Minggu, 21 Agustus 2011

Kuliner: Jangan Blendrang nan Nendang

DARI tiga bahasa yang saya kuasai, semua saya pelajari secara otodidak. Dan hanya sedikit mengalami sentuhan pendidikan formal.

Kalimat pembuka tulisan ini tentu bisa diartikan macam-macam bila tidak dibubuhi keterangan lanjutan. Maka inilah penjelasannya; kita semua tahu, dalam mempelajari suatu bahasa, tentu lebih baik bila kita belajar kepada native speaker, penutur asli. Karenanya sering kita temui, banyak lembaga pedidikan bahasa asing yang memakai jasa orang dari negara yang sedang kita pelajari bahasanya itu sebagai tenaga pengajar. Alasannya ya itu tadi; agar peserta didik menjadi lebih cepat menguasai bahasa yang dipelajari, tidak sekadar perbendaharaan kosa kata, tetapi lebih masuk ke logatnya sekaligus. Dengan mempelajari langsung dari native speaker pulalah saya menguasai tiga bahasa. Konkretnya; dari ibu saya belajar bahasa Jawa, dari bapak saya belajar bahasa Madura dan dari kedua beliau saya mempelajari bahasa Indonesia!

Tetapi bukan berarti saya tidak belajar bahasa asing. Tidak. Karena setiap saya ketemu dengan tenant yang dari Jepang, saya pun belajar bahasa Jepang. Langsung dari penutur asli. Hasilnya?

Alhamdulillah, saya telah menguasai tiga kosa kata; arigato, konnichiwa dan daidokoro. Arigato saya ucapkan setelah diberi sesuatu, konichiwa bila menyapa orang di siang hari dan ke daidokoro bila saya perlu memasak mie instan.

Selain orang Jepang, di tempat kerja saya juga banyak orang dari Korea. Kepada mereka saya juga belajar bahasa Korea. Kata pertama yang ingin saya ketahui adalah terima kasih. Arigato dalam bahasa Jepang.

“Terima kasih?” tanya si orang Korea dengan logat Korea kepada saya.

“Ya, terima kasih bahasa Koreanya apa?” saya mengulangi pertanyaan yang tadi telah saya utarakan.

“Terima kasih...Gam sa ham nida,” tulisnya sambil berkata. Saya memang menyodori selembar kertas. Dengan jawaban yang ditulis, saya berharap tak gampang lupa.

“Kalau selamat pagi?” tanya saya lagi

“Selamat pagi; an nyung ha se yo,” jawabnya. ”Apa lagi?”

Uh, menantang ini. Kesempatan ini. Tidak semua orang lho bisa belajar bahasa asing kepada penutur asli secara gratis begini. Tetapi, saya harus bertanya kata apa lagi? Dan, mulut saya langsung menyebut satu kata; kimchi.

“Ha, Anda tahu kimchi?!” nyonya Korea itu heran.

Ya, tentu saja saya tahu kimchi.Yang pasti tersedia di dapur setiap orang Korea, saya kira. Sebuah makanan khas Korea berbahan sayur semacam sawi. Yang tidak dimasak matang. Hanya melalui proses pelayuan. Tetapi tentu dengan dibumbui ala Korea.

“Suka kimchi? Sudah pernah makan kimchi?”

“Belum.”

“Mau coba?”

Ah, kesempatan lagi ini. Selain bisa belajar bahasa Korea langsung dari orang Korea, saya berkesempatan mencicipi makanan Korea yang langsung dimasak oleh orang Korea.

Diajaklah saya ke dapurnya.

“Tapi kimchi ini pedas.Sangat pedas,” katanya.

Makin penasaran saya. Senendang apakah pedasnya si kimchi?

Setelah mencicipi, ah ternyata tak sepedas yang dibayangkan lidah saya. Masih kalah jauh tendangan pedasnya dibanding dengan ‘jangan blendrang’ tewel (nangka muda) bikinan ibu saya.

‘Jangan blendrang’ (semacam sayur lodeh yang telah berusia beberapa hari), bagi saya selalu mengingatkan saya akan ibu di desa sana. Menu itu sering saya santap, dan menjadi ‘hidangan kebangsaan’ di rumah saya. Ia adalah sayur lodeh biasa pada mulanya. Tetapi, ketika ia telah diinapkan beberapa hari, memakannya selalu menimbulkan sensasi tersendiri. Sekian banyak cabe yang tadinya utuh ,tiga hari berikutnya telah pada pecah. Karenanya semakin hari semakin pedas. Semakin gelap pula warnanya.

Karena ia sering dihangatkan, anda tahu, si ‘jangan blendrang’ ini makin asin saja. Tetapi ibu saya punya formula khusus untuk mengurangi rasa asinnya. Caranya, ibu akan mengambil pelepah daun pisang. Memotongnya sepanjang 15 sentimeter. Ibu membutuhkan tiga potong saja. Lalu tiga potong pelepah itu diikutkan menghangatkan si ‘jangan blendrang’. Hasilnya, sayur lodeh berusia beberapa hari itu menjadi tidak asin lagi. Karena kadar garamnya telah diserap pelepah daun pisang.

Gam sa ham nida.
Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar