ENTAHLAH, sering sekali saya mengalami hal yang sama sekali
tidak penting. Dan kerena tidak penting, ia masuk dalam kategori yang
tidak membuat genting. Minggu pagi kemarin, contohnya. Sesampainya di
tempat kerja, saya melepas sepatu untuk memasang kaos kaki. Iya,
karena terburu-buru, berangkatnya tadi saya masukkan kaos kaki saya
ke saku. Langsung mak-wuzzz... berangkat. Dan ndilalah,
kaos kaki yang terbawa cuma sebelah. Nah, kan. Bukan cerita penting,
kan? Tetapi karena saya curiga yang satu jatuh di depan pintu rumah
dan tentu diselamatkan oleh istri saya, yang terbawa sebelah itu pun
saya masukkan lagi ke saku.
Sudah.
Sekarang yang agak penting, begini; Sabtu sore kemarin, sepulang dari
arisan ibu-ibu PKK, istri saya bilang agar kami segera datang ke
kantor kecamatan untuk pembuatan E-KTP.
“Lho, tidak menunggu undangan dulu?” tanya saya.
“Tidak. Sekarang bisa langsung datang,” istri saya menjelaskan.
“Syaratnya hanya bawa foto copy KTP dan KSK.”
Saya sudah pernah membaca hal itu, sebenarnya. Bahwa, kalau tidak
salah, pihak kecamatan tidak optimis semua penduduk sudah ber-E-KTP
pada akhir April. Ini disebabkan dua hal, mungkin. Ketersediaan alat
yang mencukupi, juga yang tak kalah penting, peran aktif masyarakat.
Sebetapa pun tercukupi alat dan SDM (yang bahkan sampai
dilembur-lemburkan), kalau masyarakat tak mau datang, ya sami
mawon.
Itulah mengapa, sore sepulang kerja kemarin saya langsung mampir ke
kantor kecamatan. Di parkiran saya lihat sepi-sepi saja. Di pendopo
kursi-kursi yang dijajar, tidak satupun ada yang menduduki.
“Pelayanan E-KTP buka, pak?” tanya saya pada tukang parkir.
“O, buka, pak. Itu, langsung saja ke ruang itu,” katanya sambil
menunjuk ke arah utara.
Seorang lelaki berkaos putih ada di depan pintu. Kepadanya saya
menanyakan ruang E-KTP.
“Oh, langsung masuk saja,” katanya.
Ruangan sepi. Hanya ada sepasang suami istri sedang antri.
Saya sodorkan selembar foto copy KTP dan KSK pada seorang perempuan
muda. “Tutupnya sampai jam berapa, mbak?” tanya saya.
“Sampai jam sebelas, pak.” katanya sambil menyalin data saya ke
sebuah buku besar.
“Wah, kalau begitu, habis ini saya langsung ajak istri saya datang
kesini.”
“Kalau begitu, saya daftar sekalian istri bapak. Nanti tingal
diproses,” sahutnya.
Setelah dari ruang pendaftaran, saya langsung ke ruang sebelah yang
hanya disekat setengah badan. Cepat sekali pelayanannya. Saya lihat
ada tiga meja dengan tiga perangkat pendukungnya. Meja terkiri
digawangi seorang perempuan setengah baya berjilbab warna gelab. Meja
tengah kosong. Meja terkanan dipegang seorang lelaki berkacamata
dengan tubuh agak gemuk. Kesitulah saya menuju.
Setelah saya sodorkan foto copy yang saya bawa, saya duduk di
depannya. Mata saya melihat alat perekam sidik jari di meja. Kemudian
mencari, ingin tahu bentuknya sih, alat yang kata teman-teman saya
yang sudah ber-E-KTP sebagai perekam kornea mata. Tetapi,
“Bapak duduk didepan sana dulu. Di depan kain yang warna biru.
Difoto dulu, ” bapak itu berkata.
Ketempat itu saya menuju. Lazim sudah, orang dengan tahun kelahiran
berakhir angka genap, selalu warna biru sebagai latar belakang
fotonya. Untuk foto yang model begini saya sudah pernah. Dan semua
sering mengecewakan saya. Di foto KTP atau SIM, misalnya. Karena saya
fotonya siang hari dan baru pergi dari suatu tempat, saya terfoto
dalam keadaan muka yang kumus-kumus, nggilap. Belum lagi
kancing baju yang terlalu mbledeh kebawah. Pokoknya jan
tidak mbois blas.
Makanya untuk yang E-KTP ini saya ingin tampil seganteng mungkin.
Tetapi saya lihat ke sekeliling, saya tidak menemukan kaca untuk
bercermin demi merapikan penampilan. Saya jadi kurang pede.
Saya khawatir muka saya kurang keren. Lebih-lebih saya mampir kesitu
setelah dari kerja. Bukan tidak mungkin kan muka saya masih dalam
kondisi kumus-kumus. Saya bermaksud hendak mengusap keringat
diwajah pakai sapu tangan. Tetapi, saya ingat, jarang sekali menaruh
dan membawa barang itu di saku. Namun begitu, saya rogoh juga si
saku, dan malah mendapati kaos kaki yang terbawa satu tadi. Tentu tak
mungkinlah saya mengelap wajah saya menggunakan benda yang sudah
lebih seminggu tak dicuci itu.
Saya pasrah. Tetapi saya tentu berusaha tampil semaksimal mungkin.
Saya jilat-jilat bibir sendiri. Agar kalau difoto nanti hasilnya
terlihat sensual. Dan, rencananya ini, saya akan tersenyum dengan
senyum termanis sepanjang hidup saya ketika bapak agak gendut itu
mengarahkan kamera ke muka saya dan lalu bilang, 'siap; satu, dua,
ti....Jepret!'
Alhamdulillah, saya lihat si bapak petugas tadi masih asyik
memasukkan data saya ke komputer. Itu terjadi untuk beberapa lama.
Karenanya, saya punya waktu untuk menyiapkan diri lebih matang demi
foto yang paling berkesan. Tetapi,
“Bapak baru pindah ke Surabaya, ya?” bapak petugas itu bertanya.
“Iya, pak. Saya sekeluarga baru dua bulan menjadi warga Surabaya,”
jawab saya.
“Makanya data bapak belum ada. Karena sementara ini sistem kami
belum online. Jadi bapak sekeluarga, foto E-KTP-nya sebulan
lagi. Sekitar pertengahan Mei...”
Ah, tiwas, pak. Tiwas klamut-klamut bibir sendiri,
tiwas menyiapkan senyum termanis. Njekethek, nggak
jadi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar