JAM
dinding di atas pintu, di sisi kiri meja kerja Mbak Yu, sudah
menunjuk angka 8.13 dan Mas Bendo baru saja masuk dengan
tergopoh-gopoh. Ini keterlambatan ke tiga dalam empat hari ini.
Padahal, dalam perjalanan ke tempat kerja tadi, ia sudah memacu
motornya dengan kecepatan 100 kilometer per dua jam. Lha
iya to?
Mana benar, coba, memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi di dalam
kota begitu. Pertama karena aturan, kedua karena; mana bisa ngebut di
tengah kepadatan kendaraan yang makin hari makin menumpuk di jalan
raya.
“Kejebak
macet lagi, nDo?” sambil melintas di dekat Mas Bendo saat hendak
menuju mesin fotokopi, Kang Karib bertanya.
“Iya,
Kang. Mana panas lagi,” Mas Bendo menjawab sambil menyalakan
komputer.
“Lagian,
kalau sudah tahu jalanan makin hari makin macet,” Mbak Yu ikut
menyahut, “ lebih dipagikan lagi dong
berangkatnya.”
“Namanya
juga punya balita, Mbak,” elak Mas Bendo, “memandikan, nyuapin
sarapan, ngantar ke rumah yang momong. Hitung coba, berapa waktu yang
mesti dibutuhkan?”
“Itu
kan tugas ibunya?”
“Nah,
ini, begini ini kalau Sampeyan
belum punya baby
plus harus pula sebagai wanita pekerja. Ngomongnya gampang,
ngelakoninya itu yang tak mudah. Dengerin ya, Mbak, istri saya itu
tempat kerjanya juauh, dan jam setengah enam sudah harus di pinggir
jalan karena mobil penjemputnya lewatnya jam segitu. Telat dikit bisa
ditinggal.”
“Enak
wanita zaman dulu ya kalau begitu,” Mbak Yu kembali menyulut
alasan, “cakupan tugasnya lebih sempit; dapur, kasur, sumur”.
“Wah,
bisa dimarahin Ibu Kartini kalau kamu punya prinsip begitu, Yu,”
Kang Karib menimpali.
“Marah
bagaimana, Kang? Apa aku salah?”
“Nggak sih, Mbak Yu,” Mas Bendo yang nyahut. “Cuma kurang komplet, kurang konkret; kalau punya prinsip itu ya harus sesuai antara perkataan dan perbuatan.”
“Nggak sih, Mbak Yu,” Mas Bendo yang nyahut. “Cuma kurang komplet, kurang konkret; kalau punya prinsip itu ya harus sesuai antara perkataan dan perbuatan.”
“Maksud
Sampeyan
piye,
Mas?”
“Hambok
sana, kalau keukeuh
wanita itu cuma ngurusi dapur, kasur dan sumur, ya ndak
usah kerja disini. Lak
beres to?”
“Halah,
Mas, Mas. Gitu aja nesu,
purik.”
“Ya
ndak
purik,
Mbak Yu. Cuma mendudukkan perkara pada takarannya. Bahwa kalau aku
sudah kaya raya, sugih
bandha sugih donya,
ya ndak
mungkinlah aku mengijinkan istriku ikut kethayalan
mencari nafkah. Bagaimanapun tugas menafkahi keluarga adalah ada di
pundak suami. Tetapi karena suatu keadaan istri ikut membantu, apa
itu tidak boleh? Juga, kalau karena istri sibuk kerja, pada saat-saat
tertentu apa juga dilarang suami yang memasak, cuci piring, nyeterika
dan atau momong anak?”
“Wih,
lincip
sekali bicaramu, nDo?” Kang Karib berusaha mencairkan obrolan pagi
yang terasa terlalu hangat itu. “Sudahlah, ayo kita sekarang kerja.
Jangan khawatir; sebelepotan apapun sesekali suami mengerjakan tugas
dan pekerjaan istri, nggak mungkinlah ia berjuluk suami yang
sholehah. Ia tetaplah suami sholeh bagi istrinya yang moga-moga sholehah.”
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar