Kamis, 19 November 2015

Suami Baru Istriku

BAGAIMANA cara istrimu memanggilmu? Njangkar dengan hanya menyebut namamu saja, atau Mas, atau Pa, atau Yah seperti caranya mengajari anak-anakmu dulu, tetapi terbawa sampai sekarang? Celakanya, selama sepuluh tahun pernikahanku dengan Rara belum juga kami dikaruniai momongan. Celaka lanjutannya, selain Rara memanggil njangkar sejak dulu kepadaku, jabatannya kini naik tinggi dengan kesibukan yang juga menggunung. Bukankah ketika gaji istrimu lebih tinggi darimu itu adalah juga sebuah kesialan yang nyata?

Rempeyek benar juga. Celotehnya suatu ketika, “Pilih istri itu jangan muluk-muluklah. Yang penting perempuan, yang penting punya lubang.”

Bengkel akan terasa sepi kalau Rempeyek sedang sakit gigi. Celetukannya ada saja. Juga tentang lubang itu. Ia bilang, lubang adalah isyarat ia bisa dimasuki, dinafjahi. “Kalau punya istri tapi buntu; apeslah suaminya. Mau dinafkahi bagaimana wong ia sudah bisa cari nafkah sendiri, malah bisa mendapat yang lebih besar dari gaji kita. Olala...”

Namanya Tifa, tetapi di sekujur wajahnya ada bintik-bintik sebesar kedelai yang membuatnya dipanggil Rempeyek. Dan ia tidak mempersoalkannya. Bahkan istrinya, yang menurutnya kecantikannya hanya dua tingkat di bawah kecantikan bidadari KW 3 itu, pun memanggilnya dengan 'Mas Peyek' sebagai panggilan sehari-hari.


Ponselku berdering berbarengan dengan Rempeyek menghidupkan mesin mobil untuk menjajal hasil kerjanya sejak kemarin sore. Aku meninggalkan ruang yang mulai terdengar bising oleh derum mesin mobil tua itu dan masuk ke ruanganku yang hanya berbatas kaca dengan ruang bengkel. Pendingin ruang yang ada di belakang mejaku meniup tengkukku. “Halo?” sapaku kepada istriku.

Seperti aku bilang semalam,” suara Rara dari seberang sana, “aku jadi gak pulang malam ini. Bu Farah ingin aku meng-handle calon customer kelas kakap yang kuceritakan tadi malam. Doakan goal ya, Rindang.”

Tiada malam Minggu bagi kami. Paling tidak sejak Rara diangkat sebagai manager marketing oleh Bu Farah. Bos perempuan yang kalaulah engkau rajin membaca koran, wajahnya sering kau temui muncul dalam iklan halaman depan edisi Sabtu sebagai Ratu Property kota ini. Topi perlu diangkat tinggi-tinggi untuk perempuan yang punya prestasi tinggi. Tetapi begini; bila ada adagium yang mengatakan selalu ada wanita hebat di balik prestasi seorang laki-laki, sebaliknya; niscaya ada laki-laki nelangsa di belakang perempuan yang selalu berpikir hal utama dalam hidupnya hanyalah karir.

Dulu Rara itu hanyalah seorang resepsionis sebuah hotel bintang tiga saat menikah denganku dan aku sudah menjadi kepala bengkel di sini. Roda yang berputar mengantar Rara pindah ke hotel bintang lima di tengah kota (sementara karirku hanya mentok di kepala bengkel karena tak mungkin aku mengganti posisi Pak Gedhe sebagai owner). Hanya dua tahun disitu ia pindah lagi sebagai staff marketing di perusahaan Bu Farah, sebuah perusahaan propety pendatang baru tetapi dengan agresifitas dan modal tinggi. Buktinya, kelilinglah di kota ini, gedung apartemen milik Bu Farah menjamur di sekujur tubuh kota; di tengah, di selatan, utara, barat, semua ada. Malah, yang ia akan bangun di timur, tepat di nol jalan (yang kalau lurus orang akan bisa langsung menyeberang pulau lewat jembatan terpanjang di negeri ini, yang di pulau itu kelak akan dibuka kawasan industri dan para bos tentu butuh tempat tinggal yang nyaman, dan peluang itu sudah ditangkap insting bisnis Bu Farah) sebuah super blok dengan luas berhektar-hektar akan berdiri megah.

Benar, dengan tanggung jawab yang dipikul setara jumlah gedung yang ada, dompetku menjadi bukan apa-apa dibanding pendapatan Rara. Karena bukankah hanya bos goblok yang ikhlas menggaji karyawan melebihi tanggung jawab yang ditimpakan kepadamu. Berbahagialah bila engkau mendapatkan bos yang tolol, tetapi itu tentu tak akan mungkin terjadi.

Kalau dihitung, baru enam tahun ini perjalanan karir Rara melesat begitu dan angin efek dari ngebut itu mulai terasa. Yang termasuk kuat menghembus dadaku adalah ketika setahun yang lalu tiba-tiba ia mengajakku pindah rumah. Ya, ia membeli rumah yang secara ukuran dua kali lebih besar dari rumah yang kami beli dari patungan gajiku dan gajinya sebagai uang muka berlanjut patungan lagi dalam membayar angsuran bulanannya. Yang setahun sebelum angsuran selesai, tanpa lebih dulu bilang kepadaku ia telah menyelesaikannya. “Agar kita tak kepikiran membayar angsuran bulanannya,” Rara bicara tanpa rasa bersalah.

Bersalah? Iya. Aku suaminya dan aku tidak diajak bicara urusan yang secara prosentase kudunya aku yang lebih berperan menyelesaikannya, apa itu bukan melangkahi laki-laki namanya?

Kalau mulutku ini seperti punya Rempeyek, tentu sudah keluar dari situ anjing, kecoak, babi dan segala isi hutan. Tetapi beruntung aku sejak kecil tidak diajari dan tidak biasa mengumpat. Aku telan semuanya dengan begitu saja.

Silakan. Silakan saja engkau mengataiku sebagai suami melempem, terlalu nerimo dan kurang galak. Istri itu, sebetapa pun ia mempunyai pendapatan lebih dibanding suaminya, harus tetap sadar bahwa ia adalah istri. Secara kodrat ia harus tetap di belakang, tidak boleh over laping. Istri itu sesekali perlu dikasar juga, biar tidak nglamak. Itu pertama. Kedua; masa kamu kalah sama tupai. Iya tupai. Masih kamu ingat kan ada pepatah yang mengatakan sepandai-pandainya tupai melompat pasti jatuh juga. (Hei, tunggu dulu, jangan keburu kau sangkal.) Dan sejatuh-jatuhnya tupai, pasti ia akan melompat lagi.

Apa aku harus meninggalkannya, sementara bisa jadi ia sangat mencintaiku tetapi dengan cara berbeda?”

Tidak berbeda, di dunia ini semua perempuan tabiatnya sama.”

Kukibaskan lamunan itu, yang mengiang-ngiang seperti suara seruling bernada sumbang. Tetapi, sekeras apa pun ia kulemparkan, lamunan itu kembali lagi dengan kekuatan lebih besar dan ia datang menjelma menjadi kecurigaan-kecurigaan; Rara sering meeting bahkan sampai ke luar kota atau kalau tidak, ia melakukannya di hotel-hotel di dalam kota juga entah dengan siapa.

Oh, wajar kan kalau aku cemburu; Rara istriku, dan aku adalah suaminya. Apa itu salah? Tentu aku merasa tidak bersalah. Yang sedang sangat kusalahkan adalah Rara yang belakangan ini kurang menganggap aku, suaminya, dan diam-diam kuduga punya suami lain. Suami baru yang lebih mempunyai masa depan. Ya, mobil hadiah dari bosnya itu, gadget merek terkenal type terbaru yang saban waktu ia tutal-tutul (walau itu bisa jadi selalu untuk urusan kerja, tetapi sudah cukup membuat aku makin merasa selalu diduakannya) dan segala kesibukannya itu, adalah suaminya yang baru yang setiap waktu ia cumbui sampai-sampai kurasakan ia tak butuh lagi diriku.

Baiklah, sekarang aku sedang mempertimbangkan sebuah keputusan penting tentang hubungan kami. Tetap begini dengan dada dan hati serasa diinjak-injak saban hari, atau segera membuat selembar surat untuk kusodorkan kepada Rara besok malam ketika ia pulang ke rumah. Isinya; mulai tanggal satu bulan depan, aku mengajukan resign dari jabatanku sebagai suaminya! *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar