Rabu, 04 November 2015

Suami yang Sholehah

JAM dinding di atas pintu, di sisi kiri meja kerja Mbak Yu, sudah menunjuk angka 8.13 dan Mas Bendo baru saja masuk dengan tergopoh-gopoh. Ini keterlambatan ke tiga dalam empat hari ini. Padahal, dalam perjalanan ke tempat kerja tadi, ia sudah memacu motornya dengan kecepatan 100 kilometer per dua jam. Lha iya to? Mana benar, coba, memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi di dalam kota begitu. Pertama karena aturan, kedua karena; mana bisa ngebut di tengah kepadatan kendaraan yang makin hari makin menumpuk di jalan raya.

Kejebak macet lagi, nDo?” sambil melintas di dekat Mas Bendo saat hendak menuju mesin fotokopi, Kang Karib bertanya.

Iya, Kang. Mana panas lagi,” Mas Bendo menjawab sambil menyalakan komputer.

Lagian, kalau sudah tahu jalanan makin hari makin macet,” Mbak Yu ikut menyahut, “ lebih dipagikan lagi dong berangkatnya.”

Namanya juga punya balita, Mbak,” elak Mas Bendo, “memandikan, nyuapin sarapan, ngantar ke rumah yang momong. Hitung coba, berapa waktu yang mesti dibutuhkan?”

Itu kan tugas ibunya?”

Nah, ini, begini ini kalau Sampeyan belum punya baby plus harus pula sebagai wanita pekerja. Ngomongnya gampang, ngelakoninya itu yang tak mudah. Dengerin ya, Mbak, istri saya itu tempat kerjanya juauh, dan jam setengah enam sudah harus di pinggir jalan karena mobil penjemputnya lewatnya jam segitu. Telat dikit bisa ditinggal.”

Enak wanita zaman dulu ya kalau begitu,” Mbak Yu kembali menyulut alasan, “cakupan tugasnya lebih sempit; dapur, kasur, sumur”.

Wah, bisa dimarahin Ibu Kartini kalau kamu punya prinsip begitu, Yu,” Kang Karib menimpali.

Marah bagaimana, Kang? Apa aku salah?”

“Nggak
sih, Mbak Yu,” Mas Bendo yang nyahut. “Cuma kurang komplet, kurang konkret; kalau punya prinsip itu ya harus sesuai antara perkataan dan perbuatan.”

Maksud Sampeyan piye, Mas?”

Hambok sana, kalau keukeuh wanita itu cuma ngurusi dapur, kasur dan sumur, ya ndak usah kerja disini. Lak beres to?”

Halah, Mas, Mas. Gitu aja nesu, purik.”

Ya ndak purik, Mbak Yu. Cuma mendudukkan perkara pada takarannya. Bahwa kalau aku sudah kaya raya, sugih bandha sugih donya, ya ndak mungkinlah aku mengijinkan istriku ikut kethayalan mencari nafkah. Bagaimanapun tugas menafkahi keluarga adalah ada di pundak suami. Tetapi karena suatu keadaan istri ikut membantu, apa itu tidak boleh? Juga, kalau karena istri sibuk kerja, pada saat-saat tertentu apa juga dilarang suami yang memasak, cuci piring, nyeterika dan atau momong anak?”

Wih, lincip sekali bicaramu, nDo?” Kang Karib berusaha mencairkan obrolan pagi yang terasa terlalu hangat itu. “Sudahlah, ayo kita sekarang kerja. Jangan khawatir; sebelepotan apapun sesekali suami mengerjakan tugas dan pekerjaan istri, nggak mungkinlah ia berjuluk suami yang sholehah. Ia tetaplah suami sholeh bagi istrinya yang moga-moga sholehah.” *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar