Kamis, 12 Januari 2017

Ajal Siaran TV Digital Terrestrial?

 
'Mendiang' penampakan sinyal Viva grup.
IYA, saya akan menulis tentang televisi lagi. Tetapi, kali ini, bukan tentang Ninmedia yang sejauh ini, walau telah ada FashionTV, NHK Word, Al Jazeera, Zing, DW (sekalipun yang saya sebut itu masih nongol sebagai test signal) ketahuilah, MNC grup masih belum ada. Bukan pula tentang si pendatang baru dari MMP atau SMV, yang walau sama-sama gratisan, tetapi ada perbedaan mendasar dengan Ninmedia. Yakni, bila kita bisa menyaksikan siaran dari Ninmedia (Chinasat-11/98*E) dengan hanya memakai perangkat yang dijual bebas di pasaran, tetapi untuk bisa menyaksikan konten dari SMV/MMP, perangkatnya kita harus kita beli dari mereka. Kabarnya, akhir Januari ini, setelah sekian waktu melakukan siaran percobaan, SMV akan resmi mengudara dengan platform yang disebut FTV, Free to View. Bukan FTA, Free to Air, seperti yang diterapkan oleh Ninmedia. Iya, kali ini, saya kembali menulis tentang siaran tv digital terrestrial. Nah, bagaimana kabar siaran televisi digital terrestrial di tempat Anda?

Seperti yang sempat diberitakan dan menjadi perhatian bagi sebagian pemirsa yang menunggu realisasi migrasi siaran televisi dari analog ke digital, era dimana gambar televisi yang diterima pesawat televisi kita tidak lagi bersemut walau antena sudah dipasang tinggi-tinggi sekali. Kerinduan itu bukan tanpa sebab, karena bukankah telah pernah tersiar kabar pemerintah akan melakukan switch off siaran televisi analog yang konon rakus memakan bandwitdh dan segera melakukan upgrade sistem penyiaran ke teknologi digital.

Laiknya langkah si renta, progress penerapan sistem yang di negara maju adalah sebuah kelaziman dan keniscayaan ini disini ternyata sangat tertatih sekali. Ada saja ganjalannya, ada saja kendalanya. Baik teknis, maupun (yang lebih dominan, sepertinya) adalah hal non teknis.

Untuk hal teknis, sejak 15 Juni sam 15 Desember 2016 kemarin (dan bisa diperpanjang masa trial ini), pemerintah dan beberapa lembaga penyiaran yang concern mendukung program ini, melakukan ujicoba non kemersial di beberapa kota Indonesia dengan TVRI sebagai penyedia insfrastruskturnya. Intinya, konten milik beberapa lembaga penyiaran itu dipancarkan menggunakan MUX milik TVRI. Maaf, saya tak hafal di kota mana televisi apa saja yang mengudara melalui uji coba ini. Tetapi, di Surabaya ini, tadi malam saya sempatkan untuk mengintipkannya untuk Anda.

Kalau MUX MNC grup (ch. 41/643 MHz) sudah sekian lama tiada itu saya sudah duga, tetapi kok ketika saya cari MUX MetroTV (ch. 25/506 MHz) juga sudah tidak lagi mengudara itu yang saya baru tahu. Termasuk MUX TransCorp (ch. 27/522 MHz) yang ternyata ikutan menghilang, menyusul MUX Viva grup (ch. 23/490 MHz), dan Emtek yang sedari dulu turun dari udara setelah sebentar sempat on air.

Kini (saat saya lakukan scan), praktis tinggal konten TVRI yang masih bisa dinikmati. Yakni, TVRI1 Jatim, TVRI2 Jatim, TVRI3, TVRI4 plus peserta ujicoba non kemersial yang 'digendongnya'; CNN Indonesia, NusantaraTV dan Inspira.

Sepertinya, program migrasi ini makin lemah saja gaungnya. Dan detak yang makin melemah, kita tahu, adalah pertanda ajal telah tak terlalu jauh jaraknya. Kalau demikian kenyataannya, pemirsa televisi di negeri ini mesti entah sampai kapan lebih bersabar lagi untuk menunggu menikmati siaran televisi dengan konten beragam dan gambar yang cling bebas bintik. Produsen televisi yang telah melangkah begitu maju dengan menghadirkan produk kualitas bagus yang bisa memanjakan mata pemirrsa, menjadi kurang berguna ketika siaran yang tertangkap masih analog dan cuma segitu mutunya.

Tetapi, untungnya, selalu ada pilihan dalam hidup. Tak perlu menyebut, untuk bisa menikmati siaran berkualitas digital tetapi tetap tak berbayar, kalau mau, ada kok pilihannya. Mau? *****


Senin, 09 Januari 2017

Memahat Sebongkah Batu

LELAKI itu adalah pemahat yang ahli. Batu apapun, bila ditanganinya akan menjadi patung yang indah. Kemasyhurannya menyebar ke seantero negeri. Dan, ketika ada yang bertanya, apa rahasianya sehingga selalu mampu membuat patung yang apik, dengan datar ia mengatakan, "Sebetulnya patung-patung indah itu telah ada pada bongkahan batu. Saya hanya membuang bagian-bagian yang tak perlu saja, yang membuatnya belum kelihatan bentuk aslinya".

Itu kalimat yang bisa jadi telah Anda temukan entah di bacaan mana, tetapi saya juga menemukannya pada salah satu dialog pada film Rambo II, dengan Sylvester Stallone sebagai sang jagoannya.

Saya membayangkan kita, atau saya secara lebih sempit, sedang menjadi sang pemahat. Dan karena kesibukan lain yang tidak bisa ditinggal, untuk memahat sebongkah batu milik saya itu, saya serahkan kepada pemahat lain, yang saya nilai lebih expert ketimbang saya. Tujuannya jelas, hasil pahatannya harus bagus, sebagus keinginan saya. Dengan menyerahkannya secara bongkokan, inginnya saya tahu beres saja, walau untuk itu tentu tentu harus ada biaya yang saya tanggung.

Tetapi, di negeri ini, apakah semua pemahat bagus? Yang selalu memperlakukan pahatannya dengan lemah lembut, dan hanya menyingkirkan bagian-bagian yang tak perlu saja. Bukan saking semangatnya malah sebagian besar pemahat itu memberlakukan si batu sedemikian rupa, dari pagi sampai sore sekali. Walau sistem yang nyaris full day itu belum menampakkan hasil pahatan yang berkualitas tinggi.

Si bungsu saya masih duduk di bangku TK, dan sejak seminggu lalu harus melalui waktu yang lebih panjang di bangku sekolah, dari pagi sampai jamg duabelas siang. TK sama dengan sekolah, apakah memang demikian? Ataukah TK adalah hanya taman kanak-kanak, dimana hanya tempat 'bermain' bagi kanak-kanak? Yang tidak menjejali si kanak-kanak dengan jam belajar yang panjang, yang membebani mereka PR bertumbuk saban harinya, yang harus membuat mereka pandai calistung?

Saya bukah ahli pendidikan, dan hanya mendengar konon sistem pendidikan kita masih kalah tertinggal. Masih konon lagi, negara Finlandia, yang sistem pendidikanya terbilang bagus di kelas dunia, jam pelajarannya tak sebanyak kita. Saya membayangkan, siswa di sana punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Jam sekolah pendek, dan gurunya tak kemalan kasih PR saban hari. Satu lagi, sepertinya disana tidak ada TPA kayak disini.

"Ooii..., kita, kalau begitu, lebih unggul, Cung! Disini kita tidak menjejali sedari dini otak anak-anak dengan Iptek semata, tetapi juga Imtaq".

Tentu saya tak hendak menyangkal pendapat diatas. Yang saya khawatirkan adalah, dengan sistem yang menganut pakem 'ganti menteri ganti kebijakan' ini, jangan-jangan 'sang pemahat' malah bukan hanya membuang bagian tak penting dari sebongkah batu demi mendapati hasil yang indah, namun bagian-bagian yang penting yang sebenarnya terbilang pelengkap keindahannya pun, ikutan terbuang pula. *****