Selasa, 30 September 2014

Mas Bendo Menggugat

KACAU, Kang, kacau...” dengan wajah lungset Mas Bendo datang.

“Apanya yang kacau, nDo?” sambut Kang Karib menyongsong Mas Bendo yang seperti tujuh hari tujuh malam tidak tidur.

“Kita akan kembali ke jaman purbakala, Kang,” belum separuh rokok dihabiskan, sudah ia lemparkan. “saya sebagai rakyat sungguh disepelekan oleh si wakil yang tak tahu diri itu...” Mas Bendo merogoh saku dan mengambil rokok untuk disulutnya lagi.


Kamu itu,” nada suara Kang Karib seperti berusaha mendinginkan kepala Mas Bendo yang mongah-mongah,”tak usahlah terlalu risau akan keadaan yang sudah terlanjur.”

Sampeyan itu, Kang,” sanggah Mas Bendo. “bagaimana aku tidak risau; kok bisa-bisanya si wakil bilang, rakyat (termasuk aku itu, Kang) belum siap memilih pemimpinnya secara langsung. Lha, apa itu tidak melecehkan jutaan rakyat Indonesia, Kang. Mbokya mikir, apa itu tidak kebalik; mereka yang tidak siap akan kenyataan bahwa sekarang rakyat sudah pada pinter. Buktinya, walau saat Pilkada ada calon yang menghambur-hamburkan sembako atau amplop agar dipilih, rakyat akan menerima itu tetapi tidak memilihnya” Mas Bendo bicara seperti rangkaian kereta barang.

Tindakan itu, dengan menerima tetapi tidak memiihnya itu, apa juga tindakan bijak?” Kang Karib memandang Mas Bendo. “Apa tidak lebih baik, misalnya, kalau tidak sreg memilihnya, ya jangan diterima sembakonya?”

Ya, biar mereka kapok, Kang,” sanggah Mas Bendo. “Lha sekarang, ketika dalam Pikada, hajat yang biasanya dilakukan rakyat secara langsung, kembali dilakukan oleh wakil yang pada praktiknya sering tidak sesuai dengan kehendak rakyat yang diwakilinya, apa juga tidak malah menyuburkan politik uang, atau barang yang lainnya. Logikanya kan begini, Kang, bagi para poltisi yang ngebet betul untuk menjadi Bupati atau Walikota atau Gubernur, kan lebih mudah (dan murah) 'membeli' suara wakil rakyat yang jumlahnya tak seberapa itu dibanding membeli suara rakyat sak kabupaten atau sepropinsi yang sudah cerdas-cerdas.”

Nah, lalu sekarang piye, saat RUU itu sudah diketok menjadi UU?”

Ya kita harus menggugat, Kang.”

Menggugat kemana lha wong katanya, dua-duanya itu, Pilkada langsung dan Pilkada lewat DPRD itu semua konstitusional?”

Embuhlah, Kang. Pokoknya saya harus bergerak. Sampai saya mendapatkan kembali hak saya sebagai rakyat untuk dapat memilih pemimpin saya secara langsung. Saya sudah terlanjur tidak percaya kepada para wakil saya. Paling tidak, lima tahun lagi, saat Pemilu Legislatif digelar, saya akan ajak orang-orang untuk tidak memilih caleg dari partai-partai yang kemarin itu ngotot mengegolkan RUU itu menjadi UU yang sungguh sangat melecehkan saya sebagai rakyat.” *****