Senin, 30 November 2015

GlobalTV, Rusia vs Turki dan Kasus Setnov

DUA tetangga berjarak satu rumah di barat rumah saya meninggikan rumahnya menjadi dua lantai. Syukur alhamdulillah rezeki mereka berlimpah sehingga mampu membangun rumah lebih megah. Alhamdulilllahnya lagi, karenanya saya tak mungkin lagi main-main menembak Thaicom-5 untuk keluyuran menengok 'kebun kates' di satelit itu. Walau saya menjadi kurang bersyukur juga karena antena UHF saya ikutan terhalang tembok tinggi mereka.

Beberapa channel UHF menjadi kurang cling, tetapi masih bisa beralih ke Palapa-D atau Tekom-1 demi menyaksikan semua saluran televisi nasional. Kecuali GlobalTV (yang dua minggu ini sinyalnya pelit sekali) tempat Naruto beraksi mulai menjelang maghrib sampai hendak Isya'. Begitulah, jam segitu lazim dibilang jam utama, prime time. Prime time pula untuk melakukan hal yang lebih bermakna; menemani anak-anak belajar atau mengaji. Tetapi televisi menohok siapapun di jam berapapun dengan tayangan semau mereka dengan tanpa ampun. Pemirsa tak punya kuasa lebih besar kecuali meraih remote control dan mematikannya.

Makanya sama sekali saya tak menyesal manakala tak berhasil mendapatkan sinyal GlobalTV di Palapa-D. Dengan memakai 4 LNB, toh saya bisa melanglang angkasa mencari channel lain di satelit lainnya. Dan konsentrasi saya kini tertuju kepada Al Jazeera untuk mengetahui kabar terbaru kawasan Timur Tengah dan wilayah konflik lainnya di jazirah Arab dan sekitarnya.

Yang terbaru tentu gesekan tajam antara Turki dan Rusia setelah peristiwa penembakan Shukoi oleh F16 milik Turki. Saya bisa memantau reaksi keras Rusia via channel Russia Today (yang beberapa hari belakngan ini selalu menayangkan perkembangan peristiwa itu dalam Breaking News-nya –tentu dengan kacamata Rusia) tetapi tolong kasih tahu saya channel televisi Turki yang siaran FTA di satelit Asiasat5 atau Asiasat7. Perang terbuka secara dar-der-dor di medan sesungguhnya mungkin terjadi belakangan, tetapi biasanya perang (propaganda) di media (termasuk juga televisi) sebagai bumbu permulaan akan ditaburkan lebih dulu. Mengikuti berita itu tentu lebih 'asyik' ketimbang menyimak kasus Papa Minta Saham yang menyeret ketua DPR Setya Novanto. Menurut saya yang awam hukum ini, rasanya kasus itu makin hari makin mbulet saja dan bisa jadi akhirnya malah hilang ditelan berita banjir bandang yang acap terjadi di negeri ini pada musim hujan. *****

Senin, 23 November 2015

Makan Silet

SEBAGAI manusia berbulu, saya selalu mempunyai silet. Selain di rumah, di locker tempat kerja pun saya menyiapkan perlengkapan mencukur itu. Dua atau tiga hari tidak dikerok pakai silet, niscaya di dagu saya ini akan tumbuh subur 'duri-duri” nan tajam dan sekarang telah pula dwi warna; hitam dan ada pula yang putih.

Makanya saat ikut sebagai panitia penyembelihan hewan qurban, saya suka tersenyum ketika ada satu-dua orang yang mencari cacap (lendir yang diyakini bisa meneumbuhkan bulu) dari kambing untuk dioleskan ke dagu atau atas bibir. Lha wong saya yang sudah berbulu tanpa dicacap begini kadang suka kuwalahan mencukurnya, kok malah ada yang dirangsang agar tumbuh. Macam-macam saja orang-orang itu.

Suatu waktu, ketika sedang asyik mencukur jenggot pakai silet Tatra, datanglah seorang kawan. “Nanti setelah kau pakai, aku ambil ya siletnya?” pintanya.

Kawan saya itu tak berkumis, tak pula memelihara jenggot di dagu. Tetapi bukankah silet tak melulu bisa dipakai hanya untuk mencukur bulu, karena bisa juga kan ia dipakai untuk memotong kuku (kalau untuk tukang santet sih, konon benda tipis tajam itu juga bisa dimasukkan ke dalam perut orang yang dikehendaki)

Beberapa saat kemudian, selesailah saya menggunduli duri-duri yang tumbuh di pipi dan dagu. Ketika saya raba, kulit di dua tempat itu terasa kembali licin, walau akan kembali kasar hari-hari kemudian. Justru dari bulu yang selalu tumbuh itu pulalah pabrik pisau cukur tak akan tutup. Kalaulah mau pamer, tentu saya dan orang-orang berbulu lainnya sungguh besar sekali jasanya terhadap keberlangsungan hidup pabrik silet itu. 

Saya serahkan pisau silet yang masih menempel pada alat pencukur itu kepada teman yang sedari tadi menunggui. Saya perhatikan, ia keluarkan pisau silet itu, ia bersihkan dengan tissue. Lalu, lhadalah; ia mengeremusnya. Ada bunyi kriuk yang aneh ketika benda tajam itu ia kunyah. Edan tenan. 

Setahu saya, teman saya itu bukanlah pemain kuda lumping yang sesekali dalam atraksinya suka makan beling. Ia hanyalah juara pingpong tingkat desa, selain sebagai gitaris andalan grup musik dangdut dengan jadwal manggung hanya di acara tujuhbelasan di halaman balai desa kampung kami. Makanya saya heran sekali; dimana ia berguru sehingga menjadi sesakti ini?!

Saya hanya plonga-plongo saja menyaksikan ia mengunyah silet itu sampai lumer, lalu menelannya dengan santainya, sama sekali tak khawatir si silet itu merobek tenggorokan atau ususnya. 

Kamu pun bisa melakukannya,” katanya kemudian. 

Terbayang di kepala saya lelaku yang mesti dijalani demi bisa mempunyai kemampuan linuwih macam makan silet itu. Dan saya yang memang kurang meminati hal-hal demikian itu, belum-belum sudah memutuskan mengunyah keripik singkong tentu lebih masuk akal ketimbang mengunyah silet. 

Yang tadi aku lakukan itu sama sekali tak pakai mantra,” ia menjelaskan. “Yang penting yakin. Hal apa pun akan bisa tercapai asalkan yakin kita bisa melakukannya.”
oOo
Peristiwa itu terjadi sekian tahun yang lalu, dan saya tidak tahu apakah si teman itu sekarang sesekali masih suka mengunyah pisau silet ataukah sudah meningkat kemampuannya. Sudah doyan ngrikiti pisau dapur atau gobang, misalnya. Tetapi begini: enyahkanlah semua bayangan tentang makan aneka 'sajam', karena itu menakutkan. Kalimat terakhir yang ia ucapkan itu yang justru membuat ia bak seorang motivator saja. Atau dalam bahasa bos Go-Jek, “Semakin besar hambatan dan penolakan, biasanya ada peluang besar di baliknya,” demikian kata Nadiem Makarim. *****


Kamis, 19 November 2015

Suami Baru Istriku

BAGAIMANA cara istrimu memanggilmu? Njangkar dengan hanya menyebut namamu saja, atau Mas, atau Pa, atau Yah seperti caranya mengajari anak-anakmu dulu, tetapi terbawa sampai sekarang? Celakanya, selama sepuluh tahun pernikahanku dengan Rara belum juga kami dikaruniai momongan. Celaka lanjutannya, selain Rara memanggil njangkar sejak dulu kepadaku, jabatannya kini naik tinggi dengan kesibukan yang juga menggunung. Bukankah ketika gaji istrimu lebih tinggi darimu itu adalah juga sebuah kesialan yang nyata?

Rempeyek benar juga. Celotehnya suatu ketika, “Pilih istri itu jangan muluk-muluklah. Yang penting perempuan, yang penting punya lubang.”

Bengkel akan terasa sepi kalau Rempeyek sedang sakit gigi. Celetukannya ada saja. Juga tentang lubang itu. Ia bilang, lubang adalah isyarat ia bisa dimasuki, dinafjahi. “Kalau punya istri tapi buntu; apeslah suaminya. Mau dinafkahi bagaimana wong ia sudah bisa cari nafkah sendiri, malah bisa mendapat yang lebih besar dari gaji kita. Olala...”

Namanya Tifa, tetapi di sekujur wajahnya ada bintik-bintik sebesar kedelai yang membuatnya dipanggil Rempeyek. Dan ia tidak mempersoalkannya. Bahkan istrinya, yang menurutnya kecantikannya hanya dua tingkat di bawah kecantikan bidadari KW 3 itu, pun memanggilnya dengan 'Mas Peyek' sebagai panggilan sehari-hari.

Senin, 16 November 2015

Sudut Pandang: Lady Rockers

Mel Shandy sedang menyanyikan
salah satu hits-nya; Bianglala.
Foto-foto: ewe
TAHUN 80an sampai awal 90an adalah era dimana musik rock berjaya di Indonesia. Festival rock digelar dimana-mana dan dari ajang itu muncul grup atau penyanyi rock ternama. Kini, era dimana rock tak lagi secemerlang dulu, agak sulit rasanya sekadar untuk menyebut grup rock yang masih eksis, tentu saja selain God Bless yang melegenda.

Rock, dengan genre mulai metal sampai yang slow, makin jarang hadir di kuping lewat radio, misalnya. Bagi penyuka sejati, tentu saja masih menyimpan lagu-lagu cadas itu di file pribadi yang sesekali, ketika rindu, dinikmati sendiri. Dulu, Djarum dan Gudang Garam (sekadar menyebut nama sponsor) adalah merek yang sering menghadirkan pertunjukan tour musik rock di banyak kota.

Jumat, 13 November 2015

Ramuan Madura

AWAS, hati-hati kamu, calon suamimu itu orang Madura,” mertua saya (waktu itu masih berstatus sebagai calon) menasihati anaknya yang sekarang sudah sekian belas tahun menjadi istri saya.

Saya orang Jember dan sering ketika berkenalan dibilang, “Madura dong?” saat saya katakan asal daerah saya. Baiklah, tentu saya tak perlu ngotot mengatakan bahwa Jember itu bukan salah satu kabupaten di Madura. Jember ya Jember. Tetapi nasib sama barangkali juga menimpa orang dengan asal Bondowoso, Situbondo atau Pasuruan yang sering mendapat cap sebagai reng Madureh.

Jangankan di pulau Jawa atau seantero Indonesia yang selalu terdapat orang Madura, di tanah suci Mekah pun konon banyak sekali mukimin yang asal Madura. Inilah yang menyebabkan ada dua kelompok orang Madura; negeri dan swasta. Paling tidak demikian yang pernah saya baca dari artikel Mas Edi 'Akhiles' Mulyono yang ternyata selain berdarah Sumenep juga berdarah Jember. (Wah, boleh dong kalau saya anggap beliau sebagai tretan, saudara satu Jember?) Madura negeri adalah orang Madura yang lahir, besar dan bermukim di Madura sepanjang hayat dikandung badan. Sedang Madura swasta adalah orang Madura yang bermukim di luar pulau Madura sampai akhir hayat.

Di Jember, wabil khusus di desa asal saya, tidak seratus persen (keturunan) Madura. Dominasi tentu saja suku Jawa, sebagian berasal dari Ponorogo atau Mataraman. Tetapi dengan saban hari srawung (bergaul) dengan orang Madura yang masih menggunakan bahasa Madura, sedikit banyak ada juga pengaruhnya. Logat bicara, umpamanya. Di desa saya, walau bahasa sehari-hari yang dominan dipakai adalah bahasa Jawa, tetapi nadanya sudah lain dengan Jawa asli, Jawanya sudah tidak medok lagi, tetapi Jawa kagok. Sudah ada nada Maduranya.

Masih di desa saya, penduduk yang asal Madura terbagi di tenggara dan barat laut. Sementara yang di tengah, timur dan barat jan Jawa deles. Entah bagaimana dulu awal pembagian wilayahnya. Keuntungan ketika dulu saya bersekolah berbaur dengan teman-teman dari dusun Bregul dan Sembungan (wilayah dengan mayoritas keturunan Madura, tempat pondok pesantren Bustanul Ulum yang mayoritas santrinya berasal dari pulau Madura), adalah kami bisa secara alami saling belajar bahasa. Makanya tidak heran bila di kampung kami anak orang Jawa (seperti saya ini contohnya) bisa berbahasa Madura, pun demikian pula sebaliknya.

Bisa berbahasa lain tentu tak ada ruginya. Misalnya ketika saya melakukan transaksi membeli ikat pinggang atau mainan untuk anak saya dengan PKL di Surabaya ini, dengan menggunakan bahasa telok lemak, saya bisa mendapatkan harga yang wajar. Seorang Madura swasta asal Pasuruan yang tiap malam menjajakan jagung rebus di gang depan rumah, membungkus lima buah jagung rebus untuk uang limaribu rupiah yang saya bayarkan, padahal untuk orang lain ia menjual duaribu per buah, Mungkin dengan mengunakan bahasa mereka secara fasih, saya dianggap sebagai tretan dibik, saudara sendiri.

Selain ulet, pekerja keras, rajin dan teguh dalam pendirian, salah satu yang terkenal dari Madura adalah ramuannya. Ramuan Madura, Anda tentu pernah dengar dan saya pernah mencobanya. Saya dapati kopi adalah bahan utamanya. Padahal siapa pun tahu Madura bukanlah penghasil kopi. Tak masalah, yang penting khasiatnya, Bung!

Sekarang sedang hangat pembicaraan tentang Madura yang akan berdiri sebagai propinsi sendiri, melepaskan diri dari Jawa Timur. Sebuah wacana yang sangat tidak tabu dan tak perlu buru-buru dipandang sebagai kehendak yang agak anu. Coba, apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang Madura?

Maka, ketika mereka mempunyai ramuan rahasia agar sapi karapan bisa berlari kencang seperti kesetanan, bukan tidak mungkin para tokoh yang sedang menyusun pembentukan propinsi Madura ini juga telah menyiapkan ramuan khusus nan mujarab dan bukan sekadar ramuan oplosan yang memabukkan demi sekadar mengincar jabatan *****


Rabu, 11 November 2015

Brosur

'DIBANDING pasang iklan mini di koran, lebih manjur pakai brosur yang dimasukkan kotak surat di perumahan,” kata seorang kenalan yang biasa menangani floor drain buntu di tempat kerja saya. “Lebih mengena, dan saya justru sering dapat job dari cara itu,” imbuh lelaki gondrong yang selain menangani drain buntu dengan sistem tekan, juga mengajar musik di rumahnya ini.

Benar juga, sepertinga.

Buktinya, sering saya dapati penyebar brosur 'sedot WC' seenaknya menempelkannya di tiang telepon. Itu menawarkan menyedot kotoran dengan cara kotor. Tiang atau tembok menjadi kurang enak dipandang dengan aneka brosur yang ditempelkan sembarangan. Ada sih sekarang yang lebih sopan, menggantungkan brosur sedot WC dengan design agak cantik di pagar rumah lengkap dengan talinya; 'simpan brosur ini karena suatu saat Anda pasti membutuhkan' begitu pesannya lengkap dengan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Di depan toko ponsel yang baru buka di Rungkut Kidul, setiap kali saya melintas di depannya, selalu ada petugas yang membagikan brosur kepada siapapun pengendara yang lewat. Dan saya selalu mengambilnya. Pertimbangannya, si petugas itu bekerja. Semakin banyak brosur yang berhasil ia bagikan, siapa tahu ia mendapat poin plus dari majikannya sehingga bulan depan ia naik gajinya. Berkali-kali saya mengambil brosur dengan tawaran aneka smartphone terbaru dengan harga menarik, belum juga mampu membuat saya meninggalkan si Nokia jadul yang berlayar hitam-putih ini.

Di lampu merah Panjangjiwo, beberapa kali saya menerima brosur yang sama dari seorang gadis berjilbab dengan isi sama; program diet yang bisa menurunkan berat badan secara ajaib. Walau kalau bercermin saya sering mendapati perut saya makin buncit, saya tak tertarik mengikuti progran yang ditawarkan dalam brosur itu. Namun saya selalu mengambil kertas brosur itu untuk saya bawa pulang dan membuanganya ke tempat sampah. Saya kasihan kalau langsung membuangnya di jalan, setelah membaca sekilas sambil menunggu lampu menyala hijau, saya takut si gadis berjilbab itu tersinggung. (Entah ya, apa petugas pintu tol juga sempat tersinggung ketika karcis tol yang diberikan kepada pengemudi bersama uang kembalian, si pengemudi langsung membuang karcis itu di situ dan menjadikan pintu tol sering terlihat kotor oleh kertas putih yang beterbangan)

Di lampu merah aneka jasa atau barang yang ditawarkan lewat brosur. Mulai kredit motor, pinjaman dana, pengobatan alternatif yang mampu mengatahai 1001 penyakit sampai cara menambah penghasilan yang bisa dikerjakan di rumah dengan pendapatan per hari minimal 500 ribu rupiah. Sebagai janji, semua menggunakan kata yang menggiurkan. Entahlah, apakah si pembuat brosur itu meniru caleg, cabub, cagub atau capres ketika berkampanye, atau justru si caleg, cabub, cagub atau capres itu yang meniru para pembuat brosur itu dalam melontarkan janji. *****


Senin, 09 November 2015

Baju Pahlawan

Sumber ilustrasi foto: Google Images.
NIH lihat, Kang,” Mas Bendo menyodorkan ponselnya yang di layarnya sedang terpampang foto seorang anak berseragam doreng tentara, ”dedeg-piyadeg-nya jan pas tenan. Gagah tur nggantheng seperti aku, bapaknya.”

Weladhalah, itu foto anakmu to, nDo?”

Memangnya kenapa, Kang? Kok ada nada ngenyek pada pertanyaan Sampeyan? Apa gak boleh aku yang kerempeng nyengangik begini punya anak mbois?

Halah, jadi orang itu mbokya jangan sugetan to, nDo, nDo. Jangan gampang tersinggung begitu,” dasar Kang Karib, bisa saja ia membela diri. “Lagian, anakmu itu mau karnaval kemana to kok pakai baju tentara begitu?”

Sampeyan ini piye to, Kang? Besok kan Hari Pahlawan, dan dua hari ini anak-anak sekolah dianjurkan pakai pakaian pahlawan.”

Tetapi, nDo, apa semua pahlawan adalah tentara?” sanggah Kang Karib. “Atau, apakah jasad yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan semua adalah benar-benar pahlawan?”

Wikk, matek Mas Bendo mendapat pertanyaan itu dari Kang Karib. Daripada melakukan serangan balasan dengan jurus ngawur, ia ngowoh saja menunggu lanjutan kalimat Kang Karib. “Ya, namanya juga anak-anak. Bisa jadi mereka memakai seragam doreng di hari pahlawan sekadar ikut-ikutan teman. Nah, tugas guru-guru di sekolah yang harus bisa meluruskan. Bahwa, ya itu tadi; dulu para pejuang yang ikhlas mengangkat senjata untuk berjihad melawan penjajah bisa jadi hanya memakai baju seadanya. Cuma pakai kaus lusuh dan bercelana pendeklah, yang sarunganlah, dan sebangsanya. Kalau dalam film-film perjuangan, yang pakai baju doreng malah si Kompeni Belanda itu...”

Mas Bendo baru mingkem ketika seekor lalat hendak menclok di giginya, “Jadi apa salah anak-anak memakai baju doreng tentara di hari pahlawan ini, Kang?”

Ya enggaklah,” Kang Karib menjawab. “Cuma begini, nDo. Yang lebih utama itu bukan bajunya. Tetapi ruh-nya, semangatnya. Lha kalau cuma baju itu kan bungkusnya saja, ibarat ponsel, cuma casing-nya saja. Nah, selain guru, kita-kita sebagai orang tua yang magak ini (bagaimana gak magak? Lha wong ikut perang gak pernah, lahir procot sudah melihat Indonesia Raya yang begini ini) yang harus bisa menanamkan sifat patriotisme dan heroisme. Agar anak-anak kita mampu menang melawan penjajahan dan agresi model baru. Yang bukan memakai bedil sebagai senjatanya, tetapi isme-isme halus yang sedikit demi sedikit mampu membelokkan arah dan menjauhkan generasi negeri ini dari akar budayanya, dari akar kebangsaannya, dari kearifan lokalnya”


Wik, masak sampai segitunya, Kang?”

Dikandhani kok malah wik,” ujug-ujug Mbak Yu ikut nimbrung.

Kalau anak Sampeyan, tadi ke sekolah pakai baju doreng juga, Mbak Yu,” tanya Mas Bendo.

Aku setuju dengan pendapat Kang Karib yang tadi kukuping; bahwa, tidak semua pahlawan berbaju doreng.”

Lalu, anak Sampeyan pakai baju apa?”

Tadi ia pakai bajuku yang dulu sehari-hari kupakai saat aku bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Bukankah Sampeyan sering mendengar, para pejabat menyebut kaumku itu, kaum TKW itu juga sebagai pahlawah; pahlawan devisa.” *****



Kamis, 05 November 2015

Trotoar

SEORANG sahabat asal Trenggalek yang sudah sekian tahun tidak ke Surabaya menelepon dan bilang. “Pangling aku,” katanya. “jalan A Yani sekarang beranak; satu di timur, satunya lagi di barat.”

Ia berkata sedang di depan Giant Margorejo ketika menelepon itu. Baru tiba sorenya dari tanah leluhurnya di Mlinjon kecamatan Karangan sana, untuk bekerja di daerah Medokan Ayu, Surabaya.

Sebagaimana siapapun yang senang bisa bertemu lagi dengan sahabat lama, saya juga demikian adanya. Lebih senang lagi ketika ia bilang akan dolan ke rumah saya. Baiklah, janji telah dibuat dan ia datang sesuai janjinya itu dengan wajah yang masih sangat saya kenali; tubuh tinggi dengan rambut yang makin tidak kerasan tinggal di kepalanya.

Tekor aku,” katanya begitu duduk di ruang tamu rumah saya yang saking berkonsep minimalisnya sedari awal belum terisi kursi hingga sekarang, “belum-belum tadi sudah harus nyangoni polisi.”

Berceritalah ia tentang kronologinya; meluncur dari timur (arah UPN) langsung belok kanan di pertelon Rungkut. Seperti kutuk marani gepuk karena di sudut depan ada Pos Polisi. Seharusnya ia belok kiri dulu ke arah Rungkut Tengah baru balik kanan grak dan putar lagi ke kiri ke arah Rungkut Industri baru mlipir-mlipir putar balaik di depan Rungkut Jaya.

Nasi sudah menjadi bubur; tak ada surat tilang dan ia malah mempraktikan jurus Iwan Fals (♫♪...tawar menawar harga pas tancap gas ♪♫..). Ada getir dalam tawanya saat si sahabat itu bercerita. Tetapi saya mendapati kenyataan bahwa; sekalipun ia miskin rambut namun kaya tawa. Padahal, ia baru saja merogoh dompet demi melakukan ritual salam tempel kepada oknum polisi sejumlah uang setengah dari upahnya sebagai tukang batu yang ia dapat hari itu.

Orang susah yang gampang tertawa bisa jadi adalah orang yang relatif gampang bahagia. Jangankan punya tabungan berjuta-juta, punya beras dua kilogram untuk ditanak besok pagi saja sudah sedemikian senangnya.

Yang akhir-akhir ini membuat saya kurang senang adalah, jalanan Surabaya yang makin hari makin macet saja. Jalanan memang dulu terasa lebar, tetapi dengan jumlah kendaraan yang terus tumbuh dan serasa kurang dibarengi dengan makin memadainya insfrastruktur, membuat dimana-mana jalan terasa sempit. Dengan – seperti petikan syair lagu Bis Kota-nya Franky Sahilatua-- Surabaya yang panas, saya makin takut akan hilangnya senyum apalagi tawa orang-orang di jalan. Yang ada adalah wajah-wajah cemberut. Bisa dipahami, makin macet kondisi jalanan, makin berpeluang membuat ruwet isi pikiran yang pada akhirnya mengakibatkan matinya benih senyuman. Kalau senyuman sudah mati sebelum berkembang menjadi tawa, olala.. untuk bahagia makin rumit syarat dan ketentuan yang berlaku.

Jalan memang lebarnya masih segitu, tetapi tengoklah, di kota ini jalur pedestrian diperbaiki dan diperlebar. Setelah di bawahnya ditanami box culvert, di atasnya terhampar trotoar berkeramik dan lampu-lampu yang meneranginya di malam hari. Apa yang kurang dari Surabaya coba? Taman dengan aneka bunga di mana-mana, jalur bagi pajalan kaki dipercantik pula.

Ohya, Anda betul.
Yang kurang adalah para pejalan kaki yang memanfaatkan jalur pejalan kaki itu. Kenyataan yang sering didapati adalah, karena jalan untuk kendaraan macet, jadilah jalur pejalan kaki itu dimanfaatkan pula untuk lewat kendaraan.

Tempo hari saya temui sebuah angkot lyn DA (jurusan Darmo Permai-Pasat Atom) berjenis Suzuki Carry lewat trotoar dengan santainya karena jalan HR Muhammad sedang macet parah. Si Carry itu diikuti puluhan puluhan motor sebagai buntutnya dan si angkot dan para pemotor itu baru turun kembali ke jalan yang benar di sebelum pompa bensin seberang apartemen Taman Baverly.

Trotoar memang untuk jalur pejalan kaki, tetapi di Surabaya ini, si pejalan kaki itu kemana-mana selalu naik mobil atau motor dan menganggap motor atau mobil itu adalah kakinya. *****