BAGAIMANA
cara istrimu memanggilmu? Njangkar
dengan hanya menyebut namamu saja, atau Mas, atau Pa, atau Yah
seperti caranya mengajari anak-anakmu dulu, tetapi terbawa sampai
sekarang? Celakanya, selama sepuluh tahun pernikahanku dengan Rara
belum juga kami dikaruniai momongan. Celaka lanjutannya, selain Rara
memanggil njangkar
sejak dulu kepadaku, jabatannya kini naik tinggi dengan kesibukan
yang juga menggunung. Bukankah ketika gaji istrimu lebih tinggi
darimu itu adalah juga sebuah kesialan yang nyata?
Rempeyek
benar juga. Celotehnya suatu ketika, “Pilih istri itu jangan
muluk-muluklah. Yang penting perempuan, yang penting punya lubang.”
Bengkel
akan terasa sepi kalau Rempeyek sedang sakit gigi. Celetukannya ada
saja. Juga tentang lubang itu. Ia bilang, lubang adalah isyarat ia
bisa dimasuki, dinafjahi. “Kalau punya istri tapi buntu; apeslah
suaminya. Mau dinafkahi bagaimana wong
ia sudah bisa cari nafkah sendiri, malah bisa mendapat yang lebih
besar dari gaji kita. Olala...”
Namanya
Tifa, tetapi di sekujur wajahnya ada bintik-bintik sebesar kedelai
yang membuatnya dipanggil Rempeyek. Dan ia tidak mempersoalkannya.
Bahkan istrinya, yang menurutnya kecantikannya hanya dua tingkat di
bawah kecantikan bidadari KW 3 itu, pun memanggilnya dengan 'Mas
Peyek' sebagai panggilan sehari-hari.
Ponselku
berdering berbarengan dengan Rempeyek menghidupkan mesin mobil untuk
menjajal hasil kerjanya sejak kemarin sore. Aku meninggalkan ruang
yang mulai terdengar bising oleh derum mesin mobil tua itu dan masuk
ke ruanganku yang hanya berbatas kaca dengan ruang bengkel. Pendingin
ruang yang ada di belakang mejaku meniup tengkukku. “Halo?”
sapaku kepada istriku.
“Seperti
aku bilang semalam,” suara Rara dari seberang sana, “aku jadi gak
pulang malam ini. Bu Farah ingin aku meng-handle
calon customer
kelas kakap yang kuceritakan tadi malam. Doakan goal
ya, Rindang.”
Tiada
malam Minggu bagi kami. Paling tidak sejak Rara diangkat sebagai
manager
marketing oleh
Bu Farah. Bos perempuan yang kalaulah engkau rajin membaca koran,
wajahnya sering kau temui muncul dalam iklan halaman depan edisi
Sabtu sebagai Ratu Property kota ini. Topi perlu diangkat
tinggi-tinggi untuk perempuan yang punya prestasi tinggi. Tetapi
begini; bila ada adagium yang mengatakan selalu ada wanita hebat di
balik prestasi seorang laki-laki, sebaliknya; niscaya ada laki-laki
nelangsa di belakang perempuan yang selalu berpikir hal utama dalam
hidupnya hanyalah karir.
Dulu
Rara itu hanyalah seorang resepsionis sebuah hotel bintang tiga saat
menikah denganku dan aku sudah menjadi kepala bengkel di sini. Roda
yang berputar mengantar Rara pindah ke hotel bintang lima di tengah
kota (sementara karirku hanya mentok di kepala bengkel karena tak
mungkin aku mengganti posisi Pak Gedhe sebagai owner).
Hanya dua tahun disitu ia pindah lagi sebagai staff marketing di
perusahaan Bu Farah, sebuah perusahaan propety pendatang baru tetapi
dengan agresifitas dan modal tinggi. Buktinya, kelilinglah di kota
ini, gedung apartemen milik Bu Farah menjamur di sekujur tubuh kota;
di tengah, di selatan, utara, barat, semua ada. Malah, yang ia akan
bangun di timur, tepat di nol jalan (yang kalau lurus orang akan bisa
langsung menyeberang pulau lewat jembatan terpanjang di negeri ini,
yang di pulau itu kelak akan dibuka kawasan industri dan para bos
tentu butuh tempat tinggal yang nyaman, dan peluang itu sudah
ditangkap insting bisnis Bu Farah) sebuah super blok dengan luas
berhektar-hektar akan berdiri megah.
Benar,
dengan tanggung jawab yang dipikul setara jumlah gedung yang ada,
dompetku menjadi bukan apa-apa dibanding pendapatan Rara. Karena
bukankah hanya bos goblok yang ikhlas menggaji karyawan melebihi
tanggung jawab yang ditimpakan kepadamu. Berbahagialah bila engkau
mendapatkan bos yang tolol, tetapi itu tentu tak akan mungkin
terjadi.
Kalau
dihitung, baru enam tahun ini perjalanan karir Rara melesat begitu
dan angin efek dari ngebut itu mulai terasa. Yang termasuk kuat
menghembus dadaku adalah ketika setahun yang lalu tiba-tiba ia
mengajakku pindah rumah. Ya, ia membeli rumah yang secara ukuran dua
kali lebih besar dari rumah yang kami beli dari patungan gajiku dan
gajinya sebagai uang muka berlanjut patungan lagi dalam membayar
angsuran bulanannya. Yang setahun sebelum angsuran selesai, tanpa
lebih dulu bilang kepadaku ia telah menyelesaikannya. “Agar kita
tak kepikiran membayar angsuran bulanannya,” Rara bicara tanpa rasa
bersalah.
Bersalah?
Iya. Aku suaminya dan aku tidak diajak bicara urusan yang secara
prosentase kudunya aku yang lebih berperan menyelesaikannya, apa itu
bukan melangkahi laki-laki namanya?
Kalau
mulutku ini seperti punya Rempeyek, tentu sudah keluar dari situ
anjing, kecoak, babi dan segala isi hutan. Tetapi beruntung aku sejak
kecil tidak diajari dan tidak biasa mengumpat. Aku telan semuanya
dengan begitu saja.
Silakan.
Silakan saja engkau mengataiku sebagai suami melempem, terlalu nerimo
dan kurang galak. Istri itu, sebetapa pun ia mempunyai pendapatan
lebih dibanding suaminya, harus tetap sadar bahwa ia adalah istri.
Secara kodrat ia harus tetap di belakang, tidak boleh over
laping.
Istri itu sesekali perlu dikasar juga, biar tidak nglamak.
Itu
pertama.
Kedua;
masa kamu kalah sama tupai. Iya tupai. Masih kamu ingat kan
ada pepatah yang mengatakan sepandai-pandainya tupai melompat pasti
jatuh juga. (Hei, tunggu dulu, jangan keburu kau sangkal.) Dan
sejatuh-jatuhnya tupai, pasti ia akan melompat lagi.
“Apa
aku harus meninggalkannya, sementara bisa jadi ia sangat mencintaiku
tetapi dengan cara berbeda?”
“Tidak
berbeda, di dunia ini semua perempuan tabiatnya sama.”
Kukibaskan
lamunan itu, yang mengiang-ngiang seperti suara seruling bernada
sumbang. Tetapi, sekeras apa pun ia kulemparkan, lamunan itu kembali
lagi dengan kekuatan lebih besar dan ia datang menjelma menjadi
kecurigaan-kecurigaan; Rara sering meeting
bahkan sampai ke luar kota atau kalau tidak, ia melakukannya di
hotel-hotel di dalam kota juga entah dengan siapa.
Oh,
wajar kan
kalau aku cemburu; Rara istriku, dan aku adalah suaminya. Apa itu
salah? Tentu aku merasa tidak bersalah. Yang sedang sangat kusalahkan
adalah Rara yang belakangan ini kurang menganggap aku, suaminya, dan
diam-diam kuduga punya suami lain. Suami baru yang lebih mempunyai
masa depan. Ya, mobil hadiah dari bosnya itu, gadget
merek terkenal type terbaru yang saban waktu ia tutal-tutul
(walau itu bisa jadi selalu untuk urusan kerja, tetapi sudah cukup
membuat aku makin merasa selalu diduakannya) dan segala kesibukannya
itu, adalah suaminya yang baru yang setiap waktu ia cumbui
sampai-sampai kurasakan ia tak butuh lagi diriku.
Baiklah,
sekarang aku sedang mempertimbangkan sebuah keputusan penting tentang
hubungan kami. Tetap begini dengan dada dan hati serasa diinjak-injak
saban hari, atau segera membuat selembar surat untuk kusodorkan
kepada Rara besok malam ketika ia pulang ke rumah. Isinya; mulai
tanggal satu bulan depan, aku mengajukan resign
dari jabatanku sebagai suaminya! *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar