Rabu, 10 Agustus 2016

Giliran Menggali Kubur

PENGERAS suara yang terpasang di menara masjid di kampung saya, secara rutin tentu saja mengumandangkan adzan di lima waktu sholat. Tetapi selain itu, adakalanya digunakan juga untuk memanggil anggota Ishari untuk berkumpul sebelum mengahadiri undangan ke suatu tempat. (Dalam hal ini saya sempat membatin, apa anggota kelompok hadrah itu tak memiliki ponsel ya kok sampai dipanggil dengan cara memanfaatkan TOA masjid?). Selain dua hal tersebut, speaker masjid secara waktu tak tentu (bisa pagi, malam, sore atau dini hari) juga dimanfaatkan untuk menyampaikan kabar duka bila ada warga yang meninggal dunia.

Tidak seperti kebiasaan di desa asal saya yang untuk mengebumikan orang meninggal harus menunggu waktu (menunggu berkumpulnya sanak famili yang kadang bertempat tinggal di tempat jauh, sehingga tak jarang mayat diinapkan walau meninggalnya masih sore hari), disini berjarak tiga jam dari pengumuman yang disebarluaskan dari pengeras suara masjid, semua prosesi pemakaman telah selesai. Tak peduli siang, tak peduli malam. Mungkin, tak peduli juga sanak famili belum semuanya datang.

Hari-hari ini, bila ada kabar duka cita berkumandang dari manara masjid, saya ikut menyimak juga; apakah yang meninggal itu masih satu RT dengan saya atau tidak. Pasalnya, di dinding teras rumah saya sejak dua minggu yang lalu tergantung tanda 'palang merah'. Itu pertanda, bersama enam tetangga lainnya, saya sedang dapat giliran menggali kubur bila ada salah satu warga di RT kami yang meninggal.

Ini akan menjadi pengalaman kedua sejak saya tinggal di kampung ini mulai tahun 2009 yang lalu.

Menggali kubur? Bukankah telah ada petugas khusus yang dibayar melalui iuran rutin warga? Mungkin itu kebiasaan di tempat lain, dan boleh jadi di tempat lain lagi ada yang dalam menggali kubur tak menunjuk petugas khusus dan semua prosesi dari A sampai Z dilakukan secara gotong royong. Begitulah; dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak.

Saya belum bertanya sejak kapan dan oleh siapa peraturan menggali kubur secara bergiliran itu di kampung ini diterapkan. Namun saya berbaik sangka saja. Kalau bertakziyah kepada orang yang meninggal mempunyai efek baik agar kita selalu ingat mati, apalagi dengan ikut menjadi penggali kubur (yang dalam proses penggalian tak jarang menemukan tulang-belulang). Tentu bobot ingat mati akan makin tinggi dan makin menyadari kelak siapapun kita di kuburan akan tersisa tulang-belulang. *****