Senin, 16 Juli 2012

Kapal, Minta Uang!

DUA buah baterai bekas yang sudah tak terpakai, saya adu 'pantatnya'. Kemudian bagian ujung lain yang ada nongolnya kecil itu, saya jepit pakai kawat yang saya bentuk setengah lingkaran. Di bagian tengah kawat yang melengkung itu, saya kasih tali penarik. Jadilah baterai itu mainan yang bisa diseret. Seperti mobil-mobilan. Lebih spesifik lagi; semacam sepur tumbuk. Dan ketika mainan itu saya kasihkan kepada si kecil, oh, rupanya ia tidak tertarik sama sekali. Ia tetap asyik dengan aneka mainan mobil-mobilan yang (entahlah, dari jaman saya kecil dulu sampai sekarang) selalu saja made in China.

Begitulah.
Anak sekarang tidak sekreatif anak jaman dulu. Sekarang, semua mainan adalah barang jadi, barang produksi pabrik. Dulu, jangan tanya. Kalau kulit jeruk sebagai bahan membuat mobil-mobilan sih itu sudah umum. Lha wong 'cumplung' saja bisa dijadikan mainan kok. Tahu cumplung? Itu adalah nama lain dari kelapa yang telah dilubangi tupai untuk dimakan isinya. Kelapa itu, biasanya, lalu jatuh sendiri tanpa diambil pemilik pohon kelapa. Dan cumplung itu, bagian yang berlubang itu, ditusuk pakai kayu yang agak kecil. Di dorong, jadilah ia 'mobil'.

Lain cumplung, lain pula upih. Upih adalah pangkal pelepah daun pinang yang bentuknya melebar. Benda ini, bisa kami sulap menjadi sarana permainan yang tak kalah mengasyikkan. Ia kami jadikan 'geretan'. Satu anak duduk di bagian yang melebar itu, satu lagi menarik dengan kencang. Permainan itu bisa dilakukan berdua dengan posisi bergantian, bisa juga dimainkan sebagai balapan, bila ada beberapa upih yang kami dapatkan.

Sambil trutusan ke kebun (maklum, desa saya itu jauh dari gunung, jauh pula dari hutan), sebagai camilan kami biasa mencari buah salam (yang daunnya lazim sebagai bumbu lodeh itu), atau juwet yang kalau memakan buahnya bisa membuat warna mulut dan lidah menjadi ungu.

Sebagai anak desa, kami punya pantangan. Salah satunya, kami tidak berani mengoleskan sabun colek ke rel kereta api yang melintas di kampung kami. Karena, ada keyakinan kuat diantara kami anak desa, bila rel kereta api diolesi sabun, kereta api bisa terpeleset bila melewatinya. Sebandel-bandelnya kami, tentu tak berani membuat penumpang kereta api itu celaka; terpeleset gara-gara sabun.

Satu lagi, bila ada pesawat terbang melintas di atas desa, siapapun kami, sekalipun sedang berada di dalam rumah, sontak akan meloncat ke luar rumah. Dan seolah ada yang mengomando, kami langsung menadahkan tangan sambil berteriak dengan lantang, “Kapal.... minta uaaannggggg.......”
(Kami, sebagai anak kampung, kala itu memang terbiasa menyebut pesawat terbang sebagai kapal.)

Tentu saja, perilaku katrok itu tidak saya turunkan ke anak-anak saya. Karena akan repot sekali. Betapa tidak. Rumah saya yang terbilang tidak terlalu jauh dari bandara ini, saban waktu ada saja pesawat yang melintas di atas rumah. Kalau setiap ada pesawat lewat selalu menadahkan tangan meminta uang, selain bisa menyebabkan tangan dan leher pegal, tentu bisa-bisa membuat tak sempat masuk rumah. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar