Selasa, 30 Agustus 2011

Dawet Siwalan Juara Satu

Es Dawet Siwalan 'Juara Satu'.
Foto: Dok. Pribadi
SETIAP bulan puasa, di kawasan GKB (Gresik Kota Baru), tepatnya disepanjang jalan Kalimantan selalu ramai. Berjajar disana aneka jajanan dan kuliner untuk berbuka puasa. Keramaian itu, bisa jadi, bukan karena banyaknya penjual dan pembeli. Tapi ditambah oleh yang sekadar jalan-jalan saja. Sekadar ngabuburit. Tidak sebagai penjual, pun bukan untuk membeli.hanya jalan-jalan saja. Atau memang yang numpang jalan.

 Saya termasuk yang terakhir itu. Karena, setiap mudik ke LA, saya selalu ambil jalan itu,tembus ke Suko Mulyo. Tetapi, sekali waktu, saya juga tergoda mencicipi jajanan disitu. Itu saya lakukan dengan prediksi, saya belum sampai rumah ketika bedug maghrib. Dan, karenanya, saya perlu bekal untuk sekadar membatalkan puasa dijalan.

     Saya tertarik membeli jajanan yang namanya aneh; Bongko. Nama yang ‘saru’, saya kira. Itu derajat paling rendah dari istilah kematian; Wafat, meninggal, berpulang, tewas, mampus itu urutan dalam bahasa Indonesia. Kalau dalam bahasa Jawa; seda, tilar ndonya, mati, modar, dan...bongko. 

Tentu saya keliru. Karena, si bongko berbungkus daun pisang itu, berisi semacam kolak bertabur butiran tepung ‘mutiara’ dengan aroma pandan nan harum-segar. Dengan kemasan yang menipu, tapi. Menipu? Iya. Si bongko tampil dalam kemasan daun yang ‘gemuk’, seakan isinya cukup mengenyangkan. Padahal sejatinya isinya cuma sak iprit untuk ukuran lambung saya. Persis kemasan gethuk pisang yang selengan, tetapi isinya sekelingking!

Dengan alasan tak mau tertipu untuk kedua kalinya, tempo hari saya tidak beli ‘bongko’ lagi. Saya memilih es dawet siwalan. Tentu segar sebagai pembuka buka puasa di jalan nanti. Dan karena ada begitu banyak penjual es dawet siwalan disitu, saya harus selektif memilih. Harus yang paling. Yang ter. Pokoknya yang nomer satu. Dan ketemu.

Entah ia pernah menang di mana. Tetapi dengan memampang nama Juara Satu, saya tak punya waktu untuk meragukannya. Buktinya, dari sekian banyak penjual es dawet siwalan, ia paling laris. Sungguh makin yakin saya.

Dengan maksud agar istri dan anak saya ikutan merasakan segarnya es dawet siwalan yang Juara Satu, akhirnya saya memesan untuk dibawa pulang. Jumlahnya? Satu bungkus saja. Harganya? Tiga ribu lima ratus saja. *****

Senin, 29 Agustus 2011

Catatan Lebaran; Lebarkan Lebar-lebar

MAU lebaran besok atau lusa, mas Bendo tetap pada rencana semula;mudik.Kalaulah itu disemboyankan,sambil mengepalkan tangan;sekali mudik tetap mudik! Merdekaaa.....

Ah,biarlah.Toh,kata orang,ada belasan juta orang yang mudik.Ke desa.Lha iya to?Memangnya ada yang mudik tidak ke udik?.

"Ada,"kata kang Karib,sahabat terkaribnya mas Bendo."Itu yang mudik terus dijalan 'tubrukan' terus 'koit'; itu mudik ke alam barzah.He,he..."

Hust.

"Ha,ha..."

"Hust!"

"He,he..."

"Dasar cah gemblung!"

"Siapa yang gembeng?"

"Gemblung,kopok!"

"Tidak ada yang kapok,"kang Karib bicara seperti serius."Tiap tahun selalu begitu.Datanglah ke terminal-terminal,ke stasiun-stasiun.Semua tumplek-blek"

"Lalu?,"mas Bendo jadi ikutan kopok rupanya.Atau berfikir,biar saja si kang Karib bicara sak enak udel-nya.

"Lalu? Ya lalu-lalang.Orang-orang yang sok kota.Sok sukses.Sok artis.Sok buntut..."

"Itu sop,"sergah mas Bendo.

"Iya.Lha iya untuk apa sih mudik itu?"

"Lho,sampeyan kok malah tanya?"

"Lha iya ,kalau cuma mau ngucap 'selamat lebaran' kan bisa lewat teknologi.Lewat SMS,internet;lewat FB,Twitter dan sebagainya...."

Mas Bendo mesem.Tersenyum.Kang Karib terkesan sok.Baru bisa mengetik sebelas jari (satu kanan,satu kiri) di keyboard komputer saja sudah sombong.Baru punya teman 'awu-awu bin buju'an' empat ratus dua puluh tiga di FB saja,sudah sok.Padahal teman yang benar-benar kenal dia ya cuma mas Bendo.Sudah begitu,di FB namanya dikerenkan sedikit,"Biar dahsyat,"kata kang Karib.Di FB namanya tertulis Karib Jonero.Wah,Jonero;marga apa itu.Atau nama dari negara mana?

"Itu nama cita-cita,"kata kang Karib."Jonero artinya;bojone loro....(istrinya dua) Ha,ha..."

"Ngaca,Kang.Ngaca,"sahut mas Bendo."Satu aja gak punya,kok dua."

"Namanya juga cita-cita.Apa salahnya?"

"Ya,embuhlah,"mas Bendo pasrah."Tapi itu tadi,sampeyan ngomong tentang mudik tadi maksute opo?"

"Lha iyo to.Mudik itu perjuangan."

"Kata sampeyan tadi sok-sok-an?"

"Iya,perjuangan untuk sok-sokan,"kang Karib gak mau kalah."Mudik harus pura-pura sukses;kalau biasanya rokok asal berasap,yang cap-nya gak jelas,kalau mudik harus yang bermerk.Yang harga per pak-nya bisa buat beli beras dua kilo.Juga harus pura-pura HP baru"

"Kok pura-pura,bagaimana?"

"Ya iya to.Mau mudik HP baru,eh kalau balik,sampai kota dijiual lagi.Rokoknya juga begitu,kembali ke kota kembali ke khittah; paling banter cap Tali Jagat.Hehehe..."

"Itu lak sampeyan!"

"Coba perhatikan;dandanan sok Agnes Monika,atau Julia Perez,atau Syahrini: baju pakai model terbaru.Ala selebritas, tapi mudik bawa tas khusus berbentuk kotak bermerek Indomie,atau Bimoli."

"Itu kerdus"

"Apa bedanya.Jaman sekarang jaman edan,nDo.Jaman pura-pura.Pura-pura Agnes,pura-pura Jupe,pura-pura Syahrini.Kerdus Indomie itu sebagai pura-pura merek Gucci."

"Kalau sampeyan pura-pura opo?"

Kang Karib nyengir kayak kuda,"Pura-pura pinter..."bisiknya.

Embuhlah.Tapi memang biarlah.



Kang Karib,kang Karib.....

Lebaran ini dia tidak liburan.Harus incharge.Tetapi besok sebelum berangkat kerja, pagi-pagi sekali ia akan tampil tidak pura-pura.Apa adanya.Tepatnya;seadanya.

Ia akan sholat id pakai baju takwa (bajunya takwa,entah orangnya) yang terakhir ia pakai Idul Adha tahun lalu,songkok nasional made in Gresik yang pinggirnya sudah menguning.Sarung yang sekalipun bukan Lamiri atau cap Manggis,toh ia masih punya cap Mangga.(Entahlah, itu dari jenis mangga gadung,manalagi atau kuweni.) Lalu,ia akan lebarkan hatinya,lebarkan senyumnya.Lebarkan,lebar-lebar.Memberi maaf lebar-lebar.Meminta maaf lebar-lebar.Sambil berbisik (semoga bukan bisikan pura-pura) ; Taqobballallahu minna wa minkum .....

Minggu, 28 Agustus 2011

Jaga Kecepatan


TERUS TERANG saya tak pernah melajukan kendaraan saya melebihi 80 km per jam.Untuk urusan ngebut-mengebut saya termasuk penakut.Takut kalau terjadi apa-apa.Dan,sepertinya,belum pernah saya punya alasan tepat untuk mak wuzzz sebanter-banternya.Semua urusan masih bisa saya atasi dengan hanya berkendara sewajarnya saja.
Ketika pagi tadi saya mudik melewati depan terminal Osowilangun Surabaya,ada sebuah nasihat yang –bisa jadi-- tertujukan khusus buat saya.Walau kalau sampeyan yang membacanya,itu juga cocok untuk sampeyan.
Sepanduk berlambang Polri,Jasa Raharja dan Dephub itu bertuliskan kalimat; Jaga Kecepatan.

Bagi saya yang gak suka ngebut,itu sebagai anjuran agar saya menjaga model berkendara saya yang kecepatannya sedang-sedang saja.Tetapi bila itu dibaca para pengebut,tentu tak keliru dimaknai sebagai 'jaga kecepatan ngebut itu'.
Iseng saya mencari padanan dan arti dari kalimat pendek yang kurang lebih sama.Misal,Jaga keamanan: Menjaga agar tetap dalam kondisi aman. Jaga kebersihan: menjaga keadaan agar selalu bersih. Jaga jarak aman: menjaga agar selalu dalam jarak aman antar kendaraan.
Kalau Jaga Kecepatan?

Jumat, 26 Agustus 2011

Lebaran di Malam Takbiran

KAPAN sampeyan berlebaran –dalam artian saling mengunjungi sanak saudara dan tetangga sekitar– untuk saling maaf-memaafkan? Kalau jawaban sampeyan itu dilakukan seturun dari sholat id, berarti sampeyan sama dengan saya. Tetapi, adakah yang berlebaran tidak demikian? Yang dilakukan justru baru di malam takbiran?
Ada.
Seperti sampeyan, mula-mula saya tentu menganggap hal ini kurang ‘afdol’. Karena saya sudah terbiasa sejak kecil berlebaran selepas sholat id.

Ketika tahun 1999 lalu saya ‘pindah kewarganegaraan’ ke ‘LA’ (sebutan keren untuk Lamongan), sejak tahun itu sampai sekarang saya mengalami berlebaran dimalam takbiran .Setelah berbuka puasa terakhir dan ba’da sholat maghrib, istri saya mengajak saja ‘unjung-unjung’, istilah bertandang ke tetangga untuk berlebaran.
Saya menolak ikut. Hati kecil saya tak terima. Bukankah ini masih takbiran, belum masuk lebaran?
Yo, wis. Aku tak budal duluan. Sampeyan besok pagi saja. Tapi sendirian,” kata istri saya.
“Sendirian?”
“Iya, karena semua orang berlebaran malam ini juga.”

Dan benarlah adanya. Malam itu kampung mendadak hidup. Malam yang biasanya sepi-sepi saja, yang karena disini adalah sebuah kampung dipelosok Lamongan, menjadi sedemikian meriahnya. Para tetangga saling kunjung-mengunjungi. Berlebaran.
Besoknya, selepas sholat id, semua salaman lagi. Kali ini berbaris sambil turun masjid. Pendek kata; nyaris orang sekampung telah saling salaman (untuk kedua kalinya) ya di masjid itu.

Pulang sampai rumah, kehidupan berjalan nornal lagi. Maksudnya seperti bukan lebaran –menurut ukuran kebiasaan saya di Jember sana. Karena semua menganggap telah salaman. Telah tuntas berlebarannya. Singkat saja. Sehari saja. Bandingkan dengan daerah saya yang seminggu dhur masih ramai. Pun, barangkali juga begitu di tempat sampeyan.

Tujuh hari kemudian, tibalah saatnya kupatan. Orang sekampung semua bikin. Dan, sebagai menantu baru, saya ditugaskan membawa senampan ketupat lengkap dengan sayurnya ke masjid yang letaknya dibelakang rumah. Ah, saya pikir ini tak jauh beda dengan tradisi di daerah asal saya. Membawa ketupat ke musholla atau masjid untuk kenduri. Didoakan oleh modin, lalu saling tukar ketupat. Agar yang dibawa pulang bukan masakan sendiri lagi.

Karena masjid hanya dekat saja dari rumah, tentu saya sampai lebih duluan. Seperti kebiasaan di kampung asal saya, saya langsung meletakkan senampan ketupat itu di tengah masjid. Lalu saya duduk kepinggir, menepi. Sambil menunggu yang lain datang. Dan berikutnya, satu-dua orang mulai datang. Tapi saya justru mulai tak nyaman. Karena, setiap orang yang datang, selalu meletakkan ketupat bawaannya tepat didepan tempatnya bersila. Sementara punya saya menjadi satu-satunya yang tampil di tengah arena.

Ini dia. Ketika semua orang sekampung berkumpul di masjid, saya menjadi curiga. Pasti orang semasjid heran melihat senampan ketupat saya tampil beda, sendiri ditengah arena. Sementara untuk mengambilnya lagi, saya terlanjur tertutup orang lain yang memadati pinggir masjid lapis tiga baris.
Suara pak modin berdoa terdengar sampai kepenjuru desa. Karena dibantu jasa speaker TOA. Dan pastilah, nanti, ketupat saya juga bakal jadi perbincangan karena ‘tata letak’ yang tak biasa.

Tidak hanya putus sampai disitu. Hal tak biasa lain saya temui lagi. Ketika sebaris doa telah paripurna, semua orang bergegas mengangkat kembali nampan ketupatnya. Dibawa pulang lagi dalam keadaan sedia kala. Tidak saling tukar seperti di kampung asal saya.
Kalau tadinya saya datang paling awal, sekarang saya pulang paling akhir karena tata letak ketupat saya yang tak sesuai 'kaidah'.

Inikah yang dibilang sebuah pepatah; dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Karena saya sedang memijak bumi disini, maka saya –mau tak mau– menjunjung pula langitnya.
Salam. *****

Kamis, 25 Agustus 2011

Skabies Bikin Stres

SEMUA hal serba berpasangan.Tetapi sepasang saja yang ingin saya tulis sekarang.Masuk dan keluar.Lebih spesifik lagi ia sedang akan saya kaitkan dengan akal.Sehingga menjadi;masuk akal dan keluar akal.
Ingatkah sampeyan,ketika ribuan orang rela antri demi segelas air yang sudah dicelupi sebongkah batu oleh Ponari?Demi kesembuhan segala penyakit yang mungkin telah sekian lama diidap seseorang.Lalu,testimoni mengalir dari mulut ke mulut tentang suatu kesembuhan pasca meminum beberapa teguk air sakti dari Ponari.Berdasar testimoni itu,pasien Ponari makin membludak.Semua sembuh?
Entahlah.Tetapi saya ingin membuat pertanyaan baru;masuk akalkah itu? Relatif.Tergantung menurut akal siapa.Mungkin ia tidak masuk akal menurut sampeyan,tetapi sebaliknya menurut saya.Karena,bukankah akal setiap orang berbeda.Akal saya bisa jadi hanya sebatas ini,tetapi akal sampeyan jauh,jauhh...sekali meninggalkan akal saya.
Tetapi,ketika orang telah melakukan segala upaya sampai notok dug,masih tidak juga tuntas (sembuh,normal,sukses,dsb),lalu karena ia punya akal,maka ia melakukan upaya lain.Dan itu ketemu yang model si Ponari dan sebangsanya.Saya kira itu masuk akal dilihat dari modal mereka yang memang akalnya dangkal.
Sampeyan menuduh saya sok realistis,gak percaya yang gitu-gitu;bahwa yang bisa memberi kesembuah hanya dokter.Sampeyan kurang benar kalau menuduh saya begitu.Penyembuh segala penyakit hanya Tuhan.Dan Ia bisa saja memakai perantara seorang dokter atau hanya sekelas Ponari.Masuk akal,setidaknya menurut akal saya.
Saya pernah mengalami.Mengidap penyakit skabies.Bertahun-tahun tak sembuh.Sembuh seminggu,kumat tiga bulan.Begitu terus menerus.Sampai saya saban hari harus makan sekadar berlauk kemriuk-nya krupuk.Karena kalau sedikit saja memakan daging,ikan telur dan sebangsanya,ia malah menjadi malapetaka bagi saya.Tetapi saya yakin,setiap penyakit ada obatnya.
Saya tak seperti perempuan (berita ini saya baca kemarin di koran),yang stres karena lima bulan tak bisa tidur lalu pendek akal ingin ‘tidur selamanya’ dengan menenggak cairan anti nyamuk.Saya tidak begitu.Setidaknya saya tidak putus akal.
Maka,hari Juma’at Legi begini,saya berangkat ke masjid lebih awal.Agar dapat tempat paling depan.Agar bisa mendengarkan khotbah dari kiai sepuh yang memang hanya dihari Jum’at Legi saja berkhutbah di masjid itu.Agar selepas sholat Jum’at saya bisa mencium tangannya.Agar tangan saya ketularan halusnya tangan beliau.Agar (lagi) penyakit skabies yang kerasan tinggal ditangan saya rontok oleh ‘khasiat ghoib’ tangan kiai sepuh.
Sebuah upaya yang keluar akal,tetapi saya menjadikannya masuk akal karena setelah menggunakan cara yang masuk akal (menurut teori medis) penyakit saya tak juga terpental.Obat medis sampai jamu herbal tak mempan,makanya saya curiga Tuhan menaruh penyembuhan skabies saya lewat tangan kiai sepuh ini.
Dan,alhamdulillah,ternyata setelah beradu tangan dengan beliau di hari Jum’at Legi itu,tangan saya tak sembuh juga.Saya mensyukuri itu karena saya merasa telah hampir ketarik dalam praktik syirik.Baru hampir.Kalau beneran sembuh,tentu saya menganggap tangan kiai sepuh sakti,seperti batunya Ponari.
Saya cari akal lagi.Idenya malah tidak masuk akal.Tetapi tak ada salahnya mencoba.Kalau dalam bahasanya Thomas Alfa Edison;saya bukan tidak menemukan banyak obat yang tidak menyembuhkan sakit saya.Tetapi saya justru telah menemukan banyak obat yang tidak bisa dipakai sebagai penyembuh sakit saya.Sampeyan bingung membaca kalimat diatas? Hehehe...
Bila saya secara medis dilarang makan ikan laut,daging,telur dan sebangsanya,saya bertekat untuk malah memakannya.Sebanyak-banyaknya.Biar kapok.Ngincipi sedikit saja kumat.Makan banyak saja sekalian,sehingga kalau kumat tidak rugi.Toh sama-sama kumatnya.
Sehari pasca makan segala larangan,eh kok tidak kumat.Dua hari,juga tidak ada tanda-tanda si skabies muncul lagi.Tiga hari,empat hari,seminggu dan seterusnya malah sembuh.Sampai sekarang.Dan,menurut akal saya,analoginya begini;si kuman skabies kekenyangan dan jadinya ia malah mampus!
Apakah analogi saya itu masuk akal atau keluar akal?Entahlah.

Rabu, 24 Agustus 2011

Weekkk...(Suara) Rok Sobek

PADA November mendatang ada kado indah untuk kota pahlawan ini. Kado itu berbentuk sebuah film yang mengusung tema nasionalisme. Judulnya,Bendera Sobek. Digarap oleh sutradara Dwi Ilalang. Film yang menelan dana 8 miliar rupiah itu mengambil lokasi syuting di sejumlah daerah di Jawa Timur. Juga, didukung oleh para pemain asli dari Jawa Timur.

Film yang terinspirasi peristiwa penyobekan bendera di atas hotel Yamato pada November 1945 lalu itu, memulai syutingnya pada 30 Juli kemarin. Tidak tanggung-tanggung, syuting perdana yang juga melibatkan tim dari Jember Fashion Carnaval  itu menutup jalan Tunjungan selama seharian penuh. Tak ayal, hal itu menyebabkan kemacetan luar biasa di tengah kota Surabaya.

Bulan November masih beberapa bulan lagi. Masih ada waktu untuk menunggunya. Dan sambil menunggu, saya juga punya cerita tentang sesuatu yang sobek. Bukan bendera. Tetapi rok!
Tentu, kalaulah difilmkan, adegan sobeknya sang rok ini tak perlu sampai menutup sebuah jalan utama di tengah kota. Karena peristiwa ini terjadi hanya di sebuah desa sana. Tepatnya, dipertigaan pasar Gumukmas-Jember.

Terlalu muluk kalau saya berharap adegan sangat memalukan ini untuk dibuat sebagai film. Tetapi sebagai sesuatu yang saya kenang, memang iya.

Kelemahan saya, antara lain, saya tak pernah mencatat tanggal dan bulan kejadian. Tetapi kali itu saya hendak pergi ke Kencong, kalau tidak salah. Dari mulut gang Walet, saya naik ‘taksi’. Istilah ‘taksi’ di desa saya, jangan bayangkan ia sebagai semacam Blue Bird atau Cipaganti. Bukan. Tetapi ia adalah kendaraan Cotl T-20 atau semacamnya. Yang berfungsi sebagai angkutan umum untuk trayek-trayek jarak dekat. Karena untuk jarak lebih jauh, itu adalah dominasi kelompok Akas dkk. Atau paling tidak dari keluarga Bison-nya Isuzu.

Nah,di dalam ‘taksi’ itu, begitu saya naik,
“Kemana,pak?”sapa sang kernet.
“Kencong,”jawab saya.

Karena tujuan turun saya agak jauh sedikit, si kernet menyilakan yang turun duluan lebih geser ke depan. Kedekat pintu. Karenanya, saya lalu mendapatkan duduk disisi belakang. Tepat di sudut. Tempat yang menjadi favorit saya kalau naik ‘taksi’ begini. Karena bisa dapat angin segar dengan membuka sedikit saja kaca jendelanya.

Saya merasakan angin segar sesaat setelah taksi berjalan. Lebih segar lagi saya duduk berhimpitan dengan seorang wanita muda. Tak terlampau ‘bening’, tetapi karena pesaing lainnya lebih buram, tak apalah.
Saya yang memang sering memperhatikan hal-hal kecil, mendapati kenyataan bahwa; kalau saja si bening itu mau sedikit saja mengatur rambutnya sedemikian rupa, tentulah lebih modis. Tidak hanya membiarkan rambut panjangnya diikat menjadi laksana ekor kuda. Juga bajunya. Terlalu kedodoran untuk ukuran tubuhnya yang ramping. Paduan warna pastel berukuran longgar di atasan, plus bawahan yang juga seperti kepanjangan, saya kira ia sekaligus menyapu jalanan bila berjalan. Intinya;roknya terlalu ‘landung’.
Tetapi saya bukan Itang Yunasz atau Ivan Gunawan. Model baju belakangan ini, saya kira, menjadi ‘hak prerogatif’ si pemakai. Pun, karenanya, tentu bukan pada tempatnya saya menilai siapapun mengenakan baju model apapun. Juga si bening dengan rok longgar ini.

“Kiri, pak,” seru si bening begitu ‘taksi’ sampai di pertigaan Gumukmas.

Oh, rupanya ia sudah sampai sasaran. Dan, saya pikir, saya harus cari sasaran lain untuk mencuci mata. Maka, saya melemparkan pandangan keluar jendela ‘taksi’, berbarengan dengan si bening yang berdiri dari duduknya untuk segera turun.Tetapi,

“Weekkk….”ada suara kain sobek.

Secepat kilat saya mencari sumber suara. Dan, oh Tuhan, rok si bening itu menganga tepat di jahitan pada posisi pahanya. Penyebabnya; ternyata sebagian roknya masih terduduki pantat saya saat dia berdiri.
Saya lirik wajah si bening memerah-padam. Mualuuu. Sangat malu. Saya merasa bersalah? Tentu. Karenanya saya tak berani melihat adegan apa yang terjadi berikutnya. Duh.*****

Selasa, 23 Agustus 2011

Desas-desus

MASIH muda,dan sepertinya kurang meyakinkan,”bisik seorang teman menanggapi ustad yang duduk di deretan depan.Sebelum acara buka bersama beberapa waktu lalu.

Saya diam.Rupanya teman saya tadi sedang menilai buku dengan hanya melihat sampulnya saja.Tetapi,ketika tiba waktunya si ustad muda itu memberikan tausiyah,si teman mulai ikutan menyimak.Dan,barangkali malah menikmati ‘buku’ itu dan mulai melupakan 'sampulnya'.

Dalam ceramah yang tak lebih dari tigapuluh menit itu,ada banyak yang disampaikan sebenarnya.Lengkap dengan bumbu joke-joke segar.Tetapi saya hanya akan menuliskan satu poin saja.Yaitu bahwa;setiap doa manusia senantiasa dikabulkan Tuhan.Senantiasa.Dan niscaya.Tetapi kita sering keliru menafsirkan.Dan cenderung menyalahkan Tuhan yang dengan sembrono kita tuduh tidak selalu mengabulkan segala keinginan kita.

”Kita harus membedakan antara kebutuhan dan keinginan,”tutur sang ustad muda yang menjabat pimpinan suatu lembaga sosial yang sangat profesional di Surabaya.”Ingat.Tuhan selalu mencukupi segala kebutuhan kita.Tetapi tidak selalu menuruti keinginan kita.Karena dengan kemahatahuan-Nya,Tuhan tidak ingin kita justru menjadi ‘celaka’ bila segala keinginan kita dipenuhiNya.Percayalah,Tuhan selalu ingin kita ini menjadi makhluk yang baik.Bukan sebaliknya.”

Tentang ‘keinginan’ ini,saya ingat ketika pada sekitar Mei 2005 terjadi sejarah penjualan saham dengan nilai sangat besar di Indonesia.Dalam sekali transaksi nominal yang muncul adalah 18,6 triliun.Sebuah rekor.Nilai penjualan yang bagus itu disebabkan karena perusahaan yang ‘dijual’ juga sedang dalam kondisi sangat bagus.Sekaligus memiliki produk-produk bagus yang menguasai pasaran.

Sebagai perusahaan besar tentulah ia memiliki banyak karyawan.Ribuan bahkan.Dan masalah timbul baru tiga tahun kemudian.Bermula dari desas-desus.Yang berhembus mengusung berita bahwa pemilik lama meninggalkan sejumlah uang untuk dibagikan kepada karyawan yang sekarang tergabung dan bekerja dinakhodai bos baru.

Pada Juni 2008 digelarlah demo besar-besaran.Aktifitas perusahann lumpuh total.Bisa dibayangkan betapa meruginya perusahaan,karena lebih dari seminggu ribuan karyawan mogok kerja dan menuntut uang jasa dari pemilik lama yang ‘konon’ dititipkan ke pemilik baru untuk dibagikan kepada semua karyawan.Angkanya memang sungguh mengiurkan.Karena,masih menurut desas-desus itu,nilai yang menjadi 'hak' karyawan paling tidak mendapatkan 25 juta rupiah per orang!

Pihak managenen menolak adanya uang itu.Dan selalu mengatakan tidak benar berita itu.Tetapi.kita tahu,sebenar apapun informasi yang disampaikan,ia akan mengalami distorsi bila dicelupkan kepada orang yang sedang tenggelam dalam genangan desas-desus.Celakanya lagi,orang-orang ini selalu memengaruhi temannya yang mencoba menggunakan logika ‘sehat’.Mereka selalu mengajak untuk bersama-sama berenang dalam kubangan desas-desus.Dan bahkan sampai menggunakan cara diluar akal sehat;bertanya kepada ‘orang pintar’.Sehembus desas-desus itu menjadi makin seru manakala sang paranormal mengatakan,dari hasil penerawangannya,memang benar uang itu ada!

Pendek cerita,setelah melalu proses yang alot,akhirnya perusahaan memberikan semacam ultimatum:Kembali masuk kerja,atau dianggap mangkir!

Begitulah,sebagian besar memilih kembali bekerja dan mulai melupakan desas-desus itu.Pihak ini mulai sadar untuk kembali bekerja demi mencukupi segala kebutuhannya,dan mengesampingkan ‘keinginan’ yang memang –mungkin—belum saatnya dinikmati.Tetapi sebagian lagi masih ngotot menempuh jalur hukum menuntut ‘uang jasa’ yang ternyata dikemudian hari memang tak terbukti keberadaannya.

Sebagai penutup tulisan ini,saya jadi ingat awal-awal ketika lahirnya tvOne selepas ia bernama Lativi.Sebagai televisi baru yang berformat berita,ada slogan yang ditampilkan sebagai penegas perbedaannya dengan televisi berita lain yang lebih dulu hadir.Dengan suara yang serak-serak ‘seksi’,sambil mengacungkan satu jari,bang Karni Ilyas,sang pemred berujar;”Banyak kabar beredar,hanya satu yang benar...”

Salam.

Senin, 22 Agustus 2011

Hal Lain Tentang Deadline

TULISAN ini hanyalah sekadar selembar surat.Tetapi karena ia adalah surat terbuka,anda pun tidak dilarang untuk ikutan membacanya.Seperti halnya,pertama-tama,surat Nazaruddin kepada pak SBY.Atau juga balasan dari pak SBY kepada Nazaruddin.Bukankah kita telah ikutan membacanya secara bersama-sama,walau konon (ketika itu) surat aslinya belum diterima sang presiden.

Saya ikut menyurati bapak presiden?
Tidak.Setidaknya belum.Entahlah kalau nanti,suatu kali,ada blogger yang menyelenggarakan semacam lomba menulis surat kepada presiden.

Surat terbuka saya ini hanyalah selembar surat yang saya tujukan kepada keponakan saya yang kebetulan memiliki blog pribadi sekaligus juga seorang Fesbuker.Yang ketika saya tengok ke lapaknya,tak ada tulisan barunya lagi.Jadi,kalau didalamnya nanti Anda mendapati saya sedang memberi nasihat,itu semata karena saya sedang menasihati sang keponakan.Bukan menggurui Anda.Dan,kalau berkenan,Anda pun malah boleh ikutan memberi tips menulis kepada keponakan saya itu,sekaligus kepada saya.

Saya menyuratinya,karena beberapa waktu lalu sang keponakan saya itu bertanya bagaimana caranya menulis.Menemukan dan menentukan ide,mengolah kata dan sebangsanya.

Dan inilah surat terbuka saya,sebagai jawaban –sebisa saya—atas pertanyaannya;

Untuk Ayu dirumah.
Menjawab beberapa pertanyannmu mengenai tips menulis,om sebenarnya sedang dalam belajar juga.Tetapi belajar itu,kamu tahu,harus kontinyu.Harus berkesinambungan.Makanya,seperti kamu lihat,om setiap hari selalu menulis.Apapun itu.Seremeh-temeh apa pun temanya.Intinya,tiada hari tanpa menulis.Karena dengan begitu,om merasa sedang mengasah.Agar tajam.Agar makin tajam.

Ayu,kamu merasa sulit menemukan ide?
Tengoklah sekelilingmu.Yang kau benci bisa menjadi tema tulisanmu.Yang kau senangi juga bisa.Anganmu,cita-citamu dsb.Banyak,banyak sekali,Yu.Ketika muda dulu,om ingat,saat jatuh cinta adalah momen ketika segala ide mengalir deras.Maka,sampai saat ini,om selalu merasa jatuh cinta.Agar ide selalu mengalir deras.Om selingkuh?Tentu tidak.Tetapi om selalu dalam keadaan jatuh cinta kepada aktifitas menulis.Dan jatuh cinta macam itu,harus dibuat.Harus dipaksa,kalau perlu.

Maka,menulislah,Yu.Apa saja.Biarkan jari-jari menari bebas.Jangan kau kekang ia.Terus maju.Jangan menengok kebelakang dulu.Lupakan ada tombol Backspace di keyboard komputermu.Terus menulis saja.Jangan kau campur-adukkan antara menulis sekaligus mengedit.Itu hal berbeda.Kalau kamu melakukan keduanya disaat bersamaan,om yakin,kamu akan sulit menghasilkan 450 kata dalam beberapa menit saja.Intinya,menulislah dulu,mengedit kemudian.

Berikutnya,agar kamu makin sering menulis,bikinlah deadline.Buat batas waktu yang tegas.Misal,tiap hari ,setiap sebelum jam sembilan malam,kamu harus bikin satu tulisan.Itu harus kamu patuhi.Bayangkan seakan kalau kamu tidak menulis sehari saja,kamu akan ada yang memarahi.Dan yang marah ke kamu itu ya kamu sendiri.Kejamlah sedikit.Jangan pasif menunggu ilham datang.Jangan.Mungkin si Ilham sedang mudik sekarang.Bikinlah ilhammu sendiri.Paksalah dirimu sendiri.Menulis tiap hari.Seremeh apapun topik tulisanmu.Menulislah saja.Biarkan orang lain menulis seminggu sekali atau bahkan akan menulis hanya kalau sudah ketemu Ilham saja.

Sudah dulu,Yu.Mulai sekarang om akan terus melototi blogmu,juga catatan di Efbi-mu.Kamu harus lebih sering posting.Tak ada alasan tidak menulis.Karena selalu ada waktu untuk menulis.Bukankah kamu betah berjam-jam main game atau nonton tivi.Ayolah,dengan menulis tidak sambil mengedit, dalam satu jam kamu bisa menghasilkan beberapa halaman.Ditambah satu jam untuk meng-edit,menjadi total dua jam,kamu pasti bisa merampungkan satu cerpen!
Buktikan itu.Dan om yakin,kamu mampu.
Salam.

Minggu, 21 Agustus 2011

Kuliner: Jangan Blendrang nan Nendang

DARI tiga bahasa yang saya kuasai, semua saya pelajari secara otodidak. Dan hanya sedikit mengalami sentuhan pendidikan formal.

Kalimat pembuka tulisan ini tentu bisa diartikan macam-macam bila tidak dibubuhi keterangan lanjutan. Maka inilah penjelasannya; kita semua tahu, dalam mempelajari suatu bahasa, tentu lebih baik bila kita belajar kepada native speaker, penutur asli. Karenanya sering kita temui, banyak lembaga pedidikan bahasa asing yang memakai jasa orang dari negara yang sedang kita pelajari bahasanya itu sebagai tenaga pengajar. Alasannya ya itu tadi; agar peserta didik menjadi lebih cepat menguasai bahasa yang dipelajari, tidak sekadar perbendaharaan kosa kata, tetapi lebih masuk ke logatnya sekaligus. Dengan mempelajari langsung dari native speaker pulalah saya menguasai tiga bahasa. Konkretnya; dari ibu saya belajar bahasa Jawa, dari bapak saya belajar bahasa Madura dan dari kedua beliau saya mempelajari bahasa Indonesia!

Tetapi bukan berarti saya tidak belajar bahasa asing. Tidak. Karena setiap saya ketemu dengan tenant yang dari Jepang, saya pun belajar bahasa Jepang. Langsung dari penutur asli. Hasilnya?

Alhamdulillah, saya telah menguasai tiga kosa kata; arigato, konnichiwa dan daidokoro. Arigato saya ucapkan setelah diberi sesuatu, konichiwa bila menyapa orang di siang hari dan ke daidokoro bila saya perlu memasak mie instan.

Selain orang Jepang, di tempat kerja saya juga banyak orang dari Korea. Kepada mereka saya juga belajar bahasa Korea. Kata pertama yang ingin saya ketahui adalah terima kasih. Arigato dalam bahasa Jepang.

“Terima kasih?” tanya si orang Korea dengan logat Korea kepada saya.

“Ya, terima kasih bahasa Koreanya apa?” saya mengulangi pertanyaan yang tadi telah saya utarakan.

“Terima kasih...Gam sa ham nida,” tulisnya sambil berkata. Saya memang menyodori selembar kertas. Dengan jawaban yang ditulis, saya berharap tak gampang lupa.

“Kalau selamat pagi?” tanya saya lagi

“Selamat pagi; an nyung ha se yo,” jawabnya. ”Apa lagi?”

Uh, menantang ini. Kesempatan ini. Tidak semua orang lho bisa belajar bahasa asing kepada penutur asli secara gratis begini. Tetapi, saya harus bertanya kata apa lagi? Dan, mulut saya langsung menyebut satu kata; kimchi.

“Ha, Anda tahu kimchi?!” nyonya Korea itu heran.

Ya, tentu saja saya tahu kimchi.Yang pasti tersedia di dapur setiap orang Korea, saya kira. Sebuah makanan khas Korea berbahan sayur semacam sawi. Yang tidak dimasak matang. Hanya melalui proses pelayuan. Tetapi tentu dengan dibumbui ala Korea.

“Suka kimchi? Sudah pernah makan kimchi?”

“Belum.”

“Mau coba?”

Ah, kesempatan lagi ini. Selain bisa belajar bahasa Korea langsung dari orang Korea, saya berkesempatan mencicipi makanan Korea yang langsung dimasak oleh orang Korea.

Diajaklah saya ke dapurnya.

“Tapi kimchi ini pedas.Sangat pedas,” katanya.

Makin penasaran saya. Senendang apakah pedasnya si kimchi?

Setelah mencicipi, ah ternyata tak sepedas yang dibayangkan lidah saya. Masih kalah jauh tendangan pedasnya dibanding dengan ‘jangan blendrang’ tewel (nangka muda) bikinan ibu saya.

‘Jangan blendrang’ (semacam sayur lodeh yang telah berusia beberapa hari), bagi saya selalu mengingatkan saya akan ibu di desa sana. Menu itu sering saya santap, dan menjadi ‘hidangan kebangsaan’ di rumah saya. Ia adalah sayur lodeh biasa pada mulanya. Tetapi, ketika ia telah diinapkan beberapa hari, memakannya selalu menimbulkan sensasi tersendiri. Sekian banyak cabe yang tadinya utuh ,tiga hari berikutnya telah pada pecah. Karenanya semakin hari semakin pedas. Semakin gelap pula warnanya.

Karena ia sering dihangatkan, anda tahu, si ‘jangan blendrang’ ini makin asin saja. Tetapi ibu saya punya formula khusus untuk mengurangi rasa asinnya. Caranya, ibu akan mengambil pelepah daun pisang. Memotongnya sepanjang 15 sentimeter. Ibu membutuhkan tiga potong saja. Lalu tiga potong pelepah itu diikutkan menghangatkan si ‘jangan blendrang’. Hasilnya, sayur lodeh berusia beberapa hari itu menjadi tidak asin lagi. Karena kadar garamnya telah diserap pelepah daun pisang.

Gam sa ham nida.
Salam.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Tersinggung

ORANG mengerjakan sesuatu dengan sangat cepat,ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama mahir. Kedua ngawur!

Maka, ketika sekolah Aliyah dulu, dalam pelajaran Matematika saya termasuk yang selalu tercepat menyelesaikannya. Dari satu jam waktu yang tersedia, paling lama saya mampu menyelesaikan soal --yang membuat sebagian besar teman saya pusing tujuh keliling itu-- hanya dalam hitungan dua puluh menit. Beres. Karena saya mahir? Oh tentu saja. Ya tentu saja saya ngawur! Hehehe...

Metode yang saya pakai, kalau tidak menghitung kancing baju, ya sistem 'kopyokan' seperti arisan. Anehnya, sekalipun saya menggunakan cara itu untuk menjawab soal yang model pilihan A-B-C-D, ternyata nilai matematika saya sungguh sangat mengenaskan!.

Selesai mengerjakan soal ujian, tentu tak elok kalau saya langsung keluar kelas. Kesannya kok pamer 'kepinteran'. Tapi untuk sekali lagi menengok jawaban atas soal-soal ujian --agar kalau ada yang kurang mantap dikoreksi ulang--, saya terlanjur kehilangan selera. Maka saya habiskan waktu luang itu untuk mengerjakan yang saya suka. Pada lembar kertas buram yang untuk menghitung, yang dibagikan setiap ujian mata pelajaran Matematika, saya salurkan sesuatu yang selalu menyenangkan. Kalau tidak menulis ya menggambar kartun.

Untuk soal ide, entahlah, kadang saya selalu mudah mendapatkannya. Kali itu tiba-tiba tangan saya menggambar sesosok laki-laki yang compang camping. Kurus dengan baju kumal. Tentu dalam karakter kartun. Pada keterangan naskahnya, saya tulis; Semakin Doyan Semakin Bubrah. Sebagai kepanjangan secara plesetan dari Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Sebuah 'perjudian' yang dilegalkan waktu itu. Yang setiap malam Kamis, selepas berita Asean di RRI jam sebelas malam, banyak orang berkerumun di didepan radio. Mendengarkan pengundian. Lalu, setelah pengumuman, ada tawa terdengar dan tentu saja ada pula pisuhan (umpatan).

Tertawa bagi yang menang, yang tombokannya pas, karenanya ia berhak mendapatkan hadiah sejumlah uang. Dan pisuhan sebagai ekspresi kekesalan, geregetan dan semacamnya; karena tombokannya terbalik. Pendek kata, ketika itu banyak orang gila judi. Akibatnya, banyak yang kerjaannya cuma meramal tombokan. Malas kerja. Dan rumah tangga berantakan.

Disaat saya sedang asyik menggambar, tiba-tiba ada tangan yang meraihnya. Rupanya sedari tadi guru pengawas ujian memerhatikan tindakan saya dari belakang. Dan itu tak saya sadari.

“Nanti,kamu ke ruangan saya,” kata pengawas yang memang guru Matematika.

Ketika waktu istirahat tiba, saya menemui beliau. Begitu saya masuk, ”Apa maksudmu menggambar ini?” tanya beliau sambil menunjukkan kartun buatan saya.

“Nggak ada, pak. Saya hanya iseng,” jawab saya.

“Iseng? Tidak mungkin. Pasti kamu sedang menyindirku,” kata beliau.
Oh,berarti....???

Jumat, 19 Agustus 2011

Pedagang Uang

Piramida Uang
(Foto: Dok. Pribadi)
    BEBERAPA saat sebelum menulis catatan ini, saya sempat mengintip sebuah situs yang memuat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Disitu tertera, per US Dollar setara dengan Rp 8.576 (jual) dan Rp 8.490 (beli). Sebuah angka yang relatif aman bagi dunia usaha, sepertinya. Karena, kalau tidak salah, nilai tukar segitu telah berlangsung sekian lama dengan tingkat fluktuasi yang datar-datar saja. Ini tentu sangat berbeda bila dibandingkan dengan ketika masa-masa krismon tahun 97-98 dulu. Yang pergerakan nilai tukar rupiah kita terhadap US dollar 'berakrobat' dengan nilai yang sampai menyentuh angka belasan ribu rupiah!
     Padahal dulu, (saya yang hobby mendengar radio sejak kecil) pada siaran berita RRI saya selalu mendapati angka berkisar pada nominal 2500 per US dollar.
     Nilai tukar rupiah selalu lebih rendah terhadap mata uang asing?
Oh, tidak selalu. Karena kurs rupiah terhadap rupiah pun selalu turun. Mau bukti?
     Datanglah ke penjual uang yang marak di pinggir-pingir jalan menjelang hari raya idul fitri begini. Di jalan Mayjen Sungkono Surabaya, didepan TMP saja, saya hitung ada delapan pedagang uang. Mereka berdiri berjajar berjarak per sepuluh meter. Malambai-lambaikan gebokan uang kertas baru. Didekat mereka ada tumpukan uang kertas lain yang ditata membentuk piramida diatas trotoar.
     Berdagang uang, saya kira, akan selalu untung. Karena hanya dengan modal mau antri menukarkan uang lama dengan uang baru di kantor Bank Indonesia. Tetapi,
     “Tidak begitu,”kata Atib (22), salah satu pedagang uang yang saya temui di depan makam pahlawan Mayjen Songkono, Surabaya.pagi tadi ”Dalam berdagang selalu ada untung-rugi. Karena kami mendapatkan 'dagangan' ini juga dari hasil kulakan.” tambahnya.
     Tentu saya tak percaya begitu saja. Bukankah sering diberitakan semua orang boleh menukarkan uang di kantor bank Indonesia. Asal mau antri. Dan untuk itu, masih menurut berita, orang sampai rela menginap di depan kantor cabang BI masing-masing kota agar mendapatkan uang baru dalam jumlah yang diinginkan.
     “Kalau tukar di BI, saya tak mungkin mendapatkan dalam jumlah segini,” kata Atib yang mengaku tahun ini mempunyai 'dagangan' sejumlah Rp 32 juta. ”Ada pemasok uang baru dari luar kota, bahkan luar pulau. Yang saya dapatkan ini dari Semarang dan Bali.”
     Lebih lanjut Atib mengatakan,dalam setiap seratus ribu rupiah,ia membelinya senilai Rp. 102.500 (seratus duaribu limaratus rupiah.) Pokoknya 2500 adalah bagian laba dari sang pemasok. Makanya minimal ia mencari untung lima ribu rupiah per seratus ribunya. Pecahan berapapun. Tetapi, mula-mula, ia selalu menawarkan harga plus 15 ribu per seratus ribunya. Dan setelah tawar menawar, sering disepakati harganya menjadi berselisih 10 ribu rupiah per seratus ribu rupiahnya.
     Di piramida yang disusunnya, saya mendapati pecahan uang mulai dari nominal seribu sampai sepuluh ribu rupiah. Nominal yang memang banyak dibutuhkan orang untuk 'nyangoni' kerabat di hari lebaran nanti.
 Atib mengaku, berdagang uang selalu dilakukannya setiap tahun. Untuk ini ia harus ambil 'cuti' dari pekerjaan utamanya sebagai pedagang kayu bangunan di sekitar kawasan Pasar Turi Surabaya. Menurut pengalaman Atib yang asal Sampang (Madura) ini, pembeli akan semakin ramai mendekati lebaran tiba.
     Ketika saya tanya berapa keuntungan dari berdagang uang tahun lalu, Atib tersenyum. Tetapi tentu tak sulit menghitung keuntungan seorang pedagang uang seperti Atib ini. Taruhlah dagangannya laku 30 juta dari total 32 juta  Setiap juta ia untung seratus ribu. Kali 30. Ketemu angka 3 juta!
Sebuah angka yang lumayan untuk hasil dari sekedar kerja sambilan. Mau ikutan?

Salam. *****

Selasa, 16 Agustus 2011

Rejeki dari PLN

SEPULANG kerja Sabtu sore kemarin (13/8),sampai dirumah anak saya memberi selembar surat kepada saya.Dari kopnya saya tahu pengirimnya;PLN.Sudah saya duga,isinya adalah tagihan kekurangan bayar bulan lalu ketika saya pakai sistem meter listrik model lama.Sebelum saya migrasi ke listrik Prabayar.Tetapi,begitu membacanya,saya tak habis pikir.Kenapa surat bertanggal 27 Juli ini baru saya terima hari ini?Padahal didalamnya tertera saya harus melunasi kekurangan biaya listrik itu paling lambat tanggal 9 Agustus.Padahal ia baru sampai ke tangan saya 13 Agustus.Padahal jarak kantor PLN dan rumah saya tak seberapa jauh.Dan banyak padahal-padahal yang lain.Intinya,saya memvonis,ada yang salah dengan alur surat ini.Lebih inti lagi,PLN masih mbulet.
Maka karena Senin kemarin tak bisa,pagi tadi saya datang ke kantor PLN.Siap dengan segala argumennya bila saya ditanya 'Mengapa baru datang ke kantor hari ini?'.Saya juga menyiapkan jurus lain bila dengan keterkambatan bayar ini saya dikenakan denda,misalnya.
Jam delapan tepat saya tiba di kantor PLN.
Masih sepi.Tidak seperti awal bulan ketika orang ramai-ramai datang membayar tagihan.Pak satpam yang biasanya stand by didekat tombol mesin antrean,tidak saya temukan ditempatnya.Atau mungkin sedang ikut memasang aneka hiasan merah-putih di halaman depan.
Saya tombol mesin sendiri.Dapat antrean nomor sepuluh di loket 2.Kesitu saya langsung menuju.
Pendek cerita,ternyata kekurangan bayar saya tidak bisa dilayani di loket itu.Tetapi,”Kedalam,pak.Ke ibu...”petugas loket itu menyebut nama seseorang yang harus saya temui di dalam ruangan.
Masuk kedalam ruangan,saya dapati para petugas sedang memulai kerja.Sebagian baru saja menyalakan komputernya.Dan ibu yang harus saya temui itu malah sedang membetulkan sesuatu di CPU-nya dibantu seorang teknisi.Saya disilakan menunggu.
Dalam menunggu itu,saya memandang sekeliling.Kabel-kabel dan stop kontak yang menempel tak rapi didinding.Oh,orang PLN saja begini,maka kalau dirumah saya kabel-kabel listrik saling silang sengkarut bin semrawut tentu tak salah.Tetapi,ada lebihnya saya perhatikan.Pada setiap meja ada cermin kecil.Pertama-tama saya maknai itu sebagai hal biasa.Maklum perempuan,dimanapun harus berdandan.Tetapi ketika saya melihat ada tulisan di daun pintu,saya jadi mafhum dibuatnya.Disitu tertulis; Layani pelanggan dengan senyum ramah.Tulisan itu bersanding mesra dengan slogan 'Layanan Bebas Suap'.
Oh,makanya perlu ada cermin disetiap meja.Agar senyumnya semakin yakin.Ya,yakin tidak ada sepotong bayam yang terselip disela gigi,misalnya.

Didalam saku telah saya siapkan sejumlah uang.Pas saja,sesuai tagihan yang tertera disurat.Saya akan ngotot tak akan mau membayar lebih dengan alasan didenda karena membayar lebih dari tanggal 9.Pokoknya saya tak mau disalahkan atas keterlambatan ini.Titik.
Tetapi,setelah surat saya serahkan,kemudian diperiksa,dan dicocokkan dengan data di komputer,
“Bapak mendapat token.”
“Saya?”tanya saya agak heran.Segala jurus penolakan yang saya siapkan tak jadi saya terapkan.
“Iya.Sesuai data kami,kurang bayar meter lama bapak sejumlah Rp.41.080.Tetapi bapak mempunyai 'Uang Jaminan Langganan' (UJL) sebesar Rp.131.300.Jadi bapak masih berhak mendapat kembalian Rp.90.220.Tapi maaf,itu tidak dapat diuangkan.Tetapi dikonversikan sebagai Free Issue Token.Nilainya 149,2 kWh,”terang ibu itu panjang lebar.
Padahal terus terang saya tak tahu itu.Dan kalaupun saya (dibohongi) harus membayarpun akan saya bayar sesuai pemberitahuan di surat,asal tak lebih.
Rasanya saya terlalu gegabah mencurigai ini-itu kepada PLN.Dan hari ini saya malah beruntung.Uang yang saya siapkan tak jadi keluar,dan malah mendapatkan token stroom senilai 149,2 kWh.Dan stroom sejumlah itu,sampeyan tahu,bisa saya pakai untuk keperluan listrik dirumah selama lebih dari sebulan.Ya,lumayanlah.

Ta'jil Gratis

Tumben sore itu jalan Ciliwung lancar.Langsung bisa belok kanan ke Diponegoro.Hanya terhenti sebentar di traffic light depan kebon binatang tak lebih dari 35 detik.Saya tahu itu dari melototi 'papan penghitung mundur' yang menggantung di tiang lampu merah.Dalam berhenti sekian detik itu,saya merogoh saku,mengeluarkan si jadul N 1100;di layarnya saya dapati angka 17.20 WIB.Ah,pantesan si TOA di menara masjid Al Falah itu belum terdengar suara adzan.
Biasa sudah,bila angka sudah dibawah sembilan,para pengendara mulai menarik tuas gas.Reflek,saya ikut ketularan.Jadi seperti para jagoan GP memulai balapan.Tapi tentu tidak.Kami tidak bisa membalap di sini.Apalagi didepan,tabiat Surabaya mulai kumat.Pertemuan arus dari raya Darmo yang ketemu-muka dengan yang dari Diponegoro,sungguh tak terhindarkan. Pahahal saya ingin segera tiba dirumah. Ingin bisa berbuka puasa bersama dengan si Edwin dan ibunya.
Tetapi,keinginan itu –untuk segera tiba dirumah dan buka bersama keluarga-- tentu bukan melulu keinginan saya.Nyaris semua pengendara di jalan ini punya maksud yang sama. Belum lagi maksud yang lainnya lagi,sesuai dengan isi kepala masing-masing.Maka,bersabarlah,nasihat hati saya.
Ya,kesabaran memang selalu perlu.Lebih-lebih di jalan raya. Lihatlah,betapa ketidaksabaran sering memakan korban. Misal,karena keburu –yang sebenarnya bisa saja ditunda-- orang rela menyalip dari kiri. Lalu setir saling senggolan. Lalu terpelanting. Lalu dari belakang ada truk. Lalu...
Selalu saja ada cerita/berita begitu. Setiap radio Suara Surabaya menyiarkan berita serupa,sungguh berharap itu berita terakhir tentangnya. Tetapi tidak.Karena selalu saja ada yang baru.Korban baru dengan sebab model lama.
Kesabaran itu pula yang perlu diguyurkan lebih kuyub sore itu. Ketika semua laju kedaraan sedemikian merambatnya. Saya mencoba berhenti dan berdiri;yang terlihat adalah ribuan kepala berhelm berjajar dalam padatnya lalulintas menjelang jalan layang Mayangkara.
Dalam berpuasa menghisap asap rokok adalah sebentuk kebatalan. Tetapi semoga,puasa saya tidak batal gara-gara menghisap asap kenalpot. Ribuan kenalpot malah. Yang membuat sore tetap saja terasa panas. Padahal sekitar dua ratus meter lagi,saya bisa melepaskan diri dari keruwetan Raya Wonokromo ini.Saya,seperti biasa,akan ambil lajur kiri,belok di depan RSAL melaju dengan lancar jaya di frontage road.Atau kalau saya lihat di depan Giant Margorejo juga terindikasi macet,saya ambil jalur Bendul Merisi via Sidosermo tembus Plasa Marina.
Tetapi sore itu tidak.Saya lihat didepan longgar.Otomatis bisa lancar jaya.Tentu selepas perjuangan berat dari Wonokromo yang ruwetnya minta ampun.Alhamdulillah,lancar jaya.Tetapi saya baru tahu,ternyata istilah 'lancar jaya' bukan nama sebuah PO bus atau sejenisnya.Tetapi ia saya temui malah pada merk alat dapur dari kayu (entong,sotil) yang saya dapati didapur saya.Bisa sampeyan cek,kalau mau.
Terus lancar?
Oh,ternyata tidak.Di sebelum depan Giant ada lagi kemacetan.Semua pengendara motor pada minggir.Ah,padahal belum terdengar adzan magrib.Padahal tidak sedang ada kecelakaan.Bukankan memang sebuah kecelakaan adalah juga sering sebagai tontonan?Yang banyak orang ingin menontonnya.Lalu malah memacetkan lalu lintas.
Ternyata ada pembagian ta'jil gratis.Dan,saya tentu ikutan antri.Lumayanlah.Bukankah sebentar lagi pasti adzan maghrib berkumandang.Kelumayanan itu saya syukuri.Karena pasti saya mendapati waktu berbuka masih dalam posisi di jalan.Dan sebungkus ta'jil gratis itu,yang sekadar berisi sebungkus roti,segelar air dan dua butir kurma,bisa sebagai pendukung melakukan suatu sunnah puasa;menyegerakan berbuka.
Dan saya sedang beruntung rupanya.Atau malah tak tahu diri.Karena ketika yang lain mendapat satu bungkus,saya mendapat dua.Biarlah.Mungkin rejeki saya memang sedang dua,batin saya ngawur.Saya cantolkan itu pada pengait di motor saya.Saya tancap gas lagi.Belok kiri,masuk jalan Raya Margorejo Indah.Belum genap tiga ratus meter dari situ,jalan tersendat lagi.Ulah 'polisi cepek' yang mengatur kendaraan di sebuah U-turn memang malah sering menghambat kelancaran.
Mau tak mau saya berhenti.Dan saya dapati di pinggir jalan seorang bapak berbaju lusuh dengan tatapan kosong kedepan.Sementara dua anaknya,bermain digerobaknya.Semacam gerobak sampah.Tatapan kosong itu begitu jauh tertuju.Entah menatap apa,atau siapa.Bisa jadi itu tatapan harapan.Tentang lebaran.Tentang baju baru anak-anaknya.Atau entahlah.Yang jelas tatapan itu kosong.Kosong saja.
Dan saya kira,dua bungkus ta'jil gratis yang saya dapatkan ini,bisa sedikit mengisi kekosongan itu.
Salam.

Senin, 15 Agustus 2011

Bapak Tua Penjual Bendera

TUJUH BELAS hari setelah tanggal tujuh belas. Delapan bulan setelah bulan delapan. Seperti tujuh belas hari yang lalu, delapan bulan yang lalu. Pohon sono kembang itu hapal betul bagian mana dari tubuhnya yang akan diikat tampar kecil. Ditarik membentang sampai pohon sono kembang lain di sisi timur, di atas trotoar .Sebuah pelanggaran. Ya bapak tua penjual bendera itu melanggar aturan; menggelar dagangannya di trotoar. Memajang dagangannya dalam bentangan tampar kecil antar pohon sono kembang. Semua merah putih saja. Kali ini ia tak menjual warna lain.

Angin yang kering di kemarau ini menerbangkan bendera aneka ukuran, berkibar-kibar. Turut mengibarkan pula harapan, agar ia, bendera dan umbul-umbul itu, hari ini laku. Barang satu.

Bapak tua itu sungguh setia. Sesetia ia pada tempatnya berdagang. Sesetia pohon sono kembang menyetiainya. Sebuah hubungan diam-diam yang saling melengkapi. Tak ingin ia pindah tempat jualan. Tempat ini sungguh strategis, menurutnya. Jalan yang selalu ramai. Karena di timur itu, sekitar seratus meter dari tempat ia menggelar dagangannya, adalah sebuah mal yang ramai. Selalu ramai. Mal itu identik dengan ponsel dan aneka saudaranya. Juga, belakangan, ia melengkapi diri sekaligus mengokohkan diri sebagai mal khusus barang-barang IT.

Mana peduli bapak penjual bendera itu pada semua itu. Ia hanya pedagang bendera. Dan itu dilakoninya nyaris dalam sepanjang sisa umurnya.

“Kok agak siang, Pak?”

Penjual bendera itu tersenyum mendengar tukang tambal ban, satu-satunya tetangganya di trotoar ini, bertanya. Tetapi ia, tukang tambal itu, tidak mangkal di trotoar. Ia membangun gubuk kecil; tempat kerjanya sekaligus 'rumahnya' di tanah kosong yang entah milik siapa. Yang di tanah itu menancap sebuah papan peringatan; Dilarang Buang Sampah di Sini. Sebuah penegasan bahwa tanah ini berpemilik. Tetapi tukang tambal ban itu tak peduli. Sekalipun ia sadar, ia mungkin saja termasuk sampah. Itu pernah diungkapkannya kepada bapak penjual bendera itu suatu ketika. Dan peringatan, baginya, adalah peringatan. Ia selalu ingat itu. Selebihnya ia berpendapat, ini tanah Tuhan. ”Dan aku adalah makhluk Tuhan juga. Berhak pula kan aku menempatinya.”

Rabu, 10 Agustus 2011

Mengukur Income Tukang Cukur

PADA awal-awal terbitnya tabloid Nyata,ada salah satu edisi yang masih saya ingat sampai sekarang.Pada cover depan tabloid Nyata itu menampilkan Sylvana Herman.Selebritas yang lagi top-topnya saat itu.Dan Nyata,atau bahkan semua taboid hiburan lainnya.,sangatlah lazim memampang foto selebritas pada halaman depan.Tetapi tampilan Nyata pada edisi itu sangatlah diluar kelaziman.Jelasnya,si Sylvana Herman yang tampil diluar kelazimannya.Ia tampil seksi dengan bibir merah merekah plus pose menawan tetapi tanpa sehelai rambutpun di kepalanya.Jan gundul-ndul.Padahal rambut,kata orang,adalah mahkota wanita.
Okelah,itu memang semacam cara mengkontroversialkan penampilan diri untuk mendongkrak popularitas.Dalam hal ini tentu popularitas keduanya.Pertama si artis,kedua si tabloid yang memang masih muda usia.Penampilan itu sedemikian melawan arus.Karena,pada saat hampir bersamaan,para wanita sedang gandrung model rambut ala Demi More yang tampil apik dalam film Ghost.Ya,gaya rambut ala Demi More itu yang lebih banyak ditiru para wanita di kampung saya saat itu.Karena,pastilah tidak elok meniru gaya Sylvana Herman.Bahkan,gaya rambut Demi More itu masih ada disukai banyak wanita sampai sekarang.Karena pendek,ia mencerminkan sesuatu yang simpel saja.Tak ribet.
Saya sedang tidak akan berbicara terlalu panjang tentang Sylvana Herman yang sekarang sudah jarang sekali kedengaran beritanya.Juga tidak membahas aktris cantik Demi More mantan istri Bruce Willis yang tetap cantik sampai sekarang.Tidak.Tetapi saya akan sedikit bicara tentang rambut.Ya,rambut saja.
Dan walaupun sampeyan semua pada punya rambut,saya hanya akan membatasi membahas tentang rambut saya sendiri saja.Kalau sampeyan punya jadwal khusus dalam waktu tertentu pergi ke salon untuk memberesi rambut,seingat saya,seumur-umur saya hanya sekali saja pergi ke salon.Itu pun secara gratisan.Karena salon itu milik seorang teman.
Selebihnya,saya selalu potong rambut kepada tukang cukur pinggir jalan.Selama di Surabaya ini,setelah sekian kali gonta-ganti tukang cukur,belakangan saya menemukan yang pas.Yang selalu hapal apa model rambut yang saya inginkan.Karena cocok,walaupun antri saya tetap saja setia menanti giliran.Terlebih disitu selalu ada bacaan yang bisa disantap.Membaca,bagi saya,selalu terasa mengasyikkan.Karena keasyikan itu pula,bisa jadi,sering saya temuai WC orang-orang Jepang selalu ada semacam perpustakaannya di dalam ruang toiletnya.Bisa dibayangkan,buang hajat yang asyik itu makin asyik kalau dilakukan sambil membaca.
Sudahlah bicara tentang buang hajat itu.Saya takut ia akan merusak nafsu makan sampeyan.

Karena model rambut saya selalu pendek,si tukang cukur hanya perlu menyetel mesin pemotong rambut sedemikian rupa,lalu mendorongnya.Dari awal pertama di 'kemuli' kain agar tak kerontokan rambut,sampai selesai (biasanya diakhiri ritual ditaburi bedak bayi) memakan waktu tak lebih dari 25 menit.Ongkosnya? Sembilan ribu rupiah saja.
Angka itulah yang menggugah saya secara iseng menghitung pendapatannya.Sembilan ribu rupiah kali sekian puluh kepala perhari.Dan omzetnya semakin meningkat saat menjelang lebaran begini.
“Saya buka usaha ini sekitar saat-saat krismon,”kata Mawardi (33 th),si tukang cukur itu,saat saya tanya kapan memulai usahanya.
Itu sekitar tahun 1997-1998.Ah,lama juga.Pantesan pelanggannya sudah banyak.Dan saya yakin,jumlah pelanggan akan selalu meningkat.Karena pelanggan pun lalu punya anak,si anak lalu dicukurkan pula kesini.Hebat.Karena pelanggan muda adalah pelanggan potensial.Dan Mawardi,mampu menangkap peluang itu dengan membekali diri keterampilan menyesuaikan mode rambut anak muda yang lagi menjadi trend.
Lokasi yang bagus,ditambah pelayanan yang juga bagus,tentulah mendatangkan income yang bagus.
“Ya,alhamdulillah,”ujarnya tanpa menyebut bilangan rupiah.
Tetapi secara iseng saya tergoda untuk menjumlah.Saya,yang datang selepas maghrib saja sudah merupakan antrian ke lima,dan pelanggan terus saja datang setelah saya.Tetapi agar gampang menghitungnya saya tarik angka rata-ratanya saja.Taruhlah dalam sehari,paling jelek,ada sepuluh pelanggan.Kalikan dengan angka sembilan ribu per kepala.Kalikan sebulan.Dua juta tujuh ratus ribu ripuah.Dan,saya yakin bisa lebih dari itu.
“Ya,lumayanlah,mas,”katanya sambil tangannya terus mencukur rambut saya.”Tetapi dulu saya juga sempat kerja macam-macam.Dan usaha mencukur rambut ini sekadar meneruskan usaha orang tua.”
Terletak di sebelah mulut gang yang menuju rumah saya.Mengahadap ke jalan raya yang selalu ramai.Ukuran ruang kerjanya kecil saja.Tak lebih dari tiga kali tiga meter.Itu ruang prakteknya.Karena bagian belakang dijadikannya rumah tinggal.
“Tiga kali lima belas,”katanya ketika saya tanya luas tanahnya.”Itu saya beli lima tahun lalu.”
“Harga per meternya berapa?”
“Tiga juta.”
Harga yang tinggi untuk ukuran pembelian lima tahun lalu,saya kira.
Setelah sedikit menghitung,saya dapatkan angka;seratus tiga puluh lima juta rupiah!
“Uang segitu dari hasil nyukur semua?”tanya saya.
Mawardi tersenyum.Senyum yang mengiyakan,sepertinya.

Begitulah.Sampeyan beruntung kalau punya pendapatan lebih dari tiga juta per bulan.Kalau pendapatan sampeyan kurang dari itu,tentu income sampeyan kalah oleh si tukang cukur langganan saya itu.Dan benarlah adanya,kesepelean suatu pekerjaan,bukan berarti income yang dihasilkan bisa disepelekan.
Saya punya contoh sepele tentang ini.
Pernahkah sampeyan melihat penjual pentol keliling?Iya,yang kadang pakai sepeda butut.Yang penampilan penjualnya memprihatinkan. Tapi jangan kira penghasilannya sememprihatinkan penampilannya. Karena saya punya tetangga,yang banting setir dari penjual bakso menjadi penjual pentol seratusan.Alasannya?
Orang tak akan membeli bakso lima ratus rupiah.Tentu itu. Butuh paling tidak lima ribu rupiah untuk semangkuk bakso. Tetapi,untuk bisa mencicipi beberapa butir pentol seratusan rupiah,uang tiga ratus perak pun sudah diladeni. Intinya,bukan harga mahal yang bikin income menggunung.Tetapi sekalipun harga murah tapi kalau laju lakunya sebanter Lorenzo,itu yang lebih menjanjikan.
Salam.

Selasa, 09 Agustus 2011

Penyiar Tenar

SETIAP pulang kamung ke Jember,ada dua hal yang selalu dikeluhkan istri saya.Pertama; selepas terminal Minak Koncar Lumajang laju bis jurusan Jember via Kencong selalu berjalan begitu 'nggremet' bikin geregetan.Dan lebih jengkel lagi ia sering ngetem mencari penumpang.Dan,kedua; ditemui begitu banyaknya tempat orang mengumpulkan sumbangan.
     Keluhan jenis kedua ini yang ingin saya ceritakan sekarang.Tempat-tempat itu --selalu di pinggir jalan-- dan didekat masjid.Iya,memang tempat-tempat itu adalah lokasi panitia pembangunan sebuah masjid mengumpulkan dana dari pemakai jalan.
       Lepas dari Bangil-Pasuruan,sampai di kampung halaman di timur Gumukmas dan sebelah barat Kasiyan,ada begitu banyak tempat seperti itu.Yang ada 'studio' kecil dipinggir jalan.Tempat seorang 'presenter' berkoar-koar seharian.
Si penyiar itu begitu lancarnya mengucap terima kasih kepada setiap pemakai jalan yang melemparkan uang kecil.Sejurus kemudian,ada petugas yang berlari memungutnya.Memasukkannya ke dalam kaleng bekas biskuit yang tutupnya sudah dikasih lubang.Tetapi,saran saya,apabila suatu kali sampeyan menemui pengumpulan sumbangan model demikian,dan sampeyan ingin menyumbang;jangan lemparkan uang kertas.Yakinlah,uang itu akan 'hancur' ketika kaleng dibuka sore hari.Karena kaleng itu dikocok seharian oleh petugas di jalanan,dan si uang kertas akan beradu badan dengan si logam yang berdesakan karena kocokan.
     “Sedikit memalukan,”gumam istri saya.”Di tempatku yang model begini pasti tak ditemukan,”katanya dengan nada membanggakan tanah tumpah darahnya.
      Saya diam saja.Agak tersinggung,sebenarnya.Karena,dulu saya juga pernah terlibat dalam kegiatan serupa.
Sungguh.Tetapi untuk apa malu.Karena untuk bisa menjadi penyiar sumbangan macam itu,tidak gampang dan sedidaknya harus menguasai tiga bahasa! Hal ini karena para pemakai jalan didaerah Pasuruan ke arah timur adalah pengguna campuran dari tiga bahasa itu;Bahasa Jawa,bahasa Madura dan tentu saja bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan keduanya.
     'Karir' saya sebagai penyiar sumbangan datang secara tidak saya duga.
Suatu kali seorang utusan dari panitia pembangunan masjid kampung tetangga menemui saya.Menawari saya menjadi 'penyiar'.Menggantikan petugas lama yang kesandung kasus korupsi.Anda tahu,korupsi itu tak melulu perkara duit miliaran.Duit recehah hasil sumbangan untuk measjid pun bisa di tilep kalau iman tak tahan.
     Mendapat tawaran begitu,sebenarnya saya ingin tertawa.Mentang-mentang saya sesekali tampil di atas pentas bersama kelompok musik sebagai pembawa acara,jadi turun tahta dong kalau menjadi penyiar jalanan model begituan.
     “Ini demi 'masa depan',dik,”kata beliau.
     Masa depan yang ada tanda petiknya adalah masa depan yang sangat di depan.Dan saya masih belum bisa menerimanya di 'masa sekarang'.Tetapi ketika beliau mengeluarkan kartu as bahwa beliau sudah lebih dulu 'kulonuwun' ke ayah saya,saya lalu bisa apa.Mbah Kung,ayah saya itu,begitu fanatiknya kalau sudah menyangkut si 'masa depan' itu.
Maka sejak hari itu,setiap harii saya harus stand by di 'studio' mini di pinggir jalan.Bersiaran dalam beberapa bahasa layaknya BBC.
     Beberapa tahun kemudian masjid hasil sumbangan itu berdiri sudah.Saya lega.Tak lagi harus saban pagi sampai siang bersiaran di sudut pasar Reboan.Tetapi kelegaan itu tak berusia lama.Masjid dikampung sendiri mulai dibangun.Dan untuk langkah pertama,panitia lebih dulu membangun 'studio' kecil dipinggir jalan.Celakanya,saya sudah dianggap tenar dan dinilai sudah pengalaman,maka saya ditunjuk tanpa tender untuk menduduki posisi kepala penyiar!
    Jurus yang dipakai untuk melumpuhkan saya adalah kalimat,”Masa untuk masjid kampung tetangga saja mau,untuk masjid kampung sendiri menolak?”
     Dan sekali lagi mbah Kung mendorong saya untuk menerima tawaran demi bekal saya di 'masa depan' ini.
Begitulah.Sampai sekian belas tahun kemudian,ketika saya pindah kewarganegaraan ke daerah asal istri saya.Suatu kali dalam perjalanan naik bis,selepas terminal Bunder-Gresik sampai menjelang Deket-Lamongan,ada saya temui panitia pembangunan masjid yang memakai pola pengumpulan sumbangan ala banyak orang di sepanjang Bangil sampai Jember.Saya merasa inilah saatnya membalas serangannya ketika mudik ke Jember dulu.
    “Tuh,lihat.Bukan orang Jember saja kan yang minta sumbangan dijalan untuk membangun tempat ibadah,”kata saya.
     “Eh,jangan begitu.Coba saja turun dan tanya,pastilah ketua panitia berasal dari daerah sampeyan,”jawab istri saya.
     Hm?

Senin, 08 Agustus 2011

L a n g g a r

SEBUAH jalan tol.Dengan pagar pembatas ditengah.Disitu ada surau,'langgar' orang kampung kami menamainya.Ia tua.Ia sakti,kata orang.Sampai sekarang tak bisa dibongkar.Aneh memang.Tapi datanglah ke kampung kami.Kampung yang sekarang terbelah jalan tol.Putus semua tali persaudaraan antar tetangga.Tapi sesekali ada yang nekat,berkunjung ke tetangga,yang sekarang telah dibatasi jalan tol,lalu tak pulang lagi.Mati,entah ditabrak apa.
Pagar besi angkuh.Dan lampu-lampu berkaki jangkung,sekalipun bersinar,ia redup.Lebih lebih didalam langgar itu.Yang tak terawat.Menjadi satu-satunya saksi.Dulu,sebelum dibangun tol,disini adalah kampung.Kampung yang damai.Terdengar suara adzan setiap masuk waktu sholat.Kini,tiada lagi itu.Suara adzan sudah pindah entah kemana.Orang-orang kampung juga pindah.Menyisakan langgar tua yang berdua saja bersama si bedug tua.Menjadikan jalan tol itu aneh.Satu-satunya jalan tol yang ada langgar diantara pagar pembatasnya.
Dulu setiap malam bulan puasa begini,selalu ramai langgar itu.Orang tarawih,orang pura-pura tarawih dan anak kecil yang berlarian disela-sela sholat.Mereka tak mampu membedakan ini tempat ibadah atau lapangan bola.Tetapi memang dibiarkan saja.Kelak,mereka akan tahu sendiri.Akan sadar sendiri.
Di langgar itu setiap malam kami mengaji.Dibimbing Madi.Lik Madi kami memanggilnya.Masih muda orangnya.Masih bujang pula.Ganteng untuk ukuran kampung kami.Selalu memakai songkok.Sampai-sampai rambutnya ada tanda abadi bila songkok yang agak menguning itu dilepasnya.
Maka,karena ia yang mengajari kami mengaji,kami selalu saja mau menjalani perintahnya.Termasuk menjaga buah semangka di sawahnya.Agar tak dicuri orang.Mana berani kami mencuri tanaman guru ngaji sendiri.Maka kami mencuri tanaman semangka di sawah milik tetangga saja.
Sebenarnya ia adalah cucunya yang punya langgar ini.Mbah Seki,namanya.Yang setiap malam Jum’at Legi selalu kami tunggu tumpengnya.Orangnya sudah tua.Yang hanya melepas susur-nya saat sholat saja.
Sebagian besar santrinya laki-laki.Ada beberapa perempuan sebenarnya.Dan itu manjadi masalah.Selalu menjadi masalah.Termasuk masalahku.Masalah bagi Gito yang seumur-umur belum juga beranjak dari juz satu,atau Budi yang kurang berbudi tetapi malah ahli mencuri mangga tetangga.
Pohon pisang dibelakang langgar,terlihat angker.Sisi timur langgar ada jalan setapak kebelakang.Disitulah tempat wudlunya.Isya’ saja sudah gelap minta ampun.Hanya ada obor untuk penerangnya.Dan kami sering meniupnya agar kembali gelap.Agar setan menemani kami menggoda santri wanita.
Ang,namanya.Ia santri yang cantik.Ia setan yang dikirim umtuk mengoda iman kami,mungkin.
Kami telah melantunkan pujian.Hendak sholat isya’ berjamaah.Tetapi ia berdiri lagi.Hendak wudlu lagi.”Aku kentut,”katanya.Dan setan itu menunjuk aku menemaninya ambil wudlu lagi.Di tempat wudlu dibelakang langgar.
Aku memegang obor.Dan obor itu pula yang membakar hatiku.Tapi setan dimulutku malah meniupnya.Gelap.Ang mendesah,”Jangan,”katanya.”Aku takut.”
Tapi aku tak membawa korek api.Aku hanya membawa api.Yang membakar hatiku dan tembus menyala diujung hidungku.Sejurus kemudian,aku menyulutkan api itu ke pipi Ang.Gila.Ya, setan memang gila.
Angin memang sedang malas,tetapi hembusan lain menerpa telinga.Hembusan setan yang mengabarkan ada perzinahan di tempat wudlu di belakang langgar.Mendengar itu,ya tentu saja Madi marah.Tetapi aku memahaminya sebagai cemburu.Kalah berani ia dengan aku.Ia tak punya hidung berapi.Dan lihatlah!Ia begitu dendam kepadaku.

Berkali-kali aku ingin ke langgar itu.Langgar yang tak mempan dibolduzer.Langgar yang sakti.Berdiri si sela tol.Yang selalu ramai.Kiri kanan langgar selalu ada kendaraan ngebut,kendaraan yang tak peduli keberadaan langgar ini.Tak.
Tetapi aku tentu selalu peduli.Maka,aku menyeberangi jalan tol ini,bertaruh nyawa.Menuju langgar tua.Tak tua-tua amat sebenarnya.Hanya karena tak terawat,maka ia terlihat lebih tua dari usianya.
Bentuk dan kenangan yang ada didalamnya itu yang bikin aku selalu merinduinya.Rindu suasananya. Ukuran langgar itu kecil saja.Hanya bambu rangka atapnya.Dindingnya juga dari anyaman bambu separo.Separonya lagi,sekitar satu meter dari bawah,adalah pasangan batu bata yang tak dipelester.Langgar tua.Yang berdebu.Bisu.Bedug itu juga bisu.Tiada yang pernah menabuhnya lagi.
Jalan tol masih ramai.Diam-diam sore datang.Tapi aku masih kerasan disini.Berdiam diri diterasnya.Memandang kendaraan yang seakan semua sopirnya adalah para pembalap Formula 1.
Aku mencari-cari sesuatu.Kayu atau apalah juga .Yang bisa untuk menabuh bedug berdebu ini sebentar lagi.Ketika waktu maghrib tiba.Ketika lampu-lampu jalan mulai menyala.
Tetapi sebelum maghrib datang,ada tamu yang mendahului tiba.Entah dari mana arahnya.Ataukan ia juga merindui langgar ini layaknya aku?.Orang tua itu seperti Madi tua.Dengan songkok yang menguning.Ketika ia melepasnya,rambutnya ada bekas peninggalan si songkok.Cekung,melingkar di atas telinga.
Tak berhasil aku mencari tabuh.Selepas tayamum,kerena tak kutemukan air di langgar ini,kami sholat jamaah.Berdua saja.Didalam langgar remang saja.Karena hanya ada sinar lampu tol yang masuk lewat jendela tua,yang sudah lapuk daun-daunnya.Ia,jendela itu, ada di kedua sisinya.Kanan dan kiri.Dan semuanya menghadap arah jalan tol.Yang kiri menghadap jajan tol ke arah barat,yang kanan sebaliknya. Kami wiridan dalam diam.Sebagai makmum aku betah berlama-lama dalam diam itu.Seperti diamnya imam.Dan diam-diam,diam itu membuatku tertidur.Entah untuk berapa lama.Tidur terduduk.Membungkuk.
Aku terjaga tepat tengah malam.Atau entahlah jam berapa.Pokoknya jalan tol sudah tak seramai sore tadi.Tapi selalu ada.Truk-truk tua yang di kepalanya ada lampu kuning berputar.Kasihan,tubuh truk yang renta itu dipaksa mengangkut bobot yang pasti melebihi kekuatannya.Berjalan pelan.Mendengus-dengus.
Ah,apa peduliku.Seperti mereka yang tak peduli aku.Juga tak peduli langgar tua ini.Mereka tentu tak tahu aku dulu menimba ilmu disini.Ilmu agama,juga ilmu mencuri buah tetangga.Mereka tahunya ini tempat angker.Yang tak mempan digusur bolduzer.
Mereka selalu mengatakan di langgar ini banyak setannya.Huh,tentu hanya setan yang bilang begitu.Karena,mana ada setan kerasan tinggal di langgar.Aku,yang dulu saban malam tidur disini,tak pernah menemui wajah setan.Atau memang malah akulah si setan itu.Yang tega berbuat zina di tempat wudlu itu.Mencium Ang.Ah,persetan!
Terlalu banyak kenangan menempel di tempat ini.Kenangan keberanianku mencium wanita untuk pertama kali.Dan seterusnya menjadi keterusan.Karena rupanya Ang,setan perempuan itu,juga ketagihan.Gila.Memang gila.Karena tempat wudlu itu selalu aku jadilan tempat begitu.Dasar setan.
“Gila.Ini langgar,kenapa kamu melanggar kesuciannya!”
Lik Madi menghardikku kesetanan.Huh,setan pula.Ia cemburu rupanya.Dan gengsinya hancur kalah cepat mencium santri tercantik di langgar ini.
Kecemburuan itu begitu berkobarnya,sampai aku dijatuhi hukuman.Saban malam harus mambaca tiga surat panjang-panjang.Dan tidak boleh mengantar santri putri wudlu malam-malam.Semua peranku itu diambil alih si Madi.Termasuk mengantar wudlu si Ang.Pasti setan dibawaha pohon pisang,diseputar tempat wudlu itu,ramai-ramai meletakkan api di ujung hidungnya.Menyulut pipi Ang.Gila.Setan memang gila.
Lama sudah semua kegilaan itu terjadi.Sebelum tol ini dibangun.Sekian belas tahun lalu.Atau lebih.Sampai kemudian orang sekampung terusir dari kampungnya sendiri.Tol yang membelahnya,diikuti oleh pembelahan-pembelahan yang lain.Orang kaya dari kota membeli tanah-sawah kami.Dan sekarang ,tanah kami,sawah kami dan rumah-rumah kami menjadi perumahan berkelas,pertokoan dan aneka lainya.
Orang kampung yang sudah dipinggir,jadi makin terpinggir lagi.Jauh.Bahkan ada sampai terlempar ke luar pulau.Seperti bapak ibuku.Dan setelah sekiah lama,aku kesini lagi hari ini.Ada kekuatan yang seakan mengajakku kesini.Tanpa tujuan pasti.Karena semua saudaraku sudah ikut pindah entah kemana.Tapi setidaknya aku masih punya tujuan dan tempat yang bisa kutinggali untuk beberapa lama.Ya, langgar tua ini.Yang tetap setia bersama si bedug tua.
Duduk saja di teras langgar.Pak tua yang mirip pak Madi dengan rambut berbekas songkok itu tetap bersila.Ke arah Barat.Diam.Atau mungkin ia sedang membaca sesuatu.Tetapi membaca dalam hati.Suaranya tak terdengar,ataukan memang kalah oleh deru mobil yang melaju sekencang angin malam ini.Mobil-mobil itu aneka tabiatnya.Ada yang suka main curang di bahu jalan.Ada yang melesat lurus seperti anak panah lepas dari busurmya.Ada yang merambat pelan.Ia adalah mobil usia tua tetapi masih saja menanggung beban berat dipundaknya.Ia tak kuat lari,tentu saja.Nafasnya sudah sedemiakain parahnya.Seberapa keraspun ia mendengus,lajunya tak kan melebihi angka 60 kilo per jam.Dan itu pelanggaran.Bukankan laju di jalan tol harus lebih dari larinya itu?
Mobil-mobil tua itu,hidungnya pesek.Lain sekali dengan mobil serupa yang dulu pernah aku lihat waktu kecil.Sungguh,dulu aku sering melihat mobil besar,bertubuh gendut (ketika besar aku baru tahu ia bernama mobil tanki,dan sering kencing sembarangan) berhidung mancung.Dan dari hidungnya itu si sopir menyogokkan sebatang besi untuk menghidupkannnya.Memutarnya sekuat tenaga,maka mendenguslah ia,bersamaan dengan suara kentut berasap hitam yang keluar dari pantatnya.
Ya,mobil macam begitu itu yang malam ini mendominasi.Karena tanpa hidung mancung,tentulah ia tak perlu sogokan untuk menjalankannya.Mobil-mobil itu menghiasi lampu kuning yang berputar-putar di atas kepalanya.Apakah ia sedang berkunang-kunang seperti yang sering aku lihat pada film kartun di televisi hitam putih jaman dulu.Atau sekadar supaya gaya saja.
Malam semakin malam.Aku tetap saja di teras langgar.Kerasan.Memandangi mobil mobil menderu.Memandangi kunang-kunang di kepala truk-truk.Berputar -putar.Selalu kuning.Entah kenapa tiada yang memakai warna lain.Berpuluh atau bahkan beratus truk panjang besar,seandainya menghiasai kepalanya tidak hanya sewarna,ada merah,ungu,hijau,biru tentulah lebih ramai.Indah.Asyik juga membayangkan sesuatu yang beda.Tetapi kenapa tidak ada yang memulai?
Mana sempat mereka berpikir begitu.Juga mana sempat mereka berpikir mampir ke langgar tua ini sekali waktu.Nanti.

Dari jauh kulihat tubuh tua meliuk-liuk.Truk tua itu rupanya mengantuk.Putaran lampu kuning dikepalanya itu tandanya.Ia redup tapi besar.Besar dan makin besar.Ia kehilangan kesadaran.Berjalan sambil tidur.Ia mendekati langgar.Ia melanggar langgar.Dan aku tak sempat menghindar.Dicium si hidung pesek yang masuk langgar.Ingin sembahyang mungkin.

Api menyala lebih terang dari lampu dikepalanya tadi.Menghanguskan sekujur tubuhnya tanpa sempat di selamatkan PMK yang datang terlambat.Mayat truk itu berada di tengah pembatas jalan.Dan karena sekarang malam,ia tak seberapa mengganggu yang lain.
Semprotan air dari selang-selang petugas PMK itu menerpaku.Tubuhku porak poranda karenanya.Tapi mereka tak peduli.Terus saja mengguyurkan air dengan tekanan sedemikian rupa.Sampai aku kehilangan napas.Moncong selang itu terus saja mencari mangsa.Kali ini diarahkan ke dalam kepala truk yang mengepulkan asap hitam.Mengeluarkan aroma kulit terbakar.Menyemprotnya.Begitu asap minggat,mereka melongoknya.Dan tak menemukan sopir mengantuk beserta kernetnya.
Aku menoleh ke langgar.Tubuh langgar itu remuk redam.Tetapi,lelaki yang semakin kuyakini sebagai Madi itu tetap dalam duduknya.Menghadap kearah yang sama.Tetap bersila.Tapi,hei,lihat!Kali ini ia tidak sendiri.Ia bertiga dengan sopir dan kernet truk yang hangus terbakar barusan.
Aku ikut mendekatinya.Ikut bersila dibelakang orang yang rambutnya berbekas lingkaran songkok tepat diatas kupingnya.Dan aku ingin bersila ditempat ini selama mungkin.*****

Kemajuan dan Kemunduran

BILA sebuah bis lebih didepan daripada yang dibelakang,itu dibilang maju.Pun sebaliknya.Jelas sudah,sebuah kemajuan dibilang begitu karena ada yang lebih belakang.Lorenzo di depan karena yang lain tak bisa mendepaninya lagi.Dan,biasanya,pemenang selalu didepan.
Itu pulalah yang saya amati ketika sholat tarawih semalam.Masjid megah dua lantai itu,sudah mengalami kemajuan.Shof sholat yang mengalami kemajuan.Kalau hari pertama tarawih,jamaah sampai meluber ke halaman,saya hitung tadi malam tinggal separonya saja.Hanya terdapat tak lebih dari sepuluh barisan.
Penyebab dari semua itu adalah adanya kemunduran dari jumlah jamaah.
Maka,tak usahlah saya mengambil contoh kenapa Islam mengalami kemundurun padahal dulu sempat menguasai Eropa (Spanyol).Mundur,dalam beberapa hal,memang tak perlu terjadi.Tapi ia menjadi nyata manakala ada yang dengan suka rela memundurkan dirinya sendiri.
Tak kurang nasihat yang mengatakan lipatan pahala di bulan puasa sedemikan tak terhitungnya.Tetapi,tampaknya,itu tak mempan merangsang sebagian kita untuk lebih banyak beribadah di bulan istimewa ini.
Terus terang saja,dalam hal agama,ilmu saya tak semelambai ilmunya ustad Maulana.Tapi berusaha kearah sana,ke sebuah laku yang lebih baik dari kemarin,kenapa tidak? Senyampang sempat.Selagi ada waktu.Karena tiada jaminan kita bertemu bulan sebegini istimewa lagi tahun depan.
Salam.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Lebih Aman Mudik Duluan

TANPA ada seruan dari siapapun,kita akan segera pulang ke udik saat lebaran nanti.Ya,padahal tidak ada himbauan dari presiden,misalnya.Seperti yang dilakukan beliau atas Nazaruddin.Dan lebaran memang masih beberapa hari lagi.Masih lama.Tetapi tentu tidak ada salahnya mempersiapkan acara mudik lebih dini.
Kata mudik,menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poewadarminta (1976), berarti “Pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran”.
Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani jawa. Keberadaannya jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan.
Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah.
Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.
Makanya, tidak heran kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik selalu menyempatkan diri untuk ziarah dan membersihkan kuburan.
Sekalipun ada teknologi ponsel atau internet yang memungkinkan kita mengucap selamat lebaran tanpa harus ketemu langsung,tetapi ia dianggap kurang afdol.Karena,bagi sebagian pemudik,acara mudik sekaligus sebagai sarana ‘unjuk diri’ bahwa mereka berhasil hidup dikota.Tak peduli apapun pekerjaan yang dilakoni di kota.Dengan aneka kesulitannya.Maka saat mudik harus terlihat sukses;bawa HP baru,perhiasan mencolok dan semacamnya.Walau kemudian sesampainya dikota dijual lagi itu soal lain.
Lebih lanjut sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sudjito berpendapat, ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama pada masyarakat pedesaan.
Antonius Wiwan Koban, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute,menulis;Pada musim mudik Lebaran 1 Syawal 1431 H atau bertepatan pada 10-11 September 2010 lalu, setidaknya 4 juta sepeda motor digunakan sebagai transportasi untuk mudik Lebaran. Angka ini diprediksi terjadi peningkatan dari angka tahun 2009 lalu yaitu tercatat setidaknya 3,9 juta sepeda motor digunakan pemudik dari Jakarta menuju berbagai daerah. Sebelumnya, pada tahun 2008 tercatat setidaknya 3,2 juta pemudik dengan sepeda motor.
Yang menjadi masalah adalah rawannya kecelakaan sepeda motor dalam angkutan mudik Lebaran, karena sepeda motor bukan didesain untuk bepergian antar kota antar propinsi bahkan antar pulau. Menurut catatan dari beberapa sumber, angka kecelakaan pemudik selama musim mudik Lebaran tahun 2008-2009 lalu, kecelakaan paling banyak dialami oleh pemudik sepeda motor. Pada Lebaran 2010 hingga H-3 saja, tercatat sudah 209 korban tewas akibat kecelakaan mudik, sebagian besar adalah pemudik yang menggunakan kendaraan roda dua.
Pada musim mudik Lebaran tahun 2008 tercatat 1.052 kecelakaan di mana sekitar 800 kasus atau 76 % adalah kecelakaan sepeda motor. Pada tahun 2009, tercatat 1.544 kecelakaan dengan korban meninggal dunia 576 jiwa, sebagian terbesar dialami oleh pemudik sepeda motor.


Dari segi jumlah pemudik, tradisi mudik di Indonesia sebetulnya belum ada apa-apanya dibanding Tiongkok. Bayangkan saja, dengan populasi penduduk yang luar biasa besar, jumlah pemudik di Tiongkok bisa mencapai 700 juta orang dalam waktu nyaris bersamaan. Jumlah tersebut dilansir oleh media lokal di Guangzhou untuk keseluruhan pemudik di daratan Tiongkok dan belum termasuk warga Tionghoa di luar negeri yang mudik ke Tiongkok. Selama 40 hari, 700 juta pemudik itu akan memenuhi stasiun kereta-api, pelabuhan udara, ferry dan terminal bus.
Sementara itu, melihat laporan Kementerian Transportasi Tiongkok yang dilansir kantor berita Xinhua, jumlah pemudik Tionghoa tahun 2011 lebih menakjubkan lagi, yakni diperkirakan mencapai 2,65 miliar orang atau meningkat 11 persen di banding tahun sebelumnya. Jumlah itu merupakan akumulasi penduduk yang mudik setiap hari sepanjang 40 hari perayaan Imlek di negeri tersebut. Sungguh luar biasa,demikian dilaporkan situs Kabari,jembatan Informasi Indonesia-Amerika.

Menurut banyak data yang saya kutip diatas,jelas sudah,disamping segala keriangan akan segera bertemu keluarga di kampung yang sudah setahun tak bertemu,mudik juga menyelipkan kesan kengerian yang tidak main-main.Dan kengerian itu,menurut saya,tentu bisa diminimalisir melalui berbagai cara.
Urusan perbaikan infrastruktur tentu bagian pemerintah.Jelas itu.Walau sering kita dapati perbaikan infrastruktur menjadi terkesan mendadak.Kesannya ia baru dikebut menjelang lebaran datang.Biarlah.Itu urusan pemerintah.
Yang lebih penting,kita harus bisa menekan angka kecelakaan sekaligus jumlah korban yang mengerikan itu dengan cara kita sendiri. .

Karena jumlah korban meninggal sebagian besar adalah pengendara sepeda motor,tentu lebih baik kita menyorotkan perhatian lebih kesana.Dan benarlah adanya,motor yang hanya layak mengangkut dua penumpang dan sedikit barang,pada musim mudik ia dipakasa bekerja lebih keras.Bukan lagi berperan sebagai angkutan yang aman dan nyaman,ia merangkap fungsi layaknya sedang dalam permainan akrobat!
Lihat,ekor motor diberi tambahan.Dua batang kayu sebagai tumpuan tas atau kardus bawaan.Tentu oleh-oleh untuk orang di kampung.Atau hanya bebeberapa setel baju ganti untuk beberapa hari tinggal di kampung.Si ayah mengemudi dengan tingkat kesulitan yang tinggi,karena ada si sulung yang duduk didepan.Di jok belakang si ibu duduk sambil menggendong si bungsu,Masih nyangklong tas pula.
Itu pemandangan umum.Saban lebaran.Padahal jarak yang hendak ditempuh tidaklah dekat.Jakarta-Lamongan.Atau Surabaya-Banyuwangi!Melihat pemandangan itu,tentu tidak mengherankan bila korban jatuh lebih banyak dari pengendara motor.

Ada beberapa cara sebenarnya yang bisa diterapkan agar mudik nyaman sekaligus aman.Dan sekarang,mumpung lebaran masih agak jauh,ia menjadi sangat bisa diterapkan.
Kalau masih memaksakan diri mudik dengan motor,cara ini setidaknya bisa mengurangi beban motor kita.Begini hitungannya.Pertama, waktu tempuh.Berapa lama kita berada dalam perjalanan.Sehari?Dua hari?Taruhlah dua hari.Kita hanya butuh dua setel baju.Dan baju yang lain,yang hendak akan kita pakai di kampung nanti,bisa kita ‘mudikkan’ lebih dulu dengan memakai jasa pengiriman barang.Hal itu juga bisa kita terapkan untuk oleh-oleh untuk orang di kampung.Baik,kalau kita keberatan biaya pengiriman,tentu kita tak perlu repot membeli berkaleng-kaleng biskuit untuk orang rumah.Percayalah,di kampung biskuit itu juga ada .
Tentu lebih aman kita mudik memakai moda angkutan massal.Terus pertanyaannya; motor kita bagaimana?Karena bukankah tanpa motor kita tak bisa leluasa berkunjung ke sanak saudara yang berpencar tempat tinggalnya?Dan untuk menjangkaunya kita butuh motor.Ah,gampang.’Mudikkan’ saja si motor duluan.Serahkan ia pada PT KAI,misalnya.Beres.
Dengan begitu,mudik menjadi lebih nyaman dan tidak memberatkan.Tetapi menjadi tugas pemerintah kemudian,agar ketersediaan angkutan lebaran menjadi memadai.Jangan sampai kita terlantar di terminal.Atau harga tiket yang melejit akibat permainan.
Salam.

Rabu, 03 Agustus 2011

Rayap; si Tamu Tak Diundang

Laron-laron desa berduyun-duyun kekota
menuju gemerlap lampu-lampu yang indah...

Mungkin kita masih ingat penggalan lagu yang dibawakan Makara band dengan vokalis Hari Mukti.Lagu itu populer di tahun 80-an.Tetapi maaf,saya tidak sedang akan bicara tentang lagu.Tetapi tentang laron.

Ingatkah Anda kapan terakhir kali melihat laron?Terbang selepas hujan.Menuju lampu rumah Anda.Di teras atau bahkan masuk ruang tamu anda?

Bila jawabannya itu terjadi di rumah atau lingkungan Anda pada musim hujan kemarin,waspadalah.Hei,apa yang mesti diwaspadai akan kehadiran segerombolan laron?
Suatu kali,mungkin dihari Minggu,Anda bersih-bersih rumah.Dan ketika mengelap kusen pintu atau jendela Anda merasa kayunya kopong.Anda kaget.Kita merasa selama ini selalu menjaga kebersihan.Tak pernah melihat seekor binatang pun masuk rumah kita,apalagi mengerogoti kayu kusen kita.Tetapi,kehadiran laron di musim hujan kemarin bisa dipakai indikasi disekirar rumah anda ada markas rayap.Rayap?!

Lupakan kekagetan itu.Karena yang kita hadapi musuh yang sangat profesional.Musuh yang sanggup merayap 200 meter dari markas koloninya dan menyerang bangunan kita tanpa sempat kita sadari kehadirannya.Dan,tiba-tiba kusen pintu kita sudah keropos.Kitchen kabinet kita keropos.Atau,tiba-tiba sudut plafon kita terindikasi segera ambrol,karena rangka kayu-kayunya lumat dimakan rayap.

Ya,rayap.Si tamu tak diundang,yang tanpa permisi menginvasi rumah kita.Binatang koloni ini,di seluruh dunia memiliki 2000 spesies dengan 120 diantaranya adalah hama.Yang teroganisir rapi.Ada bagian reproduksi –tugasnya hanya beranak,lazim disebut ratu--,ada tentara,dan ada pekerja.Rayap jenis perkerja ini yang mendominasi kolininya,ia mencapai 80 persen.

Menurut Rudy C. Tarumingkeng PhD,guru Besar Institut Pertanian Bogor,bahwa terdapat tiga famili rayap perusak kayu (yang dianggap sebagai hama), yaitu famili Kalotermitidae, Rhinotermitidae dan Termitidae. Kalotermitidae diwakili oleh Neotermes tectonae (hama pohon jati) dan Cryptotermes spp. (rayap kayu kering); Rhinotermitidae oleh Coptotermes spp dan Schedorhinotermes, sedangkan Termitidae oleh Macrotermes spp., Odontotermes spp. dan Microtermes spp.). Masih banyak jenis-jenis rayap yang juga penting tetapi agak jarang dijumpai menyerang bangunan. Misalnya jenis-jenis Nasutitermes (famili Termitidae), yang pada dahi prajuritnya terdapat "tusuk" (seperti hidung: nasus, nasute), dan mampu melumpuhkan lawannya bukan dengan menusuknya tetapi meyemprotkan cairan pelumpuh berwarna putih, melalui saluran dalam "tusuk"nya.

Bagaimana cara mengatasi rayap? Gampang,pakailah bahan bangunan yang tidak dimaui rayap.Misalnya,pakailah kusen alumunium atau rangka atap galvalum.Itu tentu bagi yang akan membangun,tetapi kalau kita sudah terlanjur memakai bahan kayu bagaimana?

Ini dia.
Di Indonesia,menurut penelitian para ahli,terdapat sekitar 200 jenis rayap dengan 20 jenis diantaranya mungkin yang sedang menggerogoti kayu-kayu bangunan Anda.Dan ia adalah koloni canggih.Ia akan membangun lorong-lorong kecil dari markasnya sampai ke rumah Anda.(ingat,markas itu berjarak 200 meter dari rumah Anda).Ia butuh lorong itu agar terjaga kelembabannya.Karena dengan begitu ia sanggup bertahan hidup.Ia harus lembab.Harus ada unsur tanah dan air.Makanya,sering kita dapati dinding lorong itu terlihat basah.Itu campuran tanah dan air liur rayap.Satu hal lagi,ia hanya bisa berkoloni.Ia tak kan sanggup hidup secara sendiri.

Ada beberapa cara untuk mengendalikan serangan rayap.Dan ia akan makin mudah diaplikasikan bila dilakukan sebelum Anda mulai membangun.Karena dengan begitu Anda bisa membuat semacam dinding 'tolak bala'.Kita bisa menyempotkan cairan anti rayap yang banyak tersedia di pasaran,pada tanah galian sekitar pondasi rumah kita.Mengaplikasikannya dengan cara sedemikian rupa,sehingga ia akan mampu meminimalisir gangguan rayap di kemudian hari.Bahkan kalau perlu,kita bisa menambahkan cairan anti tayap pada adonan bahan bangunan kita.Karena,pada kasus tertentu,ada rayap yang sanggup menembus dinding beton!Ia memiliki semacam cairan/lendir dimulutnya yang bisa melumat benda keras.

Dan bila yang terserang adalah rumah/bangunan yang sudah jadi,yang sudah kita tinggali,ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan.Untuk membangun ‘benteng tolak bala’ disekitar pondasi,kita bisa memakai sistem injeksi.Dengan memasukkan cairan anti rayab sebanyak yang kita kehendaki pada titik tertentu yang kita bor lebih dulu..Biaya akan sedikit mahal,tentu.Karena kita tidak bisa melihat (karena lantai sudah tertutup marmer,misalnya),kita harus menyuntikkan cairan sebanyaknya.Ini tentu beda bila kita mengaplikasikannya ketika sedang dalam taraf membangun.
Bila yang diserang adalah kusen pintu atau rangka atap,lebih sulit lagi.Dengan sistem injeksi atau spray,ia masih bisa diselamatkan bila tingkat kerusakannya masih bisa ditolelir.Tetapi,bila sudah sangat parah,tidak ada pilihan lain selain menggantinya dengan bahan baru.Ya,daripada kita selalu was-was tiba-tiba kusen pintu atau plafon rumah kita ambrol.

Tetapi rumah Anda berada di lantai 9 sebuah gedung apartement.Amankah? Belum tentu.Karena,saya yang bekerja di sebuah hunian vertikal,beberapa kali mendapati ada serangan rayap di unit-unit tertentu.Bisa jadi rayap itu terbawa dan lantas tinggal menetap,mengangkat ratu lalu membentuk koloni baru.Ia datang lewat media palet/kayu/dus pengaman paket yang pernah Anda terima yang berasal dari suatu tempat berayap.Atau memang hasil kerja keras para rayap pekerja yang tanpa kenal lelah terus memperbesar cakupan daerah operasionalnya.Ingat,rayap bisa merayap melalui celah kecil (misal pipa konduit kabel) yang sudah ada atau melalu jalur bikinan mereka sendiri.Dan,jangankan lantai 9,karena rayap sanggup merayap 200 meter dari markas koloninya,bila kita asumsikan markas itu berada di sekitar taman depan looby apartement anda,bila ia ditarik secara vertikal,ia sanggup mencapai lantai 50!Nah.

Untuk hal yang lebih jelas,tentang cara memberantas dan menangkalnya, tentu kita bisa menghubungi jasa anti rayap atau konsultan bangunan yang kita percaya.
Salam.

Selasa, 02 Agustus 2011

Doorrr! Awas Petasan

BEBERAPA saat selepas adzan maghrib berkumandang.Dilangit diatas rumah saya beterbangan pijar.Bersautan.Bersura 'cemetar',tak terlalu menggelegar.Warna-warni pijar berpendar.Apik.Itulah petasan.Yang ramai sekali hari-hari ini.Saban ramadhan begini.
Petasan atau kembang api?Bukankah itu bedanya tipis sekali.Karena bentuknya sama;letusannya sama,yang membedakan petasan konvensioanl dengan kembang api lebih kepada bunyinya.Ledakannya.Sementara,kembang api ada unsur indahnya.Ya,pijar yang benpendar itu.
Lihatlah,dipinggir-pinggir jalan,,di kios-kios dadakan.Penjual petasan (kembang api) menggelar dagangannya.Tempatnya sangat sederhana saja.Meja kecil ala kadarnya.Dagangan dipajang,dominasi warna merah,Segala bentukdan ukuran.Tergantung harga.Sesuai tingkat pendar pijar yang dihasilkan.
Orang sengaja membeli dan menyulutnya selepas buka puasa atau menjelang sahur.Sengaja begitu.Padahal benda itu ditemukan secara tak sengaja sekitar 2000 tahun lalu.Di Tiongkok sana.
Alkisah,seorang koki secara tak sengaja mencampur bubuk yang ada di dapurnya.Tiga bahan itu;garam peter/KN03 (kalium nitrat),sulfur dan charcoal (arang kayu).Ketiga bahan itu,(yang entah akan dikatai apa kalau memasaknya didepan chef Juna pada acara Master Chef Indonesia di RCTI.Hehehe....)memasukkannya kedalam ruas bambu.Lalu membakarnya laksana anak Pramuka yang menanak nasi pakai bambu.Hasilnya?
Blaarrr.....Meledak.Memercikkan pijar.Ini versi pertama.
Versi kedua,petasan ditemukan sekitar seribu tahun lalu di India.Oleh pendeta bernama Li Tian.(ah,dari namanya saja,ia pastilah keturunan Tiongkok …) Orang-orang di sana membakar petasan/kembang api setiap tangggal 18 April untuk mengenang kematian Li Tian,sekaligus mengusir roh jahat.
Tidak hanya di Tiongkok atau India saja yang 'kecipratan' tradisi pijar petasan ini.Tercatat ia mulai merambah jazirah Arab pada abad 11 dan kemudian masuk ke Indonesia dua abad kemudian.Pendeta Budha asal Tiongkok,Fa Hein (Faxien), yang mengusungnya ke tanah Jawa pada 413 M.
Begitulah.Sampai sekarang petasan tetap menyalak.Dan kalau bersebadan dengan kembang api, ia menyalak sekaligus memuntahkan percik pijar indah.Sekarang,saat ini,disekitar kita,ia memerankan diri sebagai penghias selepas maghrib atau pembangun saat makan sahur..Ia,dijaman modern ini,sering tampil pula sebagai sarana entertaine.
Letusan dan percikan pijarnya memang menggembirakan.Walau tak selalu.Karena sering kita dengar ia menyalak liar,pijarnya tak terkendali.dan minta tumbal.Kemudian,bisa jadi, tumbal itu tak terselamatkan, dan;mati.
Contohnya,salah satu saja,dinegeri asal muasal penemuan tak sengaja benda ini;Tiongkok.Lokasi tepatnya di kota Ningxiang,ibukota propinsi Changsha.Kejadiannya pada medio Desember tahun kemarin.Kembang api yang sedang diangkut sebuah truk meledak tak terencana.Gara-garanya;truk itu menabarak tiang listrik kemudian meledak.Dan 9 orang tewas sebagai korban.Sebagai tumbal.
Disini,pernah juga terjadi.Kalau Anda mau sedikit saja menyempatkandiri bertanya ke mbah Google,pastilah ada jawabannya.Korbannya berapa,dimana dan sebagainya.Pendek kata,tiada Ramadhan tanpa korban petasan.
Padahal,tidak kurang-kurang himbauan untuk meninggalkan kebiasaan ini.Kebiasaan yang,oleh sebagian kalangan,dinilai mubadzir.Tak perlu.Tak bermanfaat.Apalagi di bulan suci yang seyogyanya kita selalu berlaku tak sia-sia,tak mubadzir.
Aturan resmi dari pemerintah pun sangat jelas.Walau barangkali kurang tegas dalam tindakan di lapangan.Memang,semua jenis kembang api yang ada dipasaran,tak melanggar.Karena unsur mesiunya tak melebihi 20 miligram,dan diameternya tak melebihi 2 inchi,sesuai ketentuan.Bayangkan dan bandingkan dengan ukuran petasan jaman kecil saya dulu,sekitar tahun 80-an.Yang ukurannya bisa berdiameter layaknya paha orang dewasa,karena bikinan sendiri.Bayangkan juga bunyi ledaknnya.Ruaarrr biasa.Padahal,saat itu telah ada undang-undangnya.Ada aturannya.Tepatnya UU Darurat no 12 tahun 1951,tentang senjata api dan bahan peledak.
Sedikit data tentang korban akibat 'sreng dor' yang dirujuk ke RS dr Sutomo selama kurun tiga tahun terakhir; lebaran terbagus (tanpa korban petasan) adalah tahun 2007-2008.Dan angka itu tumbuh di tahun berikutnya.Dua korban di lebaran tahun 2009.Bagaimana dengan tahun 2010 kemarin?Ini dia.Menurut data yang coba saya telusuri dari beberapa sumber,tahun 2010 peningkatan jumlah korban luar biasa.Dengan korban yang dirujuk ke RS terbesar di Indonesia Timur itu sejumlah 10! Ranking tertinggi pasien asal dari pulau garam,Madura.Kenapa?Tentu ini akan menarik untuk ditelusuri.Tapi nanti sajalah.
Madura,dari 10 korban itu,menyumbang tujuh diantaranya.Dengan korban terparah dialami Matuni (30) asal Sumenep.Ia,gara-gara petasan,harus kehilangan dua tangannya.
Tiga korban lainnya asal Jombang,Gempol dan Surabaya.

Maka,ketika sore selepas maghrib atau tengah malam menjelang makan sahur nanti, ada pijar petasan bin kembang api yang menyalak diatas rumah kita,jangan keburu menggembirainya dulu.Karena,bisa-bisa ia sedang terbang liar mencari tumbal.
Salam.

Senin, 01 Agustus 2011

Penipu Tak Mutu

PEREMPUAN tua.Tak terlalu tua.Mungkin 60an usianya.Bersama cucunya.Masih kecil ia,mungkin baru TK nol kecil.Keduanya berjilbab.
“Pak,lyn JTK lewat sini?”tanya itu membuat saya menginjak pedal rem saat hidung motor saya sudah masuk gang VII.
“Iya,”jawab saya berbarengan dengan tangan saya yang menarik lagi tuas gas.Gak enak,motor saya 'magak' (masuk gak,keluar gak) berhenti sementara,pagi tadi,di gang VII yang lagi sibuk menelan dan memuntahkan motor yang keluar masuk.Maklum,jam menjelang kerja.Jam berangkat para buruh pabrik,juga jam berangkat saya yang memang juga buruh.
Tetapi,belum jauh motor saya masuk,saya ajak lagi ia balik kanan.Ya,saya ingat.Saya pernah ketemu perempuan tua itu.Beberapa waktu lalu.
Kali itu di gang X.Yang juga mencegat motor saya.Mula-mula bertanya arah ke Tenggilis Mejoyo.Dan setelah saya jelaskan arah yang dituju,sekalian ancer-ancernya,perempuan tua itu menyusulnya dengan sebuah cerita.Cerita duka.Tentang kematian anaknya.Dan ia sedang mencari keberadaan menantunya.Yang sedang bekerja sebagai kuli bangunan,katanya.
“Sudah saya cari di Gunung Anyar,tetapi tak ada.Sudah pindah,kata temannya.Pindah ke Tenggilis Mejoyo,”terangnya..
Ujung-ujungnya ini;perempuan itu mengaku kehabisan sangu.Dan,saya terketuk untuk membantu.Tak banyak memang;hanya dua ribu rupiah.Cukuplah.Perkara cerita pilu itu hanya tipuan,biarlah.Tak baik menyesali sekadar selembar dua ribuan.Ikhlaskan saja.
Tetapi,pagi tadi,perempuan itu muncul lagi.
Saya dekati.Ia sedang menjual kisah sedihnya kepada seseorang,Tak laku.Mungkin hapal sudah si calon korban.Nyegat orang lain lagi.Kali ini disekitar gang V.Ya,dimulut gang V.Dapat mangsa satu-dua.Lumayan.Kalikan saja dengan dua atau tiga ribu rupiah per penyumbang.
Saya jaga jarak.Asal bisa mendengar ceritanya saja.Dan ternyata gak jauh beda.Tentang kematian.Kalau tempo hari anaknya,kali ini menantunya.Duh,sungguh pengarang yang buruk.Yang tak piawai membuat cerita baru.Tak sabar saya mendekatinya.Tentu bukan untuk menagih uang dua ribu rupiah yang saya berikan tempo hari.Tetapi,
“Kok sering kepaten sih bu?Kemarin anak,sekarang menantu,besok siapa lagi?”
Perempuan itu memandang saya.Tak berani mendekat.dan malah menjauh.Menyeberang jalan.

Menipu pun,agar meyakinkan, butuh ide yang bagus.Yang tak monoton.Seperti penipuan si 'mama yang kehabisan pulsa',atau tiada angin tiada hujan tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel yang mengabarkan kita 'Anda menang hadiah undian ulang tahun sebuah operator seluler,yang pengundiannya ditarik tengah malam disebuah televisi swasta',atau anjuran menyebar-luaskankan sms berisi bacaan kitab suci yang kalau tak dikirim-ulangkan ke sejumlah nomor lain bisa bikin celaka.
Membosankan.Dan entahlah apa masih ada yang kena.
Penipu memang makin pintar,tetapi kita tidak boleh kalah pintar.

Salam.