“AWAS,
hati-hati kamu, calon suamimu itu orang Madura,” mertua saya (waktu
itu masih berstatus sebagai calon) menasihati anaknya yang sekarang
sudah sekian belas tahun menjadi istri saya.
Saya
orang Jember dan sering ketika berkenalan dibilang, “Madura dong?”
saat saya katakan asal daerah saya. Baiklah, tentu saya tak perlu
ngotot mengatakan bahwa Jember itu bukan salah satu kabupaten di
Madura. Jember ya Jember. Tetapi nasib sama barangkali juga menimpa
orang dengan asal Bondowoso, Situbondo atau Pasuruan yang sering
mendapat cap sebagai reng
Madureh.
Jangankan
di pulau Jawa atau seantero Indonesia yang selalu terdapat orang
Madura, di tanah suci Mekah pun konon banyak sekali mukimin
yang asal Madura. Inilah yang menyebabkan ada dua kelompok orang
Madura; negeri dan swasta. Paling tidak demikian yang pernah saya
baca dari artikel Mas Edi 'Akhiles' Mulyono yang ternyata selain
berdarah Sumenep juga berdarah Jember. (Wah, boleh dong kalau saya
anggap beliau sebagai tretan,
saudara satu Jember?) Madura negeri adalah orang Madura yang lahir,
besar dan bermukim di Madura sepanjang hayat dikandung badan. Sedang
Madura swasta adalah orang Madura yang bermukim di luar pulau Madura
sampai akhir hayat.
Di
Jember, wabil
khusus
di desa asal saya, tidak seratus persen (keturunan) Madura. Dominasi
tentu saja suku Jawa, sebagian berasal dari Ponorogo atau Mataraman.
Tetapi dengan saban hari srawung
(bergaul) dengan orang Madura yang masih menggunakan bahasa Madura,
sedikit banyak ada juga pengaruhnya. Logat bicara, umpamanya. Di desa
saya, walau bahasa sehari-hari yang dominan dipakai adalah bahasa
Jawa, tetapi nadanya sudah lain dengan Jawa asli, Jawanya sudah tidak
medok lagi, tetapi Jawa kagok. Sudah ada nada Maduranya.
Masih
di desa saya, penduduk yang asal Madura terbagi di tenggara dan barat
laut. Sementara yang di tengah, timur dan barat jan
Jawa deles.
Entah bagaimana dulu awal pembagian wilayahnya. Keuntungan ketika
dulu saya bersekolah berbaur dengan teman-teman dari dusun Bregul dan
Sembungan (wilayah dengan mayoritas keturunan Madura, tempat pondok
pesantren Bustanul Ulum yang mayoritas santrinya berasal dari pulau
Madura), adalah kami bisa secara alami saling belajar bahasa. Makanya
tidak heran bila di kampung kami anak orang Jawa (seperti saya ini
contohnya) bisa berbahasa Madura, pun demikian pula sebaliknya.
Bisa
berbahasa lain tentu tak ada ruginya. Misalnya ketika saya melakukan
transaksi membeli ikat pinggang atau mainan untuk anak saya dengan
PKL di Surabaya ini, dengan menggunakan bahasa telok
lemak, saya
bisa mendapatkan harga yang wajar. Seorang Madura swasta asal
Pasuruan yang tiap malam menjajakan jagung rebus di gang depan rumah,
membungkus lima buah jagung rebus untuk uang limaribu rupiah yang
saya bayarkan, padahal untuk orang lain ia menjual duaribu per buah,
Mungkin dengan mengunakan bahasa mereka secara fasih, saya dianggap
sebagai tretan
dibik,
saudara sendiri.
Selain
ulet, pekerja keras, rajin dan teguh dalam pendirian, salah satu yang
terkenal dari Madura adalah ramuannya. Ramuan Madura, Anda tentu
pernah dengar dan saya pernah mencobanya. Saya dapati kopi adalah
bahan utamanya. Padahal siapa pun tahu Madura bukanlah penghasil
kopi. Tak masalah, yang penting khasiatnya, Bung!
Sekarang
sedang hangat pembicaraan tentang Madura yang akan berdiri sebagai
propinsi sendiri, melepaskan diri dari Jawa Timur. Sebuah wacana yang
sangat tidak tabu dan tak perlu buru-buru dipandang sebagai kehendak
yang agak anu.
Coba, apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang Madura?
Maka,
ketika mereka mempunyai ramuan rahasia agar sapi karapan bisa berlari
kencang seperti kesetanan, bukan tidak mungkin para tokoh yang sedang
menyusun pembentukan propinsi Madura ini juga telah menyiapkan ramuan
khusus nan mujarab dan bukan sekadar ramuan oplosan yang memabukkan
demi sekadar mengincar jabatan *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar