Kamis, 12 Juli 2018

Dekat Pintu Darurat

tahu Sumedang dijual keliling
membeli mangga ke Belanda untuk dibuat gulali
selamat datang di pesawat Citilink
kami bangga membawa Anda terbang ke Bali

SUARA merdu awak Citilink menyambut penumpang dengan berpantun. Dan seperti saya tulis di beberapa posting sebelumnya, beberapa bulan yang lalu saya memang mendapat tugas kerja ke Bali. Untuk transportasi berangkat dan balik saya difasilitasi moda angkutan udara. Lumayanlah, dari yang sebelumnya hanya biasa naik bis, kini berkesempatan bolak-balik naik pesawat. Tanpa bayar pula. Ke Bali lagi. Kalaulah mau diplesetkan, halan-halan ke mBali, gratis, malah digaji pula. Duhai, nikmat Tuhan manakah lagi yang layak saya dustakan?

Beberapa kali saya terbang memang hanya pakai tiket promo. Saya yang awam ini punya ancar-ancar, kalau dapat tempat duduk dekat pintu darurat, oh sepertinya saya sedang dibelikan tiket yang harganya lebih murah. Namanya juga tiket promo. Ohya, saya terbang ke atau dari Ngurah Rai, kalau gak pakai Lion, ya pakai Citilink.

Duduk di dekat pintu darurat sih lebih lega, karena saya bisa selonjor. Itu didesain begitu memang kalau terjadi emergency agar orang mudah untuk meuju pintu darurat. Sedangkan kalau tempat duduk biasa, jarak antara dengkul dan kursi di depan lebih sempit.
Duduk di dekat pintu darurat. (Foto: ewe)

“Karena bapak duduk di dekat pintu darurat, bersediakah Bapak melakukan tindakan yang dperlukan bila terjadi keadaan darurat?” biasanya pramugari akan bertanya begitu beberapa saat sebelum pesawat take off.

Dan saat saya mengangguk tanda bersedia, si pramugari akan berkata secara cepat hal-hal apa saja yang mesti dilakukan. Hebat betul dia. Karena mungkin itu sering dia lakukan, menjadikannya hapal di luar kepala.

Tidak selalu dibelikan tiket kelas pintu darurat sih, suatu kali saya dapat tempat duduk biasa. Berjarak dua kursi di belakang pintu darurat. Pramugari telah selesai menghitung jumlah penumpang, sudah selesai pula memperagakan apa saja yang mesti dilakukan bila dalam kondisi tertentu. Termasuk menunjukkan letak pelampung dan masker oksigen serta cara menggunakannya bila diperlukan.

Salah satu dari pramugari itu, yang tadi memperagakan di dekat pintu darurat sisi tengah (kalau tidak salah, pintu darurat pesawat ada tiga titik; depan, tengah dan belakang), memandang saya, lalu melangkah ke dekat tempat duduk saya. Oh, jangan-jangan dia pernah baca blog saya ini dan sedang ingin berkelanan. Preettt... GR ya saya?

Pramugari dengan kulit kuning dan wajah bening itu makin clink dengan senyum tersungging, “Maaf, bisa saya minta tolong agar bapak pindah tempat duduk?” ia menunjuk kursi dekat pintu darurat, yang telah duduk disitu seorang ibu berdampingan dengan putranya yang masih seusia anak SD. “Untuk membuka pintu darurat dibutuhkan tenaga, dan tentu Ibu dan anaknya itu tidak mampu melakukannya. ” begitu lanjutnya.

Saya tak punya alasan untuk menolaknya. Toh, belum tentu dalam penerbangan nanti mengalami kondisi emergency. Dan sepertinya, saya memang berjodoh untuk duduk di dekat pintu darurat. *****

Rabu, 11 Juli 2018

Kursi D-8

HARI itu jam 08.15 WITA (Waktu Indonesia Tabanan) saya datang ke kantor PO Gunung Harta di jalan Ngurah Rai. Di halaman kantor ada beberapa penumpang yang rupanya siap berangkat pagi itu. Juga tujuan Surabaya. Ya, hari-hari itu sejumlah bus dan mobil travel atau carteran sedang panen penumpang karena bandara Ngurah Rai sedang ditutup akibat debu erupsi Gunung Agung yang menggganggu operasional penerbangan. Para penumpang yang akan ke Jakarta atau tujuan lain, banyak yang harus ke Juanda dulu.

Setelah antre, sampailah saya di depan petugas PO Gunung Harta. “Maaf, Bapak ke tujuan mana dan untuk keberangkatan kapan?”, tanya petugas setelah lebih dulu mengamalkan SOP 3 S (senyum, sapa, salam).

“Surabaya, untuk keberangkatan hari ini”, jawab saya sambil mengedar pandang ke ruang kantor yang tak berapa luas dengan kondisi relatif kurang bersih.

Petugas tersebut langsung cek layar komputer dan sejenak kemudian bilang, “Maaf, Pak. Untuk keberangkatan hari ini ke Surabaya sudah penuh. Tapi kalau mau, silakan Bapak tinggalkan nomor ponsel yang bisa kami hubungi. Barangkali nanti ada penumpang yang cancel”.

Tidak ada alasan untuk tidak menuruti saran petugas tersebut. Dan saya balik kanan ke kantor di jalan Pulau Menjangan setelah lebih dulu mampir sejenak di sudut jalan Ngurah Rai untuk beli klepon Sidoarjo yang penjualnya orang Krembung.

Benar saja, belum jam sepuluh pagi saya sudah dapat telepon dari Gunung Harta yang mengabarkan ada satu kursi kosong tujuan Surabaya untuk keberangkatan jam lima sore. “Tapi kursinya nomor 8-D lho, Pak.” kata suara di ujung telepon.

“Gak apa-apa, asal saya bisa berangkat ke Surabaya hari ini,” jawab saya.