Senin, 30 April 2012

Teman Facebook

LILY memegang gelas kosong menuju depan ruang IT yang di sudut depan pintunya terletak dispenser. Sambil berjalan ke situ ia melirik lelaki yang kemayu itu. Kau tahu, dia sangat benci melihat perempuan yang kemayu. Lebih-lebih yang kemayu itu adalah lelaki. Ia, kalau melihat Ivan Gunawan atau siapa pun lelaki yang tampil layaknya perempuan atau malah cenderung lebih perempuan ketimbang perempuan yang sesungguhnya tampil di televisi, ingin melemparnya memakai remote control yang sedang dipegangnya. Tetapi, sungguh, Lily kadang gampang sekali berubah pikiran. Dan ia hanya kemudian mematikan televisinya. Masuk kamar, menyalakan komputer. Online. Main twitter atau Facebook-an. Itu kebiasaan baru, karena dulu, dulu sekali, ia lebih akrab dengan kertas, sebenarnya. Membuat catatan tentang apa saja. Di buku hariannya. Kini tidak lagi. Tetapi kebenciannya kepada seorang yang kemayu, memang sejak dulu ia pelihara.

Kembali dari mengambil air minum di depan ruang IT, mendapati lelaki kemayu itu, Yossy namanya, memperhatikan kuku-kukunya. Dengan lagak yang enggan sekali Lily menatapnya. Tetapi, sebagai teman sekantor, satu ruang tepatnya, tak mungkinlah ia meludah di depannya. Ia hanya tersenyum. Senyum yang dipaksa. Lalu lelaki kemayu itu pun terseyum. Sambil menarik pintu laci meja kerjanya. Di situ, sepintas Lily melihat isinya. Persis laci seorang penata rias. Ada bedak dan sebangsanya.

Pernah ia dengar tentang susuk. Sebagai pengasih. Agar orang memeperhatikan lebih. Tentu kau pernah juga mendengarnya. Untuk apa?

Jilbab, Salib dan Toleransi

KAMPUNG saya, sering sekali tiba-tiba ada bazar tiban. Saya bilang tiban karena, tidak ada orang hajatan atau apa, tiba-tiba di pinggir paving stone jalan kampung saya tiba-tiba ada nomor-nomor yang dibuat menggunakan warna putih. Itu, kalau sampeyan tahu, adalah kavling-kavling para pelaku bazar tiban itu. Yang ditawarkan tentu aneka rupa. Mulai dari CD yang seharga sepuluh ribu dapat tiga keping (baik CD dalam arti compact disc --yang bisa jadi adalah barang bajakan-- atau CD dalam arti 'celdam'. Hehe...) sampai aneka penganan tradisional. Mulai rujak cingur sampai gado-gado dan sebangsanya. Dari baju-baju sampai kaos kaki lima ribu untuk tiga pasang.

Yang juga pasti ada adalah aneka mainan untuk anak-anak. Mulai persewaan mobil remote control sampai arena mandi bola. Dari tempat memancing ikan plastik bermulut magnet sampai aneka jenis odong-odong. Nah, untuk odong-odong ini, si kecil saya tidak bisa dislimur. Harus naik pokoknya. Ia suka sekali naik yang model kereta api tetapi hanya berjalan memutar dalam lingkaran rel yang tak seberapa lebar itu. Celakanya lagi, ia tidak mau turun sekalipun teman seangkatannya (yang hanya sekitar sepuluh atau lima belas menit itu) sudah turun. Faiz, si kecil saya itu, entah naik untuk berapa 'kloter'. Saya berdoa semoga ia tidak pusing naik kereta mungil yang hanya berputar-putar begitu.

Tetapi, rupanya, doa saya kurang manjur. Buktinya, malam-malam, ketika ia berangkat tidur dan sambil minum susu dari botol, tiba-tiba ia bangun dan mak byor... muntah. Saya curigai itu sebagi efek dari naik odong-odong yang 'over dosis' tadi.

Tetapi ketika besok harinya ia juga masih muntah setiap setelah maem atau minum susu, tentu saya harus tanggalkan anggapan itu sebagai efek dari pengaruh odong-odong. Ia sedang sakit. Dan, sebagaimana bunyi iklan, bila sakit berlanjut hubungi dokter, maka saya bawa ia ke sebuah Poli Anak milik sebuah yayasan di kawasan Manyar yang biasanya ia cocok berobat ke situ.

Agak ngebut saya membawanya, dengan pertimbangan Poli Anak itu tutup jam delapan malam. Alhamdulillah masih nutut, masih setengah delapan saya sampai di TKP. Karena sedang hari Minggu atau apa, Poli Anak itu tidak seramai biasanya. Iseng saya hitung, ada limabelas ibu yang sedang mengantar buah hatinya berobat kesitu. Ruang tunggu yang biasanya ramai, terasa longgar. Bangunan poli ini sudah terbilang lama. Pada dinding tertera keterangan, gedung ini diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1985. Dengan dinding yang dicat putih bersih, dengan tanpa salib tergantung ditengah, tentu saya bisa menarik kesimpulan siapa pengampu yayasan ini.

Dan, tetapi, keisengan saya belum berhenti.
Sekalipun ada tanda salib lumayan besar di dinding itu, empat dari tujuh petugas (semua perempuan) yang sedang dinas malam itu berjilbab! (Rinciannya: satu dari dua dokter mengenakan jilbab, dua dari tiga orang di ruang obat memakai jilbab, satu dari dua wanita di loket pendaftaran berjilbab.) Sekarang para ibu, para orang tua pasien; sembilan dari lima belas orang mengenakan jilbab..

Sebuah pemandangan yang bisa jadi sepele. Tetapi, sebuah toleransi, sesepele apa pun itu, adalah sesuatu hal indah.

Contoh lain. Saya punya teman yang istrinya dalam dua kali proses persalinan selalu di sebuah rumah sakit Kristen besar di kota ini. Dan, sekalipun ruang persalian itu di dindingnya ada kayu salib dan beberapa poster bertuliskan firman Tuhan yang dikutib dari Injil, dokter yang menanganinya selalu memanggil teman saya itu untuk segera mengumandangkan adzan ke telinga buah hatinya sesaat setelah jabang bayi mungil itu lahir.*****

Sabtu, 28 April 2012

Kuda-kuda

"CARI saja yang lewat Kertosono," pesan seorang teman yang asli Kediri. "Karena kalau naik yang lewat Pare akan lebih lama nyampainya."

Pertanyaan itu perlu saya lontarkan, karena saya akan ke Ngronggo. Sebuah desa yang masih masuk ke dalam wilayah Kediri Kota. Keterangan lanjutan dari teman saya itu, adalah soal bis. Karena, "Yang lewat Pare itu lebih jelek armadanya. Kalau yang Kertosono ada Harapan Jaya atau Pelita Indah. Dijamin banter-banter."

Minggu kemarin (22 April), bersama anak istri plus pakde, jam delapan lebih empat puluh lima menit, saya take off dari Bungurasih. Dan, alhamdulillah, Pelita Indah sedang dalam posisi antrean di depan dengan tulisan via Kertosono di kaca depan.

Karena saya benar-benar buta akan tujuan saya, maka ketika bis melaju diatas jembatan layang Trosobo saya bilang ke kondektur untuk memastikan agar saya nanti diturunkan di pertigaan Ngronggo. "Iya, nanti kalau sudah dekat tak bilangi," kata kondektur sambil menghitung uang kembalian untuk saya. Tarifnya, Surabaya-Ngronggo itu, empat belas ribu per kepala.

Ancar-ancar yang saya dapat dari orang yang hendak kami datangi itu jelas. Pokoknya Ngronggo itu tempat pemberhentian bis setelah Alun-alun. Tepatnya, sebuah pertigaan yang ada lampu traffic light-nya.

Lancar, alhamdulillah.
 Kami tiba di lokasi dengan selamat. Tetapi ada satu pengalaman (pemandangan, sebenarnya) yang betapa tidak selamatnya dia. Ceritanya begini: Biasalah, ketika akan mendekati tempat turun, kondektur selalu meneriakkan suatu tempat. Tujuannya jelas, agar si penumpang itu, yang bisa jadi sedang agak tertidur itu, supaya bangun dan segera mendekati pintu.

Saya lupa ia turun dimana, tetapi seorang lelaki langsung menuju dekat pintu setelah mendengar teriakan kondektur. Tetapi sial. Ketika lelaki itu berjalan mendekati pintu, sopir menginjak pedal rem dengan tiba-tiba entah karena apa. Maka, si penumpang yang hendak turun tadi terjatuh tengkurap dan nyaris mencium bangku (atau penutup mesin?) disebelah sopir. Saya tahu, dengan tangan sempat menahan begitu, tentu kejatuhan itu tidak terlalu menyakitkan. Tetapi, tentulah sangat memalukan. Dan, bapak sopir yang di topi hitamnya tertera tulisan Pemburu itu, sialnya, hanya memandang yang terjatuh itu dengan tanpa meminta maaf.

Analisa saya, penumpang yang sedang apes itu, tidak menyangka sopir akan mengerem mendadak begitu. Juga, rupanya, ia tidak sedang berpegangan pada sebatang besi diatas kepala yang membentang sepanjang di atas tempat duduk. Kejatuhan itu, juga karena ia dalam posisi berdiri tanpa kuda-kuda. Dengan sopir yang bersikap dingin tanpa empati, lengkap sudah penderitaan penumpang nahas itu.*****

Meraih Mimpi

LANGKAH terbaik untuk meraih mimpi indahmu adalah bangun dari tidur.

Paul Valery, filsuf Prancis.

Melirik Nopol Cantik

BARUSAN, iseng saya melihat-lihat mobil yang berjajar di car park basement tempat kerja saya. Biasa, kalau hari Sabtu begini, mobil yang tidak keluar lumayan banyak, sehiggga benda itu berderet-deret di parkiran lebih banyak dari hari kerja. Ini tentu bisa dimengerti, karena para penghuni (yang sebagian besar adalah para bos perusahaan) sedang tidak ngantor. Mereka sedang dirumah saja. Paling tidak untuk pagi ini. Karena agak siang nanti, biasanya saya akan lihat para driver memanggul tas besar panjang berisi beberapa stick golf, siap mengantar sang majikan olah raga layaknya Tiger Wood.

Sudahlah, itu soal lain.
Dalam melihat-lihat mobil para bos itu, saya dapati mereka memajang nopol cantik di kendaraanya. Tidak semua memang. Tetapi ada beberapa. Yang saya catat adalah, L 1881 HF, S 1 D, atau W 777 JI. (Sengaja saya tidak sebut jenis dan warna mobilnya karena alasan tertentu.) Yang lebih menarik perhatian saya, ini; dua buah mobil (mewah tentu saja) yang saya ingat betul sudah bertahun-tahun tak tersentuh tangan, untuk dicuci atau sekadar dipanasi mesinnya. Kondisinya sedemikian kotornya, dengan roda-roda yang kempis kehabisan angin. Bacalah, pasti sampeyan bisa menebak siapa yang mempunyainya; AG 8 GG dan AG 90 GG.

Dijalanan, sering juga saya dapati nopol cantik menempel pada kendaaran yang berseliweran. (Dengan menyebut kata 'cantik', tentu saya menjadi tahu jenis kelamin nopol-nopol itu). Tempo hari, saya disalip mobil warna kuning dari jenis Mazda Sport (kalau tidak salah ingat sih), nopolnya L 1 AR. Jelas, kalau dibaca menjadi Liar. Ini tentu, paling tidak, menggambarkan jiwa pengendaranya yang tidak suka dikekang dan dibatasi. Bebas. Merdeka. Tetapi semoga masih selalu mau mengikuti peraturan lalu lintas.

Kali lain, saya dapati yang agak lain. Entah itu nopol pesanan atau memang adalah nomor 'alamiah'; L 461 BU. Ini saya maknai sebagai bahasa iklan sebagaimana sering saya baca pada iklan-iklan baris sebuah harian. Karena ia bisa dibaca menjadi LAGI BU (Butuh Uang).

Untuk nopol kendaraan operasional PT HM Sampoerna (baik mobil sedan sampai truk-truk besar pengangkut rokok), kalau jeli kita akan selalu menemukan angka 9 (sembilan) sebagai hasil penjumlahan dari tiga atau empat angka dalam nopol itu. Misalnya, L 8019 XX, atau L 7263 YY, L 4221 YX, atau yang langsung bisa dipahami adalah sebuah mobil sedan warna hitam dengan nopol L 234 YX!

Begitulah, ada yang menganggap jumlah sembilan sebagai bilangan keberuntungan, ada juga yang memercayai 8 sebagai angka yang mencerminkan kejayaannya. Saya tidak terlalu memercayai prinsip-prinsip itu, tetapi karena nopol kendaraan saya adalah L 6299 DY, saya lebih cenderung ke yang jumlah 8 karena total dari nopol saya menunjuk ke bilangan itu.

Sekarang, berapa nopol kendaraan sampeyan?

Rabu, 25 April 2012

Kapasitas

KEMARIN, 24 April jam 14.52 WIB, ponsel jadul saya berdering. Dan,

"Tadi masak berapa gelas?"

Sebagai orang yang sudah belasan tahun hidup bersama, nada dari pertanyaan istri saya itu saya artikan sebagai sebentuk ungkapan yang setengah marah.

"Tujuh setengah," jawab saya. Ini agak bohong, karena kalau tidak salah, tadi saya menakar delapan gelas beras untuk dimasak di magic com buatan Korea itu.

"Nasinya gak bisa dimakan."

Telepon yang lalu diputus itu membuat saya yakin istri saya sedang geregetan. Saya maklum itu. Bayangkan, pulang kerja, membuka magic com, nasi masih setengah matang, tentu cukup menjadi alasan untuk sebuah kemarahan tingkat sedang.

Memasak nasi, sebagaimana mencuci baju atau piring, adalah juga sebuah rutinitas saya. Tetapi, entahlah, pagi itu saya memasukkan beras melebihi biasanya. Dan, saya baru tahu ketika ditelepon istri, itu kemudian menjadikan nasi malah tidak bisa dimakan. masih nglethis. Dan kalau dipaksakan dimakan, tentu bisa membuat perut mbesesek.

Sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi 'teguran' lanjutan sesampainya dirumah kemudian, saya menarik suatu padanan dari kasus kelebihan beban itu.
Takaran magic com (atau orang, mungkin) tentu ada kapasitas yang jelas. Kelebihan kapasitas, kelebihan bobot yang harus digarap, bila 'perangkat' telah disetting dalam takaran kurang dari itu, hanya akan menghasilkan sesuatu yang setengah matang. Dan sesuatu yang setengah matang, seringkali tidak enak dimakan. (Kecuali beberapa buah. Hehe...)

Dalam lingkup yang agak luas, beberapa kebijakan yang harus diterima sering sekali terasa setengah matang. Bisa jadi itu disebabkan alat (atau orang) yang dipaksakan 'memasak' sesuatu itu diluar kapasitas dan kemampuannya. Atau, entahlah.

Selasa, 17 April 2012

Tentang Cinta

CINTA adalah ketika dalam perjalananmu engkau menemukan ranting paling indah, sementara kau tidak bisa berjalan mundur.

(Plato)

Senin, 16 April 2012

E-KP, E... Kecele

ENTAHLAH, sering sekali saya mengalami hal yang sama sekali tidak penting. Dan kerena tidak penting, ia masuk dalam kategori yang tidak membuat genting. Minggu pagi kemarin, contohnya. Sesampainya di tempat kerja, saya melepas sepatu untuk memasang kaos kaki. Iya, karena terburu-buru, berangkatnya tadi saya masukkan kaos kaki saya ke saku. Langsung mak-wuzzz... berangkat. Dan ndilalah, kaos kaki yang terbawa cuma sebelah. Nah, kan. Bukan cerita penting, kan? Tetapi karena saya curiga yang satu jatuh di depan pintu rumah dan tentu diselamatkan oleh istri saya, yang terbawa sebelah itu pun saya masukkan lagi ke saku.

Sudah.
Sekarang yang agak penting, begini; Sabtu sore kemarin, sepulang dari arisan ibu-ibu PKK, istri saya bilang agar kami segera datang ke kantor kecamatan untuk pembuatan E-KTP.

Lho, tidak menunggu undangan dulu?” tanya saya.

“Tidak. Sekarang bisa langsung datang,” istri saya menjelaskan. “Syaratnya hanya bawa foto copy KTP dan KSK.”

Saya sudah pernah membaca hal itu, sebenarnya. Bahwa, kalau tidak salah, pihak kecamatan tidak optimis semua penduduk sudah ber-E-KTP pada akhir April. Ini disebabkan dua hal, mungkin. Ketersediaan alat yang mencukupi, juga yang tak kalah penting, peran aktif masyarakat. Sebetapa pun tercukupi alat dan SDM (yang bahkan sampai dilembur-lemburkan), kalau masyarakat tak mau datang, ya sami mawon.

Itulah mengapa, sore sepulang kerja kemarin saya langsung mampir ke kantor kecamatan. Di parkiran saya lihat sepi-sepi saja. Di pendopo kursi-kursi yang dijajar, tidak satupun ada yang menduduki.

“Pelayanan E-KTP buka, pak?” tanya saya pada tukang parkir.

“O, buka, pak. Itu, langsung saja ke ruang itu,” katanya sambil menunjuk ke arah utara.

Seorang lelaki berkaos putih ada di depan pintu. Kepadanya saya menanyakan ruang E-KTP.

“Oh, langsung masuk saja,” katanya.

Ruangan sepi. Hanya ada sepasang suami istri sedang antri.

Saya sodorkan selembar foto copy KTP dan KSK pada seorang perempuan muda. “Tutupnya sampai jam berapa, mbak?” tanya saya.

“Sampai jam sebelas, pak.” katanya sambil menyalin data saya ke sebuah buku besar.

“Wah, kalau begitu, habis ini saya langsung ajak istri saya datang kesini.”

“Kalau begitu, saya daftar sekalian istri bapak. Nanti tingal diproses,” sahutnya.

Setelah dari ruang pendaftaran, saya langsung ke ruang sebelah yang hanya disekat setengah badan. Cepat sekali pelayanannya. Saya lihat ada tiga meja dengan tiga perangkat pendukungnya. Meja terkiri digawangi seorang perempuan setengah baya berjilbab warna gelab. Meja tengah kosong. Meja terkanan dipegang seorang lelaki berkacamata dengan tubuh agak gemuk. Kesitulah saya menuju.

Setelah saya sodorkan foto copy yang saya bawa, saya duduk di depannya. Mata saya melihat alat perekam sidik jari di meja. Kemudian mencari, ingin tahu bentuknya sih, alat yang kata teman-teman saya yang sudah ber-E-KTP sebagai perekam kornea mata. Tetapi,

“Bapak duduk didepan sana dulu. Di depan kain yang warna biru. Difoto dulu, ” bapak itu berkata.

Ketempat itu saya menuju. Lazim sudah, orang dengan tahun kelahiran berakhir angka genap, selalu warna biru sebagai latar belakang fotonya. Untuk foto yang model begini saya sudah pernah. Dan semua sering mengecewakan saya. Di foto KTP atau SIM, misalnya. Karena saya fotonya siang hari dan baru pergi dari suatu tempat, saya terfoto dalam keadaan muka yang kumus-kumus, nggilap. Belum lagi kancing baju yang terlalu mbledeh kebawah. Pokoknya jan tidak mbois blas.

Makanya untuk yang E-KTP ini saya ingin tampil seganteng mungkin. Tetapi saya lihat ke sekeliling, saya tidak menemukan kaca untuk bercermin demi merapikan penampilan. Saya jadi kurang pede. Saya khawatir muka saya kurang keren. Lebih-lebih saya mampir kesitu setelah dari kerja. Bukan tidak mungkin kan muka saya masih dalam kondisi kumus-kumus. Saya bermaksud hendak mengusap keringat diwajah pakai sapu tangan. Tetapi, saya ingat, jarang sekali menaruh dan membawa barang itu di saku. Namun begitu, saya rogoh juga si saku, dan malah mendapati kaos kaki yang terbawa satu tadi. Tentu tak mungkinlah saya mengelap wajah saya menggunakan benda yang sudah lebih seminggu tak dicuci itu.

Saya pasrah. Tetapi saya tentu berusaha tampil semaksimal mungkin. Saya jilat-jilat bibir sendiri. Agar kalau difoto nanti hasilnya terlihat sensual. Dan, rencananya ini, saya akan tersenyum dengan senyum termanis sepanjang hidup saya ketika bapak agak gendut itu mengarahkan kamera ke muka saya dan lalu bilang, 'siap; satu, dua, ti....Jepret!'

Alhamdulillah, saya lihat si bapak petugas tadi masih asyik memasukkan data saya ke komputer. Itu terjadi untuk beberapa lama. Karenanya, saya punya waktu untuk menyiapkan diri lebih matang demi foto yang paling berkesan. Tetapi,

“Bapak baru pindah ke Surabaya, ya?” bapak petugas itu bertanya.

“Iya, pak. Saya sekeluarga baru dua bulan menjadi warga Surabaya,” jawab saya.

“Makanya data bapak belum ada. Karena sementara ini sistem kami belum online. Jadi bapak sekeluarga, foto E-KTP-nya sebulan lagi. Sekitar pertengahan Mei...”

Ah, tiwas, pak. Tiwas klamut-klamut bibir sendiri, tiwas menyiapkan senyum termanis. Njekethek, nggak jadi....

Minggu, 15 April 2012

Kesesuaian dan Penyesuaian

KANG, kuperhatikan, lama-lama wajah sampeyan itu mirip sekali dengan wajah istri sampeyan,” celetuk Mas Bendo terdengar seperti mulut yang sedang kurang kerjaan.

Kang Karib tetap fokus membaca koran. Matanya menyorotkan duka saat memandang foto tim medis yang sedang memberikan pertolongan kepada seorang pemain bola yang tiba-tiba ambruk di tengah laga. Pemain itu, Piermario Morisini, sedang membela Livorno, tim Serie B Italia. Dan, malangnya, pemain pinjaman dari Udinese itu menemui ajal disitu saat itu juga.

Itu kesedihan kedua. Karena di halaman pertama koran yang sama, Kang karib mendapati juga berita kematian. Tetapi akibat dari sebuah tindakan yang tidak sportif sama sekali. Kematian itu diakibatkan ulah geng motor.

“Kang?”

Kang Karib hanya melenguh pelan mejawab sapa mas Bendo barusan.

“Diajak ngomong kok gak respons blas.”

Kang Karib melipat koran dan meletakkan di meja. “Apa?”

“Baca koran kok gak ada bosannya. Beritanya kan sama saja.”

“Koran itu ibarat jodoh, nDo.”

Lha, kalau gitu sampeyan kok gak rabi saja sama koran?!” mas Bendo bersungut, lucu.

“Hehe... nesu, nesu..” goda Kang Karib.

Lha sampeyan yang nggarai. Mosok koran kok disamakan dengan jodoh. Lak ngawur to itu. Logika berpikirnya piye?

“Begini, nDo,” kang Karib nampak sedikit serius. “Jodoh itu perpaduan antara kesesuaian dan penyesuaian. Koran pun, atau apa pun, juga berlaku hukum itu. Koran ini misalnya, aku baca mungkin karena memang aku rasa sesuai dengan pola pikirku. Tetapi kan tidak semua yang ada di dalamnya bisa mak-plek persis sama dengan nalarku. Tulisan lain, pendapat lain, bisa-bisa bertolak belakang dengan yang aku tahu. Nah, itu butuh penyesuaian. Tetapi kalau tidak juga ketemu, ya abaikan.”

Ora mudheng aku, Kang.”

Yo wis kalau gitu,” kata Kang Karib. “Istrimu saja contohnya. Seperti kamu bilang tadi. Semakin lama berumah tangga, semakin terlihat mirip saja semuanya. Secara wajah juga mungkin, tetapi sekarang abaikan saja. Ada yang lebih penting dari itu; tabiat, sifat, perilaku...”

Mas Bendo memperhatikan seperti seorang pasien yang sedang mendengar hasil diagnosa dokter.

“Sebagai orang bangunan, istriku yang buruh pabrik adalah sudah kesesuaian. Paling tidak, yang sederajat. Seperti bintang sinetron yang dinikahi penyanyi, dokter disunting dokter, redaktur menikahi reporter, dst, dsb. Itu, sekali lagi, adalah kesesuaian. Tetapi dalam perjalanannya, ada letupan konflik yang butuh diselesaikan. Dalam penyelaian itulah butuh penyesuaian. Karena maunya pasanganmu belum tentu sama dengan maumu. Tetapi tentu jalan keluar tidak boleh semaunya sendiri-sendiri. Harus ada titik temu. Titik dimana kedua belah pihak sama-sama berdiri sebagai pemenang. Itulah penyesuaian.”

Kepala mas Bendo terasa klemun-klemun mendengarkan ocehan Kang Karib.

“Bagaimana, wis mudheng?”

“Sebentar, kang. Aku tak menyesuaikan dulu dengan nalar sampeyan....” ****



Sabtu, 14 April 2012

Salah Jurusan

LUPA sudah saya apa isi dari yang disampaikan para pembicara dalam seminar itu. Yang saya ingat, malah, sepulang dari acara itu (info tambahan: saya datang sebagai utusan dari IPNU bersama seorang rekanita IPPNU) kami salah naik bis. Dari terminal Tawangalun (karena ke-GR-an berdua bersama seorang gadis cantik), saya langsung naik dan mencari tempat duduk yang strategis. Bangku isi dua diurutan baris ketiga dari depan.

Sticker kenangan ini saya temukan terselip pada buku catatan lama.
Beberapa saat kemudian bus perlahan meninggalkan terminal. Sampai pertigaan Rambipuji, saya lihat kondektur mulai menarik ongkos karcis dari deretan kursi bagian depan. Dan, ternyata eh ternyata, bus langsung bablas, tidak belok kiri ke arah Balung atau Kencong. Edan!

Tetapi saya tenang. Atau tepatnya, saya tenang-tenangkan. Padahal si rekanita IPPNU itu sudah panik luar biasa.

"Ed, kita keliru jurusan. Ayo turun!" kata si IPPNU itu sambil mendekati pintu kiri depan. "Kiri, pak," katanya pada sopir.

Saya telah kehilangan kecerdasan dan mengekor saja ikut turun. Kecerdasan itu makin hilang manakala si kondektur dengan tega bilang, "Ganteng-ganteng kok bloon..."*****

Jumat, 13 April 2012

Gara-gara Seragam


DARI label yang dijahit pada leher bagian dalam atau pada pinggang bagian dalam, saya tahu baju seragam saya ini dikerjakan oleh Toyibah Taylor. Tetapi saya tidak tahu siapa gerangan yang merancang seragam ini sedemikian rupa. Warna cokelat tua laksana seragam Brimob, lengkap dengan model saku di paha kanan-kiri yang lumayan longgar. Pokoknya jan persis punya polisi. Hanya baju atasan yang tidak cokelat muda. Ia adalah sewarna dengan celana. Tetapi dengan dijaketi, orang sering saja keliru kira. Paling apes, disangkanya saya kerja sebagai security!

Suatu hari saya pulang dari tugas luar di daerah Pasuruan. Enam bulan, seingat saya, saban hari-pergi-pulang naik bus. Sore itu, seperti biasa, saya mencegat bus disekitar bundaran Apollo. Beberapa saat kemudian bus Tentrem datang. Saya naik. Tetapi hati saya belum seratus persen tentram. Maklumlah, saat itu jalan raya Porong masih sering luar biasa macetnya. Bahkan pernah mulai depan warung Mojorejo yang ke arah Surabaya kendaraan menyemut dengan laju seperti siput. Atau tak jarang malah mandeg-jegreg. Kalau sudah begitu, alternatifnya, sampai pertigaan Kejapanan belok kiri via Mojosari. Risikonya perjalanan jadi semakin panjang. Dan sampai rumah menjadi semakin malam.

Alhamdulillah, saat itu bus lancar-lancar saja. Paling tidak, tak terlampau macet. Seseorang yang mencegat bus di setelah pertigaan Kejapanan dengan sopan matanya seolah mengatakan permisi untuk duduk disebelah saya. Senyum saya membalas sapa matanya. Senyum itu, sampeyan tahu, saya maksudkan sebagai 'silakan'.

“Turun Pusdik, pak?” tanya lelaki itu setelah memperhatikan seragam yang saya kenakan. Pasti, dengan jaket hitam begitu, plus sepatu safety yang saya kenakan, ia menyangka saya polisi.

“Tidak,” jawab saya. “saya turun di Surabaya.”

“O, dinas di Polda?”

Saya tertawa. ” Saya bukan polisi.”

Matanya kembali berkata-kata. Memandangi seragam saya entah untuk keberapa kalinya. Juga tas hitam kecil yang saya bawa. Itu, saya kasih tahu sampeyan, isinya adalah 'tepak' wadah nasi bekal saya. Itu lebih kepada sisi ekonomi alasannya. Karena, dengan uang makam makan yang sebesar enam ribu, istri saya dengan cerdik membekali saya nasi dari rumah. Uang makannya, yang enam ribu itu, bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain. Sebagai uang jajan untuk anak, misalnya. Tetapi saya lihat mata lelaki disebelah saya ini keliru menebak isi tas hitam saya. Bisa-bisa disangkanya ada sepucuk pistol didalamnya.

KALI lain saya mendapat undangan ke rumah teman untuk suatu keperluan. Dari tempat kerja, saya berangkat bersama seorang teman. Seperti janjian, kami sama-sama mengenakan jaket hitam. Tujuannya ke kampung Kedinding di daerah Kenjeran sana. Jujur, saya belum pernah kesitu. Tetapi teman saya, si pengundang itu, memberi saya ancar-ancar; 'pokoknya sebelum kantor Samsat ada gang kecil setelah makam. Masuk seratus meter dari situ dan tanya nama Arief. Pasti orang sudah tahu', pesannya.

Hari sudah petang ketika kami berdua tiba di TKP. Beriringan menjalankan motor pelan-pelan saja. Mencari-cari rumah Arief. Seperti pesan sebelumnya, seratus meter dari kami masuk tadi, kami bertujuan hendak bertanya kepada seseorang. Teman saya, pak Tris namanya, menghentikan motor dan mendekati seorang lelaki yang sedari tadi mengawasi kami dengan tatapan mata yang aneh. Ia menjadi lebih aneh lagi ketika pak Tris membuka helm --seakan memamerkan rambut cepaknya-- dan mengajaknya bersalaman. “Maaf, numpang tanya. Rumah mas Arief yang pinter komputer itu dimana ya?”

Aneh. Sungguh aneh. Hanya ditanya begitu lelaki itu gugup luar biasa. “Itu, ada toko di depan itu. Rumahnya dibelakangnya.”

Setelah berterima kasih, kami melanjutkan perjalanan. Dan ketika kami menoleh lagi ke belakang, lelaki itu sudah tidak terlihat lagi. Kemana ia muspra?

Informasi ini saya dapatkan belakangan. Si Arief yang membocorkan. Bahwa setelah itu, si lelaki itu berlari mengabarkan kepada orang-orang yang sedang asyik menggelar judi balap merpati tak jauh dari rumah Arief. Sambil terengah-engah begini katanya, "Bubar, bubar. Ada polisi datang. Dua orang..." *****

Panggilan dari Bulan


WULANDARI  tidak yakin malam ini akan lebih baik dari kemarin. Ketika tak seorangpun tertarik untuk mengajaknya tidur. Sambil berdiri, sesekali pindah tempat, kakinya mengatakan yang ada dalam hatinya. Kaki itu, sesekali mempermainkan botol miras kosong yang tergeletak di tanah, di pinggir jalan tempatnya mangkal. Di makam China, tempat lain biasa ia menunggu tamu, pun begitu. Ia hanya seperti nisan yang tak menarik untuk disentuh. Ia, dalam hatinya, menyetarakan dirinya sedang sebagai daun yang sudah kering. Yang lebih dari layu.

Langit bersih sedang memamerkan bulan. Dan Wulandari menjadi ingat dongeng yang dulu pernah disampaikan neneknya. Lihatlah, bila bulan sedang purnama begitu, ada jelas terlihat seorang perempuan bersama kucingnya di sana. Duduk bersimpuh. Seperti sedang menunggu. Tetap saja. Yang ditunggu tak kunjung datang. Datang, tetapi lebih tertarik pada orang baru yang jauh lebih muda dari Wulandari. Perempuan-prempuan baru itu, pindahan dari tempat-tempat yang ditutup paksa itu, seperti laron yang terbang dipinggir-pinggir jalan seusai hujan. Dan Wulandari sadar, ia lebih tua dari mereka. Sampai embun datang, sampai mulutnya tak minat merokok lagi, karena keringat dingin itu pertanda ia masuk angin, tak satupun lelaki mendekatinya.

“Sri, aku pulang dulu.”

“Lho, kenapa, mbakyu?” temannya itu terlihat masih mampu bersaing dengan oarang-orang baru. Entah sampai berapa minggu saja.

Wulandari mengelap keringat dingin di keningnya. Mual perutnya. Tak dapat dibohongi sudah. Tubuhnya tidak sekuat dulu. Semalaman berbaju agak terbuka tidak apa-apa. Sekarang, gampang sekali angin masuk ketubuhnya. Seharusnya, diusianya yang sudah berkepala empat ini, ia naik pangkat. Menjadi ‘mami’, misalnya. Atau pulang ke kampung menjadi penjahit. Atau, paling tidak membuka ‘warung pangku’ di pingir-pinggir kota pinggiran.

Kemarin itu, setibanya ia di rumah kostnya, muntah-muntah ia. Masuk angin yang akut. Seluruh tubuh dibasahi minyak kayu putih, tidak juga pulih. Baru baikan ketika paginya Sri dengan suka rela membuat garis-garis merah menggunakan uang logam dan minyak tawon di punggung dan lehernya.

“Kalau belum sehat benar, mbok ya jangan keluar,” sambil mengerok punggung Sri berujar.

“Terus aku mau makan apa?”

Sampeyan itu sudah tak anggap mbakyuku sendiri,” Sri mengusapkan minyak tawon lalu menyusulnya dengan menggarukkan uang logam itu pada bagian bawah garis yang sudah memerah. “Kalau hanya soal makan, tak tanggung, mbakyu. Kalau sabar, pasti ada saja rejeki untuk kita. Semalam, sepulang sampeyan itu, aku dapat tamu. Dua kali. Lak lumayan to?’

“Tapi kamu kan punya tanggungan. Katanya anakmu mau rekreasi ke Bali usai lulusan.”

Wis to, mbakyu. Sampeyan gak usah ikut mikir. Itu sudah tak siapkan,” Sri menutup botol minyak tawon dan menaruh uang logam di dekat pesawat televisi. “Sudah, istirahat dulu. Nanti sehabis sarapan jangan lupa minum obat. Aku mau tidur.”

Sri menuju kamar sebelah. Dan Wulandari mengenakan lagi daster warna merahnya. Ia berdiri, kemudian menggelengkan kepalanya sedemikian rupa, kekiri, juga kekanan. Suara ‘krutuk’ di lehernya membuatnya merasa lebih baikan. Ia keluar kamar. Rumah kostnya ini memang langsung berhadapan dengan jalan, sekalipun hanya selebar ukuran becak atau gerobak tukang sampah. Dan, kadang, jauh didalam hatinya, lama sudah ia merasa sebagai sampah. Sendiri. Tidak seperti Sri. Yang punya anak, sekali pun tiada bersuami. Sedangkan Wulandari? Tak tahu ia harus ngenger* pada siapa di hari tua nanti.

**oOo**

SELAIN tentang perempuan dan kucing di bulan sana, nenek pernah bercerita tentang hari lahirnya. Ia lahir tepat ketika bulan purnama begini. Makanya ia kemudian dinamakan Wulandari. Ibunya, lamat-lamat masih ia ingat wajahnya, cantik sekali. Sayang sekali Wulandari hanya merasakan belaiannya sebatas usia sebelas. Karena keburu maut menjemput. Namanya Lintang. Ayahnya? Tentang ini nenek tak pernah cerita. “Ayahmu adalah malam...” kata nenek, selalu.

Malam sedang bersahabat. Cerah sekali. Dan bulan sedang purnama.

Sesekali angin bergerak pelan. Menebarkan gairah. Juga menyusup ke baju Wulandari yang agak tertutup kali ini. Malu ia memakai yang agak terbuka, takut garis garis bekas kerokannya makin tidak memungkinkan ia ada yang mendekati. Tetapi aroma itu, bau minyak angin di tubuhnya itu, tentu bukan lawan yang sebanding dengan orang-orang baru dengan bau yang mengundang selera. Lelaki menjalankan motor pelan-pelan selalu menjahuinya. Asap kenalpot itu terasa makin menyesakkan dadanya. Dan ini kenyataan. Saat  yang selama ini ia perkirakan ternyata datang lebih awal. 

Satu lagi, perkiraannya juga keliru.Dan Sri yang benar; “Mbakyu, hidup itu tidak usah ngoyo. Kalau sedang tidak enak badan ya istirahat dulu. Nanti kalau masuk angin lagi, sudah tak bisa sembuh kalau hanya dikeroki...” nasihat Sri tadi sebelum berangkat.

Tetapi kebutuhan hidup tidak bisa menunggu. Itu yang membuat Wulandari nekat ikut berangkat. Ia sedang butuh uang. Bulan depan, hari Rabu Pahing, waktunya menggelar selamatan seribu hari meninggalnya nenek. Dan ia tak mungkin mengharapkan bantuan Sri.

Tetapi mual itu, keringat dingin itu, menandakan ia masuk angin lagi. “Mbakyu, kalau sampeyan masih mengangap aku ini adikmu, tak bilangi ya. Sampeyan pulang dulu. Jangan mikir kerja dulu. Nanti kalau sudah sehat, baru....”

Sesachet Tolak Angin telah ia cecap habis. Ia berharap hangat itu tidak sekadar terasa di tenggorokan, tetapi ke seluruh nadinya. 

Lepas tengah malam ini jalan menuju rumah kostnya telah sepi. Ia pulang berjalan kaki saja. Beberapa hari tiada pemasukan, ia merasa tidak perlu naik taksi. Toh jarak dari sini kerumah tak terlalu jauh.
Membuka pintu pagar besi yang sudah mulai keropos di sana-sini, suara engsel kering yang berderit itu, seperti menyilet malam yang kedinginan. Lampu remang di teras, cat pintu dan jendela yang kusam, juga bunga-bunga yang sedang tidur nyenyak. Wulandari membuka tas dan mengeluarkan anak kunci. Seekor kucing putih bersih tidur di atas keset, didepan pintu. Dengan daun pintu yang membuka keluar, Wulandari tak ingin membangunkan nyenyak tidur kucing itu. Tetapi, hei... lihatlah. Kucing itu terjaga dan bangun mendekati kaki Wulandari. Menggosok-nggosokkan kepalanya kesitu.

Wulandari menoleh kekiri-kekanan mencari cari ingatan. Dan ia temukan. Bahwa tidak ada tetangganya yang memelihara kucing putih begini. Lalu ini kucing siapa? Ataukah ini dibuang orang? Tidak, hanya orang gila yang membuang seekor kucing secantik ini.

Digendongnya kucing itu masuk ke rumah. Diajaknya kemudian ke dapur. Diberinya ia makan. Entahlah, senang sekali hati Wulandari mendapati kucing itu lahap menyantap makanan yang ia hidangkan. Saat itu, lupa sudah ia akan masuk anginnya. Ia tiada henti memandangi putih bulu-bulunya. Matanya yang teduh, yang seolah sedang menyimpan rahasia. Ataukah ia adalah bidadari yang mengembara** dan sedang menjelma menjadi seekor kucing. Tetapi untuk apa dan dalam misi apa?

Selesai makan, kucing itu berterima kasih lewat gerakan ekornya. Kemudian berjalan ke ruang depan. Wulandari mengikutinya. Tepat sebelum pintu, kucing itu berhenti dan menoleh kebelakang. Wulandari tersenyum. Ia tahu, kucing itu tidak bisa memutar anak kunci untuk membuka daun pintu. Tetapi, setelah pintu itu dibuka pun, kucing itu tetap memandang Wulandari lewat tatapan mata yang masih penuh rahasia.
Sambil dengan tersenyum Wulandari meraih dan menggendongnya. “Kenapa? Kau lupa jalan pulang? Atau kau ingin menginap di sini beberapa malam?”

Kucing putih itu mengendus-endus dadanya seperti para lelaki tamu-tamunya dulu. Tapi sebentar saja si putih itu berlaku begitu. Lalu minta rutun. Berjalan pelan ke depan rumah yang langsung adalah jalan selebar tubuh becak. Disitu  ia kembali menoleh ke arah Wulandari. Kemudian mendongak ke atas. Wulandari yang tetap mematung di teras kurang mengerti apa maunya. Tetapi mau tak mau ia mendekati lagi kucing itu. Menggendongnya lagi.”Katakanlah, apa maumu?”

Kucing itu menatap keatas seakan mengajak Wulandari turut memandangnya. Bulan. Ya, kucing putih itu ingin Wulandari menatap bulan. Yang sedang melingkar bundar. Saat-saat begitu, selalu saja Wulandari ingat neneknya. Ingat dongeng yang diceritakan di halaman depan sambil tiduran di dipan bambu, dipangkuan nenek. Tentang perempuan dan seekor kucing penunggu bulan. Perempuan yang selalu duduk bersimpuh.

Malam ini bulan sedang purnama dengan sempurna. Makanya, ia dapat melihat dan menerbangkan angannya dengan sepenuh jiwa. Tetapi, aneh. Wulandari mendapati perempuan penunggu bulan itu sedang gelisah, sedang menunggu. Dan, hei... Ia sedang sendiri sekarang. Kemana kucingnya?

Wulandari menatap kucing putih di gendongannya, “Katakan padaku, apakah perempuan penunggu bulan itu yang  memintamu datang kesini untuk menjemputku?” *****

Surabaya, 13 April 2012.

**Bidadari yang mengembara: judul cerpen AS. Laksana.
*ngenger: numpang hidup.





W a k t u

ALASAN utama waktu diciptakan ialah agar segala sesuatu tidak terjadi bersamaan.
Albert Einstein.
 

Kamis, 12 April 2012

Ida Ayu Komang

YANG montok itu namanya Ketut,” sambil mengunyah pisang goreng Aksan berkata.

Pagi yang biasa, sebenarnya. Seperti pagi-pagi yang kemarin. Tetapi sejak tiga hari yang lalu, setibanya beberapa perempuan Bali, suasana pagi menjadi agak tidak biasa. Tidak hanya disini, dijalan yang biasanya para pekarja proyek mangkal sejenak sebelum naik ke atas. Melalui satu-satunya lift yang boleh dipakai pekerja.

Maka, aneka aroma kuli batu itu mau tak mau masuk juga ke hidung. Tukang cat yang tahan banting untuk tidak ganti baju kerja dalam beberapa hari. Tetapi ada untungnya memang. Ketika rombongan mereka mendekat pintu lift, sebagian yang telah antre duluan pilih minggir saja lagi. Tidak kuat menahan aromanya.

Lokasi depan lift yang selalu gaduh, makin gaduh oleh para jegek Bali itu. Yang sengaja didatangkan oleh kontraktor untuk mengerjakan ornamen dinding ruang spa dan jacuzi di proyek hotel ini. Ini Surabaya, dan beda sekali dengan di Bali yang sudah hal lumrah mendapati wanita tangguh yang bekerja keras di proyek-proyek, sementara para suami memikul bambu panjang tempat beberapa ayam dalam beberapa kurungan mengantung dibawa ke tempat bersabung.

Sekitar delapan perempuan Bali ikut antre. Dalam kepulan asap rokok yang berhembus dari sekian banyak mulut laki-laki. Mulut yang kadang lebih usil lagi. Bersuit-suit. Tak tahan rupanya mulut-mulut itu untuk tidak melakukannya. Ketika sekian lama diproyek ini belum sekalipun antre lift dengan perempuan. Ada memang perempuan yang seminggu sekali naik ke lift ini. Tetapi mana berani menyuiti Bu Melinda, perempuan pemilik proyek ini. Namun perempuan Bali itu, dianggapnya bisa diajak berkawan. Tidak, lihatlah. Bukan begitu caranya mengajak kenalan sebagai kawan. Bukan dengan lempar kerikil sembunyi tangan. Kau tahu, perempuan manapun akan tidak senang dibegitukan. Ia akan lebih menghargaimu bila engkau turut menghargainya. Bukan malah kau gembirai kejengkelan perempuan-perempuan yang sedang menyingkirkan kerikul-kerikil itu dari rambutnya.

Rindang juga laki-laki. Juga kuli. Tetapi ia tidak senorak mereka..

Selasa, 10 April 2012

Iklan Layanan Masyarakat

ANTENA sudah diberdirikan. Tidak terlampau tinggi memang. Karena coverage area sebagai radio komunitas memang hanya sebatas 2,5 kilometer saja.

Saya jadi ingat siang itu (11 Pebruari 2012), disaat rehat dari pelatihan penyiar, dibawah pohon trembesi yang rindang disudut pendopo yang teduh, di depan ruang perpustaan, saya berbicara dengan Devi Kristanti. Perempuan ini turut sebagai 'ibu' yang sibuk demi kelahiran sebuah radio komunitas. Saat itu, selepas makan siang itu, sambil berdiri saya berdiskusi tentang acara apa yang sekiranya bisa ditampilkan nanti. Ini penting, karena sekalipun telah memiliki lima acara dengan durasi masing-masing satu jam (salah satu syarat pendirian radio komunitas, paling tidak ia harus sanggup secara kontinyu bersiaran minimal lima jam sehari), tentu perlu dipikirkan untuk menambah menjadi lebih lama lagi. Untuk itu dibutuhkan program acara lainnya.

Selanjutnya, “Mari saya tunjukkan studio kita,” katanya sambil mengajak saya kebagian belakang komplek itu.

Sambil mengikuti langkahnya saya mencerna kata 'kita' yang baru saja diucapkannya. Kita? Ya, sebagai radio komunitas memang menjadi terbuka untuk siapa saja dikomunitas itu untuk tampil sebagai bagiannya. Sebagai apa saja. Teknisi, penyiar atau yang lainnya. Semua terbuka, dan semua sukarela!

Dibawalah saya ke sebuah ruang yang sedang dalam perbaikan. “Ini dulunya akan digunakan sebagai kamar mandi,” Devi berkata.

Saya lemparkan pandangan ke segala ruang yang memang tak seberapa luas. Dua buah AC telah menempel didinding. Satu di ruang siaran, satu lagi di ruang (yang masih menurut mbak Devi) akan dijadikan tempat ketika ada acara talk show. Dengan kaca sebagai penyekatnya. Menurut saya, itu terlihat sebagai pemborosan ruang. Karena bisa saja ruang siaran dan ruang talk show menjadi satu saja seperti yang saya lihat di video streaming radio Suara Surabaya. Tetapi, disisi lain, ruangan itu sudah terlihat agak 'wah' kalau dilihat sebagai studio sebuah radio komunitas.

Studio kecil itu secara view cukuplah bagus. Di depan adalah kolam ikan yang dipinggirnya ada banyak sekali pepohonan. Dan di dekat bibir kolam ikan itulah kaki antena menancap. Menurut rencana, Rabu (11 April 2012) besok segala peralatan siaran yang selama ini diletakkan didalam kantor diboyong ke studio. Untuk selanjutnya dilakukan siaran percobaan. (Selama ini sudut kantor itu menjadi studio sementara untuk berlatih siaran dengan tanpa diudarakan, tetapi cukup disebar-luaskan via speaker yang hanya bisa didengar diseantero Pusdakota ini saja).

Dalam sebuah kesempatan, saya pernah menawarkan diri membuat naskah untuk Iklan Layanan Masyarakat. Dan, dalam sebuah komunikasi via FB, mbak Devi merespons dengan baik. Maka, agar saya tidak dibilang melupakan janji, saya segera mencari-cari topik apa gerangan yang layak di-ILM-kan.

Suatu sore saat sedang momong si kecil, saya lihat seorang perempuan dengan enteng membuang sampah ke sungai. Aha, ini bisa dijadikan ILM. Temanya; ajakan untuk agar jangan membuang sampah di sungai. Saya kira ini penting. Sangat penting.

Di lingkungan kami, (atau dalam bahasa lain: komunitas kami) yang hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari kawasan industri Rungkut, memang terdapat sebuah sungai yang luar biasa hitam airnya. Kehitaman itu lebih diperparah oleh sampah. Dan, sepertinya, bukan hanya seorang ibu itu saja yang dengan gampang membuang sampah ke sungai. Ada, atau banyak, ibu-ibu lain yang mempunyai perilaku yang sama. Pada kondisi itulah, paling tidak, siaran sebuah radio komunitas diharapkan mampu memberi pencerahan.

Mulailah saya corat-coret membuah naskah. Tentu saja masih terbuka peluang untuk diperbaiki. Itu nanti. Toh ini hanya konsep. Mau direkam atau tidak pun itu soal belakangan.

Dan, inilah hasil corat-coret saya:


Naskah skenario Iklan Layanan Masyarakat
Pengisi suara tiga orang (Bu RT, Yu Tun, Yu Sri) plus seorang narator.

Yu Sri: Pagi-pagi kok sudah bawa tas kresek penuh mau kemana sampeyan, Yu?

Yu Tun: Eh, sampeyan. Ngagetin saya saja. Ini lho, tadi saya baru bersih-bersih rumah. Lha ini hasilnya; sampah. Ada botol bekas, ada kertas koran, ada baju yang sudah sobek dan macem-macemlah pokoknya.

Yu Sri: Terus, barang-barang itu mau sampeyan apakan?

Yu Tun: sampeyan ini bagaimana to, Yu. Yang namanya sampah ya harus dibuang.

Yu Sri: Dibuang? Dibuang kemana?

Yu Tun: Sampeyan itu, Yu. Lha wong buang sampah saja kok repot. Ya tinggal dilempar ke sungai kan beres. Ia akan bisa hanyut sampai jauh...

Yu Sri: Wah, wah. Sampeyan ini. Buang sampah kok ke sungai. Bahaya itu, Yu.

Yu Tun: Bahaya? Bahaya opo?

(Bu RT datang dan langsung ikut nimbrung)

Bu RT: Pagi-pagi kok sudah jagongan di pinggir sungai ini ada apa, to?

Yu Sri dan Yu Tun (menyahut bareng): Eh, Bu RT...

Yu Sri: Ini lho, Bu. Yu Tun ini mau buang sampah ke sungai. Lak bahaya to, bu?

Bu RT: Lho, ya jelas bahaya itu. Nanti kalau pas musim hujan, dan aliran sungai mampet karena saluran tersumbat sampah, lalu lingkungan kita kebanjiran, akhirnya yang repot kan kita-kita juga.

Yu Sri: Nah, itu, Yu. Dengarkan apa kata bu RT....

Bu RT: Dan lagi, sampah-sampah itu kan bisa dimanfaatkan, bisa didaur ulang. Atau, pisahkan saja antara sampah basah dan sampah kering. Nah, nanti mari bersama kita proses sampah-sampah itu agar memberi nilai tambah. Bagaimana? Sudah jelas?

Yu Tun: Sudah, Bu. Sudah jelas kok.

Bu RT: Nah, kalau sudah jelas, mari kita terapkan dalam lingkungan kita. Dan, mari kita ajak lebih banyak lagi orang untuk peduli akan lingkungan sendiri.

Narator: Menjaga lingkungan pada hakikatnya adalah juga menjaga kehidupan. Buanglah sampah pada tempat yang benar. Atau, olahlah sampah agar ia memberi nilai tambah.
Iklan Layanan Masyarakat ini dipersembahkan oleh radio komunitas SIP-FM. SIP-FM; Dekat-Bersahabat!

(Sekali lagi, konsep diatas adalah masih dalam bentuk kasar. Tidak menutup kemungkinan untuk dipoles disana-sini dulu sebelum direkam atau diudarakan.)

Senin, 09 April 2012

Cebok yang Menohok

ZAMAN sekarang banyak sekali hal yang bersifat instan. Tidak melulu terjadi pada mi. Tulisan ini, misalnya. Setelah saya tik beberapa menit, saya edit sekadarnya, dengan sekali klik ia sudah nongol di blog ini. Cepat sekali. Dan kalau lagi bernasib baik, tulisan yang lebih sebagai 'dlemingan' ini bisa dibaca orang, termasuk sampeyan sekarang ini.

Kalau dalam sebuah tayangan infotainment yang saya dengar kemarin (benar-benar saya dengar, bukan saya tonton. Karena saya lagi didapur ketika istri saya nonton tivi dengan suara yang agak kencang), ki Mantep Sudharsono bilang, “Tiada hari tanpa wayang.” saya pun boleh juga berkata, “Tiada hari tanpa tulisan.”

Menulis apa saja. Yang penting menulis. Padahal, “Tukang batu,” jawab saya ketika seorang teman yang berkenalan lewat jejaring sosial bertanya tentang profesi saya. Ia perlu bertanya begitu demi melengkapi keterangan dibawah nama saya untuk sebuah artikel tulisan saya yang akan dimuat edisi hari Minggu di koran tempatnya bekerja.

Saya tertawa. Sementara ia tetap tak percaya. Lebih-lebih ketika saya bilang bahwa istri saya adalah seorang buruh pabrik. “Jangan merendah begitu...” ujarnya.

Merendah bagaimana. Lha memang kenyataannya begitu kok. Walau sebenarnya bisa pula nama profesi saya itu dikerenkan sedikit; building maintenance. Tetapi emak saya tentu sukar sekali mengerti itu. Lain kalau dengan sebagai tukang batu, pasti beliau langsung tahu.

Di tempat kerja ini saya memang mendapat seragam komplit beserta kaosnya. Tetapi saya lebih sering memakai kaos saja. Alasannya, karena dengan berkaos begitu terasa lebih nyaman. Dengan pekerjaan yang selalu berkeringat dan kotor, saya merasa baju membikin saya makin gerah. Bayangkan, melobangi dinding atau ceiling untuk menanam pipa AC tambahan atau menarik kabel antena TV berlangganan, tentulah lebih enak dengan berkaos saja.

Untunglah sekarang serba instan. Termasuk dalam pekerjaan sebagai tukang batu. Untuk menutup kembali lubang di dinding atau ceiling itu, saya tidak memerlukan semen. Itu kuno. Dan, sampeyan tahu, cara kuno selalu lebih makan waktu. Sekarang ada yang namanya UB 888, A Plus dan sejenisnya. Semacam bubuk instan untuk menambal lubang di dinding atau plafon berbahan gypsum. Warnanya putih. Jadi tidak perlu lagi diplamir sebelum dicat. Bahkan, dengan keahlian tertentu, setelah didempul pakai si UB ini, tidak perlu diamplas dulu. Tunggu keset (tidak usah sampai kering), bisa langsung diglundungi rol, dicat. Beres.

Karena bahan ini agak cepat mengeras, mengaduknya pun sedikit-sedikit saja. Tergantung kemampuan tukang dalam mengaplikasikannya. Biasanya saya dan teman-teman mengaduknya pada wadah semacam nampan. Bubuk UB ditaruh sesuai kebutuhan, kemudian dikasih air berwadah botol bekas air kemasan dengan tutup yang telah dilubangi sebesar paku ukuran sedang. Dengan begitu, kita lebih gampang menuang air untuk jenis kekentalan adonan yang diinginkan.

Botol bekas air mineral itu banyak sekali gunanya. Termasuk dengan model sama dipakai sebagai pembasah mata mesin gerenda ketika memotong keramik, marmer atau granit. Sekarang, jarang sekali ada tukang memakai air dari selang kecil untuk keperluan sama. Tukang cat duco pun begitu. Ia sering memasukkan thinner ke botol untuk sebagai persiapan membersihkan lantai yang secara tidak sengaja kena cat minyak.

Suatu hari, saya masuk ke unit yang sedang dalam tahap pengerjaan. Alat-alat dan bahan kerja berserakan dilantai. Saat itu saya sedang kebelet pipis. Masuk ke toilet, saya putar kran, ternyata air ke unit itu belum dinyalakan. Padahal untuk mengambil air dulu ke janitor dibelakang lift, saya sudah tidak tahan. Mata saya kemudian jelalatan mencari botol air untuk mengaduk UB 888. Nah itu dia. Di sudut ruang ada botol dengan isi setengah badan. Maka, saya bawa botol itu ke toilet untuk melampiaskan hajat.

Selesai pipis, lega sekali rasanya. Sekarang tinggal cebok, membasuh 'peralatan' pipis saya. Langsung saja saya arahkan botol dengan lubang ditutupnya. Dan, 'kepala peralatan' pipis saya terasa dingin diguyur cairan itu. Dingin yang aneh. Yang kemudian terasa kranyas-kranyas. Kemudian statusnya naik menjadi panas. Oh?

Saya curigai isi botol ini. Secepatnya saya cium ujungnya. Sial. Dari baunya saya hapal, isinya adalah thinner A spesial!****




Keramas yang Nahas


UNTUK perkara sikat gigi, tak tahu kenapa, boros sekali saya. Saya pakai belum begitu lama (dibanding orang kebanyakan), sikat saya sudah pada lungset bulu-bulunya. Sudah seperti rambut amburadul yang tidak pernah disisir.

Untuk perkara rambut, saya memang tidak pernah menyisir. Tetapi dijamin tidak amburadul kondisinya. Lha wong memang sekarang saya tidak pernah memelihara rambut panjang. Dengan rambut pendek, sehabis keramas perkara sudah langsung tuntas. Tidak pakai minyak rambut? Tidak. Saya tidak suka berminyak rambut. Lebih-lebih yang ada aroma wanginya. Entahlah, saya jadi pusing bila memakainya. Itu pertama. Alasan kedua; karena kulit kepala saya termasuk jenis yang gampang berkeringat. Inilah masalahnya. Saya menjadi agak boros di shampoo.

Setiap mandi selalu saja saya keramas, setiap pagi dan sore hari.
Keramas pagi karena, tidur pun kepala saya berkeringat. Sedang keramas sore sepulang kerja, apalagi. Rambut saya sudah kotor sekali. Maklumnya, sebagai pekerja bangunan, dengan kondisi proyek yang begitu, yang kerontokan sedikit pasir atau debu semen adalah sebuah keniscayaan. Akibatnya, rambut saya terasa kumal. Memang ditempat kerja disediakan topi atau helm proyek. Tetapi, masalahnya, kulit kepala saya nyaris seperti sumber keringat. Baru sebentar saja bekerja memakai penutup kepala begitu, sudah luar biasa gerah rasanya.

Dalam masalah rambut dan kulit kepala itu, tetapi masih ada untungnya. Untungnya rambut saya gampang sekali perawatannya. Untungnya dengan shampoo merek apa pun rambut saya oke-oke saja. Mulai shampoo cap Jempol sampai Dimension 2 in 1 (ada yang tahu gak shampoo merek ini masih ada atau sudah lama menjadi mendiang?), dari shampoo bubuk sampai shampoo cair. Lebih ekstrem dari itu, pernah juga. Mulai dari bubuk detergent sampai sabun colek atau sabun mandi pun sempat sudah saya pakai keramas. Untungnya, sekali lagi, rambut saya tidak apa-apa. Masih segar bugar bin sehat wal afiat. Tetapi kalau belakangan ia sudah tampak semakin jarang, mungkin karena  saya terlalu banyak memikirkan keadaan negara. Hehehe...

Suatu sore di tahun 1997, sepulang kerja saya langsung menuju tempat kost adik saya yang baru seminmggu melahirkan. TKPnya di Rungkut Kidul gang II/46. Tempat kost itu, lazimnya kost kelas buruh pabrik di Rungkut, tidaklah luas. Hanya berukuran sekira 3 kali 3. (Tentu saja dalam meter. Karena kalau dalam centi kan ukuran foto untuk KTP.) Praktis kamar hanya dipaksa muat untuk segalanya. Kecuali peralatan memasak dan sebangsanya. Termasuk sebuah genuk (gentong tandon air dari plastik) yang ditaruh diluar kamar. Biasanya letaknya bersebelahan dengan gerobok tempat kompor dan perangkat memasak lainnya.
Setelah berbasa-basi sejenak, saya bilang mau numpang mandi. Kata orang tua, sepulang kerja jangan menyentuh bayi kalau belum mandi. Bisa-bisa si kecil jadi sawanen.

Kamar mandi memang terpisah dari kamar tidur. Ia terletak di sudut agak keutara, dengan penerangan yang kurang. Untuk mandi, saya membawa seember air yang saya ambil dari genuk yang bentuknya bahenol itu. (Mandi dengan sember kecil air? Cukupkah? Ya dicukup-cukupkan saja. Namanya juga kost. Yang untuk mengisi genuk saja harus membeli air dengan tarif per jerigen kok.)  Dalam menuju kamar mandi itu saya juga menyahut peralatan mandi milik adik perempuan saya yang ditaruh pada sebuah gayung. Saya lihat lengkap isinya. Ada sabun, sikat gigi juga shampoo.

Sebagaimana dalam setiap mandi, saya langsung mak-byurrr...keramas sekalian. Tetapi shampoo adik saya ini rasanya beda di rambut saya. Berbusa sih berbusa. Tetapi pada rambut, kesetnya terasa lain. Ia, saya ingat, seperti ketika saya habis keramas pakai sabun mandi. Saya ulangi sekali lagi, dengan menuang cairan dari botol mungil itu, pun hasilnya tetap sama.Tidak licin seperti sehabis pakai  Pantene, misalnya. Ataukah ini karena begitu banyak debu atau pasir yang menempel di rambut saya.

Sehabis mandi, sambil menggosok-gosokkan handuk ke rambut, saya kemudian meletakkan ember dan gayung peralatan mandi didepan kamar kost. “Segerrr...” ujar saya.
Kok juga keramas,memangnya bawa shampoo?” adik saya bertanya.
“Tidak. Kan sudah ada di gayung, yang botol kecil itu,” sahut saya.
Aneh. Adik saya malah tertawa mendengar jawaban itu.
“Memangnya kenapa?” saya penasaran.
“Itu sabun sirih...”*****


Memori 'Hembodi'


SERING sekali saya tiba-tiba ingat perisiwa lama. Sekalipun itu bukan peristiwa penting, senang sekali saya mengingatnya sebagai penangkal pening. Jangan tanya, apa penyebab rasa pening saya. Bisa karena kebutuhan yang terus saja bertambah, misalnya tentang si Edwin yang akan segera masuk SMP (dan itu butuh biaya). Sebanyak apa persoalan yang dianggap penting, sebanyak itu pula penyebab rasa pening.
Penangkalnya, yang seperti sudah saya bilang, adalah mengingat-ingat kenangan masa lalu yang bisa membuat senyum tersungging.

 Baiklah, ingatan saya pertama-tama terbang kemasa ketika saya masih SD. Tidak ada yang teramat istimewa, sebenarnya. Kalaulah saya sering sekolah bersandal jepit, atau malah hanya bertelanjang kaki, pada masa itu memang adalah sudah hal lumrah. Selumrah emak saya yang meminyaki rambut saya pakai minyak kelapa sebelum berangkat sekolah. Sehingga, ketika upacara (karena berdiri dihalaman sekolah sampai matahari agak tinggi) jidat saya menjadi mengkilap. Karena keringat? Lengkapnya karena keringat plus minyak kelapa yang meleleh karena rambut tersiram panas matahari.
Siangnya, kemarau ketika itu, giliran betis yang perlu diperhatikan. Bagian tubuh itu, seperti emak bilang, seperti kulit mentimun tua. Mbesisik, kering dan bergaris putih ketika digaruk kuku. Tetapi kami, anak-anak SD itu, punya cara jitu untuk mengkilapkannya.

Ketika jam istirahat tiba, menujulah kami ke kios bensin milik mbak Utari yang bisa dijangkau dengan menyeberang jalan saja. Kami mencari jerigen  wadah solar yang isinya sudah laku terjual. Kami miringkan, kami tadahi tetesan sisa solar itu ketelapak tangan, lalu kami usapkan ke betis kami yang mbesisik itu. Beres.
**o**
MENGINJAK remaja, ketika saya memulai karir sebagai kuli batu, kulit yang memutih setelah bekerja mengaduk semen selalu ada. Utamanya dibagian guratan kulit di jari kaki atau tangan. Ketika kulit dibasahi dengan dicuci pakai sabun ‘keputihan’ itu tidak kelihatan, tetapi kalau sudah kering sungguh terlihat nyata. Untuk menghilangkannya, sudah tidak pakai solar sekarang. Tetapi pakai minyak kelapa, atau kalau mau mejeng lihat tontonan film Jamu Jago dilapangan desa, saya pakai hand and body lotion. Tentu hanya yang merek murahan.

Suatu sore, saya lihat teman seprofesi, (Boimin namanya, tetapi agar keren kami memanggilnya Boy) sudah berdandan. Sudah tidak kelihatan putih-putih di jari kaki atau tangannya.

“Pakai minyak kelapa, ya?” tebak saya.
Ngenyek,” elaknya.
“Wah, tentu pakai hembodi,” tebak saya lagi.
“Juga tidak.”
“Lalu, pakai apa dong?”
Boy menjawab enteng, “Aku pakai Okana.” *****

Kamis, 05 April 2012

Telepon Tengah Malam

MIDNIGHT Call, begitu judul serial film yang diputar TVRI sekitar awal tahun 90an. Berkisah tentang seorang penyiar radio yang selalu bersiaran tengah malam. Ia, seorang lelaki –saya lupa siapa namanya-- mengasuh acara bernama Midnight Call. Panggilan tengah malam yang diterimanya selalu sebagai peristiwa yang membuat si penyiar turut sebagai pihak yang terlibat. Tentu sebagai penyelesai. Asyik. Sekalipun tidak se-dar,der,dor The A Team, atau sebertele-tele soap opera macam Dinasty, The Bold and The Bautiful atau Santa Barbara. Tidak. Pun, pemeran wanita –sering sebagai si penelepon tengah malam itu--, adalah selalu yang sedang terbelit masalah. Ia, wanita itu, jangan bayangkan se-semlohay para bidadari di Charlie's Angels yang kala itu dibintangi (mendiang) Farah Fawcett dkk.

Sudahlah. Saya sedang tidak akan membahas serial TVRI tahun-tahun itu. Sekalipun saya juga akan bercerita tentang panggilan tengah malam. Tengah malam? Iya. Tentu sampeyan ingat, dulu ketika HP belum dikenal orang, telepon adalah sudah sebagai alat komunikasi andalan. Ingatlah pula, telepon umum yang ada dipinggir-pinggir jalan sungguh terasa sekali manfaatnya. Beda dengan sekarang. Yang seringkali hanya sebagai benda yang teronggok tiada guna dipinggir-pinggir jalan.karena keberadaannya telah kalah telak oleh telepon seluler.

Saya ingat betul, ketika akan menelepon ke luar kota selalu menuju di sebuah wartel yang selalu ramai di pertigaan Rungkut. Pada jam sebelas malam begitu, antre sekali yang datang. Padahal wartel itu punya beberapa KBU. Tentu bukan tanpa alasan orang pada bertelepon tengah malam begitu. Karena, kala itu, telepon interlokal selalu mengenalan tarif 50% dari tarif siang. Semakin malam, kalau saya tidak salah ingat, akan semakin murah. Hanya akan dikenakan biaya 25% saja!

Kala itu saya masih bujang dan masih kost di Rungkut Kidul II nomor 88. Nomor rumah yang cantik. Karena waktu itu belum ada densus 88, nomor rumah pak Mu'in itu lebih identik dengan merek salep obat sakit kulit. Setiap tengah malam, ketika telepon di rumah bapak kost berdering, hati para penghuni selalu berdebar. Karena, Minggu sebelumnya, ketika ada telepon tengah malam, ada kabar duka untuk mbak Minah –tetangga kamar kost saya-- yang asal Mojokerto, bahwa keluarganya meninggal dunia. Beberapa hari setelahnya, juga tengah malam,  Kadi (tetangga kost saya yang lain) mendapat kabar duka lewat telepon bahwa saudaranya meninggal di Tulungagung sana.

Maka ketika suatu tengah malam ada dering telepon, dan sebentar kemudian bapak kost mengetuk kamar saya, makin berdebarlah hati kami. “Yon, ada telepon,” kata bapak kost kepada teman sekamar saya. Ia bukan hanya teman sekamar sebenarnya. Dibilang masih saudara juga bisa. Karena, kakak perempuan dari si Yon ini dinikahi kakak saya

Menunggu Yon kembali dari menerima telepon, saya duduk dalam gelisah. Saya menduga telepon tengah malam itu, seperti malam-malam yang lalu, adalah kabar duka. Begitu Yon datang dengan wajah kusut, makin yakin saya akan prakiraan tadi.

“Mbah mBoro meninggal,” katanya sambil melepas sarung dan berganti celana. “Aku diminta menghubungi Jonit. Bisa ndak bisa ia harus pulang sekarang.”

Malam itu, selepas menerima telepon tengah malam itu, Yon menuju wartel di pertigaan Rungkut. Ia menunaikan pesan bahwa bisa ndak bisa si Jonit harus pulang. Untuk itu, ia menelepon ke tempat kost kakak saya (juga kakak ipar Yon) di daerah Setro, Kenjeran sana. Si Jonit yang cucu tersayang mbah mBoro, kala itu memang sedang ikut pekerja pada bangunan yang sedang digarap kakak saya.

Kisah lanjutannya; mendapat kabar duka itu, kakak saya berinisiatif menghubungi sanak-famili yang ada diseantero Surabaya. Juga, kakak saya itu langsung mendampingi si Jonit untuk pulang. Tentu, agar tidak terguncang hatinya, dan hanya dibilangi kalau mbah mBoro sedang kurang enak badan. Tak mungkinlah kakak saya berkata ke Jonit bahwa si neneknya sudah tiada.

Dari Kenjeran kakak saya langsung ke Bungurasih. Naik bus menuju pulang. Sangat hati-hati kakak saya menjaga agar sesampainya dirumah duka si Jonit tidak shock. Tiba di Jember sekitar jam enam pagi. Turun dari bus, si Jonit diajak lewat jalan kecil. Semakin mendekati rumah duka hati semakin berdebar. Dari kejauhan suasana sepi saja. Ah, mungkin jenazah sudah diberangkatkan ke pemakaman.

Rumah berdinding anyaman bambu itu terletak disebelah rimbun rumpun bambu. Tampak seorang perempuan tua sedang menyapu halaman, yang sedang diguguri daun-daun bambu.

“Itu mbah mBoro,” Jonit tersenyum. Ia yang memang tidak dikabari kalau mbah mBoro 'meninggal' bersikap biasa-biasa saja.

Kakak saya yang malah bingung. Katanya meninggal, kok malah sedang menyapu. Kebingungan bukan milik kakak saya semata. Karena, selang beberapa saat kemudian, keluarga yang sudah dikabari kakak saya tadi juga berdatangan.. Jadilah pagi itu suasana ramai sekali di 'rumah duka'.

Selidik punya selidik, si Yon yang sedang jadi tersangka. Ia yang menerima telepon tengah malam itulah biangnya. Rupanya, karena beberapa telepon tengah malam sebelumnya selalu berisi kabar duka, maka ketika malam itu seseorang yang disuruh mengabari kalau 'bisa ndak bisa Jonit harus pulang karena mbah mBoro....tut, tut, tut...' (rupanya suara telepon yang terputus itu langsung diartikan sebagai meninggal)*****