Jumat, 26 Agustus 2011

Lebaran di Malam Takbiran

KAPAN sampeyan berlebaran –dalam artian saling mengunjungi sanak saudara dan tetangga sekitar– untuk saling maaf-memaafkan? Kalau jawaban sampeyan itu dilakukan seturun dari sholat id, berarti sampeyan sama dengan saya. Tetapi, adakah yang berlebaran tidak demikian? Yang dilakukan justru baru di malam takbiran?
Ada.
Seperti sampeyan, mula-mula saya tentu menganggap hal ini kurang ‘afdol’. Karena saya sudah terbiasa sejak kecil berlebaran selepas sholat id.

Ketika tahun 1999 lalu saya ‘pindah kewarganegaraan’ ke ‘LA’ (sebutan keren untuk Lamongan), sejak tahun itu sampai sekarang saya mengalami berlebaran dimalam takbiran .Setelah berbuka puasa terakhir dan ba’da sholat maghrib, istri saya mengajak saja ‘unjung-unjung’, istilah bertandang ke tetangga untuk berlebaran.
Saya menolak ikut. Hati kecil saya tak terima. Bukankah ini masih takbiran, belum masuk lebaran?
Yo, wis. Aku tak budal duluan. Sampeyan besok pagi saja. Tapi sendirian,” kata istri saya.
“Sendirian?”
“Iya, karena semua orang berlebaran malam ini juga.”

Dan benarlah adanya. Malam itu kampung mendadak hidup. Malam yang biasanya sepi-sepi saja, yang karena disini adalah sebuah kampung dipelosok Lamongan, menjadi sedemikian meriahnya. Para tetangga saling kunjung-mengunjungi. Berlebaran.
Besoknya, selepas sholat id, semua salaman lagi. Kali ini berbaris sambil turun masjid. Pendek kata; nyaris orang sekampung telah saling salaman (untuk kedua kalinya) ya di masjid itu.

Pulang sampai rumah, kehidupan berjalan nornal lagi. Maksudnya seperti bukan lebaran –menurut ukuran kebiasaan saya di Jember sana. Karena semua menganggap telah salaman. Telah tuntas berlebarannya. Singkat saja. Sehari saja. Bandingkan dengan daerah saya yang seminggu dhur masih ramai. Pun, barangkali juga begitu di tempat sampeyan.

Tujuh hari kemudian, tibalah saatnya kupatan. Orang sekampung semua bikin. Dan, sebagai menantu baru, saya ditugaskan membawa senampan ketupat lengkap dengan sayurnya ke masjid yang letaknya dibelakang rumah. Ah, saya pikir ini tak jauh beda dengan tradisi di daerah asal saya. Membawa ketupat ke musholla atau masjid untuk kenduri. Didoakan oleh modin, lalu saling tukar ketupat. Agar yang dibawa pulang bukan masakan sendiri lagi.

Karena masjid hanya dekat saja dari rumah, tentu saya sampai lebih duluan. Seperti kebiasaan di kampung asal saya, saya langsung meletakkan senampan ketupat itu di tengah masjid. Lalu saya duduk kepinggir, menepi. Sambil menunggu yang lain datang. Dan berikutnya, satu-dua orang mulai datang. Tapi saya justru mulai tak nyaman. Karena, setiap orang yang datang, selalu meletakkan ketupat bawaannya tepat didepan tempatnya bersila. Sementara punya saya menjadi satu-satunya yang tampil di tengah arena.

Ini dia. Ketika semua orang sekampung berkumpul di masjid, saya menjadi curiga. Pasti orang semasjid heran melihat senampan ketupat saya tampil beda, sendiri ditengah arena. Sementara untuk mengambilnya lagi, saya terlanjur tertutup orang lain yang memadati pinggir masjid lapis tiga baris.
Suara pak modin berdoa terdengar sampai kepenjuru desa. Karena dibantu jasa speaker TOA. Dan pastilah, nanti, ketupat saya juga bakal jadi perbincangan karena ‘tata letak’ yang tak biasa.

Tidak hanya putus sampai disitu. Hal tak biasa lain saya temui lagi. Ketika sebaris doa telah paripurna, semua orang bergegas mengangkat kembali nampan ketupatnya. Dibawa pulang lagi dalam keadaan sedia kala. Tidak saling tukar seperti di kampung asal saya.
Kalau tadinya saya datang paling awal, sekarang saya pulang paling akhir karena tata letak ketupat saya yang tak sesuai 'kaidah'.

Inikah yang dibilang sebuah pepatah; dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Karena saya sedang memijak bumi disini, maka saya –mau tak mau– menjunjung pula langitnya.
Salam. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar