Tampilkan postingan dengan label asnul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label asnul. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 Juni 2023

Kambing Hitam : Ketan Hitam

MINGGU, pagi-pagi buta, istri saya bertanya, "Mobil yang parkir di depan pagar rumah kita itu punya siapa?"

"Mobil apa?"

"Avanza hitam."

Demi memastikan, saya keluar rumah. Membuka pagar, dan mendapati mobil sejuta umat itu anggun sekali. Parkir manis di depan pagar. Oh, rupanya tetangga sebelah jadi beli mobil...

Panggilan sholat subuh sudah seperempat jam yang lalu bersautan, tapi panggilan perut yang barusan saya rasakan, langsung membuat langkah kaki saya mak jranthal menuju 'belakang'. Saya bablas, buang hajat.

Perut saya mulas hebat. Juga begah. Wah, wah, wah. Kalau sudah begini, alamat sakit maag saya kambuh. Padahal, saya makan juga tidak telat. Makan pedas, tidak. Makan yang asem-asem juga tidak, lalu tersangkanya siapa dong?

Oh, jangan-jangan....

Sabtu pagi kemarin, ada penjual bubur ketan hitam lewat. Tiap pagi sih ibu itu jualan lewat depan rumah saya. Tetapi saat itu, saya yang sedang jalan pagi, dan sedang bawa HP, punya ide lain. Apa lagi kalau bukan buat konten๐Ÿ˜Š

Ceritanya saya sedang iseng baru bikin channel Youtube. Kanal baru saya ini niche-nya kuliner. Wabil khusus kuliner kelas kaki lima. Dan sudah beberapa video saya unggah, traffic-nya lumayan; salah satu video ditonton banyak viewers dengan sebagian besar mampir atas rekomendasi Youtube.. Nah, boleh juga nih si penjual bubur ketan hitam itu saya bikin bahan konten.

Singkat cerita, sejak saya membeli sampai makan bubur ketan hitam itu saya syuting. Saya makan lahap. Tak lupa makannya sambil bicara dan kicipak lidah dalam mengunyah saya niru gayanya Dede Inoen yang punya narasi khas: cantek sekaleee itu.

Karena merasa dengan sarapan ketan hitam itu perut saya kenyang, makan makan berikutnya tentu agak siang. Toh, lambung sudah terisi ketan hitam.

Nah itu dia suspect-nya. Kambing hitamnya. Ketan hitamlah yang bikin perut saya mulas,  sakit. Karena konon, kata orang-orang, bila belum sarapan nasi tetapi perut sudah diisi ketan, bagi yang punya penyakit gangguan lambung, maag-nya bakalan kambuh. Tetapi masalahnya, saya dapat info ini belakangan.

Tetapi tunggu dulu, sakit perut dan berlanjut kepada badan panas-dingin dan meriang ini, adalah juga dipicu oleh tetangga sebelah rumah saya yang beli Avanza hitam.๐Ÿ˜‡****

Kamis, 18 Agustus 2022

Farel Prayoga dan Fenomena Lagu Dewasa oleh Anak-anak

banyak nyamuk di rumahku
gara-gara aku 
malas bersih-bersih

Salain lagu itu, ada juga yang ini:

semut-semut kecil
saya mau tanya
apakah kamu di dalam tanah
punya mama-papa

Atau;

diobok-obok airnya diobok-obok...

Ingat syair lagu itu?
Baiklah. Namun sekarang, entah saya yang kurang perhatian atau apa, makin jarang anak-anak punya lagunya sendiri, ya lagu anak-anak. Ataukah memang tak ada lagi pencipta lagu macam Papa T. Bop yang dulu produktif menciptakan lagu anak-anak yang sesuai dengan umur anak-anak. 

Kini?
Anak-anak 'diobok-obok' lagu dewasa, yang trenyuhnya, dinyanyikan oleh anak-anak dengan riang gembira. Ya semacam lagu cinta-cintaan. Anak-anak menyanyikan (atau sekadar  mendengar ---tapi sering-- lagu-lagu macam itu) jangan-jangan membuat anak-anak mengalami pendewasaan dini. 

Kambing paling hitam yang patut ditunjuk batang hidungnya adalah gawai, gadget. Perangkat mungil tapi bisa menampilkan apa saja, kepada siapa saja. Termasuk fenomena anak bernama Farel Prayoga.

Rabu, 04 Mei 2022

Mudik

SEPERTI biasa, saya mudik lebaran di hari ke dua. Hari pertama masih harus kerja. Bahkan kemarinnya, di malam takbiran, juga masih harus piket. 

Namun, setelah dua kali lebaran pemerintah membuat pembatasan, pun untuk urusan mudik dan juga sholat id, kali ini: brol. Dilepaskan. Maka di televisi saya lihat orang terpaksa sampai bermalam di pelabuhan penyeberangan, saking antrenya. Saking membludaknya pemudik.

Sebelumnya, demi mudik ini, apapun dilakukan. Termasuk dijus pakssin buster. "Tapi di perjalanan sama sekali tidak ada ditanyakan. Juga di penyebetangan", kata teman saya yang mudik ke Singaraja.

"Selamat, sampeyan kena prank. Wkwkwk," goda saya.

 
Istri dan anak-anak saya ajak istirahat
sejenak di 'hotel Merah Putih'.
Maaf, wajah saya diwakili oleh
penampakan helm saja.๐Ÿ˜Š


Saya juga mudik, tapi tak sejauh para pemudik yang dengan riang menulisi bagian belakang kardus bawaannya dengan aneka tulisan genuine dan lucu, walau ada pula yang wagu. Ada yang Jakarta-Sragen, atau mBogor-Purwodadi. Saya dekat saja. Ke nJember. Tapi, baiklah, saya akui. Pinggang dan pantat saya bukan muda lagi. Menempuh jarak mudik yang hanya 200 km kurang dikit itu, berkali-kali harus menepi. Mendinginkan pantat. Sekaligus ngeluk boyok, terlentang di bangku warung yang sedang tutup, ditinggal pemiliknya libur lebaran.

Perjalanan mudik saya kali ini (pakai roda 4, tapi terpisah, jadi dua) terbilang lancar. Setidaknya dari Surabaya sampai Leces. Karena selepas pertemuan antara yang keluar dari pintu tol dan yang dari jalur arteri, barulah ada sedikit tersendat. 

Saya juga agak senang. Pasar Gedang Lumajang belum ada aktifitas berarti. Artinya kemacetan di situ belum terjadi. Padahal kalau pasar sudah normal, macetnya juga ampun-ampun. Namun, apakah lalu kalau itu nyaris saban hari terjadi, bisa dianggap kenormalan belaka? Sampai ada di antara pengguna jakan menilai ada unsur pembiaran atas situsasi itu. Pembiaran terhadap para pedagang yang lebih suka berjualan di tepi jalan dan enggan melakukannya di dalam pasar. Sekaligus pembiaran arus lalu lintas tersendat dan cenderung macet dan secara tidak langsung mengajak kita untuk mafhum. Ah, embuhlah.

Sekarang musim mudik. 

Tapi mudik harus tetap prokes, alah mbel apa? Jangankan manut anjuran halal bi halal boleh asal meniadakan makan bareng dan ngobrol, lha wong di kampung saya pakai masker saja sudah tiada temannya. Kecuali anak istri. Pokoknya di desa sudah los dol.

Kalau sudah begitu, apa ya tega tak menyambut uluran tangan sanak saudara dan para tetangga untuk saling salaman? Ndak-lah. Sekarang idul fitri. Saat tepat bermaafan. Lahir-batin.*****


Rabu, 27 April 2022

Ramen

 


TADI malam dibelikan si mbarep makanan yang dipesan secara daring. Sebagai penganut sekte 'pantang menolak walau perut sudah relatif penuh', si ramen itu akhirnya saya carikan tempat di sela-sela rongga lambung. 

Sepertinya lambung saya tetaplah lambung ndeso. Yang hanya akrab dengan nasi pecel, lalapan, sayur kelor atau paling banter rawon dengan subalan irisan labu siam sekwintal.

Bukannya tentram sentosa, perut saya semalaman malah mulas terus dengan ramen yang langsung saya tunjuk sebagai kambing hitamnya. 

Benar saja, dari sejak sahur tadi, telah berkali-kali saya ke belakang; masur-masur. Ramen, yang di lidah saya terasa belum familiar, di lambung rupanya ia malah dikenali sebagai barang asing.

Kalau saja tadi malam saya tidak maksa memakannya, bisa jadi pagi ini saya ramencret!

Minggu, 04 April 2021

Bubur Sumsum

PELANDANG demikian di kampung istri saya dibilang. Kalau di desa asal saya disebut rewang, mrabot atau apalagi ya, maaf lupa. Intinya, gotong royong antar tetangga dalam membantu orang yang sedang punya hajat. Dan semua itu adalah ngayah, alias tanpa upah.

Di kampung, suksesnya gelaran hajatan ya oleh para sinoman itu. Walau tanpa EO, biasanya telah terseleksi secara alami siapa akan kebagian tugas apa. Mulai terima tamu, bagian konsumsi dan lain sebagainya. Ohiya, tidak semua gratisan, ada peran yang secara tradisi relatif berbayar. Kepala juru masak dan tukang seduh kopi.

Hajatan zaman sekarang terbilang lebih simpel. Lebih praktis. Dari A sampai Z tinggal diserahkan event organizer, beres. Zaman dulu mana ada begitu. Apalagi di kampung. 

Jauh hari sebelum hari H, telah dilakukan persiapan. Bikin ruang dapur, salah satunya. Walau dipakai secara temporer, dapur itu luas ukurannya. Biasanya letaknya di belakang rumah. Maklum, di kampung biasanya lahan masih ada.

Ketika dapur bertiang bambu dan beratap kepang, anyaman daun kelapa, telah berditi, selanjutnya membuat pogo. Pogo, semacam rak untuk menyimpan alat masak dan sebagainya.

Berbarengan dengan pembuatan dapur, pelandang yang lain mempersiapkan kayu bakar. Semakin besar hajatan digelar, nanggap wayang kulit atau ludruk misalnya, tentu kayu bakar dan segala uba rampe-nya juga menyesuaikan.

Tiga hari menjelang hari H, adalah saat bikin jenang. Jenang bukan sembarang jenang. Berkilo-kilo bahan, tepung beras ketan, santan dari sekian banyak kelapa dan gula diaduk pada jedi, wajan berukuran besar. Bukan hanya satu jedi, tapi dua. Awalnya para ibu yang mengaduk. Karena masih encer, tentu enteng. Makin lama adonan pada jedi di atas bara api itu makin mengental. Makin butuh tenaga. 

Saatnya para pria beraksi. Satu jedi ditangani tiga empat orang. Bersenjata pengaduk panjang. Dari bilah bambu yang dibentuk khusus. Dua jedi, dengan demikian, butuh delapan orang. 

Dengan durasi memasak jenang yang seharian, dari pagi hingga sore menjelang, tentu butuh sekian banyak orang secara bergantian.

Begitulah. Waktu-waktu berikutnya, sampai hati H dan juga setelahnya, sekian banyak orang terlibat.

Capek, tentu saja. Tapi guyup-rukun adalah kuncinya. Capek tenaga, kurang tidur dan lain-lain akan ditutup oleh rasa syukur ketika hajatan terlaksana dengan lancar jaya. 

Bubur sumsum

Sebagai penawar dari segala jerih payah pada acara rewang tersebut, agar segala rasa capek hilang, biasanya akan dibuatkan bubur sumsum. Dibagikan kepada semua yang terlibat. Rata.

Entahlah, tradisi makan bubur sumsum bersama setelah selesai ini apakah juga dikenal oleh para wedding organizer ya? ****

.

Kamis, 18 Februari 2021

Empati Mati?

BEBERAPA hari terakhir ini saya tidak terlalu intens bersosial media, sampai ketinggalan berita tentang Dayana. Beberapa hari ini saya sedang dirundung kesedihan mendalam. Oleh kematian. Bukan sekadar nyawa yang dicabut dari raga semata, tapi oleh kematian empati terhadap sebuah kematian itu sendiri.

Entah sejak kapan ada orang yang menggembirai kematian bukan hanya disimpan namun diungkapkan lewat tulisan. 

Tempo hari ada seorang pemikir terkenal yang meninggal. Sebuah kanal berita daring memberitakan dengan kalimat pertama yang mengenalkan bahwa si mendiang adalah juga aktifis sebuah partai. Penonjolan almarhum sebagai tokoh partai ketimbang sebagai pemikir yang rekam jejaknya sungguh tak bisa dianggap remeh, tentulah angle yang dipilih oleh pembuat berita. Kalaulah tidak begitu, alangkah dangkalnya si pembuat berita dalam menggali latar belakang tentang siapa si tokoh ini. Itu pertama.

Kedua, ada benang merah antara beberapa media (online utamanya) yang suka membuat judul 'provokatif' dengan komentar pembaca yang nge-gas atas berita tersebut. Tentu bukan hal salah. Demi dibaca, berita diberi judul yang genit dan memancing. Namun, dengan tabiat pembaca kita yang kadang (atau sering?) hanya membaca judul berita tanpa membaca dengan seksama dan utuh, tentu bikin ngelus dada karena komentarnya sungguh gaduh.

Sedih karena bertubi-tubi mendengar wafatnya orang-orang cemerlang, lebih menyedihkan lagi membaca komentar yang secara vulgar nyukurin tentang kematian itu. Dan astaghfirullah, ungkapan nyukurin itu dibalut dengan kalimat hamdalah.

Politik memang kejam. Tapi kalau hanya karena fanatisme dan perbedaan pilihan politik lantas kemudian menjadikan manusia hilang kemanusiaannya, politik buat apa? ****

Rabu, 30 Desember 2020

H o n o r

SEPERTINYA sudah pernah saya tulis, bahwa honor pertama yang saya terima dari koran adalah saat saya kelas 2 Madrasah Aliyah. Saat ini, ketika jam istirahat, saya masuk ke ruang TU. Saya lihat mesin ketiknya lagi tidak dipakai. Maka, iseng saya mulai mengetik. Satu halaman, atau bahkan mungkin hanya setengah halaman. Lupa saya. Berisi tentang kegiatan OSIS di sekolah kami.

Berbekal selembar perangko seharga 150 rupiah, tulisan itu saya kirim ke harian sore Surabaya Post. Sebuah harian yang saat itu sangat besar oplagnya. Jauh di atas Jawa Pos. Rubrik yang saya tuju: Kronik Pelajar.

Selang beberapa hari kemudian, saya mendapat kiriman wesel. Tertera angka 6 ribu rupiah yang bisa saya uangkan di Kantor Pos. Dan saya tidak pernah tahu bentuk fisik terbitan artikel saya itu di koran dimaksud. Maklum, sebelumnya saya hanya pernah baca koran itu sudah dalam bentuk kadaluarsa. Sudah sebagai alas duduk saat nonton film misbar.

Dengan uang segitu, saya bisa membeli seekor ayam babon dan sebuah songkok produksi Gresik. Masih juga ada sisanya. Alhamdulillah....

Lima tahun yang lalu, berjarak sekian puluh tahun dari saya dapat honor pertama dari koran, secara rutin saya membuat soal TTS untuk sebuah harian di Surabaya. Lumayan, hampir dua tahun. Karena rutin, honornya pun rutin. Lumayan. Walau sedikit, lama-lama honor yang saya kumpulkan itu jadi bukit. Buktinya, sampai saya bisa beli tanah di Prapen. Iya tanah. Dua tiga-zak. Untuk tanam bunga di pot. ****

Kamis, 26 November 2020

Kecanduan

HARI-HARI belakangan ini, saya sedang agak geregetan kepada Ibu Negara. Gara-garanya ia kecanduan lagi. Rajin nonton sinetron lagi. Sesuatu yang saya tidak suka sejak dulu.

Saat hamil anak pertama dulu, ia kecanduan nonton sinetron Misteri Gunung Merapi. Saya menjadi was-was juga.  Dengan alasan, iya kalau  anak kami nanti lahir seperti Sembara, kalau lahir laksana Basir bagaimana. Kerjaannya makan melulu. Itu pun masih mending. Kalau menjadi seperti Grandong bagaimana?

Saya memang hanya bisa geregetan. Tidak lebih. Karena untuk apa kesukaannya yang tidak saya sukai itu dijadikan pemicu 'perang'? Toh Ibu Negara nonton sinetron selepas semua 'tugas kenegaraan' di sumur, dapur dan kasur telah diselesaikan dengan sempurna. Itu pertama.

Kedua: jangan-jangan sebenarnya ia juga kurang suka saat saya nonton talkshow politik yang sering mengaduk-aduk emosi saya itu. Atau saat saya nonton pertandingan tinju, atau sepakbola.

Atau juga, diam-diam saat larut malam, dan Ibu Negara sedang pulas dibuai mimpi, saya malah sedang asyik berbalas obrolan (yang sering sama sekali bukan percakapan penting dan hanya nggedabrus tentang hal remeh-temeh belaka) dengan teman lama via grup wasap. ****

Minggu, 30 Agustus 2020

Sambal Bongkot, Oh My God!


UNTUK
urusan makan, saya ini termasuk orang yang menganut faham pokoknya kenyang. Bukan sebagai petualang rasa. Dalam artian suka mencoba menu baru yang tentu mempunyai rasa baru. Saya kira ini ada untungnya. Paling tidak, selain baju yang tidak sering ganti (karena punyanya cuma itu melulu), tidak suka mencoba menu makanan baru dapat diindikasikan hanya dilakukan oleh orang yang setia. Orang yang tidak suka syelingkuh (pakai syin). Yes, dengan memakai parameter itu, saya masuk kategori orang yang setia setiap saat seperti bunyi iklan deodorant.

Tempo hari saya membuat status di wasap tentang lidah saya yang kangen sambel bongkot. Itu nyata adanya. Bukan mengada-ngada. Bahwa dulu saya tidak suka sambel itu memang iya. Tetapi kemudian menjadi suka berawal dari coba-coba. Sekali dua kali, lidah saya mulai bisa menerima. Lalu, kini, mengangeninya. (Jangan-jangan hobi selingkuh juga berawal coba-coba demikian itu๐Ÿ˜Š).


Dulu, saat bertugas di Bali, dalam sebulan sekali pulang ke Surabaya, selalu saya bawa si bongkot itu. Yang sebelumnya tidak saya sukai itu. Saya bawa naik pesawat. Di rumah saya sambal sendiri. Pakai terasi. Pakai teri. Ditambah pete. Dimakan sama nasi hangat, amboi rasanya. Kalau saja si Inces Nabati mencoba sambal buatan saya itu, tentu ia akan bilang: Duh Gustiiii..... Endol surendol takendol-kendol nguenah....

Entah dimana di Surabaya ini saya bisa beli si bongkot yang kalau di Senganan, Tabanan, harga seikat berisi empatbelas, seingatnya saya hanya lima ribu rupiah saja. Dan di kebun Pan Sukresni, orang tua baik hati yang selama berbulan-bulan di Tabanan saya ikuti, saya bisa membawa semau saya dengan gratis belaka.

Sambil sarapan dengan sambal instan buatan pabrik, tadi pagi saya iseng bilang kangen sambel bongkot kepada Ibu Negara.

"Itu di frezer kan masih ada", sahutnya. "Dulu pernah aku mau buang, sampeyan bilang jangan".

"Iya to?!"

Istri saya menuju lemari es dan mengambil kotak tupperware berwarna hijau muda. Di dalamnya ada bongkahan kecil sambal yang menggumpal. Putih. Menjadi beku. Saya cuwil, ah iya, saya masih belum lupa. Ini benar sambel bongkot. Oh my God. Saya girang sekali.

"Ini sambal kapan ya?", saya bertanya sambil makan.

"Hampir tiga tahun lalu. Apa masih enak?"

"Enak tuh", lahap saya menyantap. "kalau nanti ada efek samping, palingan cuma mules...".

Rindu kadang memang bisa bikin orang mabuk kepayang. Eh, mabuk sambel bongkot ding!****

Koran Korban

BEBERAPA bulan yang lalu, saat sedang hangat-hangatnya berita tentang Helmy Yahya sebagai Dirut yang dicopot jabatannya oleh Dewas TVRI, saya baca di internet koran Kompas melalukan survei terkait hal tersebut. Survei Litbang Kompas, Anda tahu, tentu selalu bermutu. Jangankan soal perseteruan Helmy dan Dewas TVRI, survei soal Pilpres saja koran Kompas menyajikannya dengan ces-pleng. Maka, ketika hasil survei itu dimuat di koran Kompas, sepulang kerja saya sempatkan membeli edisi Kompas hari itu. Saya beli di tukang koran pinggir jalan. Di ujung jalan Diponegoro, seberang bonbin, Surabaya. Lalu saya lanjut perjalanan pulang, si koran Kompas itu saya masukkan bagasi motor Vario saya. Dan, hasil survei Litbang Kompas tentang TVRI-Helmy itu adalah; saya malah belum membacanya. Sampai sekarang. Sampai saya iseng membuat tulisan ini.

Jadi, saya ingin bertanya; kapan terakhir kali Anda membaca koran? Atau malah sudah tidak pernah.

Di seberang Pasar Soponyono Rungkut, saya lihat tumpukan koran yang dijual seorang agen sekarang makin menipis. Di perempatan Panjangjiwo, di dekat lampu merah, dua ibu sepuh duduk di tepi jalan memangku koran dagangannya. Duduk, pasif. Bukan laiknya tukang koran saat zaman koran masih menjadi sumber informasi andalan dulu. Yang mendatangi calon pembeli. Saat lampu merah. Dengan membaca judul isi koran edisi hari itu. Yang kadang di-lebay-kan. Agar menarik. Agar orang tertarik membeli.

Sekarang era digital. Era internet. Era paperless. Lalu nasib koran?

Membaca Jawa Pos edisi Minggu

Saya bukan orang koran. Tapi saya bisa membayangkan bagaimana orang koran mempertahankan mati-matian media cetaknya. Agar tetap hidup. Di tengah gempuran sumber bacaan yang tanpa kertas tadi. Dan era mempertahankan kehidupan media cetak sudah pernah terjadi sebelumnya. Menyesuaikan diri. Dengan perkembangan zaman yang menuntut segala sesuatu penjadi simple. Menjadi praktis.

Selasa, 25 Agustus 2020

Blogger, Vlogger, Youtuber dan Mager

IYA, entah sejak kapan, saya suka utak-atik antena televisi. Bermula dari antena UHF biasa, beranjak ke antena wajan. Iseng saja. Suka saja. Suka lihat televisi. Walau kalau saya sedang pegang remote control tivi, si remote itu bisa-bisa kegeregetan; karena saya selalu gonta-ganti channel. Tak fanatik pada kanal tertentu. Lalu kesukaan itu saya tuang dalam tulisan. Dalam blog. Sekenanya. Semaunya. Sok jadi pengamat televisi. Karena, saya pikir, jadi pengamat televisi itu gampang. Tinggal nonton, amati, ulas, lalu posting di blog.

Ternyata saya keliru. Ternyata tidak begitu. Pengamat tivi itu kudu paham banyak hal. Bukan berdasar amatan serampangan di layar kaca belaka. Tapi juga hal-ihwal yang saling kait-mengait dalam ikatan dunia penyiaran. Undang-undang atau regulasinya, teknologinya, resolusi gambarnya. Dan sebagainya, dan seterusnya.

Dengan tahu diri bahwa saya tidak banyak tahu, maka dalam blog televisi saya itu, saya membatasi diri hanya memposting hal yang setahu saya saja. Tidak lebih. 

Awal ngeblog dulu, sekitar sebelas tahun yang lalu, saya seperti kesurupan. Entah berapa blog yang saya buat. Walau sekarang, yang saya rawat (seingatnya saja sih merawatnya ๐Ÿ˜Š) hanya dua atau tiga. Termasuk ini. Yang sedang saya (atau Anda?) baca ini.

Minggu, 28 Juni 2020

Lathi Bahasa Jawa Kuno?

SEHARIAN ini beberapa kali saya menyimak lagu Lathi. Sebelumnya saya hanya mendengar secara tidak sengaja. Saat anak saya mainan TikTok. Awalnya, jujur, saya tidak tahu itu lagu siapa. Lebih jujur lagi, saya menyangka itu lagu dari penyanyi manca negara. Ternyata oh ternyata, saya yang kudet. Kalah sama bocah generasi TikTok.

Mumpung sempat, saya cari tahu siapa di balik Lathi. Selain Sara Fajira, saya temukan Eka Gustiwana. Nama yang saya konotasikan sebagai sosok  muda yang kreatif. Yang pernah menggubah (atau mengubah) dialog saat debat capres menjadi lagu. Atau merekam segala bunyi aktifitas di bandara (langkah kaki pramugari, suara mesin pesawat dlsb) menjadi karya musik yang indah di telinga. Beberapa kali pula saya lihat di Youtube penampilan Eka meng(g)ubah jingle banyak iklan menjadi satu kesatuan lagu yang enak didengar.

Di Weird Genius itu, selain Eka Gustinawa, ada Reza Arap (pakai P, bukan B) dan Gerald. Siapa mereka, sepertinya Anda lebih tahu daripada saya. Pun demikian tentang Sara Fajira.

Dalam sebuah obrolan dengan Pak Ganjar Pranowo, Sara mengungkap bahwa ialah yang memasukkan syair berbahasa Jawa yang salah satu katanya dijadikan judul lagu; lathi.

"Saya mengambil dari istilah peribahasa Jawa kuno", begitu jawab Sara saat ditanya Pak Ganjar seperti saya lihat di kanal Youtube Pak Gubernur Jawa Tengah itu, tentang inspirasi dibalik Lathi.

Rabu, 03 Juni 2020

Meramal New Normal

KANG KARIB, ketika masih kecil, saat sandal jepitnya putus dan bilang ke orang tuanya, cerita selanjutnya sungguhlah lumrah. Tepatnya lumrah dan normal di zaman itu. Yakni, bukan lalu dibelikan sandal jepit baru, namun dicarikan peniti atau paku. Lalu ditusukkanlah paku atau peniti itu ke bagian srampat sandalnya yang putus. Beres. Sandal bisa dipakai lagi.

"Itu lak zaman doeloe, Kang", Mas Bendo mengomentari cerita itu. "Coba anak sekarang, mana mau mereka pakai sandal jepit 'berpenangkal petir' begitu".

"Begitulah, nDo. Setiap zaman mengandung kelumrahannya sendiri".

Lalu Kang Karib menukil contoh termutakhir. Akibat Covid-19. Yang orang dianjurkan untuk jangan salaman dulu. Selalu pakai masker. Tentu saja ada yang manut, ada yang ngeyel. Lazim. Namanya juga homo sapiens. Nah, sampai kapan harus begitu? Harus jangan salaman, harus selalu bermasker?

Para orang pintar pun belum tahu kapan pageblug ini akan game over. Kapan pandemi ini berakhir. Nah, jangan-jangan orang kemudian keterusan tidak suka salaman dan kemana-mana dengan penutup mulut.

"Lha lak tambah bagus to, Kang", sahut Mas Bendo. "Orang menjadi makin sadar jaga kesehatan".

"Itu lak kalau maskeran, nDo. Maksudku kalau keterusan tidak mau salaman piye?".

"Aku juga lagi mikir, Kang."

"Mikir opo?"

"Mikir konsep rumah", jawab Mas Bendo. "Rumahku kan kamar mandinya di belakang. Di dekat dapur".

"Lho lak normalnya memang gitu kan, nDo?" sela Kang Karib.

"Itu lak normal cara lama, Kang. Kalau normal gaya baru, yang dibilang orang dengan kata 'keminggris' New Normal itu, bisa beda, Kang."

"Beda piye jal?"

"Sekarang orang kalau dari keluar rumah, dari berbelanja atau pulang bekerja, kan harus bebersih badan dulu. Mandi, ganti baju, baru boleh bercengkerama dengan orang rumah. Lha kalau kamar mandinya di belakang, lak sudah kadung masuk rumah, penyakit bisa keburu ngikut masuk".

"Jadi?"

"Menurut ramalanku, selain harus selalu menerapkan segala protokol kesehatan yang sekarang umum dikampanyekan, di rumah-rumah, jedhing atau kamar mandi, nantinya tempatnya tidak 'disembunyikan' di belakang seperti selingkuhan. Tapi di depan, di dekat halaman".****




Minggu, 19 April 2020

Lockdown Medsos

SEBAGAI yang gemar menikmati informasi sedari dulu, saat-saat ini saya sudah menginjak pedal rem untuk aktifitas tersebut. Ini berlaku untuk semua informasi yang disiarkan oleh media-media arus utama dari beragam platform. Misalnya, saya lebih sering nonton acara semacam Bikin Laper (TransTV) atau Tik-Tokan (NET.) daripada aneka program berita dari berbagai saluran di jam yang sama. Mungkin sementara saja. Sampai saya merasa situasi sudah kondusif. Sudah normal.

Apakah saat ini suguhan informasi disajikan secara tidak normal? Entahlah. Masing-masing kita terbuka peluang untuk tidak sependapat. Itu sah-sah saja. Bukan masalah. Kalaulah ada masalah, tentu lebih ke sikap individu. Selain sudut pandang, juga --menurut saya-- sudut ketahanan psikologis terhadap paparan informasi.

Wabil khusus, kalau saat ini adalah paparan berita pandemi Covid-19. Jumlah pasien baru, PDP, ODP dan korban meninggal selalu berisi angka-angka yang secara grafik saban hari senantiasa merangkak naik. Bagi sebagian orang, saya misalnya, hal tersebut bukan tidak mungkin, menaikkan pula rasa was-was, khawatir dan semacamnya. Ujungnya panik. Ujungnya lagi, konon katanya, malah kurang baik. Karena imun tubuh jadi ikutan turun. Padahal kalau imun tubuh turun, bla, bla, bla....


Senin, 13 April 2020

Kaos Terbalik dan Rezeki Baik

DUA hari ini saya batuk-pilek. Awalnya hanya begitu. Lalu mendapat bonus tambahan; demam. Saat saya cek pakai thermometer, suhu tubuh saya sempat nangkring di angka 38.3°C. Itu kemarin. Padahal hari-hari ini, batuk-pilek-demam sedang jadi pusat perhatian. Gara-gara Corona. Gara-gara Covid-19. Yang katanya gejalanya begitu itu.

Saya berbaik sangka saja. Saya hanya batuk-pilek-demam biasa. Bukan karena 'itu'. Sejauh ini saya berusaha patuh anjuran. Sering cuci tangan pakai sabun. Jaga jarak dengan orang lain. Selalu pakai masker. Sudah tak pernah lagi ikut Yasinan-Tahlilan berjamaah. Yang anggota jamaah Yasinta kami ratusan orang. Yang biasanya duduk berhimpitan, bila rumah yang sedang dapat giliran tak seberapa besar. Lalu saling salaman. Lalu, ah sudahlah.

Covid-19 telah menjadi buah bibir semua warga dunia. Negara sekaya, seperkasa dan seadidaya Amerika saja kelimpungan diterjang Corona. Apalagi negara kita? Oh, janganlah begitu. Mari berdoa; semoga si wabah ini segera sirna. Dari muka bumi.

Saya sedang batuk-pilek. Dan harus berobat ke dokter. Tidak seperti biasa, di klinik tempat saya akan periksa ini, ruang tunggu sekarang ada di luar. Di dekat parkiran. Padahal biasanya ada di dalam. Ber-AC. Walau tak ber-Wifi, biasanya kita disediakan bacaan. Majalah, juga koran.

Sejak ada Corona, banyak hal diubah. Termasuk ruang tunggu klinik ini. Pasien yang menunggu di luar, dipanggil satu-satu. Sesuai nomor antrean. Masuk, langsung ditodong thermal detector. Alhamdulillah; suhu saya sudah normal. Tertera angka 36.1°C. Beruntung saya tidak datang ke dokter kemarin. Saat suhu tubuh saya 38.3°C. Bisa-bisa saya ditelponkan 112. Untuk diproses lebih lanjut.

Selain selalu pakai masker, sering cuci tangan, dari mana-mana nyampai rumah disemprot disinfektan dari ujung rambut sampai sepatu, nglakoni physical distancing  dan lain-lain, yang juga sedang saya lakukan adalah berusaha menjaga jarak aman dengan medsos. Entahlah, semakin saya berenang di genangan medsos, semakin saya mudah terpapar aneka kabar yang beredar. Padahal kita tahu, entah benar entah tidak sebuah informasi, jari kita enteng saja membagikannya. Kadang langsung sharing  tanpa lebih dulu disaring. Ke grup wasap keluarga atau teman alumni.  Ini tak baik, menurut saya. Mengonsumsi dan/ atau berbagi informasi dosis tinggi tanpa terlebih dulu melakukan verifikasi, berpeluang punya implikasi merusak 'hati'.  Maka, satu per satu akun medsos milik saya sementara akan saya lockdown. Twitter sudah. Mungkin selanjutkan akun Facebook saya, lalu yang lainnya lagi. (Kalau Tik Tok , dari sejak saya unduh, malah cuma bertahan sekian hari saja di ponsel. Saya merasa terlalu tua untuk aplikasi tersebut. Selebihnya, saya merasa tak mampu membuat konten selucu beragam tayangan konyol ala Tik Tok itu).

WA dari Ibu Negara
Saat saya antre dokter tadi, tiba-tiba 'Ibu Negara' mengirim WA. Mengabarkan kaos yang saya kenakan terbalik, dia tahu karena dibilangi oleh tetangga yang berpasasan dengan saya di jalan saat saya berangkat tadi. Oh.

Saya yang tadinya santuy, menjadi agak gimanaa gitu. Kanan-kiri-belakang saya banyak orang. Sama-sama antre akan periksa dokter. Tapi, saya harus cepat menguasai keadaan. Toh tak ada yang mengenal saya. Lebih-lebih saya sedang pakai masker dengan brukut.

Saat sesuatu terjadi diluar dugaan, dibutuhkan tindakan cepat untuk 'seakan-akan sedang tidak terjadi apa-apa dan semua sedang lazim adanya'. Secepat itu pula saya harus segera menyemai sugesti bahwa; bilamana ada orang sedang bepergian untuk suatu urusan dan tanpa sadar mengenakan pakaian secara terbalik, niscaya ia akan mendapat rezeki yang datangnya tiada terduga. Dan, salah satu rezeki terbesar di hari-hari ini adalah: kita, orang-orang tercinta di sekitar kita, saudara-saudara sebangsa-setanah air, dan semua manusia penduduk dunia segera terbebas dari paparan pandemi wabah ini. Semoga. ****

Minggu, 24 November 2019

Saltum

BURUNG-BURUNG dalam sangkar peliharaaan tetangga berbunyi selalu. Ya, berbunyi. Ataukah itu berkicau? Entahlah. Surabaya hari-hari ini cuacanya panas sekali. Sekarang sudah minggu terakhir bulan November, dan hujan belum juga turun. Nah, bisa jadi burung-burung itu, yang digantung di teras atas itu, sedang mengomel karena kepanasan. Dan kita, apa pun arti suara burung, dibilang berkicau, bernyanyi. "Nyanyi gundulmu itu, aku ini misuh, c*k!"

Ya, dunia memang berisik. Tak melulu oleh suara burung. Tapi oleh ocehan lain. Tentang si itu yang tak boleh jadi anu, atau tentang catur. Atau usulan masa jabatan yang boleh tiga kali. Mbelgedhes tenan. Mau tak ditanggapi itu kuping ini dengar, mau tak dikomentari kok ya eman-eman. Baiklah, kita ini memang tak akan kehabisan bahan baku untuk tukaran, untuk berantem. Stoknya melimpah dan turah-turah. Jadi harus disyukuri(n).๐Ÿ˜Š

Saya barusan menanam pohon kelor. Ya, ini bukan berita penting. Apalagi disampaikan oleh orang yang sangat tidak penting. Lain halnya kan kalau yang melakukan penanaman kelor itu si itu, yang saban obah-nya jadi berita. Seremeh apapun itu.

Cemburu?

Horak! Memangnya aku ini cowok apaan?

Kelor, kalau tradisi di kampung saya, (juga) dipakai memandikan mayat. Untuk? Agar si jenazah luntur segala susuknya. Makanya, beberapa teman yang bilang tak suka makan sayur kelor, dengan alasan 'daun untuk memandikan orang mati kok dimakan', saya duga ia sedang pasang susuk. Iya susuk. Susuk apa?

Ya, bisa jadi susuk kekuatan yang dipasang di jempol kedua tangannya agar kuat tutal-tutul layar ponsel, online nyosmed seharian. Juga, susuk betah isin ngevlog di sembarang tempat dengan kostum yang itu-itu melulu.

Asem tenan! Nyemoni aku ya!

Begini; bila hobi menulis, pembaca tidak akan peduli saya nulis pakai kaos kotang atau ote-ote, tak pakai baju dan cuma sarungan saja. Kalau lagi ngevlog, lha kok kaos yang saya pakai cuma Terong Gosong melulu. Seakan ada kesan; apapun kontennya, Terong Gosong kaosnya. Lalu, muncullah komentar sontoloyo yang saya dengar; wooii..., kaosnya ganti napa?!

Jujur, saya tak hanya punya kaos sakti mandraguna bertuliskan Terong Gosong  itu. Ada juga baju. Hem lengan pendek. Kotak-kotak. Tak banyak sih. Cuma sebiji. ๐Ÿ˜‰

Celakanya, nyaris semua foto dan atau video yang saya unggah ke semua akun sosmed saya, kalau bukan pakai kaos 'kebangsaan' itu, ya pakai baju kotak-kotak itu. Sialnya, ada fans (jangan ketawa, gini-gini, saya punya penggemar juga lho) kirim komentar sepedas mie setan level ugal-ugalan. "Maap, Kakak kok saltum. Saat yang lain pakai batik, kok Kakak tetep konsisten pakai kotak-kotak. #seriusnanya".

Saat iseng belajar nge-vlog di Taman Bungkul, Surabaya.
(Foto: Faiz FN.)
Tentu saya maafkan. Namanya si penggemar saya itu mungkin belum tahu saja. Bahwa, salah satu tanda atau indikasi tipe lelaki setia lahir-batin, baik di dunia maya atau di dunia nyata, adalah yang kemana-mana dan di acara apa saja baju yang dikenakannya selalu yang itu-itu melulu. Catet baek-baek!

Itu alasan pertama. Alasan kedua; baju kotak-kotak adalah batik yang tertunda (sebagaimana jomblo adalah ..... yang tertunda)๐Ÿ˜€ *****


Jumat, 22 Maret 2019

R e w a n g

Suasana rewang  dibuat sebagai
status WA oleh istri saya.
MALAM sudah sangat larut. Ibu-ibu yang tadi sibuk bikin aneka olahan di teras rumah saya sudah pada pulang. Untuk besok pagi datang lagi.

Sambil tiduran saya membuat tulisan ini. Tiduran di lantai ruang tamu. Yang sesak oleh tumpukan ini-itu. Persiapan keperluan tetangga depan rumah yang besok punya hajat. Mantu.

Aroma ruang tamu saya laksana aroma dapur perusahaan katering. Ada adonan bumbu rawon, soto dan entah apa lagi. Beginilah hidup di kampung. Yang punya hajat satu orang, yang rewang, yang bantu-bantu, orang satu gang. Ada yang ketempatan jajan, ada yang ketempatan stok air minum, ada yang ketempatan sebagai dapur (seperti di teras dan halaman rumah saya ini).

Suatu hari salah seorang staf sebuah kantor di Bali tidak masuk kerja. "Kemana Bu Nengah kok hari ini tidak masuk?", tanya saya.

"Bu Nengah hari ini ngayah", Mbak Wayan menjawab. "Bapak ngerti ngayah?"

Sebelum saya menjawab, Mbak Wayan menerangkan," Ngayah itu bantu-bantu tetangga yang lagi ada hajatan tapi tak dibayar".

Persis sama dengan istilah Jawa di kampung saya. Termasuk saat kami orang satu gang pada ikutan sibuk bantu-bantu tetangga yang besok hajatan ini.

Serepot-repotnya sekarang, tak serepot orang punya hajat tempo dulu. Saat saya kecil. Di desa. Yang kalau akan menggelar hajatan, hitungan repotnya bukan sekadar hari. Tapi bulan. Dan setiap yang datang membantu, walau tak dibayar, tentu dikasih makan. Juga rokok. Tentu perlu biaya mahal. Tapi kebersamaan, gotong-royong, itu tentu tak ternilai harganya.

Kini, semua serba cepat. Juga simpel. Tendanya sistem knock-down. Cepat sekali bongkar-pasangnya. Dibanding dulu. Yang tendanya masih pakai tiang bambu. Atapnya dari anyaman blarak, daun kelapa. Kursinya juga, masih pinjam punya tetangga. Beberapa hari sebelum hari H, ada yang kebagian tugas mencari sekian banyak daun jati. Untuk pembungkus songgongan, bingkisan berisi nasi lengkap dengan lauk dan jajanan.  Kini semua tersedia. Di tempat persewaan alat pesta. Minta yang model apa. Minta yang harga berapa.

Ada lagi yang lebih praktis. Yang punya hajat tak perlu repot. Tinggal diserahkan ke EO. Segala macam urusan. Dari A sampai Z.

Dengan membayar EO, menjadikan tetangga kanan-kiri tak perlu ikut repot ngayah, ikut rewang. Ketempatan ini-itu. Namun yang ikut 'repot' beginilah yang saya suka. Bahwa tak semua kudu dihargai dengan uang. Ada semacam tali yang mesti tak dilepaskan. Tali keterikatan. Bahwa, saudara terdekat adalah tetangga. ****


Rabu, 27 Februari 2019

Pencitraan

"MERAKYAT, jujur dan amanah", begitu tulisan yang terpampang pada baliho di perempatan jalan. Ada wajah dengan berhiaskan senyum pada baliho yang sama. Intinya, dia ini sedang memperkenalkan diri. Sekaligus mencitrakan diri sebagaimana ia ungkap dalam kata 'merakyat, jujur dan amanah' itu. Apakah dalam keseharian sosok itu betul begitu? Ataukah itu hanya rayuan (gombal) agar terpilih sebagai anu. Setelah itu ia terkutuk sebagai kacang yang lupa kulitnya?

Betapa banyak kini sosok begitu itu. Tradisi lima tahunan. Menjual citra palsu, menjual janji yang juga palsu. Tentu tidak semua begitu. Namun, dalam kontestasi banyak-banyakan pemilih agar jadi, selalu saja ada langkah yang ditempuh laiknya penjual kecap. Dalam 'jualan' macam itu, ia membutuhkan timses. Membutuhkan konsultan. Nah, polesan-polesan (oleh timses dan konsultan?) agar tampak lebih yes itulah pencitraan.

Apakah hanya para mereka itu yang sering (atau selalu?) memakai jalan pencitraan? Sepertinya tidak.

Kita (eh saya ding!), pun sering berlaku begitu. Di medsos, misalnya. Untuk apa, coba, saya menulis status kalimat bijak dengan menukil quote-quote orang-orang hebat? Tentu agar orang menilai saya ini 'bijak'. Pun demikian saat saya menulis status lucu, upload foto dengan pose tertawa padahal hati nelangsa dsb, dst.

Saya masih ingin menulis tentang 'pencitraan' ini lebih panjang lagi, sebenarnya. Agar dikira orang saya selalu punya ide untuk ditulis di blog ini. Tapi kok ya gimana begitu. Lha wong saya nulis ini tadi juga berdasar status teman di medsos kok. Tentang apakah status itu genuin hasil perenungannya sendiri ataukah dari berbagai sumber literasi yang telah dicecapnya untuk kemudian dipajang di medsos, tentu saya kurang tahu pasti. Pun, apakah teman saya tadi menulis begitu juga sedang mencitrakan dirinya? Saya lebih tidak tahu lagi. ****


Rabu, 06 Februari 2019

Pelet Internet

SETELAH Philipina, Brazil, Thailand dan Kolumbia, negeri kita nangkring di peringkat kelima tingkat kebetahan penduduk dalam main internet. Torehan waktunya, 8 jam 36 menit dalam sehari. Artinya lebih dari sepertiga waktu dalam sehari kita habiskan berinternet. Entah ini sebagai cermin kepintaran dan kemajuan ataukah malah sebaliknya. Karena Jepang, sebagai negara yang minat baca warganya relatif tinggi, ranking kekuatan warganya dalam berinternet gak ada seupilnya bila dibanding kita. Catat, mereka hanya betah berinternet selama 3 jam 45 menit dalam sehari. Dan ini sebagai negara nomor buncit.

Internet penting adalah iya. Namun membaca rilis yang banyak dimuat media tersebut kok ya gimana. Ataukah memang kegemaran dan kebetahan dalam berinternet tak dapat dijadikan patokan pintar-tidaknya sebuah bangsa (atau seseorang), tak pula bisa dipakai acuan yang hitam-putih.

Sebagai orang yang tidak sekali-dua blusukan ke kamar mandi dan/atau WC penghuni Jepang, saya acap mendapati ada semacam 'perpustakaan' di tempat buang hajat mereka. Itu, walau subyektif semata, paling tidak saya bisa simpulkan; orang Jepang suka membaca. Nah, lha kok bisa coba, orang suka membaca malah, menurut laporan itu, gak betah berinternet.

Kembali ke 'prestasi' daya tahan bangsa kita dalam berinternet, jangan-jangan memang demikian. Jangan-jangan itu memang perilaku saya. Yang lebih akrab dengan gadget dibanding lingkungan sekitar.

Membuat tulisan ini dan lalu mempostingnya di blog, tak terasa sudah hampir setengah jam saya 'online'. Ini baru barusan. Belum lagi pagi tadi, belum lagi siang tadi. Oh, jangan-jangan telah lebih dari 8 jam 36 menit dalam sehari ini saya ngeluyur sia-sia di dunia maya. ****

Minggu, 06 Januari 2019

Kacamata

BUKAN, ini bukan tentang hoax lagi. Masa sudah dua kali di awal tahun ini menulis tentang hoax, mau nulis lagi tentang itu. Sudah cukup. Sekali pun di luar sana masih dan selalu akan ada hoax-hoax baru. Biar saja. Hoax menggonggong, kafilah berlalu.

Mari bercerita tentang hal lain saja. Hal-hal tak penting lainnya. Karena bukankah semua yang saya tulis di sini memang adalah hal remeh temeh belaka. Hal tak penting yang hendak saya tulis kali ini adalah tentang kacamata.

Kacamata adalah sesuatu yang sebenarnya tak penting namun meningkat derajatnya menjadi penting bagi yang membutuhkan. Saya pernah membaca analisa seseorang tentang suatu topik dari kacamata beliau sebagai pakar. Yang kadang, nalar saya tidak nutut untuk memahaminya. Yang celakanya, lalu saya tidak setuju dengan pendapat pakar itu. Kenapa? Kacamata saya dan kacamata beliau dalam menyikapi sebuah topik berbeda. Kenapa berbeda? Bisa jadi karena ada gap (bisa pendidikan, dan lainnya) antara saya dan pakar itu.

Kacamata saya yang kemarin patah (dan alhamdulillah telah tersambung lagi oleh kawat klip kertas ini), saya beli di jalan Melati Tabanan, Bali. Di sebuah toko kacamata kecil, Kalista Optik namanya. Tak ada yang istimewa dari bangunannya. Setak-istimewa banten (sesajen kecil dengan dupa yang mengepulkan aroma wangi) yang diletakkan di depan toko, pagi itu. Juga pagi-pagi yang lain. Lumrah saja. Di Bali semua begitu. Yang tak lumrah adalah, dari toko yang secara penampakan terlihat Bali banget itu, terdengar alunan lagu kasidah, atau rekaman tartil Al Quran setiap saya lewat. Juga dua perempuan muda berjilbab sebagai penjaganya.

Maka, ketika kacamata saya rusak dan tak bisa diperbaiki, menujulah saya ke Kalista untuk membeli yang baru. Tentu, ada banyak toko kacamata di Tabanan situ. Tetapi, menurut kacamata saya, ada sesuatu yang 'lain' (menurut saya lho ya) dari Kalista. Ada aura yang menyatu dengan saya. Ada warna yang langsung bisa menyentuh hati saya. Iya, musik kasidah dan perempuan berhijab itu.

Mungkin, seharusnya saya tidak terlalu begitu. Bukankah dalam jual-beli tak terlarang untuk melakukan dengan orang yang tak seiman. Betul, dan saya tak membantah itu. Namun, bukankah saya juga tak salah berlaku begitu, dan di kesempatan lain membeli barang lain di tempat yang lain, di tempat orang tak seiman. Biasa saja.

Toh, musik kasidan dan alunan ayat suci itu diputar oleh penjaga toko yang kera Ngalam, arek Malang. Yang tak malang karena tak dilarang oleh si empunya toko yang orang Hindu (Bali) untuk memutar sesuatu yang islami di tokonya. Ini hal sepele. Hanya suara. Tapi, di sini, di negeri yang dulu senantiasa digaungkan sebagai negeri yang menjunjung tinggi sopan-santun dan toleransi ini, kini tidak sedikit hal dan kasus besar (atau dibesar-besarkan?) yang dipicu hal sepele. Tidak saja oleh yang lain golongan, yang segolongan pun bisa beda dalam menilai dan menyikapi sesuatu. Kenapa? Ya karena beda kacamata (dan kepentingan?) dalam melihatnya. *****