Jumat, 13 November 2015

Ramuan Madura

AWAS, hati-hati kamu, calon suamimu itu orang Madura,” mertua saya (waktu itu masih berstatus sebagai calon) menasihati anaknya yang sekarang sudah sekian belas tahun menjadi istri saya.

Saya orang Jember dan sering ketika berkenalan dibilang, “Madura dong?” saat saya katakan asal daerah saya. Baiklah, tentu saya tak perlu ngotot mengatakan bahwa Jember itu bukan salah satu kabupaten di Madura. Jember ya Jember. Tetapi nasib sama barangkali juga menimpa orang dengan asal Bondowoso, Situbondo atau Pasuruan yang sering mendapat cap sebagai reng Madureh.

Jangankan di pulau Jawa atau seantero Indonesia yang selalu terdapat orang Madura, di tanah suci Mekah pun konon banyak sekali mukimin yang asal Madura. Inilah yang menyebabkan ada dua kelompok orang Madura; negeri dan swasta. Paling tidak demikian yang pernah saya baca dari artikel Mas Edi 'Akhiles' Mulyono yang ternyata selain berdarah Sumenep juga berdarah Jember. (Wah, boleh dong kalau saya anggap beliau sebagai tretan, saudara satu Jember?) Madura negeri adalah orang Madura yang lahir, besar dan bermukim di Madura sepanjang hayat dikandung badan. Sedang Madura swasta adalah orang Madura yang bermukim di luar pulau Madura sampai akhir hayat.

Di Jember, wabil khusus di desa asal saya, tidak seratus persen (keturunan) Madura. Dominasi tentu saja suku Jawa, sebagian berasal dari Ponorogo atau Mataraman. Tetapi dengan saban hari srawung (bergaul) dengan orang Madura yang masih menggunakan bahasa Madura, sedikit banyak ada juga pengaruhnya. Logat bicara, umpamanya. Di desa saya, walau bahasa sehari-hari yang dominan dipakai adalah bahasa Jawa, tetapi nadanya sudah lain dengan Jawa asli, Jawanya sudah tidak medok lagi, tetapi Jawa kagok. Sudah ada nada Maduranya.

Masih di desa saya, penduduk yang asal Madura terbagi di tenggara dan barat laut. Sementara yang di tengah, timur dan barat jan Jawa deles. Entah bagaimana dulu awal pembagian wilayahnya. Keuntungan ketika dulu saya bersekolah berbaur dengan teman-teman dari dusun Bregul dan Sembungan (wilayah dengan mayoritas keturunan Madura, tempat pondok pesantren Bustanul Ulum yang mayoritas santrinya berasal dari pulau Madura), adalah kami bisa secara alami saling belajar bahasa. Makanya tidak heran bila di kampung kami anak orang Jawa (seperti saya ini contohnya) bisa berbahasa Madura, pun demikian pula sebaliknya.

Bisa berbahasa lain tentu tak ada ruginya. Misalnya ketika saya melakukan transaksi membeli ikat pinggang atau mainan untuk anak saya dengan PKL di Surabaya ini, dengan menggunakan bahasa telok lemak, saya bisa mendapatkan harga yang wajar. Seorang Madura swasta asal Pasuruan yang tiap malam menjajakan jagung rebus di gang depan rumah, membungkus lima buah jagung rebus untuk uang limaribu rupiah yang saya bayarkan, padahal untuk orang lain ia menjual duaribu per buah, Mungkin dengan mengunakan bahasa mereka secara fasih, saya dianggap sebagai tretan dibik, saudara sendiri.

Selain ulet, pekerja keras, rajin dan teguh dalam pendirian, salah satu yang terkenal dari Madura adalah ramuannya. Ramuan Madura, Anda tentu pernah dengar dan saya pernah mencobanya. Saya dapati kopi adalah bahan utamanya. Padahal siapa pun tahu Madura bukanlah penghasil kopi. Tak masalah, yang penting khasiatnya, Bung!

Sekarang sedang hangat pembicaraan tentang Madura yang akan berdiri sebagai propinsi sendiri, melepaskan diri dari Jawa Timur. Sebuah wacana yang sangat tidak tabu dan tak perlu buru-buru dipandang sebagai kehendak yang agak anu. Coba, apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang Madura?

Maka, ketika mereka mempunyai ramuan rahasia agar sapi karapan bisa berlari kencang seperti kesetanan, bukan tidak mungkin para tokoh yang sedang menyusun pembentukan propinsi Madura ini juga telah menyiapkan ramuan khusus nan mujarab dan bukan sekadar ramuan oplosan yang memabukkan demi sekadar mengincar jabatan *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar