor. Lha sekarang semua. Artis, politikus pokoknya tak terbatas profesi tertentu.”

“Iya, ya, nDo,” Kang Karib menimpali. “Aburizal Bakrie itu dulu populer dengan panggilan Ical. Tapi begitu ia menggebu mencalonkan diri sebagai presiden, dengan sosialisasi di banyak media (medianya sendiri utamanya), ia memproklamirkan diri sebagai ARB.”

“Aku tahu sebabnya, Kang,” potong Mas Bendo. “Kalau tetap memakai Ical, itu terkesan kurang elok. Apalagi bagi orang Jawa. Apalagi kalau kelak sungguh beliau terpilih sebagai presiden kita. Akan terasa agak lucu bila ada orang bertanya siapa presiden kita dan dijawab Ical. Karena ical itu, bagi orang Jawa, artinya hilang. Mosok presiden kok sampai hilang, Paspampresnya kemana saja?'

Hust, hati-hati kalau bicara, nDo. Bisa dijewer orang kamu kalau ngelantur keterlaluan begitu.”

Mas Bendo langsung diam, jan mak cep-klakep. Tetapi diam di bibir belum tentu diam di dalam hati. Pikirannya berlarian kemana-mana, mencari nama-nama. Dalam angannya, Chaerul Tandjung itu di-inisialkan sebagai CT. Bukan tidak mungkin kalau nyapres suatu hari anti, CT itu bukan lagi sebagai Chaerul Tandjung, tapi Cerdas Tangkas, Cepat Tepat, atau Cekatan dan Terarah, atau apalah. Pokoknya yang bagus-bagus. Bukankah hal ini telah dicontohkan oleh pak Dahlan Iskan, bos Jawa Pos yang kini menjabat menteri BUMN, yang tak keberatan namanya disingkat menjadi DI. Mas Bendo ingat mobil listrik Tuxuci yang dikemudiakan Pak Dahlan dan mengalami kecelakaan fatal beberapa waktu lalu. Plat nomor mobil berwarna merah itu DI 19.

Apakah pak Dahlan baru akan nyapres di tahun 2019 dan bukan di Pemilu 2014, otak Mas Bendo belum klik sampai ke situ. Tetapi yang Mas Bendo tahu, inisial DI yang jelas-jelas sebagai Dahlan Iskan, telah diartikan secara cantik menjadi Demi Indonesia. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar