Senin, 16 April 2012

E-KP, E... Kecele

ENTAHLAH, sering sekali saya mengalami hal yang sama sekali tidak penting. Dan kerena tidak penting, ia masuk dalam kategori yang tidak membuat genting. Minggu pagi kemarin, contohnya. Sesampainya di tempat kerja, saya melepas sepatu untuk memasang kaos kaki. Iya, karena terburu-buru, berangkatnya tadi saya masukkan kaos kaki saya ke saku. Langsung mak-wuzzz... berangkat. Dan ndilalah, kaos kaki yang terbawa cuma sebelah. Nah, kan. Bukan cerita penting, kan? Tetapi karena saya curiga yang satu jatuh di depan pintu rumah dan tentu diselamatkan oleh istri saya, yang terbawa sebelah itu pun saya masukkan lagi ke saku.

Sudah.
Sekarang yang agak penting, begini; Sabtu sore kemarin, sepulang dari arisan ibu-ibu PKK, istri saya bilang agar kami segera datang ke kantor kecamatan untuk pembuatan E-KTP.

Lho, tidak menunggu undangan dulu?” tanya saya.

“Tidak. Sekarang bisa langsung datang,” istri saya menjelaskan. “Syaratnya hanya bawa foto copy KTP dan KSK.”

Saya sudah pernah membaca hal itu, sebenarnya. Bahwa, kalau tidak salah, pihak kecamatan tidak optimis semua penduduk sudah ber-E-KTP pada akhir April. Ini disebabkan dua hal, mungkin. Ketersediaan alat yang mencukupi, juga yang tak kalah penting, peran aktif masyarakat. Sebetapa pun tercukupi alat dan SDM (yang bahkan sampai dilembur-lemburkan), kalau masyarakat tak mau datang, ya sami mawon.

Itulah mengapa, sore sepulang kerja kemarin saya langsung mampir ke kantor kecamatan. Di parkiran saya lihat sepi-sepi saja. Di pendopo kursi-kursi yang dijajar, tidak satupun ada yang menduduki.

“Pelayanan E-KTP buka, pak?” tanya saya pada tukang parkir.

“O, buka, pak. Itu, langsung saja ke ruang itu,” katanya sambil menunjuk ke arah utara.

Seorang lelaki berkaos putih ada di depan pintu. Kepadanya saya menanyakan ruang E-KTP.

“Oh, langsung masuk saja,” katanya.

Ruangan sepi. Hanya ada sepasang suami istri sedang antri.

Saya sodorkan selembar foto copy KTP dan KSK pada seorang perempuan muda. “Tutupnya sampai jam berapa, mbak?” tanya saya.

“Sampai jam sebelas, pak.” katanya sambil menyalin data saya ke sebuah buku besar.

“Wah, kalau begitu, habis ini saya langsung ajak istri saya datang kesini.”

“Kalau begitu, saya daftar sekalian istri bapak. Nanti tingal diproses,” sahutnya.

Setelah dari ruang pendaftaran, saya langsung ke ruang sebelah yang hanya disekat setengah badan. Cepat sekali pelayanannya. Saya lihat ada tiga meja dengan tiga perangkat pendukungnya. Meja terkiri digawangi seorang perempuan setengah baya berjilbab warna gelab. Meja tengah kosong. Meja terkanan dipegang seorang lelaki berkacamata dengan tubuh agak gemuk. Kesitulah saya menuju.

Setelah saya sodorkan foto copy yang saya bawa, saya duduk di depannya. Mata saya melihat alat perekam sidik jari di meja. Kemudian mencari, ingin tahu bentuknya sih, alat yang kata teman-teman saya yang sudah ber-E-KTP sebagai perekam kornea mata. Tetapi,

“Bapak duduk didepan sana dulu. Di depan kain yang warna biru. Difoto dulu, ” bapak itu berkata.

Ketempat itu saya menuju. Lazim sudah, orang dengan tahun kelahiran berakhir angka genap, selalu warna biru sebagai latar belakang fotonya. Untuk foto yang model begini saya sudah pernah. Dan semua sering mengecewakan saya. Di foto KTP atau SIM, misalnya. Karena saya fotonya siang hari dan baru pergi dari suatu tempat, saya terfoto dalam keadaan muka yang kumus-kumus, nggilap. Belum lagi kancing baju yang terlalu mbledeh kebawah. Pokoknya jan tidak mbois blas.

Makanya untuk yang E-KTP ini saya ingin tampil seganteng mungkin. Tetapi saya lihat ke sekeliling, saya tidak menemukan kaca untuk bercermin demi merapikan penampilan. Saya jadi kurang pede. Saya khawatir muka saya kurang keren. Lebih-lebih saya mampir kesitu setelah dari kerja. Bukan tidak mungkin kan muka saya masih dalam kondisi kumus-kumus. Saya bermaksud hendak mengusap keringat diwajah pakai sapu tangan. Tetapi, saya ingat, jarang sekali menaruh dan membawa barang itu di saku. Namun begitu, saya rogoh juga si saku, dan malah mendapati kaos kaki yang terbawa satu tadi. Tentu tak mungkinlah saya mengelap wajah saya menggunakan benda yang sudah lebih seminggu tak dicuci itu.

Saya pasrah. Tetapi saya tentu berusaha tampil semaksimal mungkin. Saya jilat-jilat bibir sendiri. Agar kalau difoto nanti hasilnya terlihat sensual. Dan, rencananya ini, saya akan tersenyum dengan senyum termanis sepanjang hidup saya ketika bapak agak gendut itu mengarahkan kamera ke muka saya dan lalu bilang, 'siap; satu, dua, ti....Jepret!'

Alhamdulillah, saya lihat si bapak petugas tadi masih asyik memasukkan data saya ke komputer. Itu terjadi untuk beberapa lama. Karenanya, saya punya waktu untuk menyiapkan diri lebih matang demi foto yang paling berkesan. Tetapi,

“Bapak baru pindah ke Surabaya, ya?” bapak petugas itu bertanya.

“Iya, pak. Saya sekeluarga baru dua bulan menjadi warga Surabaya,” jawab saya.

“Makanya data bapak belum ada. Karena sementara ini sistem kami belum online. Jadi bapak sekeluarga, foto E-KTP-nya sebulan lagi. Sekitar pertengahan Mei...”

Ah, tiwas, pak. Tiwas klamut-klamut bibir sendiri, tiwas menyiapkan senyum termanis. Njekethek, nggak jadi....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar