"CARI saja yang lewat Kertosono," pesan seorang teman yang asli Kediri. "Karena kalau naik yang lewat Pare akan lebih lama nyampainya."
Pertanyaan itu perlu saya lontarkan, karena saya akan ke Ngronggo. Sebuah desa yang masih masuk ke dalam wilayah Kediri Kota. Keterangan lanjutan dari teman saya itu, adalah soal bis. Karena, "Yang lewat Pare itu lebih jelek armadanya. Kalau yang Kertosono ada Harapan Jaya atau Pelita Indah. Dijamin banter-banter."
Minggu kemarin (22 April), bersama anak istri plus pakde, jam delapan lebih empat puluh lima menit, saya take off dari Bungurasih. Dan, alhamdulillah, Pelita Indah sedang dalam posisi antrean di depan dengan tulisan via Kertosono di kaca depan.
Karena saya benar-benar buta akan tujuan saya, maka ketika bis melaju diatas jembatan layang Trosobo saya bilang ke kondektur untuk memastikan agar saya nanti diturunkan di pertigaan Ngronggo. "Iya, nanti kalau sudah dekat tak bilangi," kata kondektur sambil menghitung uang kembalian untuk saya. Tarifnya, Surabaya-Ngronggo itu, empat belas ribu per kepala.
Ancar-ancar yang saya dapat dari orang yang hendak kami datangi itu jelas. Pokoknya Ngronggo itu tempat pemberhentian bis setelah Alun-alun. Tepatnya, sebuah pertigaan yang ada lampu traffic light-nya.
Lancar, alhamdulillah.
Kami tiba di lokasi dengan selamat. Tetapi ada satu pengalaman (pemandangan, sebenarnya) yang betapa tidak selamatnya dia. Ceritanya begini: Biasalah, ketika akan mendekati tempat turun, kondektur selalu meneriakkan suatu tempat. Tujuannya jelas, agar si penumpang itu, yang bisa jadi sedang agak tertidur itu, supaya bangun dan segera mendekati pintu.
Saya lupa ia turun dimana, tetapi seorang lelaki langsung menuju dekat pintu setelah mendengar teriakan kondektur. Tetapi sial. Ketika lelaki itu berjalan mendekati pintu, sopir menginjak pedal rem dengan tiba-tiba entah karena apa. Maka, si penumpang yang hendak turun tadi terjatuh tengkurap dan nyaris mencium bangku (atau penutup mesin?) disebelah sopir. Saya tahu, dengan tangan sempat menahan begitu, tentu kejatuhan itu tidak terlalu menyakitkan. Tetapi, tentulah sangat memalukan. Dan, bapak sopir yang di topi hitamnya tertera tulisan Pemburu itu, sialnya, hanya memandang yang terjatuh itu dengan tanpa meminta maaf.
Analisa saya, penumpang yang sedang apes itu, tidak menyangka sopir akan mengerem mendadak begitu. Juga, rupanya, ia tidak sedang berpegangan pada sebatang besi diatas kepala yang membentang sepanjang di atas tempat duduk. Kejatuhan itu, juga karena ia dalam posisi berdiri tanpa kuda-kuda. Dengan sopir yang bersikap dingin tanpa empati, lengkap sudah penderitaan penumpang nahas itu.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar